Share

Chapter 5

Author: kakakjutex
last update Last Updated: 2025-10-07 11:19:21

Marcus menatap Madeline yang terbaring di bawahnya. Napas mereka bertabrakan, panas, tak beraturan. Semua batas yang sempat ia pasang di kepalanya runtuh bersamaan dengan detak jantungnya yang menggila.

Ia menyambar bibir Madeline.

Ciuman itu bukan kelembutan—itu luapan dari marah, rindu, dan rasa bersalah yang tak bisa ia jelaskan.

Madeline menegang di bawahnya. Jemarinya mencoba menolak, tapi Marcus menahan kedua tangannya di sisi kepala. Napas mereka saling bertubrukan, getir dan getir lagi.

“Berhenti…” bisiknya di sela napas yang nyaris habis. Tapi suaranya terlalu pelan, kalah oleh degup yang menggila di dada mereka berdua.

Marcus mendekat, menunduk di sisi telinganya.

“Sampai kapan kamu pura-pura nggak tahu, Maddie?” suaranya rendah, serak, nyaris seperti desis.

 “Kamu pikir aku bisa berhenti setelah malam itu?”

Madeline memejamkan mata. Ada panas di ujung matanya, bukan hanya karena takut—tapi karena kebingungan yang menyesakkan.

Namun tiba-tiba, Marcus menghentikan dirinya sendiri. Ia bangkit, memalingkan wajah, napasnya berat. “Sial.” Tangannya menekan pelipisnya kuat-kuat. “Aku nggak seharusnya—”

Kalimatnya menggantung di udara.

Madeline masih terbaring, tubuhnya bergetar, bibirnya basah air mata.

Marcus berbalik singkat. “Rapikan dirimu. Sebelum mereka kembali.”

Nada suaranya dingin, tapi pandangan matanya goyah. Ia melangkah ke kamar mandi, meninggalkan Madeline sendirian di ruangan yang masih bergetar oleh sisa ketegangan.

Madeline menatap bayangannya di cermin kecil di dinding dome. Wajah itu bukan lagi dirinya yang tadi pagi. “Aku benar-benar sudah gila,” gumamnya lirih.

Ketukan pintu membuatnya tersentak.

“Marcus? Madeline?” suara Sandra dari luar. “Kenapa dikunci?”

Madeline buru-buru membuka pintu. Kedua orang tua mereka berdiri di depan pintu, Hugo menatap curiga.

“Kamu menangis?” tanyanya, keningnya berkerut.

Madeline cepat-cepat menggeleng. “Cuma kedinginan, Pah.”

Pintu kamar mandi terbuka. Marcus keluar dengan rambut basah, wajahnya datar seperti biasa. “Ada apa?”

Sandra menatapnya sebentar, lalu menghela napas lega. “Untung nggak apa-apa. Listrik dome sebelah sempat korslet.”

Marcus tersenyum samar. “Maddie ketakutan, mungkin terlalu lama di luar.”

Sandra mengangguk, lalu menepuk bahu Madeline. “Malam ini kamu tidur sama Mama, ya. Biar Papa dan Marcus di sini.”

Madeline hanya menunduk, mengikuti langkah Mamanya pergi. Marcus menatap punggungnya lama, tapi tak berkata apa-apa.

Udara gunung masih menusuk dingin. Embun menggantung di dedaunan pinus.

Madeline menuntun dua anjing kesayangannya, Derek dan Daisy, ke tepi sungai kecil. Suara gemericik air memberi ketenangan semu—sampai Derek tiba-tiba menggonggong dan melesat masuk ke dalam semak.

“DEREK! SINI!” jerit Madeline panik.

Sandra dan Hugo yang baru keluar tenda langsung menghampiri. “Ada apa, sayang?”

“Derek ngejar tupai ke hutan!” suara Madeline bergetar, nyaris menangis.

Marcus yang ikut mendekat menatap arah hutan. “Kita cari. Papa Mama lewat kanan, aku dan Maddie ke jalur kiri.”

Hugo mengangguk cepat. “Baik. Hati-hati.”

Madeline masih menangis kecil, tapi mengikuti Marcus yang melangkah lebih dulu ke jalur setapak. Daun kering berderak di bawah sepatu mereka, udara lembap mulai menyesap kulit.

“DEREEKKK!” panggil Madeline sambil terisak.

Marcus menoleh, lalu tanpa pikir menggenggam tangannya. “Jangan lepas.”

