Di bawah langit yang mendung, penduduk desa berkumpul di lapangan utama, menatap Seraphina dan para utusan kerajaan dengan rasa campur aduk antara harapan dan kecemasan. Di antara kerumunan, Alaric berdiri di samping Seraphina, mencoba menenangkan kegelisahan yang terus membayang. Utusan kerajaan, mengenakan pakaian resmi mereka yang berwarna mencolok, tampak canggung di tengah desa yang sederhana dan penuh debu. Mereka mulai membacakan isi perjanjian damai, namun suara mereka tertelan oleh desahan warga yang masih ragu.
Alaric menatap wajah-wajah penduduk yang pucat dan kelelahan, lalu menoleh ke Seraphina. “Mereka butuh lebih dari sekadar kata-kata,” bisiknya. “Mereka butuh tindakan nyata.” Seraphina mengangguk. Ia tahu bahwa membangun kembali kepercayaan adalah tugas yang jauh lebih sulit daripada membuat perjanjian. Ia melangkah maju, berdiri di depan penduduk desa dengan sikap penuh tekad. “Aku tahu kalian telah melalui banyak penderitaan,” ucapnya lantang. “Dan aku tidak meminta kalian untuk langsung memercayai kami. Tapi inilah awal dari perubahan. Kami di sini untuk menepati janji kami.” Beberapa warga mulai berbisik, masih sulit untuk benar-benar percaya. Namun, ketika bantuan berupa makanan dan obat-obatan mulai dibagikan, suasana sedikit mencair. Seraphina dan Alaric bekerja sama dengan para penduduk untuk memastikan distribusi berjalan lancar. Mereka berdua turun tangan membantu, membuktikan bahwa ini bukan sekadar sandiwara politik. Di balik semua upaya itu, bayang-bayang pengkhianatan tetap mengintai. Beberapa utusan kerajaan yang hadir bukanlah sekadar diplomat biasa, melainkan mata-mata yang diam-diam memantau situasi. Mereka ditugaskan oleh Komandan Garreth untuk mencari celah yang bisa digunakan untuk menggagalkan perjanjian ini. Garreth masih percaya bahwa pendekatan militer adalah satu-satunya cara untuk menundukkan pemberontakan, dan baginya, kesepakatan damai ini adalah penghinaan. Di dalam sebuah gubuk yang tersembunyi, Garreth bertemu dengan salah satu mata-matanya. Pria itu melapor dengan suara pelan namun tegas. “Penduduk masih ragu, tapi Seraphina dan Alaric mendapatkan kepercayaan mereka perlahan. Ini mungkin berhasil jika dibiarkan.” Wajah Garreth berubah gelap. “Tidak ada yang boleh berhasil tanpa kekuatan. Kita tidak bisa membiarkan desa ini menjadi simbol perlawanan. Temukan titik lemahnya. Buat mereka tersandung, dan kita akan menghancurkan mereka di saat mereka paling lemah.” *** Di desa, kehidupan perlahan mulai membaik. Anak-anak yang dulu tampak kurus dan lesu kini terlihat bermain dengan lebih ceria. Ladang yang sempat terbengkalai mulai digarap lagi dengan semangat baru, dan warga yang sebelumnya penuh ketakutan kini mulai tersenyum meski hanya sedikit. Seraphina dan Alaric tak henti-hentinya bekerja, memastikan perjanjian ini bukan hanya sebatas di atas kertas. Namun, di tengah upaya ini, Seraphina mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Satu malam, ketika Seraphina tengah duduk merenung di pinggir desa, seorang warga tua menghampirinya. Pria itu, yang bernama Marek, adalah salah satu petani tertua di desa. “Putri Seraphina, kau sudah melakukan banyak hal baik untuk kami,” katanya dengan suara bergetar. “Tapi aku khawatir ada sesuatu yang terjadi di balik layar.” Seraphina memandang Marek dengan serius. “Apa maksudmu?” Marek mendesah pelan. “Aku mendengar pembicaraan aneh di pasar tadi. Beberapa orang dari kerajaan tampak