Marcus memegang kaki kanannya yang terkilir.
“Ah…” rintihannya pecah, wajahnya menegang menahan sakit.
Sial! Sakit sekali… batin lelaki itu mengumpat.Madeline panik menghampirinya, tangisnya kembali pecah. Perasaannya bercampur aduk—takut kehilangan Derek sekaligus khawatir melihat Marcus meringis begitu.“Kak, kaki kamu berdarah!” suaranya bergetar. Dengan tangan gemetar, ia merobek kaos yang dipakainya, lalu membalut luka Marcus dengan hati-hati.
“Gapapa.”Marcus hanya terdiam, matanya menatap setiap gerakan Madeline. Tiba-tiba tangannya terulur, menyentuh lembut wajah gadis itu. “Jangan menangis lagi,” ucapnya pelan, namun mantap.
Madeline terhenti. Napasnya tercekat, matanya terkunci pada tatapan pria itu—hangat, intens, seakan mampu menelan seluruh keresahannya. Ia ingin berpaling, tapi tubuhnya membeku.Sampai rintihan Marcus kembali terdengar. Sontak Madeline sadar, buru-buru menopang tubuhnya. “Kak… aku bantu berdiri ya.” Ia menuntun tangan Marcus melingkar di lehernya, lalu dengan sekuat tenaga memapah tubuh besar itu agar bisa kembali berjalan.Marcus menarik napas panjang, langkahnya tertatih. Suaranya terdengar berat ketika akhirnya berkata, “Apa kamu selalu seperti ini?”Madeline menoleh dengan kening berkerut. “Hah?”“Kamu… selalu membantu orang lain?” mata Marcus menatapnya tajam. “Saat kamu menolongku tadi… apa kamu pernah melakukan hal yang sama pada 'pria' lain juga?” Ujung bibirnya terangkat samar, seperti menyimpan sesuatu yang lebih dalam.Mendengar nada suara Marcus yang berubah, gadis tidak langsung menjawab. "Aku belum pernah menolong orang yang terluka, kamu yang pertama kak," Ia tak berbohong. Senyum terbit di bibir Marcus saat mendengar penuturan gadisnya. Menghentikan langkah nya, Marcus berdiri menghadap Madeline. "Jangan menolong pria lain," tangan pria itu ia letakan dibahu Madeline. Mata cerah gadis itu menatap polos padanya. "Hanya aku yang boleh kau tolong" Tatapan mata Marcus terasa membakar.Seperti terhipnotis, gadis itu mengangguk. Setuju dengan mudah, mengikuti perintah laki-laki di hadapan nya. Marcus tersenyum puas saat melihat Madeline patuh dengan mudah."Maddie, kamu tahu, kita tidak bisa menjadi kakak-adik lagi," jemari Marcus menekan bibir Madeline "Aku menyukaimu, bukan sebagai saudara perempuan." hembusan nafasnya menerpa wajahnya yang memerah."Kak.." Madeline ingin mengatakan sesuatu, tapi terhenti saat Marcus tiba-tiba mencium bibirnya.Ciuman itu terasa lembut, gadis itu terhanyut. Tangannya melingkar di leher Marcus. Semakin lama, semakin menuntut membuat lutut gadis itu goyah.
"Madeline..." melepaskan ciuman nya, Marcus kembali menatap mata Madeline dalam. "Katakan kau hanya milikku." suaranya tegas penuh tuntutan.Madeline mengerjap. Gadis itu kembali memejamkan mata saat Marcus kembali mencium bibirnya. Kali ini tak ada kelembutan. Marcus mencium nya dengan penuh klaim."Mm..hh.mm…. Mar..cus," Madeline mendesah saat bibir pria itu menjelajah lehernya."Ah…" ringisan gadis itu terdengar saat Marcus memberikan gigitan kecil di lehernya. Memberikan tanda merah kecil dikulit nya yang halus.
"Kamu gadis pertama yang membuatku seperti ini..." pria itu bergumam. Jemari panas nya menekan tubuh gadis itu. "Aku tidak akan melepaskan mu..." suaranya berbisik penuh hasrat. "Kamu kelinci kecil, milik ku".Madeline tidak mengindahkan, tubuhnya bergelenyar penuh nafsu. Logikanya mati. Ia hanya ingin menikmati sentuhan panas dari Marcus."Mmhh.. Maddie.." pria itu menggeram, tubuh bawahnya menegang. "Bantu aku sayang...." Marcus menuntun jari Madeline kebagian miliknya yang mengeras.Madeline terbelalak, wajahnya memerah "Kak..ak..ku..," ia tergagap, bingung dan hasrat nafsu bercampur menjadi satu.Marcus bersandar dipohon belakang tubuhnya, "Berlutut.." suaranya penuh dominasi.Menurut, gadis itu berlutut. Wajahnya tepat berhadapan dengan milik Marcus yang membusung tegak. Ia meneguk ludah. "Buka celana ku," perintahnya singkat."Keluarkan 'dia' Maddie," tangan Marcus mengelus kepala sang gadis yang sedang berlutut di bawah nya.
