Gonggongan anjing yang berlari ke arahnya membuat Madeline menoleh cepat.
“DEREK!” jeritnya lega. Senyum langsung merekah di wajahnya saat melihat anjing kesayangannya muncul dari balik semak. “Derek! Kamu kemana sih?! Jangan lari jauh-jauh, ya Tuhan… aku hampir gila nyariin kamu!” ia mengomel, tapi tetap memeluk tubuh anjing itu erat, menciumi kepalanya penuh sayang. Marcus segera mengambil ponselnya. “Pah, Derek sudah ketemu. Aku sama Madeline akan balik ke dome,” katanya singkat. Setelah mematikan panggilan, ia menatap langit yang mulai menggelap. “Kita balik sekarang, Maddie. Hari udah sore.” Marcus meraih bahu Madeline, menuntunnya keluar dari hutan sebelum malam benar-benar turun. ---------- Tiga hari berlalu. Madeline kembali ke rutinitasnya di pet hotel miliknya, tempat yang kini jadi dunia kecilnya. Tawa dan gonggongan anjing memenuhi ruangan; aroma sabun dan bulu anjing yang lembap membuat suasana hangat sekaligus riuh. Ia berjongkok, bermain dengan seekor Pomeranian kecil, ketika suara lonceng pintu berdenting. Gonggongan anjing serentak menggema, membuatnya menoleh. Seorang pria masuk, membawa anjing Terrier Yorkshire di pelukannya. Madeline terpaku. Napasnya tercekat begitu melihat wajah itu. “Martin?” suaranya nyaris hanya bisikan. Pria di depannya pun sama terkejutnya. “Madeline?” Ia tersenyum kecil, sedikit canggung. “Lama tak berjumpa… gimana kabarmu?” “Ak—aku baik,” jawab Madeline tergagap. Senyumnya kaku, jantungnya berdetak terlalu cepat. Martin Narendra. Mantan kekasihnya semasa kuliah. ‘Kenapa harus ketemu di sini... sekarang…?’ batin Madeline bergemuruh. Mata Martin menelusuri sekeliling ruangan sebelum akhirnya kembali menatap Madeline. Ada senyum tipis di sudut bibirnya. “Kamu nggak berubah, ya?” katanya, diiringi tawa kecil. Madeline mengerutkan alis. “Maksudmu?” “Masih suka banget sama doggy. Bahkan dijadiin ladang cuan juga sekarang.” “Hobi yang dibayar itu seru, tahu,” balas Madeline cepat, setengah defensif. “See?” Martin terkekeh. “Masih sama. Masih pinter cari peluang.” Tawa mereka pecah pelan—kaku di awal, tapi kemudian mencair. Untuk sesaat, terasa seolah mereka kembali ke masa lalu. Martin memperhatikan wajah Madeline yang tertawa. Ada sesuatu di sana—hangat, lembut, tapi juga asing. Masih cantik… masih sama seperti dulu. “Kamu sekarang kerja apa?” tanya Madeline, mencoba mengalihkan pandangan saat mendapati tatapan Martin terlalu lama berhenti padanya. “Sekarang aku kebanyakan kerja dari rumah, sih. Web developer.” “Wah, keren banget,” decaknya kagum, lalu terkekeh kecil. Ia ingat betul, Martin memang sudah gila coding sejak kuliah. “Biasa aja,” Martin merendah, tapi senyum di wajahnya tidak benar-benar menghilang. Madeline tertawa kecil. “Masih suka bilang gitu ya, padahal dulu nilai kamu paling tinggi satu angkatan.” “Ah, itu dulu,” sahut Martin sambil mengangkat bahu. “Sekarang yang penting bisa makan dan bayar listrik.” Madeline terkikik. “Pasti ya, hidup orang dewasa: bayar listrik, bayar air, bayar pajak…” Martin menatapnya, senyumnya melebar. “Dan kamu sekarang bayar anjing?” Madeline memutar mata. “Halah, aneh banget bahasanya. Aku ngerawat, bukan ‘bayar’.” Mereka tertawa bersamaan, dan untuk sesaat suasana di antara mereka terasa ringan, seperti tak pernah ada masa lalu yang rumit. “Eh, ngomong-ngomong,” Madeline berkata sambil menyeka tangannya dengan handuk kecil, “aku tuh lagi kepikiran pengen bikin website buat pet hotel ini. Tapi belum ngerti cara mulainya.” Martin menegakkan tubuh. “Website?” matanya langsung berbinar. “Serius?” Madeline mengangkat bahu santai. “Iya, cuma ide iseng aja sih. Biar pelanggan bisa booking online gitu. Tapi yaa, palingan aku cuma bisa bikin layout di Canva.” “Canva?” Martin tertawa kecil. “Astaga, Madeline… itu mah bukan bikin website, itu bikin poster.” “Hei!” Madeline memprotes sambil tersenyum. “Minimal niatnya udah ada dong.” Martin mengangguk-angguk pura-pura serius. “Oke, aku akui niatmu luar biasa.” Ia lalu bersandar