berbisik-bisik, seolah mereka merencanakan sesuatu. Dan aku juga melihat salah satu dari mereka memasuki gudang penyimpanan makanan kita.” Rasa cemas Seraphina membesar. Ia sudah menduga bahwa tidak semua orang di istana mendukung perjanjian ini, namun ia tidak menyangka mereka akan bertindak secepat ini. Seraphina segera mencari Alaric dan menceritakan kekhawatirannya. “Aku tahu ada yang tidak beres,” ucap Alaric sambil mengepalkan tangannya. “Kita harus bertindak sebelum mereka membuat kekacauan.” Malam itu, Seraphina dan Alaric menyusun rencana untuk memeriksa gudang makanan yang dimaksud. Ketika mereka sampai, suasana terasa sunyi dan gelap. Dengan hati-hati, mereka membuka pintu gudang dan menemukan sesuatu yang mengejutkan. Beberapa karung gandum telah dibocorkan, dan persediaan makanan mulai rusak karena dicampur dengan cairan berbau busuk. Ini bukan kecelakaan; ini sabotase yang disengaja. “Ini pekerjaan mereka,” gumam Alaric dengan marah. “Mereka ingin membuat desa ini terlihat kacau lagi, seolah-olah kita tidak bisa mengelola bantuan yang diberikan.” Seraphina mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarah. “Kita harus memberitahu warga dan segera mengatasi ini. Mereka tidak boleh menang.” Namun, situasi semakin memburuk ketika warga desa mulai menyadari bahwa makanan mereka telah tercemar. Beberapa orang mulai jatuh sakit, dan desas-desus tentang pengkhianatan kerajaan mulai menyebar cepat. Beberapa warga yang mulai percaya pada Seraphina kini kembali ragu, bahkan ada yang menuduh bahwa perjanjian damai ini hanya tipu muslihat untuk menghancurkan desa dari dalam. “Ini tidak bisa dibiarkan,” ujar Marek dalam pertemuan darurat warga. “Kita harus memutuskan apakah kita masih bisa percaya pada kerajaan atau tidak.” Seraphina berdiri di tengah kerumunan, berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. “Ini adalah ulah dari mereka yang tidak ingin melihat kita damai. Aku tahu ini berat, tapi kita harus tetap bersatu.” Namun, suara-suara sumbang mulai mengisi pertemuan. “Bagaimana kita tahu kalau ini bukan jebakan dari kalian juga?” teriak salah satu warga. “Kita sudah cukup menderita! Kita tidak bisa terus hidup dalam ketakutan dan pengkhianatan.” Di sisi lain, Alaric merasa terjepit antara dua dunia. Sebagai pemimpin desa, ia harus membela warganya. Tapi sebagai seseorang yang mempercayai Seraphina, ia juga harus mendukungnya. Konflik dalam dirinya semakin memanas ketika Marcus, salah satu pemuda yang paling vokal menentang kerajaan, berdiri dan menyatakan sesuatu yang mengejutkan. “Kita harus bertindak sendiri! Kita tidak butuh kerajaan atau siapa pun yang berpura-pura peduli pada kita!” Marcus berteriak dengan penuh emosi. “Kita sudah punya cukup bukti bahwa mereka ingin menghancurkan kita. Sudah saatnya kita menyerang balik!” Beberapa warga bersorak setuju, sementara yang lain terlihat ragu. Namun, suara Marcus semakin kuat, dan tanpa disadari, dia mulai membentuk kelompok kecil yang bersedia melakukan aksi balasan terhadap kerajaan. Marcus mengusulkan untuk menyerang gudang persediaan milik kerajaan yang berada di perbatasan desa, sebagai bentuk perlawanan. Seraphina mencoba menghentikan rencana itu. “Marcus, ini bukan caranya. Jika kalian menyerang, semua ini akan berakhir dengan kekerasan yang lebih besar!” Namun, Marcus tidak mendengarkan. “Kami sudah terlalu lama menunggu dan percaya pada janji-janji kosong. Ini saatnya untuk mengambil tindakan