SURYA Pangeran Terbuang Yang Terlahir "KUAT SEJAK LAHIR" Namnya di ubah oleh ayahnya menjadi SURA karena dianggap akan membawa bencana dan malapetaka di Domain Dewa Kekaisaran Alam Matahari. Menteri Perang He Lagus di Perintahkan untuk membuang sang anak ke dunia paling jauh dan terpencil, yang hanya ada orang - orang / penduduk dunia ras manusia. Namun karena kebaikan hati dan keyakinan yang teguh Menteri Perang He, ia pada akhirnya tidak membuang dan malah merawat anak itu hingga beranjak remaja. Lalu apa yang akan terjadi di masa depan selanjutnya, langsung saja masuk ke cerita novelnya "KUAT SEJAK LAHIR" yuk. cap cus....
View MoreOeeee... oeeee... oeeee...
Tangisan bayi menggema dari kamar permaisuri, mengguncang ketenangan istana megah Kekaisaran Alam Matahari tepat di tengah siang hari. Saat itu, Sang Kaisar tengah memimpin rapat bersama para menteri dan jenderal tertinggi ketika seorang kasim berlari tergesa, membisikkan kabar gembira di telinga penguasa tertinggi itu.
Wajah Sang Kaisar seketika berubah—campuran antara kaget, gembira, dan lega. Dengan tawa yang tak bisa ditahan, ia berdiri dan berkata lantang, “Putraku telah lahir!”
Para pejabat langsung menunduk hormat, sementara Kaisar mengakhiri pertemuan tanpa menunggu lama. Langkahnya cepat, penuh semangat, menuju kediaman sang permaisuri.
“Selamat, Yang Mulia,” ucap tabib istana sambil menggendong bayi mungil yang baru lahir. “Putra pertama Anda telah lahir dengan selamat.”
Kaisar mendekat, menatap istrinya yang tampak lelah tapi tersenyum lembut. Ia menggenggam tangan sang permaisuri. “Terima kasih, istriku. Kau telah berjuang keras.”
Tabib itu berdeham pelan, suaranya bergetar penuh takjub. “Yang Mulia, tubuh sang pangeran luar biasa. Ia memiliki fisik Dewa Perang dan akar spiritual tingkat Dewa! Dalam seribu tahun, belum pernah lahir bayi seperti ini.”
Kaisar terdiam sejenak—lalu meledak dalam tawa yang menggema di seluruh ruangan. “Hahaha! Langit benar-benar memberkati Kekaisaran Alam Matahari!” Ia mengangkat bayinya tinggi-tinggi, matanya berbinar. “Istriku, kau adalah berkah terbesar dalam hidupku. Anak ini... akan menjadi penguasa semesta!”
Tanpa peduli darah dan air ketuban yang masih menempel di tubuh sang bayi, Kaisar keluar menuju podium utama istana, memperlihatkan putranya di hadapan para menteri, jenderal, dan pasukan yang berbaris rapi.
“Lihatlah!” serunya lantang. “Putra pertamaku, penerus tahta Kekaisaran Alam Matahari! Ia memiliki tubuh Dewa Perang dan akar spiritual tingkat Dewa! Ia akan menjadi penguasa seluruh alam!”
Sorak-sorai membahana.
Kaisar mengangkat bayinya dengan bangga. “Mulai hari ini, ia akan menjadi Putra Mahkota Alam Matahari. Aku menamainya Indra!”
Sorak-sorai kembali bergema, mengguncang dinding istana. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Seorang kasim tiba-tiba berlari tergopoh-gopoh dan membisikkan sesuatu di telinga Kaisar.
“Ada satu putra lagi yang lahir, Yang Mulia.”
Kaisar tertegun. “Apa...?”
Tanpa berkata banyak, ia menunduk pada para pejabat. “Tuan-tuan sekalian, aku pamit. Sang Ratu memanggilku.” Ia melangkah pergi dengan tenang, namun di matanya tersimpan campuran bingung dan was-was.
Di dalam kamar, sang permaisuri tampak pucat, kelelahan. Di sisinya, tabib kembali berlutut. “Yang Mulia, Pangeran Kedua telah lahir, namun...”
Kaisar menatap tajam. “Namun apa?”
Tabib itu menelan ludah. “Pangeran kedua... tidak memiliki akar spiritual. Ia hanya memiliki tubuh fana biasa.”
