Saat berjalan pelan menuju ke tempat parkir, mereka bertiga berdebat tentang kendaraan yang akan ada di restoran pizza. Akhirnya Adina kalah, dua lawan satu. "Seperti skor pertandingan saja." kata Adina mengaku kalah.
"jangan sinis begitu." kata Derek, dia tidak berniat menyembunyikan rasa senangnya atas hasil pemungutan suara yang mereka lakukan.
Adina dan Bobby di tuntun menuju ke sebuah mobil mewah yang keren berwarna hitam.
"Berapa banyak mobil yang kau punya?" Seru Bobby dari kursi belakang penumpang mobil setelah mereka mulai turun ke jalanan.
"hanya dan yang satu kemarin." jawab Derek.
"Aku minta maaf, tadi teman temanku mengeroyokmu seperti itu. Mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan orang keren yang terkenal." Kata Bobby tidak bisa menyembunyikan rasa terganggu yang sengaja dia buat-buat dan membuat ke dua orang dewasa di depannya itu tersenyum bahagia. "Tidak ada dari mereka percaya kalau kau datang hanya untuk melihatku bertanding sepak bola."
"Aku tidak keberatan memberikan tanda tangan untuk mereka." Kata Derek tersenyum dan melihat ke arah belakang kursi penumpang menggunakan kaca spion.
"Padahal mereka biasanya hanya selalu mengerubungi mama." Kata Bobby lagi.
"Tidak ada yang seperti itu." Protes Adina sambil mengerutkan dahinya walaupun dia tahu kalau anak laki-laki remaja itu tidak bisa melihatnya.
"benarkah?" tanya Derek terkejut.
"Harusnya kau dengar apa yang mereka katakan tentang mama." lanjut Bobby bersemangat. "Mereka naksir pada mama, atau mungkin sudah jatuh cinta pada mama." Kata Bobby dengan nada Menggoda.
"Bobby Bandiani, Bisakah kau menjaga mulutmu dan tidak bicara..."
"Tapi mereka memang begitu, ma." Bobby memandang wajah Derek lewat kaca spion. "kau tahu, mama tidak setua ibu dari teman temanku. Dan mama juga lebih cantik dari mereka. Mama juga tidak kaku dan agak cerewet, jadi benar benar seru kalau di ajak bicara dan mengobrol."
"Benarkah?" tanya Derek lagi dengan acuh.
"Tentu saja." kata Bobby mengangguk dan kemudian mengerutkan dahi, walaupun dia tahu mereka berdua tidak melihatnya. "Jujur saja, aku bahagia mereka menyukai mama, tapi ada satu orang yang mulai berbicara yang macam-macam dan aneh-aneh dan bilang kalau dia mau, um, tidur dengan mama, aku terpaksa meninjunya dengan keras."
"Bobby!" Kata Adina terkejut dan langsung berbalik dari kursinya untuk menatap anak laki-lakinya. "Kau tidak pernah menceritakan kejadian itu padaku."
"Tenang saja. Dia memang seorang bajingan, lagi pula dia juga bukan teman dekatku, kok." Kata Bobby sambil memandang mata Derek di kaca spion yang sedang menatapnya. "Padahal biasanya aku tidak pernah keberatan kalau ada temanku yang mulai membicarakan mama. Mereka bahkan menggodaku karena mama masih lajang." Bobby tertawa geli. "Pernah juga ada kakak kelasku yang bertanya padaku apakah dia boleh mengajak mama ke pesta dansa sekolah tahunan. Aku hanya dia bercanda." Kata Bobby lalu memandang Adina dengan pandangan bertanya. "Dia tidak benar-benar mengajak mama, kan?"
"tentu saja tidak." Jawab Adina sambil memutar matanya.
Bobby mengangkat bahu dan kembali menatap Derek lewat kaca spion. "Aku rasa tidak apa-apa kalau mereka bercanda dengan mama karena mama memang bukan ibu kandungku. Mama sebenarnya adalah tanteku, Adik dari mama kandungku. mama kandungku sudah meninggal waktu aku baru berumur empat tahun, eh lima tahun. Eh entahlah aku lupa berapa umurku saat itu."
"Bagaimana dengan ayahmu?" tanya Derek.
Adina berputar dari kursinya lagi dan kali ini untuk menatap tajam pada Derek. Dia memberinya tatapan peringatan pada pria itu.
