Mereka bukan saudara kandung. Hanya terikat oleh pernikahan orang tua mereka. Selama bertahun-tahun, Madeline Adinata dan Marcus Pratama Putra hidup di bawah satu atap tanpa pernah benar-benar saling berbicara. Bagi Madeline, kakak tirinya itu hanya sosok asing yang dingin dan… berbeda. Hingga malam itu terjadi. Malam ketika alkohol menghapus batasan. Malam ketika sebuah kesalahan mengikat mereka dalam rahasia gelap yang tak seharusnya ada. Marcus selalu yakin dirinya gay. Selalu. Sampai ciuman itu membuatnya ragu pada segalanya. Apakah ia hanya tersesat? Atau sebenarnya, hatinya selama ini menunggu seseorang yang tak pernah ia bayangkan—adik tirinya sendiri? Sejak malam itu, Madeline merasa diawasi. Kakaknya mulai hadir di setiap ruang hidupnya. Cemburu. Menuntut. Menjadi bayangan yang tak bisa ia hindari. Mereka tahu hubungan ini salah. Mereka tahu dunia tidak akan pernah menerima. Tapi bagaimana jika satu kesalahan justru menjadi sesuatu yang tak bisa mereka lepaskan? WARNING 21+ MATURE
더 보기Madeline tidak percaya dengan kebodohannya sendiri malam itu. Pulang dalam keadaan mabuk adalah keputusan paling bodoh yang pernah ia buat.
Seandainya ia tetap menolak ajakan teman-temannya untuk minum, mungkin hidupnya masih berjalan normal—tanpa perlu menanggung rasa malu dan penyesalan sebesar ini.
Aroma alkohol menguar tajam dari tubuhnya ketika ia hampir terjatuh di depan pintu rumah. Tubuhnya limbung, tapi tangan kuat seseorang menahan pinggangnya dengan sigap.
“Hei…” gumam Madeline sambil terkikik. Tatapannya buram, tapi sosok di hadapannya jelas—Marcus. Kakak tirinya.
“Kamu bau, Madeline.” Suara Marcus datar, berat. “Apa yang kamu minum?”
“Masa sih?” Madeline mendongak, mencoba fokus pada wajah Marcus. “Kamu… ganteng banget ya ternyata,” ujarnya sembarangan, lalu tertawa kecil.
Marcus mendengus pelan. Ia memapah tubuh Madeline masuk, langkahnya mantap meski adik tirinya terus meronta. “Berhenti, kamu mau jatuh.”
Namun Madeline justru menepis tangannya. “Lepas, aku bisa jalan sendiri!”
“Madeline!” Nada suara Marcus meninggi, membuat gadis itu terdiam seketika.
Mereka saling menatap lama—Marcus dengan rahang menegang, Madeline dengan mata berkaca-kaca entah karena alkohol atau rasa bersalah yang samar. Lalu, dalam satu detik yang tak bisa dijelaskan, Madeline berjingkat dan menempelkan bibirnya ke bibir Marcus.
Tubuh Marcus sontak membeku. Ia sempat berpikir Madeline hanya salah langkah, tapi ciuman itu terlalu nyata, terlalu lama.
Refleks, Marcus mendorong bahunya keras. “Kamu gila?!”
Madeline terhuyung, tapi matanya justru menatap Marcus dengan bingung. “Kamu nggak suka, Kak?”
Marcus tidak menjawab. Nafasnya memburu. Amarah dan ketidakpercayaan bercampur jadi satu. Sebelum sempat ia menghardik lagi, Madeline sudah jatuh lunglai di dadanya—pingsan.
Marcus berdiri kaku beberapa detik sebelum akhirnya menggendong tubuh ringan itu masuk ke kamar. Ia membaringkannya perlahan di atas ranjang, menatap wajah polos yang tertidur tanpa sadar.
“Bodoh,” gumamnya pelan, tapi nada suaranya tak sekeras tadi. Ada sesuatu yang menggelitik di dada—rasa yang seharusnya tak boleh muncul. Ia memalingkan wajah, menarik napas panjang, lalu meninggalkan kamar itu dalam diam.
-------------------
Pagi datang bersama rasa sakit di kepala.
Madeline mengerang pelan, menutup mata saat cahaya menembus tirai kamarnya. Ia bangun perlahan, menemukan segelas air dan dua butir aspirin di nakas. Seseorang menaruhnya di sana—dan ia tahu siapa pelakunya.
“Oh Tuhan…” desahnya sambil menatap kosong. Ingatan samar dari malam sebelumnya mulai muncul, membuatnya ingin mengubur diri hidup-hidup.
Gonggongan dua Daschund kecilnya memecah keheningan. Daisy dan Derek menggonggong riang di depan pintu, seolah menuntut sarapan. Madeline tersenyum tipis, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar canggung.
