Share

Chapter 7

Author: kakakjutex
last update Huling Na-update: 2025-10-07 11:37:49

Gonggongan anjing yang berlari ke arahnya membuat Madeline menoleh cepat.

“DEREK!” jeritnya lega. Senyum langsung merekah di wajahnya saat melihat anjing kesayangannya muncul dari balik semak.

“Derek! Kamu kemana sih?! Jangan lari jauh-jauh, ya Tuhan… aku hampir gila nyariin kamu!” ia mengomel, tapi tetap memeluk tubuh anjing itu erat, menciumi kepalanya penuh sayang.

Marcus segera mengambil ponselnya. “Pah, Derek sudah ketemu. Aku sama Madeline akan balik ke dome,” katanya singkat.

Setelah mematikan panggilan, ia menatap langit yang mulai menggelap. “Kita balik sekarang, Maddie. Hari udah sore.”

Marcus meraih bahu Madeline, menuntunnya keluar dari hutan sebelum malam benar-benar turun.

----------

Tiga hari berlalu. Madeline kembali ke rutinitasnya di pet hotel miliknya, tempat yang kini jadi dunia kecilnya. Tawa dan gonggongan anjing memenuhi ruangan; aroma sabun dan bulu anjing yang lembap membuat suasana hangat sekaligus riuh.

Ia berjongkok, bermain dengan seekor Pomeranian kecil, ketika suara lonceng pintu berdenting. Gonggongan anjing serentak menggema, membuatnya menoleh. Seorang pria masuk, membawa anjing Terrier Yorkshire di pelukannya.

Madeline terpaku. Napasnya tercekat begitu melihat wajah itu.

“Martin?” suaranya nyaris hanya bisikan.

Pria di depannya pun sama terkejutnya. “Madeline?” Ia tersenyum kecil, sedikit canggung. “Lama tak berjumpa… gimana kabarmu?”

“Ak—aku baik,” jawab Madeline tergagap. Senyumnya kaku, jantungnya berdetak terlalu cepat.

Martin Narendra. Mantan kekasihnya semasa kuliah.

‘Kenapa harus ketemu di sini... sekarang…?’ batin Madeline bergemuruh.

Mata Martin menelusuri sekeliling ruangan sebelum akhirnya kembali menatap Madeline. Ada senyum tipis di sudut bibirnya.

“Kamu nggak berubah, ya?” katanya, diiringi tawa kecil.

Madeline mengerutkan alis. “Maksudmu?”

“Masih suka banget sama doggy. Bahkan dijadiin ladang cuan juga sekarang.”

“Hobi yang dibayar itu seru, tahu,” balas Madeline cepat, setengah defensif.

“See?” Martin terkekeh. “Masih sama. Masih pinter cari peluang.”

Tawa mereka pecah pelan—kaku di awal, tapi kemudian mencair. Untuk sesaat, terasa seolah mereka kembali ke masa lalu.

Martin memperhatikan wajah Madeline yang tertawa. Ada sesuatu di sana—hangat, lembut, tapi juga asing. Masih cantik… masih sama seperti dulu.

“Kamu sekarang kerja apa?” tanya Madeline, mencoba mengalihkan pandangan saat mendapati tatapan Martin terlalu lama berhenti padanya.

“Sekarang aku kebanyakan kerja dari rumah, sih. Web developer.”

“Wah, keren banget,” decaknya kagum, lalu terkekeh kecil. Ia ingat betul, Martin memang sudah gila coding sejak kuliah.

“Biasa aja,” Martin merendah, tapi senyum di wajahnya tidak benar-benar menghilang.

Madeline tertawa kecil. “Masih suka bilang gitu ya, padahal dulu nilai kamu paling tinggi satu angkatan.”

“Ah, itu dulu,” sahut Martin sambil mengangkat bahu. “Sekarang yang penting bisa makan dan bayar listrik.”

Madeline terkikik. “Pasti ya, hidup orang dewasa: bayar listrik, bayar air, bayar pajak…”

Martin menatapnya, senyumnya melebar. “Dan kamu sekarang bayar anjing?”

Madeline memutar mata. “Halah, aneh banget bahasanya. Aku ngerawat, bukan ‘bayar’.”

Mereka tertawa bersamaan, dan untuk sesaat suasana di antara mereka terasa ringan, seperti tak pernah ada masa lalu yang rumit.

“Eh, ngomong-ngomong,” Madeline berkata sambil menyeka tangannya dengan handuk kecil, “aku tuh lagi kepikiran pengen bikin website buat pet hotel ini. Tapi belum ngerti cara mulainya.”

Martin menegakkan tubuh. “Website?” matanya langsung berbinar. “Serius?”

Madeline mengangkat bahu santai. “Iya, cuma ide iseng aja sih. Biar pelanggan bisa booking online gitu. Tapi yaa, palingan aku cuma bisa bikin layout di Canva.”

“Canva?” Martin tertawa kecil. “Astaga, Madeline… itu mah bukan bikin website, itu bikin poster.”