Madeline terkejut, tapi genggamannya terasa kokoh—hangat, menenangkan dalam cara yang aneh.

“Derek akan ketemu,” katanya pelan. “Aku janji.”

Madeline mengangguk, menatap jemari mereka yang masih bertaut. Sesaat, rasa takut di dadanya mencair jadi sesuatu yang lain.

Namun sebelum sempat ia menyadari apa itu, langkah Marcus tergelincir di tanah lembap. Tubuhnya jatuh keras ke dasar lereng kecil di bawah jalur setapak.

“AAAKH!”

“Marcus!” jerit Madeline panik. Ia berlari menuruni lereng, lututnya tergores batu.

Marcus tergeletak dengan kepala berdarah, napasnya pendek tapi masih sadar.

“Jangan tidur!” seru Madeline, mengguncang bahunya panik. “Kak… buka mata kamu!”

Marcus meringis, matanya kabur menatap wajah gadis itu di bawah bayangan pepohonan.

Bibirnya bergerak pelan. “Maddie…”

“Diam! Aku panggil Papa dulu!”

Marcus menggeleng lemah. Jemarinya, penuh lumpur dan darah, menggenggam tangan Madeline.

“Jangan lepas…” suaranya hampir tak terdengar. “Kali ini, jangan lepas, Maddie…”

Madeline membeku. Tangannya menggenggam balik erat-erat, air mata menetes satu per satu, jatuh ke pipi Marcus.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 8

    Jemari Marcus mengepal kencang. Tapi seperti biasa, ia lihai untuk mengendalikan emosi nya. Wajahnya tetap tenang. Tapi aura ancaman keluar dari tubuhnya. "Marcus?" Madeline terkejut saat melihatnya tiba di pet hotelnya. Martin menoleh, keningnya berkerut saat seorang pria tiba dan mentapnya tajam. "Lihat siapa ini?" senyum miring pria itu terlihat samar, langkahnya perlahan mendekati 'kelinci kecilnya'. "Kak... ini temanku Martin," Madeline buru-buru menjelaskan. "Martin, teman kuliah Madeline" tangannya terulur kepada Marcus yang menatapnya intens. "Marcus..." tangannya menjabat erat Martin. Terlalu erat. Martin menatap mata Marcus. Ia bisa merasakan ketidaksukaan dari tatapannya. "Maddie... aku titip Zico ya," sambil menyerahkan anjingnya. "Martin, aku isi formulirnya dulu ya sebentar..." Madeline bisa merasakan ketegangan diantara dua pria yang sedang berhadapan. Ia berlalu bersama Zico dalam pelukannya. "Jadi teman kuliah?" Marcus membuka suara. "Ya, kam

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 7

    Gonggongan anjing yang berlari ke arahnya membuat Madeline menoleh cepat. “DEREK!” jeritnya lega. Senyum langsung merekah di wajahnya saat melihat anjing kesayangannya muncul dari balik semak. “Derek! Kamu kemana sih?! Jangan lari jauh-jauh, ya Tuhan… aku hampir gila nyariin kamu!” ia mengomel, tapi tetap memeluk tubuh anjing itu erat, menciumi kepalanya penuh sayang. Marcus segera mengambil ponselnya. “Pah, Derek sudah ketemu. Aku sama Madeline akan balik ke dome,” katanya singkat. Setelah mematikan panggilan, ia menatap langit yang mulai menggelap. “Kita balik sekarang, Maddie. Hari udah sore.” Marcus meraih bahu Madeline, menuntunnya keluar dari hutan sebelum malam benar-benar turun. ---------- Tiga hari berlalu. Madeline kembali ke rutinitasnya di pet hotel miliknya, tempat yang kini jadi dunia kecilnya. Tawa dan gonggongan anjing memenuhi ruangan; aroma sabun dan bulu anjing yang lembap membuat suasana hangat sekaligus riuh. Ia berjongkok, bermain dengan seekor Po