Ruangan seketika hening. Wajah Kaisar menegang. “Tidak mungkin! Aku adalah keturunan langsung Penguasa Alam. Bagaimana mungkin anakku lahir cacat seperti itu?!”
Tabib menunduk dalam. “Maaf, Yang Mulia. Tapi aku yakin... dua pangeran ini adalah berkah sekaligus ujian bagi kekaisaran.”
Sang Permaisuri langsung memotong dengan suara bergetar. “Jangan katakan anakku malapetaka! Ia lahir sehat! Aku melahirkannya dengan seluruh hidupku!”
Tabib menghela napas. “Pangeran pertama adalah karunia satu dalam sejuta tahun... namun pangeran kedua—” ia berhenti, takut melanjutkan.
Kaisar terdiam lama. Suaranya serak ketika bertanya, “Apa yang harus aku lakukan?”
“Membuangnya,” jawab tabib perlahan. “Jika tidak, mungkin ia akan membawa kehancuran bagi kekaisaran.”
Kata-kata itu seperti petir di dada Kaisar. Ia memejamkan mata, menarik napas dalam. Sang Permaisuri menangis keras, mengguncang tubuh lemah.
Sang Kaisar berjalan keluar kamar, berdiri di bawah langit yang gelap dan penuh petir. Suaranya pelan tapi bergetar. “Langit... mengapa memberiku ujian seberat ini? Jika aku membuang putraku, aku kejam sebagai ayah. Tapi jika aku membiarkannya hidup di sini, aku egois sebagai Kaisar... apa yang harus kulakukan?”
Tabib mendekat, menunduk. “Yang Mulia, anda harus memilih antara kasih sebagai ayah... atau tanggung jawab sebagai penguasa.”
Sang Ratu, dengan sisa tenaga terakhir, berusaha merangkak ke arah suaminya. “Yang Mulia... jangan buang anak kita. Aku mohon...” air matanya jatuh membasahi lantai. “Dia sehat, hanya berbeda. Aku akan membesarkannya, mendidiknya. Kekuatan bisa dilatih. Jangan buang darah dagingmu sendiri...”
Namun Kaisar diam. Lalu berkata datar, “Kasim.”
“Daulat Tuanku,” sahut kasim.
“Panggil Menteri Perang He.”
“Laksanakan, Yang Mulia.”
Kaisar lalu menatap tabibnya. “Tabib Scribinus, bungkus pangeran kedua itu baik-baik. Ia akan dibuang jauh dari istana... dan dari alam ini.”
Tabib itu menunduk dalam. “Daulat, Yang Mulia.”
Tak lama, Menteri Perang He tiba, berlutut. “Ada perintah apa, Yang Mulia?”
Kaisar menatap tajam. “Bawa pangeran kedua jauh dari kekaisaran. Tempatkan dia di dunia fana, di antara manusia biasa.”
Menteri He terkejut. “Apa? Tapi—”
“Ini perintah,” potong Kaisar tegas. “Anak itu tak bisa berkultivasi. Aku ingin ia hidup damai di dunia yang tak mengenal kekuatan.”
Menteri He menunduk dalam-dalam. “Baik, Yang Mulia.”
Sang Kaisar melepaskan cincin penyimpanan dari jarinya dan memberikannya. “Di dalamnya ada seluruh hartaku. Berikan padanya... sebagai tanda maaf seorang ayah.”
Menteri He menerimanya dengan hormat, namun sebelum pergi, Sang Ratu memanggil lirih, “Tunggu!”
Ia memeluk bayi kecil itu erat-erat. Air matanya jatuh ke pipi mungil sang anak. “Maafkan ibumu, nak... Aku tak mampu melindungimu. Tapi ketahuilah, kau adalah cahaya dalam hidupku. Aku menamakanmu Surya, penerang dalam kegelapan...”
Ia menyerahkan bayi itu dengan tangan gemetar.
Namun Kaisar berkata dingin, “Dia bukan Surya. Namanya Sura. Sisi gelap dari Kekaisaran Alam Matahari. Pastikan dia dibuang jauh... di dunia yang tenang, di mana manusia lemah hidup damai. Titipkan dia pada keluarga tanpa keturunan. Setelah itu, kembalilah.”
“Daulat, Yang Mulia.” Menteri He berlutut, lalu pergi di bawah deras hujan, membawa bayi kecil itu menuju takdirnya.
