Raja Alden masih berdiri dengan ekspresi marah, tangannya mengepal di atas meja besar yang dipenuhi peta strategi dan laporan kerusuhan. Di hadapannya, Seraphina mencoba menjelaskan, namun kata-katanya tenggelam dalam kemarahan Raja. Di sekeliling ruangan, para penasehat kerajaan hanya bisa berbisik, terlalu takut untuk ikut campur dalam perselisihan antara raja dan putrinya.
“Kau telah mempermalukan kerajaan,” bentak Raja Alden, suaranya menggema di ruangan yang dingin. “Ini bukan hanya tentang desa itu lagi, Seraphina. Kau menyeret seluruh kerajaan ke dalam kekacauan dengan membiarkan mereka menyerang kita.” Seraphina menghela napas, berusaha tetap tenang meski hatinya penuh dengan kepedihan. “Ayah, aku tahu ini terlihat buruk, tapi mereka terdesak. Orang-orang di desa disabotase oleh pihak-pihak dari kerajaan kita sendiri. Mereka tidak tahu harus percaya pada siapa lagi.” Raja Alden menatap Seraphina dengan tajam. “Dan kau pikir mereka akan percaya padamu? Sejak awal, aku tahu perjanjian ini lemah. Kau tidak bisa mengubah keadaan dengan belas kasihan saja.” Ratu Mirabelle yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. “Alden, mungkin kita bisa mencari solusi lain. Kekerasan bukan jawabannya. Kita masih bisa...” “Apa kau tidak lihat apa yang terjadi?” Raja Alden memotong, suaranya penuh frustrasi. “Mereka membakar gudang kita! Mereka menyerang wilayah kita! Ini adalah pemberontakan, dan kita harus menghentikannya.” Seraphina tahu bahwa kali ini tidak ada lagi kata-kata yang bisa mengubah pikiran ayahnya. Ia dipanggil keluar oleh para penjaga, diberi tahu bahwa ia akan diisolasi sementara situasi ditinjau ulang. Seraphina menatap ibunya dengan mata memohon, namun Ratu Mirabelle hanya bisa memberikan tatapan penuh kesedihan. Ia ditarik pergi, meninggalkan ruangan dengan rasa sakit di hatinya. *** Di desa, situasi semakin memanas. Serangan yang dipimpin Marcus membuat penduduk terpecah menjadi dua kelompok besar: mereka yang percaya bahwa perlawanan keras adalah satu-satunya jalan, dan mereka yang masih berharap pada solusi damai yang dipelopori oleh Seraphina dan Alaric. Ketegangan antara kedua kelompok ini memuncak ketika prajurit kerajaan memperketat blokade, membuat pasokan makanan dan air semakin sulit didapat. Marcus, yang kini menjadi pemimpin kelompok perlawanan, semakin keras dalam tindakannya. Ia dan pengikutnya mulai merencanakan aksi-aksi yang lebih berani, termasuk menyabotase jalur pasokan kerajaan. Mereka beroperasi di malam hari, menghancurkan jembatan dan menyerang patroli kerajaan yang berjaga di sekitar desa. Alaric, yang masih berusaha menjadi jembatan antara kedua kelompok, kini menghadapi dilema terbesar dalam hidupnya. Ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Marcus dan para pemuda yang memilih jalan perlawanan, namun ia juga tahu bahwa kekerasan hanya akan membawa kehancuran yang lebih besar. Di tengah konflik ini, Alaric semakin kehilangan arah, dan bayang-bayang tanggung jawab membuatnya merasa tercekik. Satu malam, Alaric memutuskan untuk menemui Marcus secara diam-diam. Mereka bertemu di bekas gudang tua yang kini menjadi markas sementara kelompok perlawanan. Marcus sedang merancang peta strategis serangan berikutnya ketika Alaric datang. Wajahnya yang dulu penuh semangat kini tampak keras dan penuh amarah. “Alaric, kau datang untuk menentangku lagi?” tanya Marcus dingin, tanpa menoleh dari peta yang dipegangnya. “Marcus, ini tidak akan membawa kita ke mana-mana,” kata Alaric, mencoba