Ia menurunkan kaki ke lantai, hendak membuka pintu. Tapi langkahnya berhenti. Bagaimana kalau Marcus masih di luar? Ia belum siap menatap wajah kakaknya setelah… kejadian itu.
Namun suara berat di belakang tubuhnya membuat darahnya berhenti mengalir.
“Sudah bangun, kelinci kecil?”
Madeline berbalik perlahan. Marcus berdiri bersandar di kusen pintu, tangan terlipat di dada, pandangannya tajam dan sulit dibaca.
“Mau… mau ngapain kamu di sini?” Madeline tergagap.
Marcus mencondongkan tubuh sedikit. “Sudahkah pikiran warasmu kembali?”
“Aku—aku minta maaf,” ucap Madeline cepat. “Aku mabuk, Kak. Aku nggak sadar apa yang aku lakukan.”
“Tentu saja,” dengus Marcus dingin.
Madeline menggigit bibirnya, lalu menatap Marcus memohon. “Tolong rahasiakan ini dari Mamah dan Papah, ya? Aku janji, nggak akan terulang lagi.”
Marcus tidak menjawab. Ia justru melangkah maju, langkahnya pelan tapi mengancam. Madeline mundur sampai punggungnya menempel ke dinding. Nafasnya tercekat.
Marcus menunduk sedikit, menatapnya dari jarak yang terlalu dekat. “Kamu mau melupakannya begitu saja?”
Madeline membeku. “Aku mabuk, Kak. Aku nggak ingat apa-apa.”
Rahang Marcus mengeras. Tangannya terulur, mencengkeram dagu Madeline agar menatapnya. “Aku ingat,” ucapnya rendah. “Dan aku… nggak mau melupakannya.”
Madeline terpaku, jantungnya berdegup liar.
Marcus menatapnya dalam, suaranya nyaris berbisik. “Jadi jangan minta aku pura-pura tidak terjadi apa-apa, Madeline.”
Senyum tipis namun berbahaya terbit di sudut bibirnya. “Karena mungkin… aku menyukainya.”
Jemari Marcus mengepal kencang. Tapi seperti biasa, ia lihai untuk mengendalikan emosi nya. Wajahnya tetap tenang. Tapi aura ancaman keluar dari tubuhnya. "Marcus?" Madeline terkejut saat melihatnya tiba di pet hotelnya. Martin menoleh, keningnya berkerut saat seorang pria tiba dan mentapnya tajam. "Lihat siapa ini?" senyum miring pria itu terlihat samar, langkahnya perlahan mendekati 'kelinci kecilnya'. "Kak... ini temanku Martin," Madeline buru-buru menjelaskan. "Martin, teman kuliah Madeline" tangannya terulur kepada Marcus yang menatapnya intens. "Marcus..." tangannya menjabat erat Martin. Terlalu erat. Martin menatap mata Marcus. Ia bisa merasakan ketidaksukaan dari tatapannya. "Maddie... aku titip Zico ya," sambil menyerahkan anjingnya. "Martin, aku isi formulirnya dulu ya sebentar..." Madeline bisa merasakan ketegangan diantara dua pria yang sedang berhadapan. Ia berlalu bersama Zico dalam pelukannya. "Jadi teman kuliah?" Marcus membuka suara. "Ya, kam
Gonggongan anjing yang berlari ke arahnya membuat Madeline menoleh cepat. “DEREK!” jeritnya lega. Senyum langsung merekah di wajahnya saat melihat anjing kesayangannya muncul dari balik semak. “Derek! Kamu kemana sih?! Jangan lari jauh-jauh, ya Tuhan… aku hampir gila nyariin kamu!” ia mengomel, tapi tetap memeluk tubuh anjing itu erat, menciumi kepalanya penuh sayang. Marcus segera mengambil ponselnya. “Pah, Derek sudah ketemu. Aku sama Madeline akan balik ke dome,” katanya singkat. Setelah mematikan panggilan, ia menatap langit yang mulai menggelap. “Kita balik sekarang, Maddie. Hari udah sore.” Marcus meraih bahu Madeline, menuntunnya keluar dari hutan sebelum malam benar-benar turun. ---------- Tiga hari berlalu. Madeline kembali ke rutinitasnya di pet hotel miliknya, tempat yang kini jadi dunia kecilnya. Tawa dan gonggongan anjing memenuhi ruangan; aroma sabun dan bulu anjing yang lembap membuat suasana hangat sekaligus riuh. Ia berjongkok, bermain dengan seekor Po
