Home / Fantasi / Dibalik perbedaan / bab 6 Diambang keputusasaan

Share

bab 6 Diambang keputusasaan

Author: GNZ Creator
last update Last Updated: 2024-09-06 19:34:12

Seraphina berdiri di atas bukit kecil di tepi desa, memandang pasukan kerajaan yang bersiap menyerang. Suara dentang logam dan derap kaki kuda memenuhi udara, membangkitkan ketegangan yang semakin menyiksa. Matahari yang terbenam memancarkan sinar keemasan, seakan menjadi pertanda bahwa hari itu bisa menjadi akhir dari segala harapan. Di bawahnya, desa tampak seperti sarang semut yang panik, penduduk berlarian mencari perlindungan sementara para pemberontak bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.

Di tengah kerumunan, Alaric mencoba memimpin penduduk untuk bertahan. Ia berusaha mengatur pasokan yang semakin menipis dan memastikan semua orang—terutama anak-anak dan orang tua—mendapat tempat yang aman. Namun, dalam hatinya, Alaric tahu bahwa apa pun yang mereka lakukan hanyalah penundaan dari kehancuran yang tak terelakkan.

“Alaric!” teriak Seraphina, berlari ke arahnya dengan napas tersengal. Wajahnya memerah, dan matanya penuh kekhawatiran. “Pasukan akan menyerang dalam hitungan jam. Kita harus melakukan sesuatu.”

Alaric menoleh, dan untuk pertama kalinya Seraphina melihat sorot putus asa di mata pria yang biasanya penuh keyakinan itu. “Aku tahu, Seraphina. Tapi apa yang bisa kita lakukan sekarang? Marcus terluka parah, desa ini terpecah, dan kita terjepit dari segala arah.”

Seraphina menggenggam tangan Alaric, berusaha menyalurkan kekuatan yang tersisa. “Kita masih punya bukti. Kita masih bisa membawa ini ke hadapan Raja Alden, kita bisa...”

“Dan bagaimana kita akan sampai ke sana?” potong Alaric dengan nada frustrasi. “Setiap jalan keluar diawasi. Jika kita mencoba mendekat, kita hanya akan ditangkap atau dibunuh.”

Seraphina terdiam, merasakan beratnya situasi yang semakin mencekiknya. Ia menatap desa yang berantakan, orang-orang yang ketakutan dan marah. Di satu sisi, ia merasa gagal sebagai seorang putri yang seharusnya melindungi rakyatnya. Di sisi lain, ia merasa tidak berdaya di hadapan ayahnya yang keras kepala. Namun, saat itu, sebuah ide nekat muncul di benaknya.

“Aku harus pergi sendiri,” kata Seraphina tiba-tiba, suaranya tegas meski ada getar ketakutan di dalamnya.

Alaric memandangnya dengan kaget. “Apa maksudmu? Kau tidak bisa pergi sendiri, itu terlalu berbahaya!”

“Ayahku hanya akan mendengarkan jika aku yang langsung menghadap. Jika aku bisa sampai di depan pasukan dan menunjukkan bukti ini, aku mungkin bisa menghentikan serangan. Ini satu-satunya cara.”

Alaric ingin menolak, tapi dia tahu bahwa Seraphina benar. Tidak ada waktu lagi untuk rencana yang rumit atau negosiasi. Mereka membutuhkan aksi yang drastis, dan Seraphina adalah satu-satunya yang mungkin bisa menghentikan Raja Alden.

***

Dengan hati-hati, Seraphina menyelinap keluar dari desa dengan bantuan Alaric.Dengan hati-hati, Seraphina menyelinap keluar dari desa dengan bantuan Alaric yang menyamar sebagai penjaga. Mereka berhasil mengelabui para prajurit yang menjaga jalan masuk, dan perlahan bergerak mendekati garis depan pasukan kerajaan. Namun, perjalanan itu tidaklah mudah. Di setiap sudut, mata-mata kerajaan mengintai, dan jebakan tersebar di mana-mana. Setiap langkah terasa berisiko, seolah-olah mereka berjalan di atas benang tipis yang bisa putus kapan saja.