nyata.” Seraphina merasa kehilangan kendali, dan Alaric, yang biasanya menjadi penengah, juga tampak terombang-ambing. Ia ingin mendukung Seraphina, namun juga tidak bisa mengabaikan kemarahan dan frustrasi warga yang selama ini menjadi tanggung jawabnya. Malam itu, Marcus dan kelompoknya bergerak cepat. Mereka menyerang gudang kerajaan, membakar persediaan makanan sebagai balas dendam atas sabotase yang dilakukan terhadap desa. Serangan ini mengejutkan semua pihak, termasuk Seraphina dan Alaric, yang hanya bisa melihat api menyala dari kejauhan. Keesokan harinya, prajurit kerajaan merespons dengan keras. Komandan Garreth menggunakan insiden ini sebagai alasan untuk memperketat blokade terhadap desa, mengirim lebih banyak pasukan, dan memperketat pengawasan. Seraphina dipanggil kembali ke istana untuk dimintai pertanggungjawaban, sementara Alaric harus menghadapi penduduk yang kini terpecah belah. Di istana, Raja Alden menatap Seraphina dengan wajah marah. “Aku memberimu kesempatan, dan kau biarkan desa itu menyerang kita? Apa lagi yang bisa kau katakan sekarang?” Seraphina berusaha menjelaskan bahwa serangan itu bukan hasil dari kesepakatan mereka, tetapi kemarahan yang dipicu oleh tindakan sabotase. Namun, Raja Alden semakin sulit diyakinkan. Kepercayaan yang tipis mulai runtuh, dan situasi menjadi semakin genting. Ratu Mirabelle, meski ingin membela putrinya, juga mulai meragukan apakah perjanjian damai ini masih layak diteruskan.Alaric, Seraphina, Miranda, dan Jameson, bersama sisa-sisa kelompok perlawanan, terus bergerak melintasi Ardencia yang kini berubah menjadi ladang perburuan. Pasukan Raja Alden menyebar di seluruh penjuru kota, menutup setiap jalan keluar, dan menyisir setiap sudut yang mungkin menjadi tempat persembunyian mereka. Dari balik jendela-jendela yang pecah, warga kota yang ketakutan menyaksikan kejar-kejaran yang tak berkesudahan ini, melihat dengan mata mereka sendiri betapa kerasnya rezim Alden dalam menghadapi setiap ancaman terhadap kekuasaannya. Dengan Seraphina yang baru saja diselamatkan dan Albrecht yang gugur di pertempuran sebelumnya, kelompok ini terpaksa bersembunyi di pinggiran kota yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk pasukan kerajaan. Mereka bersembunyi di sebuah gubuk tua yang tersembunyi di dalam hutan lebat, sebuah tempat yang hanya diketahui oleh sedikit orang. Gubuk ini dulunya milik seorang pemburu yang sekarang sudah lama pergi, menjadi sa
Saat matahari mulai merangkak naik di langit Ardencia, suasana kota dipenuhi ketegangan yang terasa seperti petir di udara. Serangan besar di gerbang istana semalam membuahkan hasil yang mengejutkan; pasukan perlawanan berhasil mendesak penjaga istana mundur, meskipun belum mampu menembus ke dalam. Rakyat mulai percaya bahwa kemenangan bukanlah mimpi yang tak terjangkau. Namun, di balik sorak sorai kemenangan kecil itu, bayang-bayang pengkhianatan mulai merayap di dalam kelompok perlawanan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht berkumpul kembali di rumah persembunyian mereka yang tersembunyi di pinggiran kota. Wajah-wajah mereka mencerminkan kelelahan sekaligus tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu bahwa perlawanan ini belum selesai—masih banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Namun, saat mereka sedang mempersiapkan strategi berikutnya, seorang pria yang tidak asing tiba-tiba memasuki ruangan dengan ekspresi yang mencurigakan.