di meja belakang tubuhnya. “Tapi, gimana kalau aku bantuin?” Madeline terdiam, menatapnya agak ragu. “Bantuin? Maksudnya... serius?” “Tentu,” jawab Martin tanpa pikir panjang. “Aku bisa bantu bikin website-nya dari nol. Gampang kok. Sekalian aku juga lagi butuh project kecil buat tambahan portofolio ku.” Madeline mengerjap beberapa kali, setengah tak percaya. “Martin, aku cuma bercanda, loh.” “Terlambat. Aku udah keburu serius.” Ia tersenyum kecil, dengan nada lembut tapi tegas—seolah tak memberi ruang untuk penolakan. Madeline tertawa gugup. “Aku nggak mau ganggu kamu, beneran. Aku cuma kepikiran iseng aja.” “Maddie, aku bukan nolong kamu karena kasihan,” ucap Martin pelan tapi mantap. “Aku bantu karena aku mau.” Kata-kata itu membuat Madeline terdiam sejenak. Ada sesuatu di nada suaranya—tenang, tulus, tapi juga memunculkan kenangan lama yang ia kira sudah lama terkubur. Ia menunduk, pura-pura sibuk membenahi keranjang mainan anjing di lantai. “Kamu masih sama aja ya… kalau udah mau sesuatu, nggak bisa ditolak.” Martin terkekeh pelan. “Kamu juga masih sama. Selalu mikir dulu sebelum bilang iya.” Madeline mendongak, tatapan mereka bertemu. Sesaat tak ada yang bicara—hanya suara gonggongan kecil dan mesin pengering bulu yang berputar di belakang mereka. “Baiklah,” akhirnya Madeline berkata pelan, mengalah. “Kalau kamu nggak keberatan, mungkin… kita bisa mulai dari ngumpulin foto dan data anjing-anjing dulu.” Martin tersenyum—kali ini lebih lebar, lebih hangat. “Deal. Aku bantu. Tapi kamu yang traktir kopi.” Madeline mendengus sambil menahan tawa. “Masih aja modus.” “Modus? Enggak. Aku cuma tahu, kopi bikin ide jalan lancar.” “Dan kamu yang minum kopi-nya sampai tiga gelas,” balas Madeline cepat. Mereka kembali tertawa. Tapi tawa mereka terhenti saat suara lonceng pintu kembali berdenting. Gonggongan anjing menggema keras, membuat mereka berdua menoleh bersamaan. Marcus berdiri di ambang pintu—memandang langsung ke arah mereka. Tatapannya gelap, rahangnya mengeras.Jemari Marcus mengepal kencang. Tapi seperti biasa, ia lihai untuk mengendalikan emosi nya. Wajahnya tetap tenang. Tapi aura ancaman keluar dari tubuhnya. "Marcus?" Madeline terkejut saat melihatnya tiba di pet hotelnya. Martin menoleh, keningnya berkerut saat seorang pria tiba dan mentapnya tajam. "Lihat siapa ini?" senyum miring pria itu terlihat samar, langkahnya perlahan mendekati 'kelinci kecilnya'. "Kak... ini temanku Martin," Madeline buru-buru menjelaskan. "Martin, teman kuliah Madeline" tangannya terulur kepada Marcus yang menatapnya intens. "Marcus..." tangannya menjabat erat Martin. Terlalu erat. Martin menatap mata Marcus. Ia bisa merasakan ketidaksukaan dari tatapannya. "Maddie... aku titip Zico ya," sambil menyerahkan anjingnya. "Martin, aku isi formulirnya dulu ya sebentar..." Madeline bisa merasakan ketegangan diantara dua pria yang sedang berhadapan. Ia berlalu bersama Zico dalam pelukannya. "Jadi teman kuliah?" Marcus membuka suara. "Ya, kam
Gonggongan anjing yang berlari ke arahnya membuat Madeline menoleh cepat. “DEREK!” jeritnya lega. Senyum langsung merekah di wajahnya saat melihat anjing kesayangannya muncul dari balik semak. “Derek! Kamu kemana sih?! Jangan lari jauh-jauh, ya Tuhan… aku hampir gila nyariin kamu!” ia mengomel, tapi tetap memeluk tubuh anjing itu erat, menciumi kepalanya penuh sayang. Marcus segera mengambil ponselnya. “Pah, Derek sudah ketemu. Aku sama Madeline akan balik ke dome,” katanya singkat. Setelah mematikan panggilan, ia menatap langit yang mulai menggelap. “Kita balik sekarang, Maddie. Hari udah sore.” Marcus meraih bahu Madeline, menuntunnya keluar dari hutan sebelum malam benar-benar turun. ---------- Tiga hari berlalu. Madeline kembali ke rutinitasnya di pet hotel miliknya, tempat yang kini jadi dunia kecilnya. Tawa dan gonggongan anjing memenuhi ruangan; aroma sabun dan bulu anjing yang lembap membuat suasana hangat sekaligus riuh. Ia berjongkok, bermain dengan seekor Po
