Wanita bisa sangat setia dan menjadi goyah lantas dingin tergantung bagaimana pasangannya.
Alya telah turun di sebuah hotel sederhana. Tak seperti yang mereka lihat. Jabatan suaminya tak setinggi itu dan uang yang diberikan sang suami juga tidak banyak. Uang yang dipakai Alya saat ini adalah hasil dari tabungannya. "Ini cukup." Alya mengedar pandangan di kamar hotel standard room yang di pesannya. Lantas dia duduk di sisi r4njang untuk melepas penat. Ini sudah petang dan Alya memutuskan untuk memulai besok lagi sejak pagi. Dia juga butuh istirahat dan saat ini sangat ingin sendiri duduk meringkuk, larut dengan gejolak rasa dan kalutnya pikiran. Seperti sekarang ini, Alya menggeser duduknya hingga bersandar pada headboard. Dia tekuk lututnya dan meringkuk dengan tangan memeluk dua kaki itu. Kepalanya direbahkan bertumpu dua lutut. Pandangan kosong. 'Mas, apa mencintaimu dengan tulus serta setia saja tidak cukup? Benarkah dengan apa yang mereka katakan jika aku memang tak layak dipandang? Bisakah kamu jelaskan apa saja kekuranganku? Hingga aku bisa memperbaiki diri. Bukan malah mencari apa yang kamu inginkan pada wanita lain,' batin Alya miris. Dering ponsel memecah lamunan Alya. Wanita itu gegas menyambar ponselnya di nakas. Dari suaminya. Ya, sesuai apa yang dikatakan saat berangkat, jika Ardi akan menelepon atau vidio call tak hanya membalas pesan. Kali ini Ardi membuat panggilan telepon. Tak apa, malah Alya sangat beruntung. Jadi Ardi tidak tahu jika sekarang dia ada di daerah yang sama. "Assalamualaikum, Mas." Alya membuat nada lembut seperti biasa. "Wa'alaikumsalam, Sayang. Maaf, tadi dijalan Mas ketiduran. Aku baru saja sampai di luar kota dan langsung menghubungimu. Bagaimana, apa kamu masih nangis?" Suara Ardi tak ada kejanggalan. Alya menajamkan rungunya juga tak ada suara lain. "Hem, beginilah. Kamu nggak mau lihat sendiri aku menangis atau nggak sekarang?" Alya sengaja memancing, tapi dia yakin kalau Ardi akan menolak. Sungguh d4da Alya sangat sesak. Gejolak rasa terus mendesak hingga di pelupuk matanya. Hening sejenak, hanya ada suara hembusan nafas berat Ardi. "Maaf, Sayang, kamu harus bersedih sebentar. Aku juga nggak bisa lihat wajahmu karena nggak tega. Mas yakin kamu sedang nangis sekarang." Alya memang sedang menangis. Tapi dia menangis karena kebohongan Ardi. "Di mana Daffa?" Tiba-tiba Ardi malah membahas bayi itu. "Aku masih lemas, jadi aku berikan pada Mbok Sari saja. Kamu nggak apa-apa 'kan kalau sementara Daffa juga juga dirawat sama Mbok Sari?" "Nggak apa-apa, lah. Asal kamu nyaman dan Daffa baik-baik saja." "Bagaimana kabar orang tua Daffa?" Alya menghembus nafas berat dari mulut dan berusaha agar suaranya tidak serak. Hening sejenak. Alya menunggu dengan membekap mulutnya agar isakan itu tak meledak. "Sudah lebih baik. Jika mereka sudah siap mengurus Daffa, aku akan segera mengembalikan Daffa pada mereka." Alya mengangguk-anggukkan kepala dengan mata berkedip-kedip. "Dan kita siap punya anak sendiri, kan?" Tak ada jawaban. Ardi tak mengeluarkan sahutan. "Hem, Sayang. Aku dipanggil rekan kerja. Mas harus segera ke lokasi proyek. Nanti Mas akan hubungi kamu lagi." Sambungan dimatikan Ardi tanpa mengucap salam. "Hah!" Alya menghentakan punggungnya di headboard. Dia melengkungkan bibirnya dengan kekehan miris. "Alya .... Alya. Bagaimana kamu akan menghadapi semua ini. Kamu telah melangkah sejauh ini apa nantinya sudah siap menerima kenyataan?" Dia tertawa kecil dengan isakan merutuki diri. Tangisnya pecah. Wanita itu membekap mulutnya kuat sambil membungkuk hingga