Lelaki pemilik lesung pipi itu kembali menghilang. Sudah hampir seminggu sejak kepergiannya, lelaki bernama Wisnu itu tidak kembali ke rumah. Asma tidak tau harus bertanya kepada siapa. Ia sudah berusaha untuk menemui Hamzah, lelaki yang ia kenal di perkebunan teh keluarga Sangir. Lelaki yang menjemput Wisnu malam itu. Tapi kata para karyawan yang bekerja di perkebunan itu. Hamzah hanya datang seminggu sekali untuk mengecek perkebunan. Selebihnya lelaki yang memiliki otot kekar itu tidak pernah datang."Asma!" Wanita berkerudung coklat yang berdiri di depan pintu gerbang perkebunan terkejut saat seseorang memanggil namanya. Ia menoleh pada pria berbaju Koko yang memberhentikan motornya tidak jauh dari tempat Asma berada."Ustaz Azhar!" ucap Asma dengan wajah terkejut."Kamu sedang apa Asma di sini?" tanya lelaki itu melajukan motornya mendekati Asma."Aku ....!" Asma terlihat gugup. Senyuman paksa terukir pada lengkungan bibirnya, menegaskan jika ia baik-baik saja. Namun wajah sedih
Hari berganti Hari, tapi lelaki itu juga tidak juga kunjung kembali. Bahkan ia meninggalkan Asma sudah cukup lama, tanpa kabar tak sama seperti dulu. Lelaki bernama Hamzah itu juga tidak kunjung datang menemui Asma, untuk sekedar mengatakan jika Wisnu kini sedang berada di suatu tempat atau memberikan uang sama seperti dulu."Kemana kamu Bang?" lirih Asma semakin cemas. Netranya menatap pada langit juga yang kebetulan tidak mendung. Asma membuang nafas berat, menenggelamkan wajahnya pada kesedihan. Bukan karena Wisnu yang tidak meninggalkan uang untuknya saat ia pergi, melainkan karena Wisnu yang tidak kunjung kembali. Membaut Asma semakin dilanda kegelisahan dan kerinduan yang teramat dalam."Asma!" Suara panggilan itu mengalihkan tatapan Asma pada seorang wanita yang muncul dari anak tangga jalan setapak menuju rumahnya yang terletak di lereng perbukitan."Umi!" ucap Asma sedikit terkejut melihat kehadiran wanita yang tidak lagi muda itu. Ia segera bangkit dan menghampiri Umi."Ad
Asma mengangguk lembut seraya menyunggingkan senyuman kepada Umi. Sejenak wanita itu menjatuhkan pelukan pada tubuhnya. "Terimakasih Asma, terimakasih!" ucap Umi terdengar sangat terharu. Asma mengusap punggung wanita bertubuh subur yang memeluknya. Benaknya mengembara jauh, memikirkan bagaimana caranya ia bisa mendapatkan uang untuk biaya pernikahan Rani. ______Suasana pondok memang tidak pernah berubah. Letaknya yang berada di daerah pegunungan dengan pemandangan yang menyejukkan mata. Hamparan perkebunan teh yang luas milik perusahaan keluarga Sangir terlihat jelas dari pondok pesantren tempat Asma dulu mengajar. Tapi sayangnya, setelah menikah Wisnu, lelaki itu meminta Asma untuk berdiam di rumah dan melayani semua kebutuhannya, layaknya seorang istri. Ia tidak mengizinkan Asma untuk mengajar di pondok lagi."Hah ...!" Asma membuang nafas berat. Sebelum ia melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang pondok pesantren. Riuh ramai suara anak-anak yang sedang mengaji terdengar h
Senyuman terbit dari kedua sudut bibir Rani saat melihat Asma menyerahkan sebuah amplop coklat kepada Umi. Seperti apa yang ada di dalam benaknya, wanita lugu itu tidak akan pernah bisa melihat kesedihan pada wanita yang tidak lagi muda yang duduk di hadapannya."Yes, akhirnya aku bisa juga menikmati harta suami Mbak Asma. Dengan begini kan uang tabunganku akan utuh. Aku bisa memakainya untuk pergi bulan madu bersama Mas Bagas," ucap Rani senang, seraya memeluk buku tabungan yang berada di tangannya. Rani menarik pelan tubuhnya masuk ke dalam kamar. Sebelum Asma ataupun Umi melihat kehadirannya yang sedari tadi mengintip dari balik celah pintu. Rani berjalan menuju ke arah ranjang dan menyimpan buku tabungan miliknya ke dalam laci nakas yang berada di samping ujung ranjang.____Janur kuning melengkung di depan rumah Abah. Pesta pernikahan mewah yang Rani inginkan akhirnya terwujud juga. Dekorasi yang megah dan pakaian pengantin yang sangat bagus sekali. Semua Rani sewa dengan harga