Kaisar berdiri lama di sana. Petir membelah langit di luar jendela. Ia menutup matanya, menahan perih di dada.
“Tabib Scribinus,” panggilnya perlahan. “Rahasiakan semuanya. Jika kabar ini bocor, kekaisaran akan terguncang.”
“Baik, Yang Mulia,” jawab tabib itu dengan hormat.
Kaisar menatap dingin ke arah para dayang. “Jika satu kata saja keluar dari mulut kalian... nyawa kalian taruhannya.”
Empat dayang berlutut gemetar. “Kami paham, Yang Mulia! Kami bersumpah akan diam!”
Ratu akhirnya pingsan di pelukan pelayan, sementara Kaisar meninggalkan ruangan dengan langkah berat, menuju ruang baca istana, menatap hujan deras yang membasahi langit Alam Matahari. Dalam hatinya, ia tahu—keputusan ini akan menghantui sisa hidupnya.
Di bawah badai malam itu, Menteri Perang He melangkah menembus hujan, membawa bayi kecil bernama Sura menuju dunia fana, jauh dari gemerlap langit Kekaisaran Alam Matahari.
Angin berputar liar, menyapu reruntuhan tembok yang baru saja hancur. Aura spiritual di udara menegang, menandai pertarungan besar yang nyaris pecah.Il Tianba berdiri tegak dengan dada telanjang, matanya menyala merah menyala seperti bara. Di atasnya, Qi Anfa melayang anggun di udara, jubah hitamnya berkibar bagai bayangan malam yang hidup.Sura berdiri di antara mereka, mengenakan pakaian sederhana, wajahnya tenang namun auranya memancar seperti gunung yang siap meletus.“Cukup!” suaranya menggema bagai gelegar petir di langit.Kedua iblis tua itu refleks menahan napas.Il Tianba mendengus. “Siapa kau, berani sekali bicara pada kami seperti itu?”Sura mengangkat alis. “Tch. Pertanyaan klasik.” Ia menghela napas, lalu menatap lurus ke arah Il Tianba. “Aku pemilik tempat ini. Orang yang temboknya baru saja kau hancurkan.”Qi Anfa menurunkan sedikit posisinya di udara, menatap Sura dengan rasa ingin tahu. “Kau pemiliknya? Tapi aku tak merasakan tanda sekte apa pun darimu.”“Tidak perlu
“Fummmmm…”Aura kuat bergetar lembut di udara saat tubuh Lin Boa diselimuti cahaya emas terang.“Ini… Aku naik tingkat? Hahahaha!” serunya girang, menatap kedua tangannya tak percaya. “Aku benar-benar berhasil menembus kemacetan kultivasiku yang sudah kutanggung selama tiga tahun terakhir!”Tanpa menunda, Lin Boa segera duduk bersila, menstabilkan aliran energi dan menyerap eliksir yang baru saja diberikan Tuannya. Di dalam dantiannya, pusaran energi spiritual berputar kencang, menandai langkah baru di jalur kultivasinya.“Ranah Pembentukan Pondasi tahap awal… Akhirnya aku sampai juga ke tingkat ini,” gumamnya penuh haru. “Setelah tiga tahun terhenti, Master benar-benar hebat…”Matanya berkaca-kaca saat ia menunduk. “Terima kasih, Tuanku. Kebaikan Tuan takkan pernah kulupakan seumur hidup.”“Ya, ya, ya… Itu cuma hal sepele,” sahut Sura santai, sambil menatap langit tanpa beban.“Tuanku, boleh aku bertanya?” ucap Lin Boa dengan suara hati-hati.“Ada apa, pengikut kecil? Apa yang membua
Sampai sekarang, Sura masih bingung bagaimana cara menggunakan dan memanfaatkan energi dari dantiannya. Bahkan ia tidak tahu apa nama dantian itu.“Yah, sudahlah,” gumamnya pelan. “Mungkin seiring waktu aku akan mengetahuinya juga. Bagaimana cara menggunakannya, memanfaatkannya, dan apa fungsinya untuk tubuhku.”Ia lalu merebahkan tubuh di kursi tidur peninggalan ayahnya, He Lagus, yang terletak di teras rumah. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma hutan yang menenangkan.Dalam Lautan Spiritual He Sura“Hei, Nak! Apa kau mendengarku?”Suara berat dan dalam menggema entah dari mana, bergema di lautan spiritual Sura.“Ya, aku mendengarmu. Siapa yang berbicara? Bagaimana kau bisa masuk ke dalam lautan spiritualku?” tanya Sura, matanya berputar waspada.“Aku adalah Pohon Dunia,” jawab suara itu tenang.“Oh… Pohon Dunia ternyata. Salam hormat, Moyang Pohon,” sapa Sura sopan.“Pantas saja bisa masuk ke lautan spiritualku,” gumamnya pelan.“Kau mengenalku?” tanya sang Pohon, terdengar s