“Hei!” Madeline memprotes sambil tersenyum. “Minimal niatnya udah ada dong.”

Martin mengangguk-angguk pura-pura serius. “Oke, aku akui niatmu luar biasa.” Ia lalu bersandar di meja belakang tubuhnya. “Tapi, gimana kalau aku bantuin?”

Madeline terdiam, menatapnya agak ragu. “Bantuin? Maksudnya... serius?”

“Tentu,” jawab Martin tanpa pikir panjang. “Aku bisa bantu bikin website-nya dari nol. Gampang kok. Sekalian aku juga lagi butuh project kecil buat tambahan portofolio ku.”

Madeline mengerjap beberapa kali, setengah tak percaya. “Martin, aku cuma bercanda, loh.”

“Terlambat. Aku udah keburu serius.” Ia tersenyum kecil, dengan nada lembut tapi tegas—seolah tak memberi ruang untuk penolakan.

Madeline tertawa gugup. “Aku nggak mau ganggu kamu, beneran. Aku cuma kepikiran iseng aja.”

“Maddie, aku bukan nolong kamu karena kasihan,” ucap Martin pelan tapi mantap. “Aku bantu karena aku mau.”

Kata-kata itu membuat Madeline terdiam sejenak. Ada sesuatu di nada suaranya—tenang, tulus, tapi juga memunculkan kenangan lama yang ia kira sudah lama terkubur.

Ia menunduk, pura-pura sibuk membenahi keranjang mainan anjing di lantai. “Kamu masih sama aja ya… kalau udah mau sesuatu, nggak bisa ditolak.”

Martin terkekeh pelan. “Kamu juga masih sama. Selalu mikir dulu sebelum bilang iya.”

Madeline mendongak, tatapan mereka bertemu. Sesaat tak ada yang bicara—hanya suara gonggongan kecil dan mesin pengering bulu yang berputar di belakang mereka.

“Baiklah,” akhirnya Madeline berkata pelan, mengalah. “Kalau kamu nggak keberatan, mungkin… kita bisa mulai dari ngumpulin foto dan data anjing-anjing dulu.”

Martin tersenyum—kali ini lebih lebar, lebih hangat. “Deal. Aku bantu. Tapi kamu yang traktir kopi.”

Madeline mendengus sambil menahan tawa. “Masih aja modus.”

“Modus? Enggak. Aku cuma tahu, kopi bikin ide jalan lancar.”

“Dan kamu yang minum kopi-nya sampai tiga gelas,” balas Madeline cepat.

Mereka kembali tertawa. Tapi tawa mereka terhenti saat suara lonceng pintu kembali berdenting. Gonggongan anjing menggema keras, membuat mereka berdua menoleh bersamaan.

Marcus berdiri di ambang pintu—memandang langsung ke arah mereka. Tatapannya gelap, rahangnya mengeras.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 26

    Kedua pria tampan yang pernah saling mencintai itu, kini memandang tajam satu sama lain. Sorot mata mereka jelas menyimpan amarah yang mereka pendam masing-masing. Mereka tidak mempedulikan keadaan sekitar mereka. Tidak juga peduli kepada pelayan yang segera berlari ketakutan setelah mengantarkan pesanan makanan milik Gavin. "Bukankah keterlaluan kalau kau juga menargetkan ibuku? " Marcus memandang Gavin dengan tatapan suram. Sementara Gavin hanya tersenyum miring mendengarnya, "Wanita itu adalah ibu Madeline, " suara Gavin terdengar dingin. "Perempuan yang merupakan selingkuhan kekasih ku sendiri. " "Gavin!!" Marcus membentak. Urat di pelipisnya terlihat menonjol, menunjukan seberapa kuat ia menahan emosinya agar tidak meledak. "Kau telah menyakiti hatiku, " tanpa mempedulikan amarah Marcus, Gavin tetap memandang pria di depannya datar. "Bukankah adil kalau aku juga mengacaukan hidup orang yang telah menjadi sumber dari rasa sakit hatiku? " Dengan raut wajah

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 25

    Gavin tersenyum miring, saat melihat pria di depannya menatapnya tajam. Dagunya bergerak menunjuk kursi yang tersedia. "Duduklah... " Marcus tetap tenang, ia duduk perlahan menatap datar seseorang dari masa lalunya ini. Tak ada getaran... Dulu saat mereka masih bersama, Marcus bisa merasakan kehangatan yang menyeruak di dadanya setiap kali mereka bertemu.. Sekarang pikiranya justru dipenuhi dengan senyuman manis milik Madeline. "Mengejutkan sekali, akhirnya kamu menelpon ku kembali setelah sekian lama.. " suara Gavin terdengar lembut, tapi siapapun yang mendengarnya dapat menangkap kegetiran yang ada. "Masa lalu adalah masa lalu... " Marcus tak ingin berkomentar banyak tentang hubungan mereka dulu. Baginya apa yang sudah berlalu adalah moment yang sudah terlewati. Tidak lebih. "Benar.. " Pandangan Gavin terlihat tenang saat menatapnya. "Aku sampai lupa, bahwa kita benar-benar sudah tak memiliki hubungan lagi.. " Itu adalah sindiran. Marcus menyadari bahwa mere

