Home / Fantasi / Dibalik perbedaan / bab 3 bayang bayang kekuasaan

Share

bab 3 bayang bayang kekuasaan

Author: GNZ Creator
last update Last Updated: 2024-09-05 23:28:44

Langit malam Ardencia tampak kelabu, dan suasana di desa semakin mencekam seiring dengan meningkatnya tekanan dari kerajaan. Meski Alaric dan Seraphina berhasil kembali, mereka tahu bahwa perdamaian ini hanya sementara. Kembalinya mereka tidak meredakan masalah, malah membuat desa semakin menjadi pusat perhatian kerajaan. Desas-desus mengenai pesulap yang memimpin perlawanan semakin menyebar, dan bagi banyak orang di desa, Alaric kini menjadi simbol harapan sekaligus bahaya.

Di tengah ketegangan ini, Seraphina mulai mengenal lebih dekat kehidupan di desa. Dia bekerja bahu-membahu dengan penduduk, membantu di ladang, merawat anak-anak, dan mendengar cerita-cerita tentang kesulitan mereka. Setiap hari, Seraphina semakin sadar bahwa orang-orang ini bukanlah musuh, melainkan korban dari sistem yang tidak adil. Dan setiap hari, ia semakin yakin bahwa ia harus menjadi bagian dari perlawanan ini.

Namun, keadaan menjadi semakin sulit ketika penyakit mulai menyebar di desa. Air bersih semakin langka, dan makanan sulit didapat karena ladang yang tak terurus dan sering dirusak oleh prajurit kerajaan. Anak-anak mulai sakit, dan para orang tua kehilangan harapan. Alaric, yang biasanya selalu bisa menghibur mereka dengan trik sulapnya, kini terlihat lebih lelah dari biasanya. Beban di pundaknya semakin berat, dan meskipun ia berusaha kuat, Seraphina bisa melihat ketakutan di mata Alaric.

“Kita tidak bisa terus begini,” kata Seraphina suatu malam saat mereka duduk di luar rumah kecil Alaric, menatap desa yang sepi. “Mereka akan mati jika kita tidak segera melakukan sesuatu.”

Alaric menatap Seraphina dengan keputusasaan yang sulit disembunyikan. “Aku sudah mencoba segalanya. Pertunjukan sulapku tidak lagi cukup untuk membeli obat atau makanan. Dan prajurit kerajaan semakin sering datang untuk merampas apa yang tersisa.”

Seraphina tahu bahwa ini bukan saatnya untuk menyerah. Ia punya ide yang bisa mengubah segalanya, tetapi sangat berisiko. “Alaric, aku harus kembali ke istana,” ucapnya tiba-tiba.

Alaric langsung menoleh, wajahnya penuh kekhawatiran. “Apa? Tidak! Kau tidak bisa kembali ke sana. Kau tahu mereka tidak akan menerimamu begitu saja, terutama setelah apa yang terjadi.”

Seraphina menggeleng, tatapannya tajam. “Aku tidak punya pilihan lain. Hanya aku yang bisa bicara langsung dengan Raja. Aku putri kerajaan, dan aku masih punya pengaruh di istana. Kalau aku bisa meyakinkan mereka untuk menghentikan penindasan ini, kita punya kesempatan untuk bertahan.”

Alaric merasa terombang-ambing antara harapan dan ketakutan. Ia tahu bahwa Seraphina benar, tapi gagasan untuk mengirimnya kembali ke jantung musuh membuat hatinya hancur. Namun, Seraphina telah membuat keputusan. “Aku akan pergi malam ini,” tambahnya tegas. “Dan aku janji, aku akan kembali dengan solusi.”

Malam itu, Seraphina menyelinap keluar dari desa, menyusuri jalur-jalur tersembunyi yang dulu diajarkan Alaric padanya. Perjalanan menuju istana tidak mudah. Di sepanjang jalan, ia harus menghindari patroli prajurit yang mencari jejak pemberontakan. Setiap detik berlalu dengan ketegangan, dan Seraphina tahu bahwa jika tertangkap, nasibnya akan jauh lebih buruk daripada sekadar diusir.

