Lelaki bertubuh jangkung itu berjalan dengan santai menghampiri Nada. Menjatuhkan tubuhnya duduk pada bangku yang berada di samping meja tempat Nada berada. Nada mengalihkan tatapannya pada lelaki yang kini berada di depannya."Berapa kali aku sudah bilang padamu, Nad, jika Wisnu pada akhirnya justru akan melupakan kamu," ucap lelaki yang duduk berambut ikal itu dengan nada sinis. Ia tidak peduli dengan netra sembab Nada. Wanita berbalut dress berwarna putih itu terdiam. Menjatuhkan tatapan datar pada lelaki yang terus mengulitinya."Mas Wisnu tidak akan pernah meninggalkan aku!" cetus Nada penuh penekanan. Ia menjatuhkan tatapan serius pada lelaki berjas hitam yang ada di depannya penuh keyakinan.Senyuman sinis tersungging dari kedua sudut bibir lelaki bertubuh jangkung yang duduk di sampingnya. "Dia tidak meninggalkan kamu, tapi dia juga akan meninggalkan dia," balas lelaki yang membersamai Nada dengan suara mengejek. Senyuman yang Nada benci pun tersungging dari bibir lelaki itu.
"As, Abang pulang dulu ke rumah ya! Nanti Abang langsung ke perkebunan," ucap Wisnu pada Asma yang sedang menyuapi makan untuk Akbar. Lelaki berpakaian rapi itu berjalan terburu-buru menuju ke arah pintu rumah Umi."Bang, tunggu!" seru Asma bangkit mengejar Wisnu yang melangkahkan kakinya cepat."Kenapa As?" tanya Wisnu menghentikan langkah kakinya saat hampir di ambang pintu rumah. Ia menoleh pada Asma yang berjalan mendekat."Aku belum cium tangan Abang!" ucap Asma dengan nada manja. "Katanya kalau mencium tangan suami itu seperti mencium hajar Aswad," tutur Asma disambut dengan senyuman oleh Wisnu. Bahkan saat Asma berucap seperti itupun pipinya memerah seketika."Iya Ustazah," jawab Wisnu membiarkan Asma mencium punggung tangan tangannya. Lelaki itu membalas Asma dengan kecupan pada ujung kepala Asma. Kemudian melangkahkan kakinya pergi."Hati-hati di jalan, bang!" seru Asma pada lelaki yang berjalan menjauh dari ambang pintu rumah."Assalamualaikum!" seru Wisnu berjalan cepat."W
Wanita berbalut kerudung berwarna nude itu membiarkan Rani masuk ke dalam rumah. Antara percaya dan tidak dengan ucapan yang baru saja keluar dari bibir Rani."Apakah mungkin Ustaz Azhar dapat melupakanku begitu cepat!" batin Asma dengan wajah berpikir. Selama ini ia yakin jika Ustaz Azhar sangat mencintainya."Bisa jadi!" ucapnya pada dirinya sendiri._____Wisnu terdiam saat lelaki yang berada di balik telepon mengatakan apa maksud dari tujuannya menghubunginya. Lelaki dengan wajah tampan itu nampak berpikir untuk sesaat."Tuan akan kembali ke rumah jika Tuan muda Akbar sudah berada di rumah, Tuan," ucap suara berat dari balik telepon.Wisnu membuang nafas berat. Itu adalah hal yang sangat sulit sekali baginya. Ia tidak mungkin membawa Asma ke Jakarta dan tinggal serumah dengan Nada, wanita yang juga sangat ia cintai. Namun disatu sisi ia harus menuruti permintaan Tuan Sangir."Itu adalah hal yang sulit, Hamzah!" ucap Wisnu setelah membuang nafas berat. Wajahnya terlihat sangat kaca
"Wah, sudah ramai sekali Bang!" ucap Asma takjub melihat orang-orang yang sudah berkumpul untuk menyaksikan acara peresmian di perkebunan teh milik keluarga Sangir."Ramai sekali, Bang!" Asma mengalihkan tatapannya pada lelaki yang duduk di samping kemudi. Lalu mengalihkan tatapannya ke arah kaca mobil, menatap pada pemandangan yang berada di luar mobil. Dentuman musik terdengar hingga ke dalam mobil tempat Asma berada.Wisnu membalas ucapan Asma dengan senyuman. "Ayo, Umi, Ran, kita turun sekarang!" ajak Wisnu setelah menghentikan mobil."Iya Nak Wisnu," balas Umi."Tunggu sebentar, Bu!" ucap lelaki yang duduk di bangku kemudi. Lelaki itu bergegas turun dan membukakan pintu mobil untuk Umi dan Asma."Biar aku yang bawa Akbar," ucap Wisnu mengulurkan tangannya pada Umi. Karena sejak berangkat balita berusia dua tahunan itu terlelap di dalam pengakuan Umi."Tidak usah, Nak, biar Umi saja tidak apa-apa," tolak Umi."Biar sama Umi saja tidak apa-apa Bang. Abang kan harus ada di acara itu