tersungkur. Sekian saat, dia menumpahkan sesak dadanya. --- "Bagaimana Daffa, Mbok?" "Alhamdulillah tidak rewel, Bu. Bagaimana dengan Ibu di sana? Ini baik-baik saja?" Alya mendesah berat. "Simbok jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Dan jika tidak baik, maka aku akan berusaha untuk selalu baik-baik saja. Aku pasti akan pulang secepatnya." Sambungan diputus Alya setelah mengucap salam. Mentari mulai menyengat, Alya berdiri di depan cermin panjang dan membenarkan jilbabnya. Wanita itu menghentak nafasnya kuat sambil menguatkan hati. "Alya kamu pasti bisa melihat kenyataan sepahit apa pun!" Wanita itu menyambar tas selempang hitam dan mulai melangkah. Tahap pertama dia akan mendatangi pusat perbelanjaan sesuai dengan struk belanja suaminya itu. Alya telah melakukan dengan taksi. Sekian saat melaju, Alya turun di tempat yang diharapkan. Alya memegang struk belanja itu untuk memastikan sekali lagi. "Nggak salah lagi ini tempatnya." Alya tidak masuk. Tujuannya datang ke tempat itu hanya untuk melihat bangunan-bangunan yang dimungkinkan bisa jadi tempat tinggal suaminya. Karena menurut perkiraannya, suaminya pasti akan belanja di tempat yang tidak jauh dari huniannya. Disekitar itu ada hotel mewah, apartemen mewah dan apartemen bagus dengan kualitas dibawahnya yang kemungkinan gaji Ardi bisa menjangkau. "Jika tebakanku benar, maka bisa jadi Mas Ardi ada di apartemen itu. Ok, sekarang aku akan ke rumah sakit itu dulu." Alya memutar arah berjalan sambil membuat pesanan taksi. Taksi yang datang secepatnya belum bisa dia dapatkan. Masih harus menunggu sekian puluh menit lagi. Wanita itu kini melangkah gontai menyusuri jalan tanpa pikiran jernih. Hati dan pikiran terus terpaku ada sosok suaminya. 'Mas .... Mas .... Mas ....' Hati itu terus menyebut nama suami dengan campuran rasa tak karuan. Hingga Alya tak sadar jika alur langkahnya tak benar. Alya memakai Heels 7 cm. Dengan langkah segontai itu dia kurang keseimbangan. "Akh!" Alya tergelincir kerikil, dia keseleo dan terhuyung miring ke arah jalan. "Awas, Mbak!" teriak seorang. Akan tetapi, .... Ada sebuah mobil sedan yang telah melintas dan menghentikan mobilnya mendadak. Ciitttt ...! Brukkk! Alya terserempet dan tersungkur. "Akh!" Ponsel yang digenggam Alya juga terlempar. Beberapa orang yang punya simpati berhambur mendekat. Dari dalam mobil. "Tuan, bagaimana ini?" Sang sekretaris menoleh menunggu perintah. "Haish, kamu turun dan bawa dia masuk. Aku nggak mau banyak orang yang membuatku pusing! Lihat, wanita itu juga menangis membuat drama. Dia pasti punya rencana lain." Seorang pria menghentakan punggungnya di sandaran kursi. Dia mencebik dan mendesis geram. Pikirannya ada praduga wanita itu akan memerasnya, seperti yang dilakukan orang pada umumnya. Menjatuhkan diri dan mencari keuntungan. Sekretaris laki-laki itu gegas keluar. "Maaf, kami juga kaget. Nona ini tadi tiba-tiba ingin jatuh saat kami melintas." "Soal bagaimananya kalian urus nanti yang penting bahwa wanita ini ke rumah sakit segera!" Salah satu penolong angkat bicara. "Ya, kamu obati dulu wanita ini, baru membahas duduk perkaranya!" "Saya pasti akan bertanggung jawab. Permisi, Bapak-bapak dan Ibu-ibu." Alya meringis dan menahan ngilu. Dia menangis. Bukan karena sakitnya luka di tangan dan kaki, tapi ... semiris itukah langkahnya hanya sekedar ingin mencari jawaban soal suaminya? "Nona, silahkan ikut saya ke rumah sakit." Sekretaris itu mengulurkan tangan. Alya hanya mendongak tak menjawab. Namun, beberapa orang memapahnya dan membantu masuk ke mobil itu. Dia tak seperti tak ada kekuatan untuk menolak. Kini mobil melaju. Alya hanya diam dan bahkan tak menoleh pada pria yang duduk di sebelahnya. Wanita itu bersandar dan menatap arus jalan. Sedang sang pria itu malah menatap intens wajah dan luka Alya. Dia masih ingat. Ya, sangat ingat betul dengan wajah wanita yang hampir terserempet di depan perusahaan miliknya kemarin. 