Sementara itu, di desa, situasi semakin memburuk. Komandan Garreth, yang tidak pernah melupakan penghinaan di penjara, datang dengan rencana licik untuk menekan penduduk. Dia memerintahkan prajuritnya untuk memblokir pasokan makanan ke desa, memastikan bahwa kelaparan akan memaksa mereka untuk menyerah. Garreth juga menyebarkan berita palsu bahwa Seraphina telah dikhianati dan ditangkap oleh keluarganya sendiri, membuat semangat penduduk semakin jatuh.

Alaric berusaha menenangkan penduduk yang mulai putus asa. Namun, ia sendiri kesulitan menahan amarahnya. Di tengah kekacauan itu, muncul seorang pria tua yang terjatuh sakit di depan pintu rumah Alaric, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil. Alaric segera mengenali pria itu—Marja, pemimpin desa yang selama ini menjadi panutan bagi semua orang.

“Alaric... aku tidak bisa lagi,” ucap Marja dengan suara parau. “Kita butuh bantuanmu. Kau adalah satu-satunya yang bisa memimpin mereka sekarang.”

Alaric menggenggam tangan marja yang lemah. “Kita akan bertahan, Marja. Aku janji.”

Tetapi saat malam semakin larut, Alaric menyadari bahwa janji itu semakin sulit untuk ditepati. Ia berjalan ke tengah desa, menatap penduduk yang berkumpul dengan wajah lelah dan hampa. Mereka berharap pada Alaric, berharap pada seseorang yang sebenarnya sama tak berdayanya dengan mereka.

“Semua yang kita lakukan tidak akan cukup jika kita hanya bertahan,” Alaric berbisik pada dirinya sendiri. “Kita harus menyerang balik.”

Di istana, Seraphina berhasil menyelinap masuk ke dalam kamarnya yang dulu. Namun, harapannya untuk berbicara dengan Raja Alden pupus ketika ia mendengar suara ayahnya yang marah-marah dari ruang pertemuan utama. Dari balik pintu yang sedikit terbuka, ia mendengarkan dengan cermat.

“Kita tidak bisa terus berkompromi!” Raja Alden berkata keras kepada para penasehatnya. “Desa itu adalah sarang pemberontak. Jika kita tidak menghentikan mereka sekarang, kita akan kehilangan kendali.”

Ratu Mirabelle tampak lebih tenang, namun wajahnya juga penuh ketegangan. “Tapi, Alden, mereka hanya ingin hidup. Kita tidak bisa terus memperlakukan rakyat seperti musuh.”

Namun, Raja Alden tak mendengarkan. “Aku sudah membuat keputusan. Besok pagi, kita akan mengirim pasukan besar untuk menghancurkan desa itu sepenuhnya. Kita akan memberi pelajaran pada siapa pun yang berani menentang.”

Seraphina merasa dunia berputar. Hatinya serasa ditikam mendengar keputusan ayahnya. Tanpa pikir panjang, ia bergegas ke ruangan itu, mendorong pintu dengan keras.

“Kalian tidak bisa melakukan ini!” teriaknya dengan air mata menggenang di mata. “Mereka bukan musuh! Mereka adalah rakyat kita!”

Raja Alden berdiri, terkejut melihat putrinya yang selama ini ia kira telah hilang. “Seraphina? Bagaimana kau bisa di sini?”

“Aku datang untuk menghentikan kalian,” jawab Seraphina, napasnya terengah-engah. “Jika kalian menghancurkan desa itu, kalian tidak hanya akan kehilangan rakyat, tapi juga kehormatan kalian sebagai pemimpin.”

Raja Alden mendekati Seraphina, amarahnya terlihat jelas. “Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan. Ini adalah soal mempertahankan kerajaan.”

“Tapi dengan cara apa?” balas Seraphina, tidak mundur sedikit pun. “Dengan mengorbankan nyawa orang tak bersalah? Ayah, kita bisa menyelamatkan mereka. Kita bisa mengubah kebijakan ini.”

Ratu Mirabelle mencoba menenangkan Raja Alden, namun pandangannya beralih ke Seraphina dengan tatapan penuh harap. Ia tahu bahwa putrinya tidak pernah berbicara tanpa alasan. “Apa yang kau usulkan, Seraphina?”

Seraphina menarik napas panjang, mencoba mengatur pikirannya yang kacau. “Kita buat perjanjian damai. Hentikan pajak yang tidak masuk akal, biarkan desa itu berkembang sendiri tanpa tekanan. Kita bisa menyuplai mereka dengan makanan dan obat-obatan, dan sebagai gantinya, mereka akan bekerja sama dengan kerajaan. Kita bisa menciptakan kemitraan, bukan penindasan.”

