"Dan soal siapa Si Mahasiswa Abadi itu, saya sepertinya tahu siapa dia?" Dinda menatap Arya dengan penuh keyakinan. Arya merasa tegang seketika. Ia merasa jika sosok yang akan disebut Dinda ini adalah seseorang yang akan menjadi rivalnya dalam memenangkan perasaan Dinda, dan itu membuat dirinya merasa terancam. "Dia seorang pria?" Dinda mengangguk mantap. "Dia pria tapi kalian belum pernah bertemu satu sama lain. Dia sudah ada di sini lima tahun sebelum suamiku ini bekerja sebagai dosen muda di kampus. Saat Pak Arya mulai mengampu mata kuliah di kampus, dia hanya mengambil mata kuliah skripsi tanpa mengambil mata kuliah yang lain. Meski begitu skripsi itu pun tidak dikerjakannya, karena ia pesimis dengan hasil sidang jika dia maju sidang untuk ke sekian kalinya." Arya mendengarkan dengan seksama. Ujung-ujungnya, masalah sidang lagi. Ada apa dengan sistem pelaksanaan sidang di kampusnya? Apakah ada yang sengaja mempermainkannya hingga beberapa mahasiswa yang bernasib sial harus men
*Bu Mega! Lu tahu kan Bu Mega? Kenal Bu Mega'kan? "Iya. Kenapa dengan Bu Mega? Cepetan, deh. Penasaran tahu nggak, sih?" Dinda benar-benar tidak sabar. "Buruan cerita!" *Bu Mega ... Masuk rumah sakit. "Hah???!!!!" Ponsel Dinda terlepas dari tangannya. Teriakan kaget Dinda mengejutkan Arya yang sedang memakai deodoran. Ia bergegas menghampiri Dinda yang wajahnya kini begitu pucat. "Ada apa? Kenapa?" Arya mengguncang tubuh Dinda, setengahnya untuk menyadarkan Dinda yang terlihat begitu syok. *Halooo ... Halooo... Dindaaaaa! Yuda berteriak-teriak di ujung sana ketika ia mendengar suara brak, dan ia yakin jika ponsel sahabatnya sudah sukses mendarat di lantai. "Ada apa? Kenapa Dinda teriak syok seperti itu?" Arya mengambil ponsel Dinda, dan menjawab telpon Yuda. *Anu-Itu, Pak. Bu Mega - Bu Mega ... Yuda menjadi gagap sejenak. Ia tidak menyangka jika akan berbicara dengan dosen paling fenomenal di kampusnya itu. "Memang kenapa Bu Mega? Berbuat ulah apa lagi?" Nada suara Arya
"Ada apa sebenarnya? Soal sidang skripsi? Nilai atau apa?" Arya menatap Rudy yang kini mengajaknya ke komplek ruang dosen. "Ada yang harus saya tunjukkan kepada Pak Arya. Kita ke ruangannya Pak Hasan lebih dulu." Arya tidak lagi bicara. Ia terus menggenggam tangan Dinda yang makin ke sini makin dingin. Arya melirik Dinda. Wajah istrinya itu belum berubah. Masih pucat dan kali ini terlihat semakin cemas. "Mengkhawatirkan sesuatu?' bisik Arya, membuyarkan lamunan Dinda yang tidak-tidak. "Apakah itu dia?" Suara Dinda terdengar sedikit bergetar. "Pak Rudy. Apakah dia di sini?" "Siapa?" Arya kini menatap tajam Dinda. Ia jadi semakin mengkhawatirkan keadaan Dinda. Rudy terkejut. Dari mana Dinda tahu jika ada seseorang yang akan ia tunjukkan kepada Arya. "Mbak Dinda tahu dari mana?" "Yuda. Dia bilang kalau ada mahasiswa yang ditahan." Arya tidak menyangka jika istrinya itu mendengar pembicaraannya dengan Yuda. "Mbak Dinda tidak usah ikut masuk. Biarkan Pak Arya saja." Dinda mengge
Arya menatap wajah cantik istrinya yang masih terlelap. Dinda akhirnya jatuh pingsan dalam gendongan Arya. Ia tidak lagi ingat dimana ia berada. Yang ia rasakan hanyalah gelombang ketakutan yang melibas semua rasa percaya diri dan keberaniannya. Kata-kata jujur dari Denny membawa efek yang sangat menakutkan bagi dirinya. Dinda, masih tidak percaya jika Mega, yang notabene berjenis kelamin sama dengannya, telah menyuruh seseorang untuk melecehkannya, hanya demi rasa cintanya yang membabi buta pada seorang pria yang sama sekali tidak mencintainya. Arya terus mengusap punggung tangan Dinda, berharap sang istri segera sadar dari pingsannya. "Din!" seru Mita langsung tertahan ketika mendapati Arya secara reflek menoleh ke arahnya sambil meletakkan telunjuk di depan bibir. Beberapa menit yang lalu, Mita segera lari kocar-kacir dari kursi tempatnya duduk, ketika Arya mengabarkan perihal pingsannya Dinda di kampus. Ia baru saja tiba di kediaman Broto, menjemput suaminya, Fahri. Ia ingi
