POV Axel.
"Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya.
"Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan ….
"Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d
Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah
Dipaksa Bertemu"Ini uang 500 juta," tunjuk wanita cantik di hadapanku dengan melirik koper yang terbuka, dan memperlihatkan uang yang aku tidak tahu apa benar jumlahnya seperti yang disebutkannya barusan."Dan ini 500 juta juga," sambungnya sembari membuka koper satunya dengan tampilan isi yang sama persis."Keduanya akan menjadi milikmu kalau kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu dengan sangat baik," tandasnya kemudian dengan menyandarkan punggung ke sandaran kursi yang didudukinya."A-apa ini? A--aku tidak mengerti," sahutku yang masih diliputi kebingungan. Aku memang tidak paham untuk apa aku dibawa paksa oleh seseorang yang berpakaian serba hitam, hingga duduk di depan wanita yang menunjukkan dua koper berisi uang satu miliar. Pekerjaan apa yang harus aku lakukan, dan siapa wanita di hadapanku saat ini?Wanita cantik tersebut mengulurkan tangan ke arah lela
Pasrah"Tunggu, Mbak segera ke sana," jawabku setelah beberapa detik terdiam. Aku beranjak bangun dari posisi terduduk dan bergegas mencari taksi.***"Mbak," seru Varel yang melihatku datang dengan tergesa-gesa."Ibu bagaimana?" tanyaku khawatir."Ibu tidak sadarkan diri. Ibu harus dioperasi malam ini, kalau tidak …." Varel terdiam. Tampak kesedihan menyelimuti wajah tampannya."Kamu tenang saja. Malam ini Ibu pasti dioperasi.""Mbak sudah dapat uangnya?"Langkahku terhenti. Aku berbalik menghadapnya, menganggukkan kepala seraya mengulas senyum tipis. "Ini Mbak mau menemui dokter Budi sekalian ke bagian administrasi. Tolong jaga Ibu sebentar," jawabku menenan
Kesepakatan TerjadiHening sejenak karena aku terdiam membisu sambil berpikir keras, bagaimana bisa sebuah gender ditentukan oleh manusia itu sendiri? Kekuatan apa yang kupunya untuk bisa memastikan kalau anak yang bakal kukandung nanti adalah berjenis laki-laki? Ternyata mudah sekali orang kaya memaksakan kehendaknya pada orang lemah sepertiku ini."Bukankah itu hak prerogatif Tuhan, kenapa--""Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Itu seperti mengadu nasib. Simpel saja, kalau diatas merestui, maka kamu aman. Namun sebaliknya kalau apa yang kamu berikan tidak sesuai dengan yang kuinginkan, maka … terima juga akibatnya. Terserah kalau kamu anggap aku jahat, tapi bukankah itu setimpal dengan apa yang sudah kukeluarkan?"Aku hanya mampu menghela napas. Belum apa-apa sudah merasakan beban yang sangat berat. Mundur pun
Perkenalan"Hei! Jangan ngelamun. Kamu lagi mikirin suamiku?" Tepukan keras Alisa di bahuku, cukup mengagetkan. Aku sampai melebarkan mata mendengarnya menebak dengan tepat."Tidak! Aku baru ingat kalau lupa bawa baju kemari. Maaf," ujarku mengubah topik dan memang benar kalau telah lupa membawa pakaianku ke sini. Aku datang dengan tangan kosong. Bahkan tidak tahu bakal dibawa kemari dan langsung tinggal di rumah ini. Kukira cuma bertemu begitu saja dengan Alisa, seperti di restoran waktu itu."Soal pakaian, kamu tenang saja. Semua sudah tersedia. Kamu tinggal pilih. Nanti Neni yang akan mengantarkanmu ke kamar.""Oh." Hanya kata itu yang terucap dari bibirku.Neni? Apakah dia itu perempuan yang mengantarkanku ke ruangan ini?"Ini kamu pegang
Lelaki yang KubenciAku sigap berdiri mengulurkan tangan, mengajak salaman. Namun lelaki yang kutahu songong dan sombong itu malah diam hanya dengan melirikku sekilas, lalu abai. Ia menarik kursi, dan duduk dengan santainya di sebelah Alisa.Tangan kutarik kembali, malu. Ingin sekali mengumpat saat Alisa mengulum bibirnya menahan senyum melihatku diabaikan suaminya.Aku duduk kembali. Seharusnya aku diam saja, dan abai dengan lelaki tersebut. Hanya ingin menunjukkan rasa hormat, kutekan ego mengajaknya berjabat tangan. Namun malah malu yang kudapat.Namanya Atalarik Bara Wijaya. Aku lebih mengingatnya dengan panggilan Pak Arik. Dia adalah donatur tetap sekolah menengahku dulu di SMA swasta yang cukup bergengsi. Aku bisa masuk di sana karena dapat beasiswa. Lulus pun dengan nilai cukup memuaskan karena pe
Dibawa ke hotel"Hotel? Kenapa ke sini?" Selidikku, bertanya pada Alisa, setelah melihat mobil yang kami tumpangi ternyata memasuki sebuah area halaman hotel bintang lima."Nanti kamu juga tahu," jawabnya tanpa menoleh ke arahku dan sibuk dengan ponselnya.Aku terus melihat ke arah samping, mengamati sekitar. Entah kenapa perasaanku tidak nyaman. Kalau sudah begini, feelingku mengatakan akan ada sesuatu yang buruk bakal terjadi."Pakai!" Alisa memberikan sebuah kacamata hitam, dan memintaku untuk mengenakannya. Ia juga membenarkan cardiganku sebelum turun dari mobil."Diam dan ikuti aku. Jangan bicara sebelum aku memintamu bicara," sambungnya mengingatkan.Ingin bertanya lebih, tapi ia sudah mengisyaratkan untuk diam. Aku
Ditinggal Berdua"Jadi soal dapat kerjaan di luar kota itu semua bohong?" Varel memulai pertanyaan setelah kami diberi Izin Alisa untuk bicara berdua sebelum ia pulang.Aku mengangguk tidak berani menatapnya. Pandangan kuarahkan ke cermin yang memantulkan bayanganku yang masih mengenakan kebaya pengantin. Tidak menyangka bisa secantik ini, tapi sayang raut wajahku menampakkan kesedihan di sana. Apa Varel juga melihatnya begitu?Dapat kudengar hembusan napas kasar Varel melihat responku. Ia pasti kecewa."Selama ini Mbak tinggal dimana? Boleh Varel tahu? Apa di hotel ini?" Kembali ia bertanya menyelidik.Aku menggelengkan kepala. "Bukan, tapi di sebuah rumah yang besar, Rel. Kamu tenang saja. Mbak di sana dilayani dengan sangat baik. Mereka baik dan ramah," jawabku tersenyum tipis mey