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 6

    Marcus memegang kaki kanannya yang terkilir. “Ah…” rintihannya pecah, wajahnya menegang menahan sakit.Sial! Sakit sekali… batin lelaki itu mengumpat.Madeline panik menghampirinya, tangisnya kembali pecah. Perasaannya bercampur aduk—takut kehilangan Derek sekaligus khawatir melihat Marcus meringis begitu. “Kak, kaki kamu berdarah!” suaranya bergetar. Dengan tangan gemetar, ia merobek kaos yang dipakainya, lalu membalut luka Marcus dengan hati-hati.“Gapapa.” Marcus hanya terdiam, matanya menatap setiap gerakan Madeline. Tiba-tiba tangannya terulur, menyentuh lembut wajah gadis itu. “Jangan menangis lagi,” ucapnya pelan, namun mantap.Madeline terhenti. Napasnya tercekat, matanya terkunci pada tatapan pria itu—hangat, intens, seakan mampu menelan seluruh keresahannya. Ia ingin berpaling, tapi tubuhnya membeku.Sampai rintihan Marcus kembali terdengar. Sontak Madeline sadar, buru-buru menopang tubuhnya. “Kak… aku bantu berdiri ya.” Ia menuntun tangan Marcus melingkar di lehernya, la

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 5

    Marcus menatap Madeline yang terbaring di bawahnya. Napas mereka bertabrakan, panas, tak beraturan. Semua batas yang sempat ia pasang di kepalanya runtuh bersamaan dengan detak jantungnya yang menggila.Ia menyambar bibir Madeline.Ciuman itu bukan kelembutan—itu luapan dari marah, rindu, dan rasa bersalah yang tak bisa ia jelaskan.Madeline menegang di bawahnya. Jemarinya mencoba menolak, tapi Marcus menahan kedua tangannya di sisi kepala. Napas mereka saling bertubrukan, getir dan getir lagi.“Berhenti…” bisiknya di sela napas yang nyaris habis. Tapi suaranya terlalu pelan, kalah oleh degup yang menggila di dada mereka berdua.Marcus mendekat, menunduk di sisi telinganya. “Sampai kapan kamu pura-pura nggak tahu, Maddie?” suaranya rendah, serak, nyaris seperti desis. “Kamu pikir aku bisa berhenti setelah malam itu?”Madeline memejamkan mata. Ada panas di ujung matanya, bukan hanya karena takut—tapi karena kebingungan yang menyesakkan.Namun tiba-tiba, Marcus menghentikan dirinya se

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 4

    Semua berawal sebulan lalu, saat Papa Marcus menikahi Mama Madeline.Sejak hari itu, segalanya menjadi rumit. Rumah yang dulu terasa seperti tempat aman, kini berubah menjadi medan penuh bisu dan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Madeline berusaha menganggap Marcus hanya sebagai kakak tiri—tetapi bayangan malam itu, ketika ia memeluknya di dapur gelap setelah hujan deras, masih menempel di kulit.“Marcus… Maddie… kenapa gelap sekali?” suara Hugo, Papa Marcus, terdengar dari ruang tamu. Langkah kakinya menabrak kursi karena lampu padam.Madeline menahan napas. Marcus masih menggenggam wajahnya, lalu—dengan keberanian yang gila—menyentuh bibirnya sekali lagi sebelum menjauh.Adrenalin Madeline berpacu. Dia tidak sadar apa yang baru saja dilakukan?“Kenapa gelap banget?” suara Sandra menyusul dari belakang.“Mati lampu, Pah. Ada pemadaman,” jawab Marcus santai. Nada suaranya seolah tak ada yang salah. Madeline tetap diam. Napasnya pendek, jantungnya seolah menendang dada.“Madie mana?”

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 3

    “Mah, kenapa?” bahu Madeline menegang, tapi ia berusaha tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa.“Oh, enggak, tadi Mamah lupa ngomong,” ujar Sandra riang. “Sebagai tanda terima kasih, Paman David kasih voucher gratis buat glamping dua hari. Besok kan Sabtu, kalian libur kan? Bisa dong?”Madeline tercekat. Glamping? Dua hari. Berarti… dua puluh empat jam penuh di tempat yang sama dengan Marcus. Tidak ada ruang untuk bersembunyi.Marcus tersenyum samar saat menuruni tangga nyaris tak terlihat. “Tentu saja, Mah. Kita kan jarang quality time bareng.” Ia menoleh sekilas ke arah Madeline, matanya menelusuri wajah adiknya tanpa benar-benar tersenyum. “Bagus juga. Supaya kita bisa lebih… dekat. Benar, Maddie?” Nada suaranya datar, tapi penekanannya jelas. Hanya Madeline yang tahu maksudnya.Madeline menelan ludah, berusaha mempertahankan senyum. “Iy–iya, Mah…” Ia ingin menolak, tapi melihat wajah Mamanya yang penuh semangat, kata-katanya menguap begitu saja.Sandra tampak lega. “Syukurl

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status