menahan emosinya. “Seranganmu hanya membuat kerajaan semakin keras. Mereka akan menghancurkan desa ini, dan semua yang kita perjuangkan akan sia-sia.” Marcus tertawa pahit. “Kita sudah mencoba cara damai. Dan lihat apa yang terjadi? Mereka hanya memberi kita janji kosong. Kau tahu, Alaric, kau terlalu naif. Kerajaan tidak akan pernah benar-benar peduli pada kita.” Alaric menghela napas, mendekat ke Marcus. “Aku mengerti kemarahanmu, tapi kita harus menemukan cara lain. Jika kita terus menyerang, Raja Alden tidak akan segan-segan menghancurkan desa ini.” Marcus akhirnya menatap Alaric, mata mereka bertemu dalam kesunyian yang mencekam. “Lalu apa yang kau usulkan, Alaric? Berlutut dan memohon? Karena aku sudah lelah hidup seperti ini.” Kata-kata Marcus membuat Alaric tersentak. Ia tahu bahwa Marcus tidak akan mundur, dan kali ini Alaric harus membuat keputusan besar: berdiri bersama Marcus dalam perlawanan atau mencari cara lain untuk menyelamatkan desanya. *** Di istana, Seraphina yang kini diisolasi tidak tinggal diam. Ia bertekad untuk mencari jalan keluar meski harus menghadapi ayahnya lagi. Dalam keterbatasan, ia berusaha berkomunikasi dengan para bangsawan yang masih memiliki simpati terhadap rakyat desa, mencoba mendapatkan dukungan yang cukup untuk menghentikan rencana penghancuran desa. Namun, jalannya tidak mudah. Banyak bangsawan yang merasa terancam dengan ide-ide Seraphina yang dianggap radikal, dan sedikit yang berani menentang Raja secara terbuka. Di tengah isolasi ini, Seraphina menerima kunjungan dari seseorang yang tak disangka-sangka: Marcus. Ia diselundupkan masuk ke istana dengan bantuan seorang pelayan yang diam-diam bersimpati pada desa. Seraphina terkejut melihat Marcus di ruang isolasinya, namun segera menyadari betapa berbahayanya situasi ini. “Apa yang kau lakukan di sini? Ini berbahaya!” seru Seraphina, suaranya rendah namun penuh kekhawatiran. Marcus tersenyum tipis. “Aku tahu ini gila, tapi aku tidak bisa membiarkan semua ini terjadi tanpa mencoba sesuatu. Aku datang untuk bicara—kita butuh strategi lain, dan aku ingin tahu apa yang bisa kau tawarkan.” Seraphina menatap Marcus dengan bingung. “Aku pikir kau sudah memutuskan untuk berperang. Kenapa kau berubah pikiran?” Marcus menggeleng. “Aku tidak berubah pikiran soal kerajaan, tapi aku mulai sadar bahwa ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan senjata. Kau punya akses yang aku tidak punya, dan aku ingin tahu apa yang bisa kita lakukan bersama.” Seraphina merasakan secercah harapan. Meski kecil, Marcus mau mendengarkan berarti masih ada peluang untuk menyelamatkan desa tanpa harus berperang total. Mereka berbincang sepanjang malam, menyusun rencana baru yang bisa menghentikan blokade tanpa memperparah konflik. *** Di luar, ketegangan semakin memuncak ketika pasukan kerajaan mulai berkumpul di perbatasan desa, bersiap untuk serangan besar-besaran. Komandan Garreth telah mempersiapkan skenario terburuk, memastikan bahwa desa akan ditundukkan tanpa ada sisa perlawanan. Alaric, yang merasa semakin terjepit di antara dua kekuatan yang bertikai, sadar bahwa waktunya hampir habis. Sementara itu, Seraphina dan Marcus berhasil menyusup keluar dari istana dengan bantuan beberapa sekutu tak terduga. Mereka membawa bukti sabotase dan rencana Garreth untuk menghancurkan desa, dan berencana membeberkan semuanya di depan publik. Mereka berharap dengan membuka mata semua orang, bahkan Raja Alden sekalipun, akan melihat bahwa konflik ini hanyalah