'Dia terluka, tapi diam saja. Bukankah tadi dia menangis? Lantas kenapa sekarang diam? Pasti sedang merencanakan sesuatu. Heh, aku ingin lihat seperti apa orang yang berpakaian seperti ini. Semua tubuhnya dibungkus seperti bantal atau ... barang siap paket. Pasti karena dia tidak punya sesuatu yang dibanggakan, lantas semua disembunyikan!' batin pria itu dengan senyum sinis tipis. "Mas, bisa ke rumah sakit XXXX?" Tiba-tiba Alya memecah keheningan. "Bagaimana, Tuan?" Sang sekretaris menunggu persetujuan. "Kamu ikuti saja kemauan dia dan selesaikan di sana!" Mobil melaju ke rumah sakit yang diinginkan Alya. Kini, Alya menatap kondisi dirinya. Kaki dan tangannya terluka hingga warna merah membuat noda lebar di banyak titik gamisnya. Perih, tapi lebih perih sakit hatinya."Alya sudah masuk kamar itu, Nona Julia. Reporter juga telah siap." Bawahan Julia melapor.Julia tersenyum dingin. "Bagus. Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Begitu pintu terbuka, biarkan mereka langsung menyerbu masuk. Dan ... Ha ha ha ha sad ending!"Bawahannya mengangguk, lalu keluar dengan cepat.Julia menyandarkan tubuhnya di sofa. Ya, dia ada di kamar sebelah, menanti momen yang telah rencanakan dengan detail. Tujuannya jelas -menghancurkan reputasi Alya dan membuat Bara tidak menginginkan istrinya lagi.Rencana inti dimulai. Kamar Ardi dibuka dari luar. BRAKKK!"Siapa kalian?" teriak Ardi."Apa yang sedang kali lihat aku?" teriak Alya.Seketika suasana gaduh dan kacau. Kilatan lampu kamera berlomba di ruangan itu. Para reporter mencoba mendesak masuk. Namun, apa yang mereka temukan membuat semua orang terdiam heran. Tidak seperti yang dikatakan Julia.Alya berdiri di tengah ruangan dengan senyum miring. "Ada yang bisa saya bantu? Kenapa kalian semua ada di sini?" Dia m
"Mau tidak mau, kamu harus eksekusi rencana itu besok. Aku akan atur soal Alya bisa sampai ke tanganmu. Setelah itu, kamu selesaikan. Kalau sampai gagal, kamu dan keluargamu akan masuk penjara!" Julia menatap tajam wajah Ardi, menekan ancamannya.Ardi menelan ludah, mengangguk tanpa suara. Julia tersenyum tipis, merasa sudah menang. "Bagus kalau kamu mengerti. Aku ingin semua berjalan mulus. Aku akan langsung melihat hasilnya. Jangan sampai ada satu pun kesalahan."Tanpa menunggu jawaban, Julia keluar dari ruangan itu.Setelah memastikan Julia telah benar-benar pergi, Ardi menarik ponselnya.[Julia akan beraksi besok. Semua sudah disiapkan di hotel seperti rencananya. Bisa jadi dia akan menggunakan media untuk membesarkan skandal.] Pesan terkirimkan pada Bara.Balasan Bara datang beberapa detik kemudian. [Lakukan apa yang dia mau. Jangan sampai dia curiga. Sisanya aku yang atur. Tetap berkoordinasi.]----"Sayang, sepertinya soal bertemu dengan anak kita hanya bisa malamnya. Karena b