Marcus memegang kaki kanannya yang terkilir. “Ah…” rintihannya pecah, wajahnya menegang menahan sakit.Sial! Sakit sekali… batin lelaki itu mengumpat.Madeline panik menghampirinya, tangisnya kembali pecah. Perasaannya bercampur aduk—takut kehilangan Derek sekaligus khawatir melihat Marcus meringis begitu. “Kak, kaki kamu berdarah!” suaranya bergetar. Dengan tangan gemetar, ia merobek kaos yang dipakainya, lalu membalut luka Marcus dengan hati-hati.“Gapapa.” Marcus hanya terdiam, matanya menatap setiap gerakan Madeline. Tiba-tiba tangannya terulur, menyentuh lembut wajah gadis itu. “Jangan menangis lagi,” ucapnya pelan, namun mantap.Madeline terhenti. Napasnya tercekat, matanya terkunci pada tatapan pria itu—hangat, intens, seakan mampu menelan seluruh keresahannya. Ia ingin berpaling, tapi tubuhnya membeku.Sampai rintihan Marcus kembali terdengar. Sontak Madeline sadar, buru-buru menopang tubuhnya. “Kak… aku bantu berdiri ya.” Ia menuntun tangan Marcus melingkar di lehernya, la
Marcus menatap Madeline yang terbaring di bawahnya. Napas mereka bertabrakan, panas, tak beraturan. Semua batas yang sempat ia pasang di kepalanya runtuh bersamaan dengan detak jantungnya yang menggila.Ia menyambar bibir Madeline.Ciuman itu bukan kelembutan—itu luapan dari marah, rindu, dan rasa bersalah yang tak bisa ia jelaskan.Madeline menegang di bawahnya. Jemarinya mencoba menolak, tapi Marcus menahan kedua tangannya di sisi kepala. Napas mereka saling bertubrukan, getir dan getir lagi.“Berhenti…” bisiknya di sela napas yang nyaris habis. Tapi suaranya terlalu pelan, kalah oleh degup yang menggila di dada mereka berdua.Marcus mendekat, menunduk di sisi telinganya. “Sampai kapan kamu pura-pura nggak tahu, Maddie?” suaranya rendah, serak, nyaris seperti desis. “Kamu pikir aku bisa berhenti setelah malam itu?”Madeline memejamkan mata. Ada panas di ujung matanya, bukan hanya karena takut—tapi karena kebingungan yang menyesakkan.Namun tiba-tiba, Marcus menghentikan dirinya se
Semua berawal sebulan lalu, saat Papa Marcus menikahi Mama Madeline.Sejak hari itu, segalanya menjadi rumit. Rumah yang dulu terasa seperti tempat aman, kini berubah menjadi medan penuh bisu dan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Madeline berusaha menganggap Marcus hanya sebagai kakak tiri—tetapi bayangan malam itu, ketika ia memeluknya di dapur gelap setelah hujan deras, masih menempel di kulit.“Marcus… Maddie… kenapa gelap sekali?” suara Hugo, Papa Marcus, terdengar dari ruang tamu. Langkah kakinya menabrak kursi karena lampu padam.Madeline menahan napas. Marcus masih menggenggam wajahnya, lalu—dengan keberanian yang gila—menyentuh bibirnya sekali lagi sebelum menjauh.Adrenalin Madeline berpacu. Dia tidak sadar apa yang baru saja dilakukan?“Kenapa gelap banget?” suara Sandra menyusul dari belakang.“Mati lampu, Pah. Ada pemadaman,” jawab Marcus santai. Nada suaranya seolah tak ada yang salah. Madeline tetap diam. Napasnya pendek, jantungnya seolah menendang dada.“Madie mana?”
“Mah, kenapa?” bahu Madeline menegang, tapi ia berusaha tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa.“Oh, enggak, tadi Mamah lupa ngomong,” ujar Sandra riang. “Sebagai tanda terima kasih, Paman David kasih voucher gratis buat glamping dua hari. Besok kan Sabtu, kalian libur kan? Bisa dong?”Madeline tercekat. Glamping? Dua hari. Berarti… dua puluh empat jam penuh di tempat yang sama dengan Marcus. Tidak ada ruang untuk bersembunyi.Marcus tersenyum samar saat menuruni tangga nyaris tak terlihat. “Tentu saja, Mah. Kita kan jarang quality time bareng.” Ia menoleh sekilas ke arah Madeline, matanya menelusuri wajah adiknya tanpa benar-benar tersenyum. “Bagus juga. Supaya kita bisa lebih… dekat. Benar, Maddie?” Nada suaranya datar, tapi penekanannya jelas. Hanya Madeline yang tahu maksudnya.Madeline menelan ludah, berusaha mempertahankan senyum. “Iy–iya, Mah…” Ia ingin menolak, tapi melihat wajah Mamanya yang penuh semangat, kata-katanya menguap begitu saja.Sandra tampak lega. “Syukurl