Tapi Bobby justru menjawab pertanyaan dengan berani. Itu adalah pertanyaan yang selalu dia hindari tapi dia tetap harus menjawab pertanyaan itu setiap kali dia mendapat teman baru dan sudah mulai membiasakan diri dengan situasi itu. "Aku tidak pernah tahu atau mengenal ayahku, tapi mama bilang itu bukan masalah yang besar karena aku adalah aku dan yang paling penting adalah masa depanku, dan bukan masa laluku." Kata Bobby lalu menunjuk di antara bahu Adina dan Derek pada bangunan yang berjejer dengan tempat parkir yang luas. "Di sana, om. Di sebelah kanan, sana."
Kemeriahan dalam restoran memekakkan telinga. Wajah manajer restoran yang terlihat kesal langsung menjadi pucat ketika gerombolan orang menyerbu masuk memenuhi hampir seluruh meja. Pesanan mereka langsung di catat dan cola yang di sajikan langsung habis dengan cepat. Seluruh tim duduk di satu meja panjang di tengah- tengah ruangan sementara para orang tua dan beberapa penggemar lainnya duduk di antara beberapa kelompok gadis yang sedang cekikikan.
Derek dan Adina dudu di salah satu meja di samping pojok. Tempatnya yang lebar memberi mereka sedikit keleluasaan. "Aku rasa aku seharusnya merasa tersanjung."
Adina mengusap mulutnya dengan tisu dan mengesampingkan piringnya yang sudah kosong. "kenapa? karena di undang ke perayaan ini?"
"Salah satunya itu dan karena boleh duduk bersama gadis yang paling populer di sini." jawab Derek sambil tersenyum.
"Bobby cuma mengada-ngada. Itu tidak benar" Kata Adina sambil tertawa.
"Aku rasa tidak. Sepanjang malam ini aku di pelototi tatapan tatapan cemburu. Sebenarnya ada apa antara kau dengan si pelatih itu?" Tanya Derek
Adina tersedak ketika mendengar pertanyaan Derek di sela minumnya. "Tidak ada apa-apa. Dia sudah ada pacar." jawab Adina sambil terbatuk-batuk.
"Benarkah? Tapi aku rasa wanita itu bukan pilihan pertamanya." Kata Derek. Adina menatap Derek dengan tatapan menegur. tanpa merasa gentar atau takur, Derek mencondongkan tubuhnya ke depan meja dan memperhatikan wajah Adina. "Aku senang karena tahu anak muda jaman sekarang juga punya selera yang bagus." Bisik Derek.
"Terima kasih. Tapi bukan berarti kau bisa lolos begitu saja karena sudah memancing Bobby dengan pertanyaan itu dalam perjalanan tadi. Kalau kau ingin tahu sesuatu, tanya saja padaku." Kata Adina.
"Baiklah. berapa banyak?" tanya Derek.
"Berapa banyak apanya?" tanya Adina dengan pandangan bingung.
"Pria."
"Bukan urusanmu." Jawab Adina singkat.
"Kau sudah pernah menikah?" Tanya Derek.
"Belum." Jawab Adina.
"Kenapa?"
"Memangnya apa urusannya denganmu? Aku tidak akan berani menanyakan berapa banyak wanita dalam hidupmu sejak terakhir kali kita bertemu di pantai." Kata Adina datar.
"Tidak terhitung, karena sangat banyak." Jawab Derek.
"Tepat sekali."
"Tapi itu tidak sama sepertimu, kan? Mau taruhan? Pria yang pernah tidur denganmu paling masih bisa di hitung dengan satu tangan saja." Kata Derek dengan tatapan sombong.
Kata-katanya menyinggung harga diri Adina. "Kenapa kau bisa seyakin itu?"
"Karena Ada Bobby yang menjadi penghalang hubungan percintaan. Aku benar, kan?"
"Kau benar." Kata Adina dengan nada dingin yang dia gunakan ketika dia menegur pria itu beberapa hari sebelumnya. "Hubungan percintaan bisa menjadi penghalang dalam hidupku dan Bobby. Aku jamin itu, anakmu di asuh dalam sebuah lingkungan yang sangat baik."
"Aku belum mengakuinya sebagai anakku." Kata Derek dengan jujur.
"Oh." Gumam Adina terkejut. "Aku pikir karena hari ini kau datang menonton pertandingannya, karena kau berusaha untuk bertemu dengan Bobby lagi. Aku pikir kau sudah yakin kalau dia anakmu."
"Sebelum aku mengambil langkah selanjutnya..."
"Langkah selanjutnya?" Tanya Adina cemas. "Apa maksudmu?"
"Aku belum tahu. Pertama-tama aku harus yakin kalau aku memang ayah kandungnya. Kau bisa memahami itu, kan?" tanya Derek.