"Bara, istrimu menuduh mama bersekongkol dengan pembantu untuk mencelakainya. Ini sudah kelewatan. Mama nggak terima dan kamu harus kasih dia pelajaran!" Desi berlari mendekati Bara, wajahnya langsung dipenuhi air mata.Alya menatap sendu ke arah suaminya. Senyum kaku tersungging di bibirnya. "Mas, kamu pulang?" Biasanya dia akan menghampiri dan mencium punggung tangan suaminya, tapi karena ada drama mertua kali ini dia menahan diri.Bara menatap bingung keduanya. "Apa yang sebenarnya terjadi?""Mama difitnah, Bara."Alya melangkah maju. "Pembantu itu mengaku, Mas. Mama menyuruhnya memberikan obat berbahaya untukku."Desi langsung mendengkus, menyeka air matanya. "Itu bohong! Pembantu itu jelas bekerja sama dengan Alya untuk menjatuhkan mama. Kenapa kamu percaya omong kosong seperti itu, Bara? Kamu lihat sendiri, Alya hanya ingin menghancurkan hubungan ibu dan anak!""Apa maksud Mama menghancurkan hubungan? Aku hanya ingin kebenaran terungkap." Alya menatap Desi heran.Desi tidak meny
"Itu hasil tes DNA. Kamu lihat sendiri." Benny berdiri tegak dengan tatapan kosong, mencoba menyembunyikan gejolak batinnya. Ada ketakutan yang disembunyikan dalam hatinya. Tangannya sedikit gemetar saat memberikan amplop itu pada Bara.Bara cepat meraih amplop itu, lalu pelan membukanya. Jantungnya berdetak kencang. Dia juga gemetar. Dalam hati berharap semoga hasil seperti yang dia inginkan.Lembar kertas putih itu terlihat jelas di tangannya. Matanya bergerak membaca setiap kata, setiap angka yang tertulis di sana. Dalam sekejap, matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan luapan emosi."Dia anakku, benar-benar anakku." Suaranya pecah, tangannya mencengkeram kertas itu. Senyumnya lebar. Dia bernafas lega, seperti kebahagiaan kembali digenggamnya.Benny tetap mematung. Wajahnya datar, tapi di dadanya sedang ada pergelutan rasa. Dia tahu apa yang harus dilakukan, tapi cinta pada istrinya terlalu besar."Anak ini sudah menjadi bagian dari keluarga kami, Tuan Bara. Dia bukan hanya
"Kamu yakin istriku ada di kamar ini? Apa sebelum dia booking hotel, mengatakan sesuatu?" Bara menatap Ivan ragu . Pikirannya kacau, terutama setelah Alya mematikan ponselnya seharian tanpa penjelasan. Sangat jelas kalau istrinya itu sedang menghindarinya dan tidak mau bicara padanya.Ivan menggeleng. "Berdasarkan laporan, tidak ada tanda-tanda nyonya Alya marah, Tuan. Saya juga tidak tahu apa rencana nyonya. Kenapa sampai bisa ada di hotel."Bara mendekati pintu kamar, menekan bel ragu. Ketika pintu terbuka, Alya tidak langsung terlihat."Masuk, Mas." Hanya terdengar suaranya saja.Bara melangkah perlahan, matanya menyapu ruangan. Tidak ditemukan istrinya. Begitu pintu ditutup. "Mas."Bara tercengang melihat Alya berdiri di balik pintu dengan pakaian yang membuatnya menelan ludah."Mas, kenapa?" Alya menatap puas melihat wajah suaminya seperti itu."Ke-kenapa kamu memakai pakaian seperti itu? Ehm, lingerie?" Bara berusaha menyembunyikan rasa panas yang muncul tiba-tiba.Alya tidak
"Aku harus bertemu dengan Rani, istri Ardi. Ada masalah apa dia?" Alya masih menatap layar ponselnya. Pesan itu membuatnya tidak tenang.Dia mengetik balasan. [Aku setuju bertemu. Tapi aku yang tentukan tempatnya.] Pesan terkirim. Sebuah nama restoran juga dilampirkan, lengkap dengan alamatnya. Alya duduk di kursi belakang. "Pak, tolong kabari seseorang karena aku akan bertemu istri mas Ardi. Sepertinya ada yang perting." Alya bicara pada sopirnya yang merupakan orang kepercayaan untuk menjaganya saat pergi. "Baik, Nyonya. Dan lebih baik Anda hati-hati nanti. Jangan sampai rencana Tuan terkendala.""Aku tahu."Setibanya di restoran. Alya duduk menunggu dengan tatapan ke layar. Dia masih menunggu pesan balasan atau telepon suaminya. "Sedang apa Mas Bara sebenarnya?" Dia duduk tak tenang. Pikirannya semakin macam-macam. Dia sengaja tidak membahas pada orang lain.Beberapa waktu kemudian, Rani datang. Wanita itu hanya membawa dirinya, tanpa kedua anaknya. Ya, Rani telah mengasuh dua