permainan dari orang-orang yang haus kekuasaan. Namun, di tengah perjalanan mereka, Marcus terluka parah saat mencoba melawan patroli kerajaan. Seraphina berhasil melarikan diri dengan bantuan Alaric yang muncul tepat waktu, namun kehilangan Marcus membuatnya terpukul. Marcus, yang telah mulai berubah dan bersedia berjuang bersama, kini tergolek tak berdaya di ambang kematian. Dengan sisa tenaga dan amarah, Seraphina bersama Alaric kembali ke desa, membawa bukti yang bisa mengubah segalanya. Mereka memperlihatkan semua yang mereka temukan pada penduduk desa, yang akhirnya mulai mengerti bahwa sabotase dan blokade adalah bagian dari rencana jahat Garreth. Namun, situasi semakin genting ketika prajurit kerajaan mulai menyerang. Di tengah kekacauan, Seraphina dan Alaric harus membuat keputusan yang sulit: melawan dengan kekuatan penuh atau menggunakan momen ini untuk membuka mata seluruh kerajaan tentang kebohongan yang terjadi. Seraphina akhirnya memutuskan untuk maju, berdiri di depan prajurit dengan membawa bukti di tangannya. Di tengah medan pertempuran, ia berteriak lantang, memanggil Raja Alden dan membeberkan semua yang telah terjadi. “Lihatlah kebenaran ini, Ayah! Semua ini adalah permainan Garreth, bukan kehendak rakyat!” Raja Alden, yang menyaksikan langsung di garis depan, akhirnya terdiam. Di tengah konflik yang semakin memanas, kebenaran yang dibawa Seraphina mulai menggoyahkan hatinya. Komandan Garreth, yang merasa posisinya terancam, langsung memerintahkan serangan penuhAlaric, Seraphina, Miranda, dan Jameson, bersama sisa-sisa kelompok perlawanan, terus bergerak melintasi Ardencia yang kini berubah menjadi ladang perburuan. Pasukan Raja Alden menyebar di seluruh penjuru kota, menutup setiap jalan keluar, dan menyisir setiap sudut yang mungkin menjadi tempat persembunyian mereka. Dari balik jendela-jendela yang pecah, warga kota yang ketakutan menyaksikan kejar-kejaran yang tak berkesudahan ini, melihat dengan mata mereka sendiri betapa kerasnya rezim Alden dalam menghadapi setiap ancaman terhadap kekuasaannya. Dengan Seraphina yang baru saja diselamatkan dan Albrecht yang gugur di pertempuran sebelumnya, kelompok ini terpaksa bersembunyi di pinggiran kota yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk pasukan kerajaan. Mereka bersembunyi di sebuah gubuk tua yang tersembunyi di dalam hutan lebat, sebuah tempat yang hanya diketahui oleh sedikit orang. Gubuk ini dulunya milik seorang pemburu yang sekarang sudah lama pergi, menjadi sa
Saat matahari mulai merangkak naik di langit Ardencia, suasana kota dipenuhi ketegangan yang terasa seperti petir di udara. Serangan besar di gerbang istana semalam membuahkan hasil yang mengejutkan; pasukan perlawanan berhasil mendesak penjaga istana mundur, meskipun belum mampu menembus ke dalam. Rakyat mulai percaya bahwa kemenangan bukanlah mimpi yang tak terjangkau. Namun, di balik sorak sorai kemenangan kecil itu, bayang-bayang pengkhianatan mulai merayap di dalam kelompok perlawanan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht berkumpul kembali di rumah persembunyian mereka yang tersembunyi di pinggiran kota. Wajah-wajah mereka mencerminkan kelelahan sekaligus tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu bahwa perlawanan ini belum selesai—masih banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Namun, saat mereka sedang mempersiapkan strategi berikutnya, seorang pria yang tidak asing tiba-tiba memasuki ruangan dengan ekspresi yang mencurigakan.