Suasana menjadi histeris saat Rani jatuh pingsan semua orang yang berada di acara itu berhambur menghampiri Rani."Rani!" teriak Asma mempercepat langkah kakinya. Sementara Abah yang duduk di samping Rani segera beranjak dari atas bangku menolong Rani."Ran, bangun Nak!" seru Abah menepuk pelan pipi Rani yang sudah tidak sadarkan diri."Ya Allah, Rani!" teriak Umi panik, butiran bening berlolosan membasahi pipinya. Tubuhnya limbung dan hampir ikut pingsan. Beruntungnya ada Ustaz Azhar dengan sigap menangkap tubuh wanita itu._____Hati Asma seketika hancur saat membaca isi dari amplop berwarna coklat yang seseorang berikan kepada Rani. Ia sekarang tau apa yang sudah membuat adiknya jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri di hari pernikahannya."Ran!"Panggilan itu membuyarkan lamunan Asma. Dengan cepat ia menyeka air mata yang membasahi pipi. Ia tidak ingin lelaki yang menjatuhkan tubuhnya duduk pada bangku di hadapannya melihat kesedihannya."Bagaimana keadaan Rani ustaz?" tanya Asma p
Tubuh Asma dibasahi oleh peluh. Ia semakin gusar karena sudah setengah jam yang lalu belum ada satupun dokter ataupun suster yang keluar dari ruang ICU tempat Abah dilarikan beberapa saat yang lalu. Bahkan lampu yang berada di atas ruangan itupun masih menyala. Menandakan jika masih dilakukan tindakan di dalam ruangan."Sabar Asma!" lirih Ustaz Azhar yang duduk di samping Asma. Hanya lelaki itulah yang menemani Asma saat ini. Karena Umi kembali jatuh pingsan. Sementara Rani, tidak ada satupun orang yang memberitahukan kepadanya kejadian Abah yang mendadak terkena serangan jantung. "Tapi aku takut, Ustaz!" ucap Asma menatap dengan netra berkaca-kaca. Tubuhnya gemetaran, menahan ketakutan.Lelaki yang duduk di samping Asma menjatuhkan tatapan teduh. Meskipun ia tahu jika wanita itu kini sedang dilanda kegelisahan dan ketakutan yang amat sangat. "Kita doakan saja, semoga Abah dalam keadaan baik-baik saja," ucap Ustaz Azhar berusaha untuk memberikan energi positif pada Asma. "Amin, Ust
Kedua kaki Asma terasa lemas. Lelaki yang sudah menghilang hampir satu bulan itu kini kembali muncul di hadapannya. Namun gemuruh di dalamnya, seperti ingin meledak saat itu juga. Bisa-bisanya Wisnu membiarkan sendiri melewati masa tersulit di dalam hidupnya."Neng!" lirih Wisnu menurunkan tas yang berada di atas punggungnya di luar pintu rumah. Lelaki itu berjalan gontai menghampiri Asma yang mematung di dalam pintu rumah menatap datar kepadanya."Neng, maafkan Abang jika ...!" Wisnu meletakkan kedua tangannya pada bahu Asma. Dengan cepat wanita itupun menepis kasar tangan Wisnu yang berada di atas bahunya."Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Bang!" cetus Asma dengan netra berkaca-kaca. Gerimis yang sedari tertahan kini berjatuhan membahasi pipinya. Asma terisak, meluapkan semua sesak yang selama ini menganjal di dalam dada."Neng tunggu!" Asma melangkahkan kakinya cepat masuk ke dalam ruangan. Ia tidak ingin mendengar apapun yang Wisnu katakan kepadanya."Asma!" teriak Wisnu
Asma berjalan masuk ke dalam rumah. Ia sengaja pulang larut malam. Ia pikir, sesampainya di rumah, Wisnu tidak akan menemukannya. Tapi sayangnya, justru lelaki itu masih tetap terjaga, menunggu kepulangannya.Asma mengabaikan lelaki yang baru saja bangkit dari bangku ruang tamu rumah dan berjalan ke arahnya. Wanita itu berpura-pura acuh, meskipun sebenarnya ia tetap memperhatikan Wisnu."As, tunggu Asma!" Panggil Wisnu yang sama sekali tidak diindahkan oleh Asma. Wanita yang membawa Akbar dalam gendongannya berjalan cepat menuju kamar. Sedikitpun ia tidak menoleh pada Wisnu yang semakin mempercepat langkah kakinya, mengejar.Wisnu membuang nafas berat berdiri di ambang pintu menatap kepada Asma yang sedang membaringkan putranya di atas pembaringan. Wanita dengan bibir masam itu tidak lantas menghampiri Wisnu. ia berjalan menuju ke arah lemari seraya melepaskan kerudung yang menutupi kepalanya sejak tadi. Dari gerakan kasar tubuhnya, menandakan sebuah kemarahan."As, dengarkan dulu apa