"Kau tidak bisa melakukan apa pun kecuali menerima ceritaku dan lihat betapa miripnya kalian berdua." Bisik Adina.
"Setahuku ada tes darah." kata Derek pelan. "Tes itu tidak bisa membuktikan garis keturunan, tapi itu cukup efektif untuk mengesampingkan beberapa kemungkinan."
"Aku tahu itu."
"Aku ingin Bobby dan aku menjalani tes darah. Aku butuh kepastian." Kata Derek jujur.
"Apakah kau harus melakukannya?" Tanya Adina cemas.
"Harus Adina. Aku harus melakukannya. Agar aku bisa tenang."
Adina menghela napas. "Aku tidak bisa mencegahmu, kan?"
"Apakah kau mau membantuku?"
Adina merenungkan permintaan Derek selama beberapa menit. "Bobby pasti menjalani tes kesehatan sebelum pertandingan di mulai. Mereka akan mengambil darahnya waktu itu. Pasti mereka pasti masih bisa menyimpannya."
"Aku akan menanganinya. Siapa yang harus aku hubungi?"
Adina menuliskan nama klinik tempat Bobby menjalani tes kesehatannya dan menyerahkan kertasnya pada Derek tepat saat Bobby datang menghampiri mereka.
Anak itu berlutut di samping meja mereka dan memukul-mukul kaki meja. "Aku siap pergi kapan kalian ingin. Aku sudah mengalahkan semua orang di permainan kartu. Mereka mengusirku karena mereka semua berhutang banyak uang padaku."
Derek tertawa keras dan membantu Adina untuk berdiri. Adina berusaha keras untuk membayar makanan mereka sendiri tapi Derek dengan tegas menolaknya. Kepergian mereka di iringi sorakan untuk sang pemain terbaik yang menjadi penentu kemenangan tim dan juga untuk tamunya yang terkenal.
Tidak lama kemudian mereka sudah berada kembali di jalan tol. "Om, kau melewati belokan menuju stadion." Kata Bobby mengingatkannya dari kursi belakang.
"Tapi itu bukan jalan menuju rumahku." Jawab Derek.
"Aku tidak berusaha terdengar seperti orang munafik. Jangan berpkir aku melihat diriku seperti itu. Seharian aku mempersiapkan pidato ini. Setiap kata yang aku ucapkan adalah ungkapan dari hatiku. Tolong biarkan aku selesaikan. Masih ada yang lain." Jawab Adina dan Derek menganggukkan kepalanya menyuruhnya melanjutkan apa yang ingin Adina bicarakan."Apa yang terjadi pagi ini..." Adina memulai."Hmm?""Ada beberapa alasan mengapa hal itu sampai terjadi." Kata Adina hampir tergagap."Yang aku tahu itu adalah pemanasan yang bagus." Kata Derek."Derek..."Maaf." Derek melambaikan tangannya dengan tidak sabar."Aku merasa sangat sedih karena kematian ibuku. Tidak berdaya, kau tahu. Seperti bertanya-tanya apa gunanya hidup kalau harus berakhir seperti itu?" Kata Adina."Aku mengerti. Kau membutuhkan untuk berkontak dengan manusia lain, dan menegaskan kalau hdup ini memang memiliki arti." Kata Derek sambil menganggukkan kepalanya."Benar." Kata Adina, diam-diam merasa terkejut karena Derek
Dengan langkah lemas Adina menaiki anak tangga rumahnya. Dia tidak menyalakan lampu sama sekali, meski pun hari sudah sore dan kegelapan mulai memenuhi tiap sudut rumahnya.Di kamar tidurnya dia melepaskan sepatu kulitnya yang berwarna hitam dan meletakkan tasnya di atas lemari kecil. Adina berjalan menuju jendela yang mengarah langsung ke taman belakang. Dia menatap ke kejauhan untuk beberapa lama. Keputusaan telah merasukinya.Dia baru saja hendak berbalik ketika dia melihat bola sepak milik Bobby tergeletak begitu saja di rumpun bunga di tanah. Bola yang terlihat sangat kesepian, terbuang dan terlantar. da tampaknya melukiskan segala kesedihan dalam hidup Adina.Adina mendesah kuat-kuat dan mengulurkan tangannya ke punggung belakangnya untuk membuka resleting gaun hitamnya."Mari aku bantu." Kata Derek.Adina langsung berbalik karena terkejut. Derek berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka, dia masih mengenakan jaket hitam dan kemeja hitamnya. Saat denyut jantung Adina sudah k