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 24

    Selama beberapa hari, Hugo dan Marcus telah berupaya menekan pendapat netizen yang terus menyerang Toko roti milik Sandra, dengan berbagai macam kecaman dan komentar negatif. Sedangkan, Sandra masih tidak berani melihat ponsel miliknya sejak berita itu meledak. Akhirnya, Madeline lah, yang mengambil alih untuk memberi pernyataan permintaan maaf, menggunakan sosial media bisnis milik Sandra guna mengurangi opini publik. Tapi entah bagaimana, berita ini terus meluas dan bahkan berberapa selebriti dan influencer kelas atas ikut membuka suara, mengomentari berita yang semakin viral. "@jxfoodies , laki-laki berusia 35 tahun, memiliki nama asli Galen Araka, belum menikah dan sudah menjalani profesinya sebagai food reviewer selama 2 tahun... " Rex Pranadipa, laki-laki berusia 28 tahun ini adalah asisten pribadi baru Marcus yang ia hire, guna mengurangi beban kerja yang semakin bertambah. Ia menyerahkan dokumen yang berisi data milik Galen yang sudah Marcus minta. Marcus memb

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 23

    Saat tiba dirumah, Madeline segera membuka pintu rumahnya, ia masuk disusul Gavin yang berjalan dibelakangnya. "Mah..., " Sandra yang tengah menonton televisi menoleh. Saat melihat putrinya yang memanggil, senyum tipis tersungging di bibirnya. Wajahnya masih pucat. Lingkaran hitam di bawah matanya membuat kondisi Sandra terlihat kian suram. "Tante..., " Gavin menganggukan kepalanya, menyapa dengan sopan. Senyum Sandra semakin melebar saat melihat seseorang yang ia tahu sebagai sahabat putranya juga datang. Kedua tangan Gavin membawa bunga yang telah ia pesan dan buah-buahan yang telah Madeline beli di supermarket saat mereka bertemu tadi. "Gavin.. masuk, nak," Sandra menyambut ramah. "Bunga yang cantik untuk wanita yang hebat." Gavin memberikan bunga di tangannya dengan gestur membungkuk. Sandra tertawa dibuatnya. "Cantik sekali.. " Sandra melihat bunga di tangannya. Sejenak, ia mengernyit saat melihat bunga berwarna merah tua dipadu dengan warna kuning yan

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 22

    Gavin memarkirkan mobilnya dengan mulus. Pria itu turun dan dengan cepat berputar membuka pintu samping mobilnya, tempat dimana Madeline duduk. "Ayo turun, " Gavin tersenyum ramah. Tertegun sebentar, Madeline mencoba mengulas senyum. Gadis itu turun, dan mereka berjalan beriringan memasuki toko florist yang dituju. Madeline mencoba menenangkan dirinya. Walaupun masih canggung, tapi Gavin tidak menunjukkan gerakan yang mengintimidasi seperti sebelumnya. Aroma mawar segar menyambut mereka saat pintu kaca terbuka. Rak-rak penuh bunga berdiri rapi, dengan warna-warna lembut yang menenangkan mata. "Selamat Datang di Velvet Rose, ada yang bisa saya bantu kak? " Seorang pramuniaga yang bertugas menyambut dengan antusias saat Gavin dan Madeline melangkah masuk. Gavin memandang deretan bunga yang berjajar rapi. Kepalanya menoleh melihat pramuniaga yang masih senantiasa berdiri, siap untuk melayani. "Aku ingin campuran rangkaian bunga Dahlia hitam dan Hyacinth kuning, tolo

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 21

    Madeline menimbang apel di tangannya. Matanya dengan jeli melihat buah itu dengan cermat. "Coba tekan apelnya dengan lembut. Jika terasa keras dan padat, itu kualitas apel yang bagus. " Suara berat di belakangnya, mengejutkan Madeline. Gadis itu membalikkan tubuhnya, melihat siapa yang berbicara. "Kak.. Gavin?"" suara Madeline terdengar ragu. Gavin melangkah mendekat, tangannya dengan lihai memilih beberapa apel di depannya dengan teliti. Tangannya sigap memasukannya dalam plastik yang tersedia dan menimbangnya. "Apel-apel ini sudah ku pilihkan, ambilah.. " tangan pria itu menyodorkannya ke Madeline. Madeline terdiam menatapnya sesaat, tapi tangannya tetap terulur mengambilnya. "Makasih kak.. " mencoba bersikap biasa, gadis itu tersenyum melihat Gavin yang memandangnya. Gavin tersenyum, raut wajahnya terlihat sangat tenang. "Kamu sangat menyukai buah? " mata pria itu melirik ke dalam troli Madeline yang berisi beberapa buah di dalamnya. Madeline tersenyum

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status