"Nyonya, hari mulai gelap, sebentar lagi Maghrib. Ada baiknya Nyonya masuk."
Aku diam bergeming mengabaikan perkataan Neni.
"Maaf Nyonya, katanya tidak baik duduk di alam terbuka begini di luar rumah menjelang Maghrib. Apalagi saat ini Nyonya sedang mengandung." Tidak menyerah, Neni masih membujukku masuk ke dalam.
"Iya, aku akan masuk. Biarkan aku di sini sebentar lagi." Aku ingin meredakan sakit di hati setelah melihat foto tersebut.
Setelahnya, tidak terdengar lagi suara Neni, yang ada derap langkah kaki berjalan semakin menjauh.
Kupandangi langit yang berwarna kelabu dengan mendongak ke atas.
***
"Luna, Varel, ayo masuk! Jangan di luar. Sudah mau Maghrib. Ayo bersiap sholat Maghrib." Aku jadi teringat Ibu. Beliau
Bulan?Aku dan Pak Arik saling tatap."Kenapa diterima?" Nada suara Pak Arik terdengar keras."E .. anu Pak, kata Budi alamatnya benar di sini, terus dia juga menyebut nama Bapak, dan belum sempat dikonfirmasi ke Bapak, orang yang mengantar paket itu sudah pergi." Neni menjelaskan dengan terbata."Ya, paketnya jangan diambil dulu. Bagaimana kalau ini isinya narkoba? Siapa yang mau tanggung jawab? Kamu?" Neni terdiam tertunduk tidak berani menatap laki-laki yang berdiri di sebelahku. Suamiku ini, kalau lagi bicara serius atau marah memang menakutkan."Maaf, Pak. Saya minta maaf." Hanya kata itu yang terucap terus-menerus keluar dari bibir Neni."Mas, sudah. Ini sudah malam. Besok saja kita lanjutkan nanyanya. Biarkan Neni istirahat." Aku mencoba menengahi.
"Aku merebut Mas darinya, dan …." Lagi aku terjeda tak bisa bicara."Lupakan. Maaf kalau aku berlebihan dan lupa akan tugasku sebenarnya. Seharusnya aku bersikap profesional dan tidak menggunakan hati, tapi sejak kebersamaan kita selama ini membuatku--""Aku apa?" selanya tidak sabar karena aku suka menjeda kalimatku."Tidak ada. Sudah lupakan. Aku mau tidur." Kutarik selimut sampai atas kepala dan menutupi seluruh tubuhku."Hei, tunggu dulu. Buka!" Ditariknya selimut yang kupegang erat, kutahan jangan sampai terbuka. Namun tenaganya yang jauh lebih kuat tentu mampu menyibak selimut tersebut."Sudah lupakan yang kukatakan barusan. Anggap aku ngigau dan sudah lupa mau bilang apa." Wajahku kuhadapkan berlawanan arah darinya. Aku malu karena hampir saj
"Luna atau Bulan. Benar?" Wanita di depanku tersenyum seringai sambil membenarkan letak kacamatanya."Maaf, Anda siapa?" Kutanyakan juga karena merasa pernah melihatnya. Wajah di depanku ini seperti tidak asing."Mungkin kamu lupa, tapi kita pernah ketemu. Coba kamu ingat-ingat."Aduh, dia tidak langsung jawab malah mengajakku berpikir. Bagaimana bisa aku memikirkannya, sedang yang di bagian bawah ini saja sudah tidak sanggup lagi menahan rasa ingin ke toilet."Maaf, s--saya ke toilet dulu, permisi." Dengan setengah berlari aku pergi meninggalkannya begitu saja. Meski penasaran, tapi aku tidak sanggup menunggunya lagi.Lega setelah hajatku berhasil dikeluarkan. Aku tidak tahu kenapa suka sekali buang air kencing akhir-akhir ini, a
"Ini apartemennya. Gimana? Suka?" Pak Arik bertanya setelah kami sampai dan masuk ke apartemen yang akan menjadi tempat tinggalku sekarang.Kuamati seluruh sisi ruangan dalam apartemen yang kumasuki pelan sambil mataku mengitarinya."Bagus," jawabku masih mengikuti langkahnya yang menuntunku melihat apa saja isi yang ada di dalamnya."Ini kamarnya." Pak Arik membuka sebuah kamar yang berada di sisi kanan. Lagi, aku masuk mengamatinya."Suka?" Kuanggukkan kepala."Apa ada yang kurang?" tanyanya lagi memastikan kalau aku menyukainya.Aku menggeleng. Ini bagiku lebih dari cukup. Kuperkirakan luasnya hampir sama seperti apartemennya Pak Arik dan Alisa. Tidak menyangka bakal merasakan tinggal di sebuah apartemen mewah seperti ini."Aku tinggal dengan siapa di sin