Seraphina merasa hatinya berdebar keras. Di sepanjang jalan, ia bisa melihat pasukan bersenjata lengkap, bersiap untuk menyerang desa. Ia harus bertindak cepat. Di tengah bayangan malam yang semakin pekat, Seraphina melihat titik terang: tenda pusat komando pasukan kerajaan, tempat ayahnya berada. Namun, saat mendekat, mereka dihadang oleh dua prajurit dengan ekspresi garang.

“Kalian siapa?” tanya salah satu prajurit dengan curiga. “Tidak ada yang diizinkan mendekat kecuali atas perintah Raja!”

Seraphina mengangkat tudung jubahnya, memperlihatkan wajahnya. “Aku Putri Seraphina. Aku harus bertemu dengan ayahku sekarang.”

Prajurit itu terkejut, namun masih ragu. “Putri Seraphina? Bagaimana kami tahu Anda tidak menyamar? Anda bisa saja seorang pemberontak.”

Seraphina berusaha tenang, meski di dalam hatinya ia merasa cemas. “Kalau kalian masih meragukan, bawa aku langsung ke Raja Alden. Dia yang akan memutuskan. Tapi ingat, setiap menit yang kalian habiskan meragukanku, adalah menit yang bisa menghancurkan desa ini.”

Setelah beberapa saat, prajurit itu akhirnya memberi jalan. Mereka berjalan menuju tenda besar di pusat kamp, dan di sana, Raja Alden berdiri di depan peta besar bersama para jenderal dan penasihatnya, mengatur strategi untuk serangan. Ketika Seraphina masuk, seluruh ruangan terdiam. Raja Alden menoleh, ekspresinya berubah antara marah dan terkejut.

“Seraphina?” suaranya terdengar tegas, namun ada nada kekhawatiran tersembunyi di baliknya. “Apa yang kau lakukan di sini? Ini bukan tempat untukmu.”

Seraphina maju dengan penuh keberanian, meski tangannya sedikit gemetar. Ia menatap ayahnya dengan tajam. “Ayah, aku datang untuk menghentikan serangan ini. Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Garreth telah berbohong. Ini semua permainan kotor!”

Raja Alden memandangi putrinya dengan tatapan tajam, lalu mengangguk kepada salah satu pengawalnya. “Bawa dokumen itu padaku,” perintahnya dingin. Seraphina menyerahkan bukti yang dibawanya, berupa surat-surat rahasia dan bukti sabotase yang dilakukan oleh Garreth. Raja Alden membaca dengan seksama, dan semakin dalam ia membaca, semakin gelap raut wajahnya.

“Apa artinya ini?” Alden berkata dengan suara serak. “Ini... ini tidak mungkin.”

Seraphina melihat ada celah kecil—kesempatan bagi mereka untuk mengubah segalanya. “Ini adalah bukti bahwa Garreth berkhianat. Dia menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi kerajaan, dan sekarang kita menyerang desa yang seharusnya kita lindungi!”

Para penasihat di sekeliling mulai berbisik, perpecahan mulai tampak di antara mereka. Beberapa dari mereka setuju dengan Seraphina, sementara yang lain masih ragu dan tidak mempercayai bukti tersebut. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah kehadiran Lord Varyn, seorang bangsawan yang terkenal licik dan pendukung utama Garreth. Wajahnya dingin dan tanpa emosi, namun mata Varyn tidak pernah lepas dari dokumen itu.

“Yang Mulia,” Varyn akhirnya angkat bicara dengan tenang namun penuh racun. “Apakah kita akan mempercayai seorang putri yang meninggalkan istana untuk bersekutu dengan pemberontak? Ini bisa jadi tipu daya untuk melemahkan kita.”

Raja Alden terdiam, terlihat terombang-ambing antara kebingungan dan kemarahan. Varyn tersenyum tipis, menyadari bahwa ia berhasil menanamkan benih keraguan di benak raja. Seraphina merasakan ketegangan yang mencekik. Dia tahu, jika Varyn dibiarkan bicara lebih jauh, semua usahanya akan sia-sia.