Raja Alden tampak berpikir, namun jelas bahwa ia masih sulit menerima ide itu. “Dan apa jaminannya mereka tidak akan berbalik menyerang kita?”

“Kalian punya aku,” Seraphina menjawab dengan tegas. “Aku akan memastikan perjanjian ini berjalan. Jika mereka berkhianat, aku sendiri yang akan bertanggung jawab.”

Suasana dalam ruang pertemuan hening, ketegangan terasa menyesakkan. Ratu Mirabelle menatap Raja Alden dengan tatapan memohon, sementara Seraphina berdiri tegak, menanti keputusan.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Raja Alden mengangguk. “Baiklah. Kita akan coba cara ini. Tapi jika gagal, tidak ada lagi kompromi.”

Seraphina mengangguk, merasa beban sedikit terangkat dari pundaknya. Namun, ia tahu bahwa tantangan sebenarnya baru saja dimulai.

Keesokan harinya, Seraphina bersama beberapa utusan kerajaan kembali ke desa. Mereka membawa makanan, obat-obatan, dan janji akan perubahan. Penduduk menyambut mereka dengan hati-hati, masih sulit percaya bahwa kerajaan benar-benar akan berubah.

Alaric, yang telah mendengar kabar tentang keputusan raja, menyambut Seraphina dengan campuran lega dan kecemasan. “Apa yang kau lakukan adalah hal yang berani,” katanya lirih. “Tapi ini baru awal.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibalik perbedaan   bab 25 konfrontasi besar di istana

    Alaric, Seraphina, Miranda, dan Jameson, bersama sisa-sisa kelompok perlawanan, terus bergerak melintasi Ardencia yang kini berubah menjadi ladang perburuan. Pasukan Raja Alden menyebar di seluruh penjuru kota, menutup setiap jalan keluar, dan menyisir setiap sudut yang mungkin menjadi tempat persembunyian mereka. Dari balik jendela-jendela yang pecah, warga kota yang ketakutan menyaksikan kejar-kejaran yang tak berkesudahan ini, melihat dengan mata mereka sendiri betapa kerasnya rezim Alden dalam menghadapi setiap ancaman terhadap kekuasaannya. Dengan Seraphina yang baru saja diselamatkan dan Albrecht yang gugur di pertempuran sebelumnya, kelompok ini terpaksa bersembunyi di pinggiran kota yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk pasukan kerajaan. Mereka bersembunyi di sebuah gubuk tua yang tersembunyi di dalam hutan lebat, sebuah tempat yang hanya diketahui oleh sedikit orang. Gubuk ini dulunya milik seorang pemburu yang sekarang sudah lama pergi, menjadi sa

  • Dibalik perbedaan   bab 24 kepungan dimalam hari

    Saat matahari mulai merangkak naik di langit Ardencia, suasana kota dipenuhi ketegangan yang terasa seperti petir di udara. Serangan besar di gerbang istana semalam membuahkan hasil yang mengejutkan; pasukan perlawanan berhasil mendesak penjaga istana mundur, meskipun belum mampu menembus ke dalam. Rakyat mulai percaya bahwa kemenangan bukanlah mimpi yang tak terjangkau. Namun, di balik sorak sorai kemenangan kecil itu, bayang-bayang pengkhianatan mulai merayap di dalam kelompok perlawanan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht berkumpul kembali di rumah persembunyian mereka yang tersembunyi di pinggiran kota. Wajah-wajah mereka mencerminkan kelelahan sekaligus tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu bahwa perlawanan ini belum selesai—masih banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Namun, saat mereka sedang mempersiapkan strategi berikutnya, seorang pria yang tidak asing tiba-tiba memasuki ruangan dengan ekspresi yang mencurigakan.