"Mari kita selesaikan hari ini. Bila perlu, kita selesaikan secara laki-laki." Wow! Hasan, Rudy dan Denny langsung berkidik. Meski tenang, ucapan Arya justru mendatangkan ketakutan bagi ketiganya.Secara laki-laki? Rudy dan Hasan yang mendengar itu menggelengkan kepala mereka. Kata-kata itu terdengar begitu macho, bahkan di telinga mereka sendiri."Saya tidak akan panjang lebar. Silakan cerita dari awal sampai terjadinya kejadian hari ini. To the point. Jangan berbelit-belit!"Arya duduk di kursi yang berada tepat di depan Denny. Mereka terhalang satu meja. Ia terus menatap Denny dengan sorot yang tidak bisa dibaca oleh siapa pun.Hasan dan Rudy sama-sama menahan napas mereka. Ruangan itu kini bertambah panas. Hasan buru-buru mengambil remote AC , menurunkan suhu hingga 22 derajat, namun rupanya angka itu masih terasa begitu gerah bagi mereka sekarang."Saya pikir, saya tidak perlu menceritakan bagaimana awal mulanya, Pak. Cukup Bapak tahu saja jika saya tidak mengabulkan permintaan B
"Jadi, kamu sengaja dengan membuat jarak begitu dekat dengan dia?" Suara dingin Arya menusuk dalam telinga Denny.Denny tidak mengira jika Arya tahu soal itu. "Oh-Itu-Ehm, maafkan saya, Pak. Saya sudah lancang. Maksud saya cuma mau ambil foto close-upnya Dinda saja, tapi ternyata jaraknya terlalu dekat." Denny langsung menundukkan kepalanya. "Siapa yang mengambil foto kalian? Ada orang lain yang bersama kalian?" Suara Arya semakin tidak bersahabat."Eh? Mengambil foto? S-Siapa, Pak?" Denny mengerjapkan kedua netranya. Tidak ada orang lain di sana kecuali dirinya dan Dinda, dan dua orang mahasiswi yang berada di deret berbeda dengan dirinya dan Dinda. Punggung Denny menegak seketika. Mungkinkah salah satu atau kedua gadis itu yang telah mengambil fotonya dan Dinda?"Kalau saya tahu, untuk apa saya tanya sama kamu. Ada orang yang mengirimkan foto kalian kepada saya. Saya pikir, kamu sengaja mencari masalah dengan saya."Denny mendesah. Hatinya merasa tidak nyaman. Mengapa Mega mela
"Arya!! Jangan melakukan hal-hal yang tidak ada gunanya!" Fahri masih berusaha memperingatkan adik semata wayangnya."Tidak ada yang tidak ada gunanya untuk wanita itu. Biar dia paham, bahwa setiap perbuatan yang dia lakukan ada konsekuensi yang harus ia tanggung.""Serahkan saja semua pada yang berwajib."Arya terkekeh geli. "Berwaijib kata kakak? Terlalu lama. Aku akan membuat perhitungan sendiri untuknya, dan aku pastikan itu tidak akan memakan waktu yang lama."Arya meninggalkan kamar Dinda setelah mengucapkan kata-kata itu. Fahri mendesah. "Memang bagaimana cerita aslinya? Apakah dia sempat menganiaya Dinda?" tanya Fahri pada Mita.Mita melirik ke arah Dinda. Arya sudah tidak ada di ruangan ini, mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya. Setidaknya, Fahri lebih dewasa dan lebih tenang daripada Arya."Dia - ..." Dinda tidak mampu meneruskan kata-katanya. Kedua tangannya kembali mengepal kuat. "Harusnya Dinda dulu yang memulai. Mengapa selalu saja dia yang dulu
Arya bergegas menuruni tangga menuju lapangan tempatnya memarkir mobil. Telpon yang dibuat Fahri membuatnya merasa khawatir. Mobil jeep miliknya melesat cepat menuju rumah sakit tempat Dinda dirawat. Panggilan yang dibuat Dermawan diabaikan olehnya. Yang ada dalam benaknya saat ini adalah Dinda. Tidak ada yang lain."Papa mau kemana?" Anggun menatap keheranan Dermawan yang terlihat sangat buru-buru."Ayo! Kita harus segera ke rumah sakit. Menantu kita masuk rumah sakit.""Hah?!" Anggun nyaris jatuh merosot saking kagetnya. Ia tidak pernah membayangkan akan ada anggota keluarga mereka yang dirawat di rumah sakit."Hati-hati, Ma." Dengan sigap Dermawan memapah tubuh Anggun dan mendudukkannya secara perlahan di sofa ruang keluarga."Papa pasti sedang bercanda'kan?" Raut wajah Anggun tidak berwarna sama sekali. Putih. Pucat."Papa tidak suka berbohong dan ya, ini adalah kebenaran yang menyesakkan. Dinda dirawat di rumah sakit karena dianiaya oleh dosennya sendiri.""Arya???!!!!" ucap Ang