“Ini bukan tipu daya!” Seraphina berteriak, nadanya mengguncang ruangan. “Aku adalah putri Anda, dan aku tidak akan mengkhianati kerajaan ini. Tapi kita telah dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya melindungi kita!”

Alden menatap putrinya lama, mencari kebenaran di matanya. Di sisi lain, Varyn tidak tinggal diam. Ia tahu bahwa posisinya terancam, dan ia tidak akan membiarkan Seraphina memenangkan pertempuran ini.

“Yang Mulia, pertimbangkan ini,” Varyn berkata dengan tenang namun menusuk. “Jika Anda menarik mundur pasukan sekarang, itu akan menjadi tanda kelemahan. Garreth mungkin telah berbuat salah, tetapi pemberontakan ini sudah terlanjur menyebar. Desa itu tidak lagi bisa dianggap sekadar korban. Mereka telah melawan kita!”

Seraphina mendekat, berusaha mengendalikan emosi yang berkecamuk. “Ayah, tolong dengarkan aku. Jika kita terus menyerang, kita akan membakar semua yang tersisa. Mereka akan melawan sampai titik darah penghabisan, dan itu tidak akan membawa kita ke mana-mana kecuali kehancuran.”

Raja Alden termenung, lalu akhirnya menghela napas berat. “Aku... membutuhkan waktu untuk memikirkan ini.”

Namun, sebelum ada keputusan dibuat, ledakan tiba-tiba mengguncang tenda. Seraphina terhuyung, dan prajurit langsung berlarian ke luar untuk melihat apa yang terjadi. Di kejauhan, asap hitam membubung ke langit. Pasukan yang setia kepada Garreth telah menyalakan api konflik, menyerang lebih dulu tanpa perintah.

Varyn tersenyum licik, meski menyembunyikannya dengan cepat di balik ekspresi khawatir. “Yang Mulia, kita sudah diserang. Kita tidak punya pilihan lain selain melawan.”

Raja Alden berbalik dengan marah. “Siapa yang memerintahkan serangan itu? Aku belum memberi komando!”

Seraphina tahu bahwa ini adalah permainan terakhir dari para loyalis Garreth. Mereka tidak akan membiarkan perdamaian terjadi, dan mereka siap memicu perang agar kekacauan terus berlanjut. Seraphina dan Alaric berlari keluar tenda, melihat situasi semakin kacau. Pertempuran pecah tanpa perintah, prajurit kerajaan dan warga desa saling menyerang dalam kepanikan.

Di tengah kekacauan, Alaric melihat seorang prajurit yang tampak familiar—salah satu anak buah Garreth yang terkenal kejam. Dia memimpin kelompok kecil yang dengan sengaja menembakkan panah api ke arah gudang persediaan desa, memicu kebakaran besar. Alaric dan Seraphina berusaha menghentikannya, tapi mereka kalah jumlah.

Alaric maju, menggunakan sihirnya untuk menciptakan penghalang api yang besar, mencegah api menyebar lebih jauh. Namun, prajurit itu menertawakan upaya Alaric. “Sihirmu tidak akan menyelamatkan mereka kali ini, pesulap! Kau dan desamu sudah selesai!”

Alaric menggertakkan giginya, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan api. Seraphina, di sisi lain, berusaha mengumpulkan penduduk untuk melawan, tapi ketakutan sudah terlanjur merajalela. Di tengah kekacauan, seseorang dari pasukan kerajaan yang setia pada Seraphina datang membawa kabar buruk: Marcus, yang sudah terluka parah, telah disandera oleh kelompok pemberontak pro-Garreth yang tersisa. Mereka ingin menggunakan Marcus sebagai alat tawar untuk melarikan diri.

“Seraphina!” Alaric berteriak, mencoba menahan prajurit yang terus menyerang. “Kita harus selamatkan Marcus! Mereka akan membunuhnya jika kita tidak segera bertindak.”