"Boleh juga. Aku juga butuh seseorang yang bisa memasak makanan untukku dan mengurus rumah ini agar terlihat lebih baik lagi," gumam Sura dalam hati sambil terus mengunyah daging di mulutnya.Lin Boa menatapnya dengan ragu lalu berkata pelan, “Tuan, aku juga bisa melakukan apa pun yang kau perintahkan, termasuk…”“Sudahlah, tidak usah dilanjutkan,” potong Sura cepat, tak ingin mendengar sisa kalimat itu. Ia melanjutkan mengunyah daging di tangannya dengan tenang.“Tuanku, tolong berikan aku kesempatan. Aku akan melakukan apa pun yang Tuan minta, apa pun itu! Aku akan melakukannya agar bisa membalas budi kebaikan Tuan yang telah menyelamatkan hidupku. Bahkan jika Tuan tidak menerimaku sebagai pengikut, aku bersedia menjadi budakmu! Izinkan aku tetap bersamamu, aku berjanji akan melayanimu sepenuh hati!” teriak Lin Boa sambil menunduk memohon, suaranya bergetar di antara ketakutan dan tekad.Dalam hatinya, ia bergumam, “Tuanku ini orang yang sangat kuat. Aku harus bisa bertahan dari uji
Wanita iblis itu mengelus lembut wajah mangsanya, jari-jarinya bergerak pelan seperti ular licin yang membelai daging segar. Ia mendekat, menghirup dalam-dalam aroma tubuh mangsanya—wangi darah, ketakutan, dan kehidupan yang siap dilahap. Bibirnya menegang, terbuka lebar dengan senyum haus, dan dalam sekejap—“Haap.”Ia melahap mangsanya.Dan seketika—DUARRRRR!!!Sebuah pukulan ringan dari Sura menghantam tubuh wanita siluman itu, menghancurkannya menjadi debu tanpa sisa. Cahaya ledakan pukulannya menembus langit, menciptakan lubang besar di antara awan. Cahaya itu menjulang tinggi, dapat terlihat dari seluruh penjuru dunia—seolah surga sendiri terbelah oleh tangan seorang manusia.Sura memandangi telapak tangannya dengan mata melebar, masih belum percaya bahwa kekuatan sebesar itu berasal dari dirinya.“Hahahahahaha! Ayah! Aku berhasil! Aku berhasil, Ayah!” teriaknya dengan tawa yang pecah dan penuh kebahagiaan. Ia menengadah, seolah suara itu bisa menembus langit untuk mencapai sos
Sang Pohon Dunia menundukkan ranting sucinya, menyentuh lembut kening bayi kecil itu — He kecil. Dalam sekejap, tubuh mungil itu diselimuti cahaya putih keperakan, lalu menghilang dari Istana Surya, melesat menembus lapisan dimensi menuju dunia bawah yang jauh dan terpencil. Di sana, di sebuah planet kecil di galaksi Bima Sakti, di negeri antah berantah di atas bukit berlumut hijau, udara spiritual begitu tipis hingga hampir tak terasa.Sementara itu, cahaya yang sama turun perlahan. Seorang pria berotot dengan jubah perang compang-camping muncul bersamaan dengan bayi itu. Dialah He Lagus, Menteri Perang Kekaisaran Alam Matahari. Napasnya berat, matanya menatap ke sekeliling — dunia asing, sunyi, dan liar.Ia menggendong bayi kecil itu dengan hati-hati, tersenyum getir. “Aku, He Lagus, Menteri Perang Kekaisaran Alam Matahari, bersumpah akan membesarkanmu, Pangeran kecilku. Ayahmu, Sang Kaisar, telah memberimu nama... Sura. Maka mulai hari ini, aku akan memanggilmu: He Sura.”Tawanya m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments