Wisnu mengerjap bangun, dengan wajah bingung. Lelaki itu berjalan cepat menuju ke arah kamar, tempat sumber suara ponsel itu terdengar. Asma yang penasaran ikut bangkit dan mengekori Wisnu. Ia sudah mendapati Wisnu berdiri di samping tumpukan pakaian kotor yang belum sempat tiap ia pindahkan ke kamar mandi. Lelaki tampan itu terlihat sibuk dengan benda pintar yang berada di tangannya.
"Itu ponsel siapa, Bang?" tanya Asma.Wisnu mengalihkan tatapannya kepada Asma. "Ini, emh ... Ini ponsel milik atasan Abang Neng. Kebetulan kemarin pas kami perjalanan pulang beliau menitipkannya sama Abang. Eh tapi Abang lupa memberikannya," jawab Wisnu mengukir ulasan senyuman kepada Asma. Wajah wanita dengan pakaian tertutup itu menghela nafas lega."Oh, aku kira ini ponsel milik Abang!" Asma meraih benda pipih berlogo buah apel dari tangan Wisnu. Membolak-balikkannya untuk sesaat."Bukan Neng mana mungkin Abang bisa beli ponsel samahal ini. Bisa membahagiakan Neng Asma saja Abang sudah senang," balas Wisnu.Asma menekan tombol samping pada ponsel. Layar benda pipih itupun menyala, menampakan gambar seorang wanita cantik yang berada di bagaian layar ponsel."Ini pasti istri atasan Abang?" Asma mengalihkan tatapannya kepada Wisnu. Perlahan meraih benda pintar itu dari tangan Wisnu."Jangan ya Neng, ini milik atasan Abang. Tidak baik lancang memakai barang punya orang," seloroh Wisnu tersenyum kecil di sambut dengan anggukan lembut oleh Asma.____Abah semakin benci dengan menantunya yang bernama Wisnu. Karena usahanya untuk memisahkan Asma yang tinggal sejengkal lagi harus gagal, karena tiba-tiba lelaki itu datang di pengadilan."Apa kata Umi bilang, Abah. Wisnu itu adalah laki-laki baik. Dia ada lelaki yang sholeh dan bertanggung jawab. Dia tidak mungkin menelantarkan Asma," ucap Umi dari arah dapur membuat gemuruh di dalam hati apa semakin meledak-ledak."Sudah, diam!" cetus Abah dari ruang televisi. Lelaki itu bangkit dari bangku dan bergegas masuk ke dalam kamarnya. Rani yang baru pulang terlihat bingung dengan suara pintu kamar yang dibanting keras oleh Abah."Astagfirullahaldzim!" Umi melonjak terkejut. Gerakan tangan yang sedang menggoyang spatula seketika terhenti. Menatap ke arah pintu ruangan yang membatasi ruang televisi dan dapur."Kenapa dengan Abah, Mi?" seru Rani menjatuhkan tatapan kebingungan."Tidak ada apa-apa!" sahut Umi dengan nada suara datar. Gerakan tangannya kembali menggoyang spatula di atas wajan."Umi bohong!" Rani berjalan mendekati wanita yang berdiri di samping kompor. "Pasti Umi habis bertengkar sama Abah, sampai Abah marah-marah seperti itu," cetus Rani menjatuhkan tatapan selidik pada Umi.Sedikitpun Umi tidak menoleh. Ia bergegas berjalan menuju ke arah rak piring setelah mematikan kompor. Mengambil piring lalu mengisinya dengan semur jengkol yang sudah matang."Umi, jawab pertanyaan aku?" cetus Rani menarik bahu Umi yang melintas di depannya. Sejak tadi wanita berkerudung besar itu terus saja mengabaikan pertanyaannya. Tubuh Umi berputar ke arah Rani. "Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi Umi?" cetus gadis yang bekerja sebagai pagawai bank Pegadaian itu."Pasti ini soal Mbak Asma?" cerca Rani dengan tatapan menuduh. Jari telunjuknya mengacung ke arah Umi sedang berusaha menahan kekesalannya."Kamu tidak perlu memikirkan hal apapun itu, Ran. Karena ini bukan urusanmu," cetus Umi melangkahkan kakinya menuju meja makan.Rani berdecak kesal. Mengikuti langkah Umi. "Tidak bisa begitu dong, Umi? Aku kan juga anggota keluarga ini. Jadi aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi," cetus Rani dengan nada memasak."Assalamualaikum!"Suara salam dari luar rumah seketika menghentikan perdebatan antara Umi dan Putri bungsunya. Gadis cantik dengan rambut tergerai itu berdecak kesal lalu berjalan meninggalkan Umi menuju seseorang yang berada di luar pintu rumah."Wa'alaikum salam," sahut Rani. "Mas Bagas!" seru gadis itu menyunggingkan senyuman hangat kepada pujaan hatinya."Apakah kita jadi pergi nonton?" ucap lelaki bertubuh sedikit padat yang berdiri di luar pintu."Ya Allah, Aku sampai lupa kalau kita ada janji pergi nonton," sahut Rani menepuk keningnya. "Mas Bagas masuk dulu. Aku akan bersiap-siap sebentar," ucap Rani bergegas masuk ke dalam rumah.___"Umi!" Lelaki bertubuh padat itu bangkit saat Umi datang menghampirinya. Sesaat mencium tangan punggung wanita yang tidak lagi muda itu."Mau mengajak pergi Rani kemana Nak Bagas malam-malam begini?" tanya Umi yang menjatuhkan tubuhnya duduk pada bangku yang berada di sebelah kiri tempat mandor perkebunan teh itu duduk."Saya ingin mengajak Rani nonton di bioskop, Mi," jawab lelaki itu."Bioskop?" Dahi Umi berkerut. "Bukankah itu hanya ada di pusat kota. Pasti sangat jauh sekali," ucap Umi, wajahnya terlihat getir."Iya Mi!" Lelaki bertubuh padat dengan kulit yang tidak putih itu meringis."Lebih baik Nak Bagas jangan sering-sering keluar dengan Rani. Bukan apa-apa, hanya saja hari pernikahan kalian kan masih lama. Umi takut ....!"Suara hentakan kaki yang terdengar cukup keras menghentikan ucapan Umi."Mas Bagas, ayo!" seru Rani saat tiba di depan Bagas. Lelaki itu terdiam, menjatuhkan tatapan pada wanita yang berdiri di depannya. Mendengar ucapan Umi, niatan Bagas seperti berubah."Mas Bagas itu tidak perlu mendengarkan ucapan Umi," sungut Rani. Rupanya gadis itu mendengar apa yang wanita bergamis besar itu katakan pada Bagas."Umi, aku dan Mas Bagas sudah bertunangan dan sudah pasti kami akan segera menikah. Jadi apa salahnya jika kami akan pergi bersama," debat gadis berambut kuncir kuda itu pada Umi."Maksud Umi itu bukan begitu, Ra ...!""Sudah Mas! Ayo cepat kita pergi," cetus Rani berjalan cepat menuju ke arah pintu dengan menghentakan sepatu tinggi yang ia kenakan keras pada lantai.Lelaki bertubuh padat yang duduk di ruang tamu itu terlihat bingung. Terpaksa ia segera bangkit dan mengikuti langkah Rani."Umi, Bagas pamit dulu, ya!" seru Bagas sebelum melangkahkan kakinya pergi.____Rani terlihat senang mendapatkan perlakuan istimewa dari calon suaminya. Meskipun jabatan Bagas hanya sebagai seorang mandor, tapi bagi Rani hal itu sudah sangat membanggakan sekali."Terimakasih ya Mas, sudah membelanjakan aku sebanyak ini," ucap Rani mengangkat beberapa kantong plastik berisi belanjaan yang telah di belikan Bagas. Senyuman lebar terukir dari bibirnya."Iya sayang, sama-sama!" ucap Bagas membusungkan dada.Tatapan Rani terhenti saat melihat seseorang yang berada di lantai bawah mall tempat ia baru saja menonton sebuah film kesukaannya."Kenapa Ran?" Bagas menoleh pada Rani yang menghentikan langkah. Gadis itu melepaskan tangannya yang sedari tadi bergelayut manja pada bahu kekar Bagas, berjalan menuju ke pagar pembatas lantai dua pusat di perbelanjaan tersebut."Mas, kamu kenal dengan orang itu?" Rani mengulurkan jari telunjuknya ke arah seorang lelaki yang mengenakan jas hitam dan beberapa orang yang mengikutinya."Itu bukannya ..."______Bersambung ...Rani mempercepat langkah kakinya memutari lantai atas menuju tangga eskalator. Lelaki yang ia lihat di lantai bawah berjalan sangat cepat sekali menuju ke arah pintu keluar pusat perbelanjaan tempatnya berada. "Ran, tunggu!" teriak Bagas berusaha untuk mengejar calon istrinya. Namun langkah wanita bertubuh ramping itu begitu cepat, mungkin karena kaki kakinya yang panjang."Ah, sial!" cebik Rani kesal saat ia tiba di depan pintu keluar pusat perbelanjaan. Ia tidak menemukan lelaki yang baru saja ia lihat dari lantai atas tadi. "Kemana perginya?" gerutu Rani kesal."Ran, sudah Ran! Kamu hampir saja membuat jantungku copot," keluh Bagas menahan nafasnya yang hampir saja putus karena berlari mengejar Rani. Tubuhnya yang padat kesulitan membuatnya untuk mengejar Rani yang lebih dulu meninggalkannya.Rani kesal. Kekecewaan terlukis jelas pada wajahnya. Netranya menyapu ke sekeliling, berharap ia masih bisa menemukan lelaki yang mirip sekali dengan kakak iparnya."Kamu sebenarnya mencari
"Apa ini, Ran?" netra Asma tertuju pada rantang yang ada di tangan Rani. Sementara Rani terus memperhatikan lelaki yang berdiri di hadapannya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan menyelidik."Oh, ini Mbak ada titipan dari ibu!" seru Rani tergeragap. Ia mengalihkan tatapan pada Asma. Lalu menyodorkan rantang yang berada di tangannya kepada Asma dengan senyuman paksa."Terimakasih, Ran!" ucap Asma menyunggingkan senyuman hangat kepada Rani. "Maaf sudah merepotkan kamu," ucap Asma."Iya Mbak As, tidak apa-apa," ucap Rani terdengar ramah.Sesekali Rani masih melirik kepada Wisnu. Melihat penampilan kakak iparnya yang jelas terlihat beda sekali dengan lelaki yang ia temui di pusat berbelanja kemarin."Kamu mau mampir dulu?" ajak Asma kembali mengalihkan tatapan Rani kepadanya."Tidak Mbak, terima kasih, aku harus segera berangkat bekerja dulu," ucap Rani cepat. Ia bergegas meninggalkan rumah Asma yang terletak cukup jauh dari jalan besar. Setelah memastikan jika Wisnu adalah
"Assalamualaikum Abah," sapa Wisnu seraya mencium tangan lelaki berwajah masam yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh kurus itu menarik kasar tangannya dari genggaman Wisnu, dengan wajah masam ia menatap pada Wisnu.Asma menatap tidak suka pada sikap Abah yang terkesan tidak sopan kepada Wisnu. Namun sebisa mungkin Asma menahan gemuruh yang bergejolak di dalam dadanya. Karena bagaimanapun Abah adalah orang tua Asma."Ada apa Abah ke sini?" tanya Asma.Abah menarik kasar pergelangan tangan asma hingga tubuh wanita itu bergeser ke arah Abah."Ada apa ini, Abah?" seru Wisnu yang terlihat panik melihat sikap bapak mertuanya yang mendadak kasar."Asma harus ikut denganku!" cetus Abah dengan nada memaksa. "Ikut?" jawab Wisnu dan Asma bersamaan wajah mereka sama-sama terkejutnya."Ikut ke mana, Abah?" cetus Asma, ia tau jika sesuatu hal buruk sedang menghadang langkahnya. Dari wajah Abah yang meradang."Pulang ke rumah!" sentak Abah penuh penekanan. Lelaki bertubuh kurus itu menoleh ke
Wanita yang duduk di bibir ranjang semakin kuat meremas ujung kerudung besar yang ia kenakan. Akhirnya pertanyaan yang selama ini bergelut di dalam dadanya telah terjawab. Alasan mengapa lelaki bertubuh kurus itu bersikukuh untuk memisahkan Asma dari Wisnu."Kapan kita bisa segera melaksanakan pernikahan itu?" ucap suara dari ruang tamu rumah terdengar hingga ke dalam indra pendengaran wanita yang duduk pada bibir ranjang."Terserah juragan jali saja. Kapanpun saya siap untuk menikahkan Asma dengan Juragan," sahut Abah diikuti gelak tawa renyah diantara keduanya. Hal itu semakin membuat hati Umi terasa diremas-remas. Bagaimana tidak, jika sampai pernikahan itu terjadi, itu berarti Asma harus siap untuk menjadi istri ketiga dari juragan jali. Seorang lelaki pemilik peternakan sapi yang terkenal kaya raya di kampung itu."Bagaimana kalau minggu depan." Suara juragan Jali terjeda untuk sesaat. "Jika Abah ingin pesta yang mewah saya harus mempersiapkannya dulu. Tapi jika Abah ingin pesta
Wanita yang mengenakan pakaian syar'i itu menghela nafas berat. Saat melihat makanan yang tersaji di atas meja masih utuh dan tidak tersisa. Sesuai dengan perintah Abah, tidak ada satupun orang yang boleh mengeluarkan Asma dari dalam kamar. Sekalipun itu adalah Umi. Umi menyeret langkah kakinya pelan mendekati ranjang di mana wanita bergamis tosca masih berbaring di atas sana dengan netra terpejam. Tangisan yang cukup lama, membuatnya tanpa sadar telah tertidur."Asma!" ucap Umi mengusap lembut bahu Asma yang meringkuk menghadap ke arah tembok. Netranya berkaca-kaca menatap penuh kesedihan pada anak bungsunya.Asma mengerang pelan. Tanda jika wanita itu telah tersadar dari rasa kantuknya. Perlahan Asma membuka netranya menatap pada dinding tembok yang berada di samping ranjang."Asma, kamu belum makan, Nak?" tanya Umi dengan suara bergetar. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang menggenang pada pelupuk. Tanpa sepengetahuan Asma, ia segera mengusap sudut matanya yang sedikit basah.As
Wanita berkerudung biru muda itu menarik tubuhnya menjauh dari lelaki yang duduk pada bangku kemudi yang berusaha menyentuh punggung tangannya. Wajahnya terlihat ketakutan saat lelaki yang usianya hampir lima puluh tahun lebih itu menjatuhkan tatapan menggoda kepadanya."Kenapa, As?" ucapnya dengan nada lembut yang terdengar begitu mendayu. Ekor matanya melirik pada Asma dengan tatapan menggoda.Asma sama sekali tidak menjawab, ia memilih membuang wajahnya ke arah samping kaca mobil. Keringat dingin membasahi pelipis wanita itu.Terdengar lelaki yang duduk di sampingnya membuang nafas berat. "Baiklah kalau kamu belum siap. Tidak masalah," ucapnya mengakhiri kalimatnya dengan nada lesu. "Tapi aku harap, setelah kamu sudah resmi menjadi istriku maka kamu harus menuruti semua kemauanku," cetus Juragan Jali memberikan penekanan diujung kalimatnya.Asma tidak bergeming, tidak terasa sudut matanya telah basah. Bahkan air mata berlinang membasahi pipi wanita itu tanpa sepengetahuan lelaki ya
Lelaki berkemeja hitam itu melepaskan kacamata yang bertengger di atas hidungnya. Wajah menawan itu tidak lain adalah Wisnu, lelaki yang Asma pikir sudah melupakannya setelah menghilang begitu."Abang!" Pengantin wanita yang mengenakan pakaian adat sunda itu bangkit dari bangku yang berada di depan penghulu. Meninggalkan mempelai lelaki yang meradang seketika setelah melihat seseorang telah mengacaukan acaranya."Asma, tunggu!" teriak Juragan Jali.Asma sama sekali tidak mempedulikan panggilan lelaki yang usianya hampir sepantaran Abah itu. Wanita cantik berbalut gaun pengantin itu menjatuhkan tubuhnya memeluk lelaki berkemeja hitam yang dikelilingi oleh lelaki bertubuh besar dengan seragam yang sama. Sejenak wanita itu terisak dalam pelukan Wisnu."Kamu adalah Bang Wisnuku, kan?" ucap Asma setelah melepaskan pelukannya dari tubuh Wisnu. "Iya lah Neng, ini Abang!" sahut lelaki berkemeja hitam itu seraya menyunggingkan senyumnya yang khas. Asma semakin terisak. Ketampanan suaminya se
"Kenapa Abang melakukan itu?" ucap Asma dengan bibir mengerucut. Ia tau jika Juragan Jali sedang mengambil kesempatan untuk memanfaatkan situasi yang sedang terjadi.Wisnu tersenyum, tangannya masih setia mengusap lembut ujung kepala Asma. Lelaki itu sama sekali tidak memberikan jawaban apapun kepada Asma."Uang satu milyar itu kan sangat banyak sekali, Bang!" suara Asma terdengar lesu. Ia tidak rela jika Wisnu akan memberikan uang itu pada lelaki beristri banyak itu."Tidak apa-apa!" sahut Wisnu setelah beberapa saat ia terdiam. Sontak Asma menarik kepalanya dari bahu lelaki yang baru saja menuntaskan hasrat bersama dengannya. Menuntaskan rindu yang selama ini menyiksa batinnya."Kok begitu?" protes Asma."Iya tidak apa-apa!" Wisnu menatap."Tapi itu kan uang yang sangat banyak sekali Abang. Lagipula hutang Abah juga tidak mungkin sampai sebanyak itu," protes Asma dengan bibir mengerucut.Wisnu tersenyum melihat wajah kesal istrinya. Lelaki itu membelai lembut wajah cantik gadis bert