Seraphina merasa terhimpit di antara dua pilihan: menyelamatkan Marcus atau mencoba mengendalikan situasi yang semakin kacau. Ia tahu, jika Marcus mati, semangat perlawanan desa akan runtuh sepenuhnya. Tapi meninggalkan Alaric berarti membiarkan api konflik ini membesar dan tak terkendali.

Dengan berat hati, Seraphina memutuskan untuk menyelamatkan Marcus. Bersama Alaric, mereka menembus barikade, melawan para prajurit yang berusaha menghalangi. Mereka bertarung di setiap sudut, menghadapi musuh yang tidak hanya datang dengan pedang, tapi juga dengan kebencian yang membara.

Di sebuah gudang tua yang hampir roboh, mereka menemukan Marcus yang diikat dan terluka. Dengan cepat, Alaric menghancurkan rantai yang mengikat Marcus, sementara Seraphina menghalau para prajurit yang mengejar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibalik perbedaan   bab 25 konfrontasi besar di istana

    Alaric, Seraphina, Miranda, dan Jameson, bersama sisa-sisa kelompok perlawanan, terus bergerak melintasi Ardencia yang kini berubah menjadi ladang perburuan. Pasukan Raja Alden menyebar di seluruh penjuru kota, menutup setiap jalan keluar, dan menyisir setiap sudut yang mungkin menjadi tempat persembunyian mereka. Dari balik jendela-jendela yang pecah, warga kota yang ketakutan menyaksikan kejar-kejaran yang tak berkesudahan ini, melihat dengan mata mereka sendiri betapa kerasnya rezim Alden dalam menghadapi setiap ancaman terhadap kekuasaannya. Dengan Seraphina yang baru saja diselamatkan dan Albrecht yang gugur di pertempuran sebelumnya, kelompok ini terpaksa bersembunyi di pinggiran kota yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk pasukan kerajaan. Mereka bersembunyi di sebuah gubuk tua yang tersembunyi di dalam hutan lebat, sebuah tempat yang hanya diketahui oleh sedikit orang. Gubuk ini dulunya milik seorang pemburu yang sekarang sudah lama pergi, menjadi sa

  • Dibalik perbedaan   bab 24 kepungan dimalam hari

    Saat matahari mulai merangkak naik di langit Ardencia, suasana kota dipenuhi ketegangan yang terasa seperti petir di udara. Serangan besar di gerbang istana semalam membuahkan hasil yang mengejutkan; pasukan perlawanan berhasil mendesak penjaga istana mundur, meskipun belum mampu menembus ke dalam. Rakyat mulai percaya bahwa kemenangan bukanlah mimpi yang tak terjangkau. Namun, di balik sorak sorai kemenangan kecil itu, bayang-bayang pengkhianatan mulai merayap di dalam kelompok perlawanan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht berkumpul kembali di rumah persembunyian mereka yang tersembunyi di pinggiran kota. Wajah-wajah mereka mencerminkan kelelahan sekaligus tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu bahwa perlawanan ini belum selesai—masih banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Namun, saat mereka sedang mempersiapkan strategi berikutnya, seorang pria yang tidak asing tiba-tiba memasuki ruangan dengan ekspresi yang mencurigakan.

  • Dibalik perbedaan   bab 23 kebangkitan perlawanan

    Kabar tentang ledakan besar di gudang persenjataan istana Ardencia tersebar luas bagaikan api yang tak terkendali. Malam itu, kota yang dulunya sunyi dan tercekam berubah menjadi medan pertempuran batin bagi setiap penduduknya. Para prajurit kerajaan bergerak lebih waspada, meningkatkan pengawasan, sementara rakyat Ardencia mulai merasakan harapan yang lama hilang. Mereka tahu, ada seseorang yang berani melawan tirani Raja Alden, dan itu cukup untuk menyalakan kembali api perlawanan di hati mereka. Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, sebuah kelompok kecil berkumpul dalam kerahasiaan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht duduk melingkar di sekitar meja kayu yang usang, dipenuhi peta Ardencia dan catatan-catatan tentang pergerakan pasukan kerajaan. Malam ini adalah malam yang penting; mereka sedang merencanakan kebangkitan perlawanan yang lebih besar dari sekadar serangan mendadak. Alaric, sang pesulap yang pernah menjadi tulang punggung