Marcus memegang kaki kanannya yang terkilir. “Ah…” rintihannya pecah, wajahnya menegang menahan sakit.Sial! Sakit sekali… batin lelaki itu mengumpat.Madeline panik menghampirinya, tangisnya kembali pecah. Perasaannya bercampur aduk—takut kehilangan Derek sekaligus khawatir melihat Marcus meringis begitu. “Kak, kaki kamu berdarah!” suaranya bergetar. Dengan tangan gemetar, ia merobek kaos yang dipakainya, lalu membalut luka Marcus dengan hati-hati.“Gapapa.” Marcus hanya terdiam, matanya menatap setiap gerakan Madeline. Tiba-tiba tangannya terulur, menyentuh lembut wajah gadis itu. “Jangan menangis lagi,” ucapnya pelan, namun mantap.Madeline terhenti. Napasnya tercekat, matanya terkunci pada tatapan pria itu—hangat, intens, seakan mampu menelan seluruh keresahannya. Ia ingin berpaling, tapi tubuhnya membeku.Sampai rintihan Marcus kembali terdengar. Sontak Madeline sadar, buru-buru menopang tubuhnya. “Kak… aku bantu berdiri ya.” Ia menuntun tangan Marcus melingkar di lehernya, la
Marcus menatap Madeline yang terbaring di bawahnya. Napas mereka bertabrakan, panas, tak beraturan. Semua batas yang sempat ia pasang di kepalanya runtuh bersamaan dengan detak jantungnya yang menggila.Ia menyambar bibir Madeline.Ciuman itu bukan kelembutan—itu luapan dari marah, rindu, dan rasa bersalah yang tak bisa ia jelaskan.Madeline menegang di bawahnya. Jemarinya mencoba menolak, tapi Marcus menahan kedua tangannya di sisi kepala. Napas mereka saling bertubrukan, getir dan getir lagi.“Berhenti…” bisiknya di sela napas yang nyaris habis. Tapi suaranya terlalu pelan, kalah oleh degup yang menggila di dada mereka berdua.Marcus mendekat, menunduk di sisi telinganya. “Sampai kapan kamu pura-pura nggak tahu, Maddie?” suaranya rendah, serak, nyaris seperti desis. “Kamu pikir aku bisa berhenti setelah malam itu?”Madeline memejamkan mata. Ada panas di ujung matanya, bukan hanya karena takut—tapi karena kebingungan yang menyesakkan.Namun tiba-tiba, Marcus menghentikan dirinya se
Semua berawal sebulan lalu, saat Papa Marcus menikahi Mama Madeline.Sejak hari itu, segalanya menjadi rumit. Rumah yang dulu terasa seperti tempat aman, kini berubah menjadi medan penuh bisu dan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Madeline berusaha menganggap Marcus hanya sebagai kakak tiri—tetapi bayangan malam itu, ketika ia memeluknya di dapur gelap setelah hujan deras, masih menempel di kulit.“Marcus… Maddie… kenapa gelap sekali?” suara Hugo, Papa Marcus, terdengar dari ruang tamu. Langkah kakinya menabrak kursi karena lampu padam.Madeline menahan napas. Marcus masih menggenggam wajahnya, lalu—dengan keberanian yang gila—menyentuh bibirnya sekali lagi sebelum menjauh.Adrenalin Madeline berpacu. Dia tidak sadar apa yang baru saja dilakukan?“Kenapa gelap banget?” suara Sandra menyusul dari belakang.“Mati lampu, Pah. Ada pemadaman,” jawab Marcus santai. Nada suaranya seolah tak ada yang salah. Madeline tetap diam. Napasnya pendek, jantungnya seolah menendang dada.“Madie mana?”
“Mah, kenapa?” bahu Madeline menegang, tapi ia berusaha tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa.“Oh, enggak, tadi Mamah lupa ngomong,” ujar Sandra riang. “Sebagai tanda terima kasih, Paman David kasih voucher gratis buat glamping dua hari. Besok kan Sabtu, kalian libur kan? Bisa dong?”Madeline tercekat. Glamping? Dua hari. Berarti… dua puluh empat jam penuh di tempat yang sama dengan Marcus. Tidak ada ruang untuk bersembunyi.Marcus tersenyum samar saat menuruni tangga nyaris tak terlihat. “Tentu saja, Mah. Kita kan jarang quality time bareng.” Ia menoleh sekilas ke arah Madeline, matanya menelusuri wajah adiknya tanpa benar-benar tersenyum. “Bagus juga. Supaya kita bisa lebih… dekat. Benar, Maddie?” Nada suaranya datar, tapi penekanannya jelas. Hanya Madeline yang tahu maksudnya.Madeline menelan ludah, berusaha mempertahankan senyum. “Iy–iya, Mah…” Ia ingin menolak, tapi melihat wajah Mamanya yang penuh semangat, kata-katanya menguap begitu saja.Sandra tampak lega. “Syukurl
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글