Share

Bab 8

Saat berjalan pelan menuju ke tempat parkir, mereka bertiga berdebat tentang kendaraan yang akan ada di restoran pizza. Akhirnya Adina kalah, dua lawan satu. "Seperti skor pertandingan saja." kata Adina mengaku kalah.

"jangan sinis begitu." kata Derek, dia tidak berniat menyembunyikan rasa senangnya atas hasil pemungutan suara yang mereka lakukan.

Adina dan Bobby di tuntun menuju ke sebuah mobil mewah yang keren berwarna hitam. 

"Berapa banyak mobil yang kau punya?" Seru Bobby dari kursi belakang penumpang mobil setelah mereka mulai turun ke jalanan.

"hanya dan yang satu kemarin." jawab Derek.

"Aku minta maaf, tadi teman temanku mengeroyokmu seperti itu. Mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan orang keren yang terkenal." Kata Bobby tidak bisa menyembunyikan rasa terganggu yang sengaja dia buat-buat dan membuat ke dua orang dewasa di depannya itu tersenyum bahagia. "Tidak ada dari mereka percaya kalau kau datang hanya untuk melihatku bertanding sepak bola."

"Aku tidak keberatan memberikan tanda tangan untuk mereka." Kata Derek tersenyum dan melihat ke arah belakang kursi penumpang menggunakan kaca spion.

"Padahal mereka biasanya hanya selalu mengerubungi mama." Kata Bobby lagi.

"Tidak ada yang seperti itu." Protes Adina sambil mengerutkan dahinya walaupun dia tahu kalau anak laki-laki remaja itu tidak bisa melihatnya.

"benarkah?" tanya Derek terkejut.

"Harusnya kau dengar apa yang mereka katakan tentang mama." lanjut Bobby bersemangat. "Mereka naksir pada mama, atau mungkin sudah jatuh cinta pada mama."  Kata Bobby dengan nada Menggoda. 

"Bobby Bandiani, Bisakah kau menjaga mulutmu dan tidak bicara..."

"Tapi mereka memang begitu, ma." Bobby memandang wajah Derek lewat kaca spion. "kau tahu, mama tidak setua ibu dari teman temanku. Dan mama juga lebih cantik dari mereka. Mama juga tidak kaku dan agak cerewet, jadi benar benar seru kalau di ajak bicara dan mengobrol."

"Benarkah?" tanya Derek lagi dengan acuh.

"Tentu saja." kata Bobby mengangguk dan kemudian mengerutkan dahi, walaupun dia tahu mereka berdua tidak melihatnya. "Jujur saja, aku bahagia mereka menyukai mama, tapi ada satu orang yang mulai berbicara yang macam-macam dan aneh-aneh dan bilang kalau dia mau, um, tidur dengan mama, aku terpaksa meninjunya dengan keras."

"Bobby!" Kata Adina terkejut dan langsung berbalik dari kursinya untuk menatap anak laki-lakinya. "Kau tidak pernah menceritakan kejadian itu padaku."

"Tenang saja. Dia memang seorang bajingan, lagi pula dia juga bukan teman dekatku, kok." Kata Bobby sambil memandang mata Derek di kaca spion yang sedang menatapnya. "Padahal biasanya aku tidak pernah keberatan kalau ada temanku yang mulai membicarakan mama. Mereka bahkan menggodaku karena mama masih lajang." Bobby tertawa geli. "Pernah juga ada kakak kelasku yang bertanya padaku apakah dia boleh mengajak mama ke pesta dansa sekolah tahunan. Aku hanya dia bercanda." Kata Bobby lalu memandang Adina dengan pandangan bertanya. "Dia tidak benar-benar mengajak mama, kan?"

"tentu saja tidak." Jawab Adina sambil memutar matanya.

Bobby mengangkat bahu dan kembali menatap Derek lewat kaca spion. "Aku rasa tidak apa-apa kalau mereka bercanda dengan mama karena mama memang bukan ibu kandungku. Mama sebenarnya adalah tanteku, Adik dari mama kandungku. mama kandungku sudah meninggal waktu aku baru berumur empat tahun, eh lima tahun. Eh entahlah aku lupa berapa umurku saat itu." 

"Bagaimana dengan ayahmu?" tanya Derek.

Adina berputar dari kursinya lagi dan kali ini untuk menatap tajam pada Derek. Dia memberinya tatapan peringatan pada pria itu.

Tapi Bobby justru menjawab pertanyaan dengan berani. Itu adalah pertanyaan yang selalu dia hindari tapi dia tetap harus menjawab pertanyaan itu setiap kali dia mendapat teman baru dan sudah mulai membiasakan diri dengan situasi itu. "Aku tidak pernah tahu atau mengenal ayahku, tapi mama bilang itu bukan masalah yang besar karena aku adalah aku dan yang paling penting adalah masa depanku, dan bukan masa laluku." Kata Bobby lalu menunjuk di antara bahu Adina dan Derek pada bangunan yang berjejer dengan tempat parkir yang luas. "Di sana, om. Di sebelah kanan, sana."

Kemeriahan dalam restoran memekakkan telinga. Wajah manajer restoran yang terlihat kesal langsung menjadi pucat ketika gerombolan orang menyerbu masuk memenuhi hampir seluruh meja. Pesanan mereka langsung di catat dan cola yang di sajikan langsung habis dengan cepat. Seluruh tim duduk di satu meja panjang di tengah- tengah ruangan sementara para orang tua dan beberapa penggemar lainnya duduk di antara beberapa kelompok gadis yang sedang cekikikan.

Derek dan Adina dudu di salah satu meja di samping pojok. Tempatnya yang lebar memberi mereka sedikit keleluasaan. "Aku rasa aku seharusnya merasa tersanjung."

Adina mengusap mulutnya dengan tisu dan mengesampingkan piringnya yang sudah kosong. "kenapa? karena di undang ke perayaan ini?"

"Salah satunya itu dan karena boleh duduk bersama gadis yang paling populer di sini." jawab Derek sambil tersenyum.

"Bobby cuma mengada-ngada. Itu tidak benar" Kata Adina sambil tertawa.

"Aku rasa tidak. Sepanjang malam ini aku di pelototi tatapan tatapan cemburu. Sebenarnya ada apa antara kau dengan si pelatih itu?" Tanya Derek

Adina tersedak ketika mendengar pertanyaan Derek di sela minumnya. "Tidak ada apa-apa. Dia sudah ada pacar." jawab Adina sambil terbatuk-batuk.

"Benarkah? Tapi aku rasa wanita itu bukan pilihan pertamanya." Kata Derek.  Adina menatap Derek dengan tatapan menegur. tanpa merasa gentar atau takur, Derek mencondongkan tubuhnya ke depan meja dan memperhatikan wajah Adina. "Aku senang karena tahu anak muda jaman sekarang juga punya selera yang bagus." Bisik Derek.

"Terima kasih. Tapi bukan berarti kau bisa lolos begitu saja karena sudah memancing Bobby dengan pertanyaan itu dalam perjalanan tadi. Kalau kau ingin tahu sesuatu, tanya saja padaku." Kata Adina.

"Baiklah. berapa banyak?" tanya Derek.

"Berapa banyak apanya?" tanya Adina dengan pandangan bingung.

"Pria." 

"Bukan urusanmu." Jawab Adina singkat.

"Kau sudah pernah menikah?" Tanya Derek.

"Belum." Jawab Adina.

"Kenapa?"

"Memangnya apa urusannya denganmu? Aku tidak akan berani menanyakan berapa banyak wanita dalam hidupmu sejak terakhir kali kita bertemu di pantai." Kata Adina datar.

"Tidak terhitung, karena sangat banyak." Jawab Derek.

"Tepat sekali."

"Tapi itu tidak sama sepertimu, kan? Mau taruhan? Pria yang pernah tidur denganmu paling masih bisa di hitung dengan satu tangan saja." Kata Derek dengan tatapan sombong.

Kata-katanya menyinggung harga diri Adina. "Kenapa kau bisa seyakin itu?"

"Karena Ada Bobby yang menjadi penghalang hubungan percintaan. Aku benar, kan?"

"Kau benar." Kata Adina dengan nada dingin yang dia gunakan ketika dia menegur pria itu beberapa hari sebelumnya. "Hubungan percintaan bisa menjadi penghalang dalam hidupku dan Bobby. Aku jamin itu, anakmu di asuh dalam sebuah lingkungan yang sangat baik."

"Aku belum mengakuinya sebagai anakku." Kata Derek dengan jujur.

"Oh." Gumam Adina terkejut. "Aku pikir karena hari ini kau datang menonton pertandingannya, karena kau berusaha untuk bertemu dengan Bobby lagi. Aku pikir kau sudah yakin kalau dia anakmu."

"Sebelum aku mengambil langkah selanjutnya..."

"Langkah selanjutnya?" Tanya Adina cemas. "Apa maksudmu?"

"Aku belum tahu. Pertama-tama aku harus yakin kalau aku memang ayah kandungnya. Kau bisa memahami itu, kan?" tanya Derek.

"Kau tidak bisa melakukan apa pun kecuali menerima ceritaku dan lihat betapa miripnya kalian berdua." Bisik Adina.

"Setahuku ada tes darah." kata Derek pelan. "Tes itu tidak bisa membuktikan garis keturunan, tapi itu cukup efektif untuk mengesampingkan beberapa kemungkinan."

"Aku tahu itu."

"Aku ingin Bobby dan aku menjalani tes darah. Aku butuh kepastian." Kata Derek jujur.

"Apakah kau harus melakukannya?" Tanya Adina cemas.

"Harus Adina. Aku harus melakukannya. Agar aku bisa tenang."

Adina menghela napas. "Aku tidak bisa mencegahmu, kan?"

"Apakah kau mau membantuku?"

Adina merenungkan permintaan Derek selama beberapa menit. "Bobby pasti menjalani tes kesehatan sebelum pertandingan di mulai. Mereka akan mengambil darahnya waktu itu. Pasti mereka pasti masih bisa menyimpannya."

"Aku akan menanganinya. Siapa yang harus aku hubungi?"

Adina menuliskan nama klinik tempat Bobby menjalani tes kesehatannya dan menyerahkan kertasnya pada Derek tepat saat Bobby datang menghampiri mereka.

Anak itu berlutut di samping meja mereka dan memukul-mukul kaki meja. "Aku siap pergi kapan kalian ingin. Aku sudah mengalahkan semua orang di permainan kartu. Mereka mengusirku karena mereka semua berhutang banyak uang padaku."

Derek tertawa keras dan membantu Adina untuk berdiri. Adina berusaha keras untuk membayar makanan mereka sendiri tapi Derek dengan tegas menolaknya. Kepergian mereka di iringi sorakan untuk sang pemain terbaik yang menjadi penentu kemenangan tim dan juga untuk tamunya yang terkenal.

Tidak lama kemudian mereka sudah berada kembali di jalan tol. "Om, kau melewati belokan menuju stadion." Kata Bobby mengingatkannya dari kursi belakang.

"Tapi itu bukan jalan menuju rumahku." Jawab Derek.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status