Madeline membuka celana Marcus. Milik pria itu membusung tegang, tepat didepan mata nya."Gunakan tanganmu, Sayang." tangan Marcus menuntun pelan jemari gadis yang sedang gemetar itu.
"Peganglah.. " membantu Madeline menaik-turunkan miliknya.
"Mmhh..aahhh... Madeline...," pria itu mengerang keras, puncak kenikmatannya tiba. Hanya menggunakan tangan, Madeline mampu memberikan kenikmatan luar biasa. "Gadis pintar..." Marcus memandang puas pada gadis yang masih berlutut di bawah nya.Madeline tersenyum kecil, ia berdiri dari posisinya. Marcus memakai kembali celana nya, merapikan 'hal' yang sudah dilakukan sang gadis. "Marcus..." Madeline memanggil pelan. Pria itu menoleh memandangnya dengan tatapan dalam. "Apa kamu yakin dengan hubungan kita? Kalau ketahuan gimana?" Madeline bertanya dengan getir."Kenapa memikirkan hal yang belum tentu terjadi?""Aku takut... aku takut Papa sama Mama akan membenci kita? Aku gak mau mereka benci sama aku," gadis itu tersedu, menanggung beban moral yang harus ditanggung.Marcus tersenyum tipis, tatapannya tajam namun menenangkan. Jemarinya mengusap pipi Madeline yang basah air mata.“Madeline, dengarkan aku…” suaranya rendah, nyaris berbisik. “Papa dan Mama tidak akan pernah mengerti kita. Mereka hanya melihat dunia dengan aturan kaku. Tapi kita… kita berbeda. Apa kau ingin terus hidup hanya untuk menyenangkan mereka, sementara hatimu tersiksa?”Ia mendekat, napasnya terasa hangat di wajah gadis itu.“Cinta ini bukan dosa, Maddie. Yang dosa adalah berpura-pura… menolak perasaanmu sendiri hanya demi takut pada omongan orang. Kau tahu kan? Aku tak akan pernah meninggalkanmu. Hanya aku yang bisa melindungi dan mencintaimu seperti ini. Tidak ada yang lain.”Marcus menekankan kata-katanya dengan menggenggam tengkuk Madeline, membuat gadis itu sulit berpaling.“Jadi… jangan sebut ini salah lagi. Karena yang salah adalah jika kau menjauh dariku. Dan itu akan menyakitiku, lebih dari luka di kakiku.”Ketegangan di antara mereka begitu pekat. Marcus mendekatkan wajahnya lagi, bibirnya hampir menyentuh milik Madeline—Tiba-tiba, suara ranting patah terdengar di balik semak. Keduanya sontak menoleh, mata Madeline melebar panik. Siapa yang melihat mereka?
Jemari Marcus mengepal kencang. Tapi seperti biasa, ia lihai untuk mengendalikan emosi nya. Wajahnya tetap tenang. Tapi aura ancaman keluar dari tubuhnya. "Marcus?" Madeline terkejut saat melihatnya tiba di pet hotelnya. Martin menoleh, keningnya berkerut saat seorang pria tiba dan mentapnya tajam. "Lihat siapa ini?" senyum miring pria itu terlihat samar, langkahnya perlahan mendekati 'kelinci kecilnya'. "Kak... ini temanku Martin," Madeline buru-buru menjelaskan. "Martin, teman kuliah Madeline" tangannya terulur kepada Marcus yang menatapnya intens. "Marcus..." tangannya menjabat erat Martin. Terlalu erat. Martin menatap mata Marcus. Ia bisa merasakan ketidaksukaan dari tatapannya. "Maddie... aku titip Zico ya," sambil menyerahkan anjingnya. "Martin, aku isi formulirnya dulu ya sebentar..." Madeline bisa merasakan ketegangan diantara dua pria yang sedang berhadapan. Ia berlalu bersama Zico dalam pelukannya. "Jadi teman kuliah?" Marcus membuka suara. "Ya, kam
Gonggongan anjing yang berlari ke arahnya membuat Madeline menoleh cepat. “DEREK!” jeritnya lega. Senyum langsung merekah di wajahnya saat melihat anjing kesayangannya muncul dari balik semak. “Derek! Kamu kemana sih?! Jangan lari jauh-jauh, ya Tuhan… aku hampir gila nyariin kamu!” ia mengomel, tapi tetap memeluk tubuh anjing itu erat, menciumi kepalanya penuh sayang. Marcus segera mengambil ponselnya. “Pah, Derek sudah ketemu. Aku sama Madeline akan balik ke dome,” katanya singkat. Setelah mematikan panggilan, ia menatap langit yang mulai menggelap. “Kita balik sekarang, Maddie. Hari udah sore.” Marcus meraih bahu Madeline, menuntunnya keluar dari hutan sebelum malam benar-benar turun. ---------- Tiga hari berlalu. Madeline kembali ke rutinitasnya di pet hotel miliknya, tempat yang kini jadi dunia kecilnya. Tawa dan gonggongan anjing memenuhi ruangan; aroma sabun dan bulu anjing yang lembap membuat suasana hangat sekaligus riuh. Ia berjongkok, bermain dengan seekor Po