Kabar tentang ledakan besar di gudang persenjataan istana Ardencia tersebar luas bagaikan api yang tak terkendali. Malam itu, kota yang dulunya sunyi dan tercekam berubah menjadi medan pertempuran batin bagi setiap penduduknya. Para prajurit kerajaan bergerak lebih waspada, meningkatkan pengawasan, sementara rakyat Ardencia mulai merasakan harapan yang lama hilang. Mereka tahu, ada seseorang yang berani melawan tirani Raja Alden, dan itu cukup untuk menyalakan kembali api perlawanan di hati mereka. Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, sebuah kelompok kecil berkumpul dalam kerahasiaan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht duduk melingkar di sekitar meja kayu yang usang, dipenuhi peta Ardencia dan catatan-catatan tentang pergerakan pasukan kerajaan. Malam ini adalah malam yang penting; mereka sedang merencanakan kebangkitan perlawanan yang lebih besar dari sekadar serangan mendadak. Alaric, sang pesulap yang pernah menjadi tulang punggung
Seraphina merapatkan selimut tipis di tubuhnya yang menggigil. Meskipun malam semakin larut, ia tidak bisa memejamkan mata. Kata-kata Duke Alistair masih terngiang di benaknya, menjadi api kecil yang membakar kegelisahan di hatinya. Ia tahu bahwa Alaric berada dalam bahaya, dan ia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi umpan dalam permainan kotor Raja Alden dan para pejabatnya. Seraphina bukanlah wanita yang bisa dipermainkan begitu saja; ia adalah seorang pejuang yang sudah terbiasa menghadapi kematian dan pengkhianatan. Di sudut sel, Seraphina memandangi batu yang retak dan dinding yang penuh lumut. Ia menelusuri celah-celah kecil yang mungkin bisa menjadi jalan keluar. Satu-satunya cara untuk menghentikan rencana Raja Alden adalah dengan keluar dari tempat ini. Namun, melarikan diri dari penjara paling ketat di Aldencia bukanlah hal yang mudah, terlebih dengan penjagaan ketat dan penjaga yang tak kenal ampun. Seraphina tahu bahwa ia tidak bisa melakukan ini se
Di dalam penjara Aldencia yang gelap dan suram, Seraphina duduk sendirian di sudut selnya, mencoba bertahan dari dinginnya malam dan kesendirian yang membayangi setiap detik yang berlalu. Dinding batu yang dingin dan lembap seakan-akan menutup setiap harapan yang pernah ia miliki, membuatnya merasa terjebak di dalam mimpi buruk yang tak berujung. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menjadi satu-satunya hiburan yang menemani hari-harinya yang sepi. Seraphina telah berada di dalam sel sempit ini selama berbulan-bulan, dipisahkan dari dunia luar, dari Alaric, dan dari semua yang ia cintai. Sejak penangkapannya, Seraphina tidak pernah diberi penjelasan apa pun oleh para penjaga. Ia hanya diberitahu bahwa ia adalah tahanan politik yang dianggap sebagai ancaman bagi kerajaan. Namun, di balik semua itu, ia tahu bahwa dirinya hanyalah pion dalam permainan kekuasaan Raja Aldencia, alat untuk menjebak Alaric. Meski kondisi fisiknya tampak melemah, sem
Latihan keras dan pertempuran tak henti-hentinya membuat Alaric, Jameson, dan Miranda semakin dekat. Setiap hari mereka berlatih bersama, berbagi canda tawa di tengah rasa lelah, dan menjadi sandaran satu sama lain saat kesulitan menghampiri. Namun, di balik keakraban mereka, ada momen-momen pribadi yang tak terucap, terutama antara Alaric dan Miranda. Malam itu, Alaric duduk di tepi sungai dengan pandangan menerawang. Luka di wajahnya masih terasa perih, namun yang lebih menyakitkan adalah luka di dalam hatinya. Ia merenung, menatap bayangan dirinya yang terpantul di air sungai. Dengan satu mata yang tersisa, Alaric melihat sosoknya yang berubah; tidak lagi pesulap muda yang penuh percaya diri, melainkan seorang pria yang dihantui oleh kehilangan. Miranda datang mendekat, membawa kain bersih dan semangkuk air hangat. Ia duduk di sebelah Alaric tanpa banyak bicara, lalu mulai mengganti perban di wajah Alaric dengan tangan yang lembut. Mata birunya menat