Aku mencoba menyangkal kalau wanita yang sedang kuamati seksama fotonya itu adalah ibunya Alisa, tapi sayangnya tidak, semua membuktikan sebaliknya.Kucoba juga mengingat wajah wanita tersebut setelah melihat video yang disimpan Alisa di ponselnya Pak Arik, dimana Alisa banyak merekam potret ibunya tersebut dari berbagai sudut.Benar, sekarang aku sangat yakin kalau itu memang ibunya Alisa. Seperti yang dibilang wanita itu kalau kami pernah ketemu dan aku sudah ingat itu terjadi di pesta ulang tahun ibunya Pak Arik. Kami tidak sengaja berpapasan waktu Axel menarikku menghampiri orang tuanya. Mungkin karena penampilan ibunya Alisa yang sedikit berbeda dengan polesan make up dan pakaian yang digunakannya di pesta tersebut, membuatku tidak bisa mengenali wanita yang menegurku di restoran tadi.Sekarang aku harus bagaimana? Apa aku cerita saja s
Tidak ada yang mau dijadikan kedua, tapi karena keterpaksaan ada yang rela berada di posisi tersebut. Itu, aku.***Aku mencoba tidur, tapi mata tak mau terpejam. Waktunya juga masih terlalu pagi untuk dibawa tidur. Katanya ibu hamil tidak boleh tidur terlalu pagi. Tidak baik untuk kesehatan. Benar atau tidak, aku pun tak tahu. Itu semua pernah kudengar saat Tante Erni--tetanggaku yang sedang hamil dinasihati oleh ibu mertuanya. Sering sekali kudengar Tante Erni dimarahi mertuanya entah karena masalah apa, aku juga tidak tahu dan tidak ingin ambil pusing, karena waktu itu aku tidak terlalu mengerti urusan orang dewasa. Mengingat hal tersebut, sekarang membuatku jadi penasaran seperti apa ibu mertua memperlakukanku andai ia tahu aku adalah menantunya? Apakah sebaik ia memperlakukan Alisa? Atau malah lebih buruk, karena aku hanyalah istri siri anaknya dan wanita dari kalangan biasa?
"Aku tidak sengaja bertemu dengan beliau di restoran kemarin waktu kita mau ke sini." Kembali aku bersuara membuka pertemuan tak sengajaku kemarin."Di--" jedanya bertanya dengan kening berkerut."Iya, di restoran yang kita singgahi waktu itu, dan maaf aku nggak cerita," selaku memberitahukan."Terus? Memangnya kamu kenal wajah ibu mertuaku?"Aku menggeleng. "Awalnya nggak, tapi rasanya memang pernah lihat atau ketemu, nah pas buka galeri foto di ponsel Mas, aku lihat fotonya dan langsung mengenali kalau orang yang kemarin kutemui itu memang ibunya Kak Alisa." Aku berhenti sejenak menghela napas dalam sebelum menceritakan kembali detail pertemuan kemarin dan apa saja yang sempat kami bicarakan waktu itu."Oh," ucap Pak Arik. Sesingkat itu balasannya menanggapi ceritaku mengenai ibu mertuanya
"Ponsel?" ulangku memastikan."Iya, ponselnya Arik biar aku saja yang pegang. Bukankah sama kamu?" Tangan Alisa masih terulur di depanku.Dengan berat hati kuserahkan ponsel Pak Arik padanya."Terima kasih," ucap Alisa dengan senyum terkembang setelah ponsel itu berada di tangannya. Dibukanya ponsel tersebut sejenak lalu meletakkannya diatas meja."Ini alasan kenapa kusita ponselmu waktu itu." Alisa menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa."Untuk menghindari masalah. Untuk menghindari orang luar tahu siapa kamu di hidup kita. Itu semua sudah aku rencanakan dengan matang, sayangnya karena kesalahanmu, satu orang lagi jadi tahu keberadaanmu di keluarga Bara Wijaya," lanjutnya kemudian.Aku hanya diam menyimaknya bicara sambil meremas kedua tangan. Padahal yan