  • Dibalik perbedaan   bab 23 kebangkitan perlawanan

    Kabar tentang ledakan besar di gudang persenjataan istana Ardencia tersebar luas bagaikan api yang tak terkendali. Malam itu, kota yang dulunya sunyi dan tercekam berubah menjadi medan pertempuran batin bagi setiap penduduknya. Para prajurit kerajaan bergerak lebih waspada, meningkatkan pengawasan, sementara rakyat Ardencia mulai merasakan harapan yang lama hilang. Mereka tahu, ada seseorang yang berani melawan tirani Raja Alden, dan itu cukup untuk menyalakan kembali api perlawanan di hati mereka. Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, sebuah kelompok kecil berkumpul dalam kerahasiaan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht duduk melingkar di sekitar meja kayu yang usang, dipenuhi peta Ardencia dan catatan-catatan tentang pergerakan pasukan kerajaan. Malam ini adalah malam yang penting; mereka sedang merencanakan kebangkitan perlawanan yang lebih besar dari sekadar serangan mendadak. Alaric, sang pesulap yang pernah menjadi tulang punggung

  • Dibalik perbedaan   bab 22 penyusupan yang beresiko

    Seraphina merapatkan selimut tipis di tubuhnya yang menggigil. Meskipun malam semakin larut, ia tidak bisa memejamkan mata. Kata-kata Duke Alistair masih terngiang di benaknya, menjadi api kecil yang membakar kegelisahan di hatinya. Ia tahu bahwa Alaric berada dalam bahaya, dan ia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi umpan dalam permainan kotor Raja Alden dan para pejabatnya. Seraphina bukanlah wanita yang bisa dipermainkan begitu saja; ia adalah seorang pejuang yang sudah terbiasa menghadapi kematian dan pengkhianatan. Di sudut sel, Seraphina memandangi batu yang retak dan dinding yang penuh lumut. Ia menelusuri celah-celah kecil yang mungkin bisa menjadi jalan keluar. Satu-satunya cara untuk menghentikan rencana Raja Alden adalah dengan keluar dari tempat ini. Namun, melarikan diri dari penjara paling ketat di Aldencia bukanlah hal yang mudah, terlebih dengan penjagaan ketat dan penjaga yang tak kenal ampun. Seraphina tahu bahwa ia tidak bisa melakukan ini se

  • Dibalik perbedaan   bab 21 perjuangan pangeran luthar

    Di dalam penjara Aldencia yang gelap dan suram, Seraphina duduk sendirian di sudut selnya, mencoba bertahan dari dinginnya malam dan kesendirian yang membayangi setiap detik yang berlalu. Dinding batu yang dingin dan lembap seakan-akan menutup setiap harapan yang pernah ia miliki, membuatnya merasa terjebak di dalam mimpi buruk yang tak berujung. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menjadi satu-satunya hiburan yang menemani hari-harinya yang sepi. Seraphina telah berada di dalam sel sempit ini selama berbulan-bulan, dipisahkan dari dunia luar, dari Alaric, dan dari semua yang ia cintai. Sejak penangkapannya, Seraphina tidak pernah diberi penjelasan apa pun oleh para penjaga. Ia hanya diberitahu bahwa ia adalah tahanan politik yang dianggap sebagai ancaman bagi kerajaan. Namun, di balik semua itu, ia tahu bahwa dirinya hanyalah pion dalam permainan kekuasaan Raja Aldencia, alat untuk menjebak Alaric. Meski kondisi fisiknya tampak melemah, sem

  • Dibalik perbedaan   bab 20 Hasrat tak terbendung

    Latihan keras dan pertempuran tak henti-hentinya membuat Alaric, Jameson, dan Miranda semakin dekat. Setiap hari mereka berlatih bersama, berbagi canda tawa di tengah rasa lelah, dan menjadi sandaran satu sama lain saat kesulitan menghampiri. Namun, di balik keakraban mereka, ada momen-momen pribadi yang tak terucap, terutama antara Alaric dan Miranda. Malam itu, Alaric duduk di tepi sungai dengan pandangan menerawang. Luka di wajahnya masih terasa perih, namun yang lebih menyakitkan adalah luka di dalam hatinya. Ia merenung, menatap bayangan dirinya yang terpantul di air sungai. Dengan satu mata yang tersisa, Alaric melihat sosoknya yang berubah; tidak lagi pesulap muda yang penuh percaya diri, melainkan seorang pria yang dihantui oleh kehilangan. Miranda datang mendekat, membawa kain bersih dan semangkuk air hangat. Ia duduk di sebelah Alaric tanpa banyak bicara, lalu mulai mengganti perban di wajah Alaric dengan tangan yang lembut. Mata birunya menat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status