Marcus memegang kaki kanannya yang terkilir. “Ah…” rintihannya pecah, wajahnya menegang menahan sakit.Sial! Sakit sekali… batin lelaki itu mengumpat.Madeline panik menghampirinya, tangisnya kembali pecah. Perasaannya bercampur aduk—takut kehilangan Derek sekaligus khawatir melihat Marcus meringis begitu. “Kak, kaki kamu berdarah!” suaranya bergetar. Dengan tangan gemetar, ia merobek kaos yang dipakainya, lalu membalut luka Marcus dengan hati-hati.“Gapapa.” Marcus hanya terdiam, matanya menatap setiap gerakan Madeline. Tiba-tiba tangannya terulur, menyentuh lembut wajah gadis itu. “Jangan menangis lagi,” ucapnya pelan, namun mantap.Madeline terhenti. Napasnya tercekat, matanya terkunci pada tatapan pria itu—hangat, intens, seakan mampu menelan seluruh keresahannya. Ia ingin berpaling, tapi tubuhnya membeku.Sampai rintihan Marcus kembali terdengar. Sontak Madeline sadar, buru-buru menopang tubuhnya. “Kak… aku bantu berdiri ya.” Ia menuntun tangan Marcus melingkar di lehernya, la
Marcus menatap Madeline yang terbaring di bawahnya. Napas mereka bertabrakan, panas, tak beraturan. Semua batas yang sempat ia pasang di kepalanya runtuh bersamaan dengan detak jantungnya yang menggila.Ia menyambar bibir Madeline.Ciuman itu bukan kelembutan—itu luapan dari marah, rindu, dan rasa bersalah yang tak bisa ia jelaskan.Madeline menegang di bawahnya. Jemarinya mencoba menolak, tapi Marcus menahan kedua tangannya di sisi kepala. Napas mereka saling bertubrukan, getir dan getir lagi.“Berhenti…” bisiknya di sela napas yang nyaris habis. Tapi suaranya terlalu pelan, kalah oleh degup yang menggila di dada mereka berdua.Marcus mendekat, menunduk di sisi telinganya. “Sampai kapan kamu pura-pura nggak tahu, Maddie?” suaranya rendah, serak, nyaris seperti desis. “Kamu pikir aku bisa berhenti setelah malam itu?”Madeline memejamkan mata. Ada panas di ujung matanya, bukan hanya karena takut—tapi karena kebingungan yang menyesakkan.Namun tiba-tiba, Marcus menghentikan dirinya se
Semua berawal sebulan lalu, saat Papa Marcus menikahi Mama Madeline.Sejak hari itu, segalanya menjadi rumit. Rumah yang dulu terasa seperti tempat aman, kini berubah menjadi medan penuh bisu dan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Madeline berusaha menganggap Marcus hanya sebagai kakak tiri—tetapi bayangan malam itu, ketika ia memeluknya di dapur gelap setelah hujan deras, masih menempel di kulit.“Marcus… Maddie… kenapa gelap sekali?” suara Hugo, Papa Marcus, terdengar dari ruang tamu. Langkah kakinya menabrak kursi karena lampu padam.Madeline menahan napas. Marcus masih menggenggam wajahnya, lalu—dengan keberanian yang gila—menyentuh bibirnya sekali lagi sebelum menjauh.Adrenalin Madeline berpacu. Dia tidak sadar apa yang baru saja dilakukan?“Kenapa gelap banget?” suara Sandra menyusul dari belakang.“Mati lampu, Pah. Ada pemadaman,” jawab Marcus santai. Nada suaranya seolah tak ada yang salah. Madeline tetap diam. Napasnya pendek, jantungnya seolah menendang dada.“Madie mana?”
“Mah, kenapa?” bahu Madeline menegang, tapi ia berusaha tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa.“Oh, enggak, tadi Mamah lupa ngomong,” ujar Sandra riang. “Sebagai tanda terima kasih, Paman David kasih voucher gratis buat glamping dua hari. Besok kan Sabtu, kalian libur kan? Bisa dong?”Madeline tercekat. Glamping? Dua hari. Berarti… dua puluh empat jam penuh di tempat yang sama dengan Marcus. Tidak ada ruang untuk bersembunyi.Marcus tersenyum samar saat menuruni tangga nyaris tak terlihat. “Tentu saja, Mah. Kita kan jarang quality time bareng.” Ia menoleh sekilas ke arah Madeline, matanya menelusuri wajah adiknya tanpa benar-benar tersenyum. “Bagus juga. Supaya kita bisa lebih… dekat. Benar, Maddie?” Nada suaranya datar, tapi penekanannya jelas. Hanya Madeline yang tahu maksudnya.Madeline menelan ludah, berusaha mempertahankan senyum. “Iy–iya, Mah…” Ia ingin menolak, tapi melihat wajah Mamanya yang penuh semangat, kata-katanya menguap begitu saja.Sandra tampak lega. “Syukurl