Setelah mandi dengan cepat, Adina segera berpakaian. Adina menenteng sepatunya dan berjalan menyusuri rumah itu, dia berjalan ke arah dapur. Kemudian dia melihat sebuah pintu yang setengah terbuka. Adina kemudian mendorong pintu pelan dan membukanya.Kamar Bobby. Hal itu yang langsung terlihat olehnya. Pakaian-pakaiannya tergelatak di mana-mana, Sebuah kebiasaan buruk yang dulu membuatnya marah tapi kini dengan pesih dia merindukan kebiasaan itu. Berbagai ponser bintang rock, altet olahraga, dan sebuah poster model berbaju bikini yang ceria memenuhi dinding kamarnya. Sebuah minatur pesawat ada di meja bersama dengan setumpuk buku sekolah.Meski pun Bobby baru menempati kamar itu sebentar, Bobby sudah mengisi kamar itu dengan semua ciri khasnya. Selain barang-barang yang dari dulu sudah dia miliki, Adina juga melihat ada sebuah tv baru yang lengkap dengan perlengkapan video game, sesuatu yang memang sangat di inginkan Bobby sejak lama. Sebuah telepon yang sepertinya baru saja di pasan
Adina mendesah dalam-dalam sebelum dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa lemas seperti dia baru saja melakukan aktifitas yang berat. Seolah setiap sel dalam tubuhnya tidak berdaya. Jantungnya berdetak lebih kuat dan lambat. Dia nyaris dapat merasakan aliran darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia pernah merasa sesantai ini. Bersantai seperti ini tanpa harus memikirkan apa pun rasanya enak sekali.Adina menguap dan meregangkan tubuhnya. Saat itulah dia merasa kakinya menyentuh kaki lain yang bukan kakinya. Adina langsung terkejut lalu dengan perlahan dia menoleh ke sampingnya. Derek sedang tidur tepat di sampingnya. Rambutnya acak-acakan dan bagian bawah wajahnya derdapat jenggot yang baru tumbuh. Selimut hanya menyelimutinya sebatas pinggang. Dada pria itu terpampang di depan wajahnya.Adina hanya berbaring dengan diam, dia nyaris tidak berani untuk bernapas. Adina memandangi pria itu. Menit demi menit sudah berlalu. Alam bawah sadarnya
"Aku pikir aku tidak perlu mengatakan tentang apa rancanaku padamu, Derek." Kata Adina."Aku tidak membeli mobil itu sebagai sogokan agar bisa lebih dekat dengan Bobby. Aku berani sumpah. AKu ahkan berpikir kalau kamu mungkin akan ikut senang kalau Bobby juga senang." Kata derek sambil tersenyum sinis. "Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang istimewa baginya. Itu saja." Lanjut Derek."Aku juga begitu!" Kata Adina dengan meninggikan suaranya sambil menunjuk dadanya."Aku mengerti dan aku minta maaf karena itu. Memang aku yang salah. Hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Kecuali..." Derek berhenti dan memandang Adina dengan tatapan memohon dan menarik napas panjang. "Kau memiliki Bobby selama ini. Kamu merayakan ulang tahunnya selama ini bersamanya. Aku tidak pernah mengalami hal itu." Lanjut Derek.Adina terdiam, tidak mengatakan apa pun."Baiklah. Aku mungkin memang terlalu berlebihan dengan memberinya mobil itu. Tapi tolong jangan salahkan aku. Aku masih baru dalam hal ini. Aku a
Mulut Adina menganga lebar. "Apa?""Mengingat keadaan emosionalmu saat ini, kamu tidak bisa mengendarai mobil, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi di jalanan. Lagi pula, aku tidak yakin kalo kamu punya tenaga untuk pulang ke rumah. Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, tidak baik kalau kamu sendirian malam ini." Jelas Derek."Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya sendiri." Jawab Adina."Aku memaksamu. Aku punya banyak kamar tidur yang kosong." Kata Derek."Tapi tempat tidurnya sudah pernah di gunakan." Balas Adina.Derek meringis. "Ternyata kau masih ingat. Tajam sekali ingatanmu. Aku janji, malam ini tidak akan ada pasangan setengah telanjang yang akan mengganggumu. Semua temanku sudah tahu kalau aku sekarang tinggal bersama anak remaja jadi perilaku seperti itu sudah di larang di sini." Jawab Derek."Apa yang kamu katakan pada mereka?" Tanya Adina penasaran."Mereka harus mencari tempat lain jika ingin telanjang." Jawab Derek."Bukan, maksudku tentang Bobby." Kata Adina sambil memuta