Kabar tentang ledakan besar di gudang persenjataan istana Ardencia tersebar luas bagaikan api yang tak terkendali. Malam itu, kota yang dulunya sunyi dan tercekam berubah menjadi medan pertempuran batin bagi setiap penduduknya. Para prajurit kerajaan bergerak lebih waspada, meningkatkan pengawasan, sementara rakyat Ardencia mulai merasakan harapan yang lama hilang. Mereka tahu, ada seseorang yang berani melawan tirani Raja Alden, dan itu cukup untuk menyalakan kembali api perlawanan di hati mereka. Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, sebuah kelompok kecil berkumpul dalam kerahasiaan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht duduk melingkar di sekitar meja kayu yang usang, dipenuhi peta Ardencia dan catatan-catatan tentang pergerakan pasukan kerajaan. Malam ini adalah malam yang penting; mereka sedang merencanakan kebangkitan perlawanan yang lebih besar dari sekadar serangan mendadak. Alaric, sang pesulap yang pernah menjadi tulang punggung
Seraphina merapatkan selimut tipis di tubuhnya yang menggigil. Meskipun malam semakin larut, ia tidak bisa memejamkan mata. Kata-kata Duke Alistair masih terngiang di benaknya, menjadi api kecil yang membakar kegelisahan di hatinya. Ia tahu bahwa Alaric berada dalam bahaya, dan ia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi umpan dalam permainan kotor Raja Alden dan para pejabatnya. Seraphina bukanlah wanita yang bisa dipermainkan begitu saja; ia adalah seorang pejuang yang sudah terbiasa menghadapi kematian dan pengkhianatan. Di sudut sel, Seraphina memandangi batu yang retak dan dinding yang penuh lumut. Ia menelusuri celah-celah kecil yang mungkin bisa menjadi jalan keluar. Satu-satunya cara untuk menghentikan rencana Raja Alden adalah dengan keluar dari tempat ini. Namun, melarikan diri dari penjara paling ketat di Aldencia bukanlah hal yang mudah, terlebih dengan penjagaan ketat dan penjaga yang tak kenal ampun. Seraphina tahu bahwa ia tidak bisa melakukan ini se
Di dalam penjara Aldencia yang gelap dan suram, Seraphina duduk sendirian di sudut selnya, mencoba bertahan dari dinginnya malam dan kesendirian yang membayangi setiap detik yang berlalu. Dinding batu yang dingin dan lembap seakan-akan menutup setiap harapan yang pernah ia miliki, membuatnya merasa terjebak di dalam mimpi buruk yang tak berujung. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menjadi satu-satunya hiburan yang menemani hari-harinya yang sepi. Seraphina telah berada di dalam sel sempit ini selama berbulan-bulan, dipisahkan dari dunia luar, dari Alaric, dan dari semua yang ia cintai. Sejak penangkapannya, Seraphina tidak pernah diberi penjelasan apa pun oleh para penjaga. Ia hanya diberitahu bahwa ia adalah tahanan politik yang dianggap sebagai ancaman bagi kerajaan. Namun, di balik semua itu, ia tahu bahwa dirinya hanyalah pion dalam permainan kekuasaan Raja Aldencia, alat untuk menjebak Alaric. Meski kondisi fisiknya tampak melemah, sem
Latihan keras dan pertempuran tak henti-hentinya membuat Alaric, Jameson, dan Miranda semakin dekat. Setiap hari mereka berlatih bersama, berbagi canda tawa di tengah rasa lelah, dan menjadi sandaran satu sama lain saat kesulitan menghampiri. Namun, di balik keakraban mereka, ada momen-momen pribadi yang tak terucap, terutama antara Alaric dan Miranda. Malam itu, Alaric duduk di tepi sungai dengan pandangan menerawang. Luka di wajahnya masih terasa perih, namun yang lebih menyakitkan adalah luka di dalam hatinya. Ia merenung, menatap bayangan dirinya yang terpantul di air sungai. Dengan satu mata yang tersisa, Alaric melihat sosoknya yang berubah; tidak lagi pesulap muda yang penuh percaya diri, melainkan seorang pria yang dihantui oleh kehilangan. Miranda datang mendekat, membawa kain bersih dan semangkuk air hangat. Ia duduk di sebelah Alaric tanpa banyak bicara, lalu mulai mengganti perban di wajah Alaric dengan tangan yang lembut. Mata birunya menat