"Aku tidak akan membiarkan kamu pergi begitu saja, Rani!" cetus Bagas dengan wajah menyeringai.Tubuh Rani dibanjiri peluh. Air mata mengalir deras dengan wajah ketakutan. Ia berusaha menarik kaki yang berada dalam cengkraman tangan Bagas. Tapi lelaki itu justru mencengkraman kedua kaki Rani sekaligus dan menarik tubuh Rani dengan kasar, hingga terseret."Tolong! Tolong!" teriak suara Rani menggema di seluruh penjuru. Dengan menangis ia berusaha untuk melakukan perlawanan, tapi kekuatan Rani tidak seberapa dibandingkan dengan kekuatan Bagas._____Umi terlihat gusar. Sesekali ia melirik ke arah kerumunan tempat Rani menghilang beberapa saat yang lalu. Sementara suara dentuman musik yang dimainkan semakin meriah."As," panggil Umi pada wanita yang sedang menikmati sajian musik dangdut yang sedang dimainkan oleh para pemain musik dan seorang artis terkenal bersuara merdu di atas panggung."As!" Panggil Umi lagi."Iya Umi," sahut Asma menoleh ke arah Umi yang duduk di sampingnya."Kemana
"Rani, apakah kamu sudah gila!" sentak Asma membulatkan kedua matanya. Semua yang berada di dalam ruangan itu pun terkejut mendengar kalimat yang keluar dari bibir Rani.Seketika gadis itu pun menoleh ke arah Asma dengan tatapan tajam setelahnya beberapa saat ia mengalihkan tatapannya pada Ustaz Azhar yang tidak kalah terkejutnya. "Kenapa Mbak, kenapa?" Rani menaikkan nada suaranya penuh kekesalan. Urat-urat pada wajahnya pun hampir terlihat membiru."Kamu tidak bisa memaksa seseorang untuk menikahimu, Ran!" cetus Rani mengeraskan rahangnya. Wajahnya merah menyalah, menahan gemuruh di dalam dadanya."Kenapa Mbak, apa yang salah? coba Mbak Asma menjadi aku. Coba Mbak!" teriak Rani, kedua matanya membulat penuh seperti akan terlepas. Derai air mata kembali bercucuran. Asma tercekat, ia tidak dapat berkata-kata apapun. Netra yang melotot semakin melebar."Sekarang, tidak akan ada satupun lelaki yang mau menikahiku. Aku adalah wanita yang sangat menjijikkan Mbak. Aku adalah wanita hina. J
Tumpukan kertas undangan telah siap di atas meja. Besok atau lusa, seseorang akan mengambil undangan pernikahan itu dan mulai mengantarkannya pada pemiliknya masing-masing.Lelaki berambut cepak itu terlihat sedang mengecek beberapa nama pada secarik buku tamu undangan yang akan hadir di hari pernikahannya minggu depan. Saat Ibu Fatimah berjalan mendekati Ustaz Azhar.Ibu Fatimah meletakan secangkir kopi hangat di atas meja. Sesaat ia melirik pada putra satu-satunya dengan wajah sedikit masam. Pasti hal itu karena keputusan Ustaz Azhar yang ingin menikahi Rani."Minumlah, nanti keburu dingin!" titah Ibu Fatimah memecah keheningan yang tercipta. "Tadi ibu tidak sempat mengantarkannya, karena Ibu langsung sholat subuh," jelas wanita itu.Ustaz Azhar menoleh pada Ibu Fatimah yang masih berdiri di sampingnya. Lalu kembali melanjutkan pekerjaannya lagi memeriksa daftar tamu yang akan ia undang."Hah ...!"Ibu Fatimah menghempaskan kasar tubuhnya duduk pada bangku yang berada di samping Ust
"Surat dengan sampul merah muda!" guman Asma seraya meraih sebuah amplop bersampul merah muda yang berada di atas mejanya. Sejenak wanita yang bekerja sebagai guru ngaji di sebuah pondok pesantren itu menatap dengan seksama secarik surat cinta yang ada di tangannya."Milik siapa ini?" guman Asma mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kantor. Sudah tidak ada siapapun di dalam ruangan itu. Hanya ada dirinya seorang, yang datang terlambat.Asma segera membuka amplop berwarna merah muda bertuliskan namanya di bagaimana sampul. Ia menemukan secarik surat bertuliskan tinta hitam yang tergores begitu rapi. Tapi sayangnya Asma belum sempat membaca isi suara itu, karena seorang santriwati menyerukan namanya dari ambang pintu ruangan kantor."Assalamualaikum, Ustazah Asma, di tunggu kepala sekolah di ruangannya," ucap santriwati berbalut kerudung merah itu pada Asma."Oh iya, baik!" balas Asma cepat. Sebelum ia memasukkan kembali secarik surat itu ke dalam amplop, Asma sempat membaca se