  • Dibalik perbedaan   bab 22 penyusupan yang beresiko

    Seraphina merapatkan selimut tipis di tubuhnya yang menggigil. Meskipun malam semakin larut, ia tidak bisa memejamkan mata. Kata-kata Duke Alistair masih terngiang di benaknya, menjadi api kecil yang membakar kegelisahan di hatinya. Ia tahu bahwa Alaric berada dalam bahaya, dan ia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi umpan dalam permainan kotor Raja Alden dan para pejabatnya. Seraphina bukanlah wanita yang bisa dipermainkan begitu saja; ia adalah seorang pejuang yang sudah terbiasa menghadapi kematian dan pengkhianatan. Di sudut sel, Seraphina memandangi batu yang retak dan dinding yang penuh lumut. Ia menelusuri celah-celah kecil yang mungkin bisa menjadi jalan keluar. Satu-satunya cara untuk menghentikan rencana Raja Alden adalah dengan keluar dari tempat ini. Namun, melarikan diri dari penjara paling ketat di Aldencia bukanlah hal yang mudah, terlebih dengan penjagaan ketat dan penjaga yang tak kenal ampun. Seraphina tahu bahwa ia tidak bisa melakukan ini se

  • Dibalik perbedaan   bab 21 perjuangan pangeran luthar

    Di dalam penjara Aldencia yang gelap dan suram, Seraphina duduk sendirian di sudut selnya, mencoba bertahan dari dinginnya malam dan kesendirian yang membayangi setiap detik yang berlalu. Dinding batu yang dingin dan lembap seakan-akan menutup setiap harapan yang pernah ia miliki, membuatnya merasa terjebak di dalam mimpi buruk yang tak berujung. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menjadi satu-satunya hiburan yang menemani hari-harinya yang sepi. Seraphina telah berada di dalam sel sempit ini selama berbulan-bulan, dipisahkan dari dunia luar, dari Alaric, dan dari semua yang ia cintai. Sejak penangkapannya, Seraphina tidak pernah diberi penjelasan apa pun oleh para penjaga. Ia hanya diberitahu bahwa ia adalah tahanan politik yang dianggap sebagai ancaman bagi kerajaan. Namun, di balik semua itu, ia tahu bahwa dirinya hanyalah pion dalam permainan kekuasaan Raja Aldencia, alat untuk menjebak Alaric. Meski kondisi fisiknya tampak melemah, sem

  • Dibalik perbedaan   bab 20 Hasrat tak terbendung

    Latihan keras dan pertempuran tak henti-hentinya membuat Alaric, Jameson, dan Miranda semakin dekat. Setiap hari mereka berlatih bersama, berbagi canda tawa di tengah rasa lelah, dan menjadi sandaran satu sama lain saat kesulitan menghampiri. Namun, di balik keakraban mereka, ada momen-momen pribadi yang tak terucap, terutama antara Alaric dan Miranda. Malam itu, Alaric duduk di tepi sungai dengan pandangan menerawang. Luka di wajahnya masih terasa perih, namun yang lebih menyakitkan adalah luka di dalam hatinya. Ia merenung, menatap bayangan dirinya yang terpantul di air sungai. Dengan satu mata yang tersisa, Alaric melihat sosoknya yang berubah; tidak lagi pesulap muda yang penuh percaya diri, melainkan seorang pria yang dihantui oleh kehilangan. Miranda datang mendekat, membawa kain bersih dan semangkuk air hangat. Ia duduk di sebelah Alaric tanpa banyak bicara, lalu mulai mengganti perban di wajah Alaric dengan tangan yang lembut. Mata birunya menat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status