Share

Bab 8

Lelaki yang duduk pada bangku paling depan menjatuhkan tatapannya sekilas kepada Asma sebelum suara ketukan palu itu terdengar. Tanda jika persidangan akan segera dimulai.

"Saudara Asma ...!"

Belum sempat Hakim melanjutkan kalimatnya seseorang datang menghampiri lelaki itu. Mendekatkan tubuhnya lalu berbisik. Yang mulia hakim mengangguk tanda mengerti dengan apa yang lelaki itu katakan.

"Baiklah!" ucap Yang mulia hakim yang terlihat dari gerakan bibirnya pada lelaki yang berjalan meninggalkan ruang pesien.

"Ibu Asma shafiyyatul qolbu, sidang gugat cerai yang anda ajukan tidak bisa dilanjutkan," tegas suara lantang dari yang mulia Hakim. Wajah Asma seketika berbinar. Senyuman haru tersungging dari kedua sudut bibirnya. Ia tidak peduli mengapa Hakim menggagalkan persidangannya. Yang terpenting ia tidak jadi bercerai dengan Wisnu.

Abah bangkit dari bangku dengan wajah memerah. "Kenapa tidak bisa dilanjutkan yang mulia?" seru lelaki bertubuh kurus itu dengan wajah kesal. Suaranya menggelegar di seluruh penjuru ruangan.

"Asma!"

Suara yang tidak asing yang muncul dari bilik pintu ruangan yang terbuka menghentikan gerakan bibir yang mulia Hakim yang hendak menjawab pertanyaan Abah. Semua sorot mata tertuju pada lelaki yang berdiri di ambang pintu ruang persidangan.

"Abang!" seru Asma. Seketika wanita itu pun berlari menghampiri lelaki yang berdiri di ambang pintu ruang persidangan. Asma menjatuhkan pelukan pada tubuh Wisnu untuk sesaat.

"Maafkan Asma Bang, ini bukan keinginan Asma." Wanita berkerudung hitam itu terisak di dalam pelukan Wisnu, wajahnya terlihat sangat menyesal sekali.

"Tidak Neng, tidak apa-apa! Justru Abang yang harus meminta maaf sama Neng Asma. Karena sudah pergi meninggalkan Neng Asma tanpa pesan," jawab Wisnu.

Lelaki bertubuh kurus itu berdecak kesal, melangkahkan kakinya dengan hentakan keras menuju ke ambang pintu. Saat Wisnu hendak mengulurkan tangan untuk berjabat, Abah justru membuang wajahnya acuh dari tatapan Wisnu dan berjalan pergi.

____

Rasanya Asma sama sekali tidak ingin melepaskan genggaman tangan suaminya. Ia takut jika lelaki itu kembali hilang dari dalam hidupnya. Hampir satu bulan tanpa Wisnu kehidupan Asma seperti kehilangan arah. Ia terombang-ambing dalam batin yang tersiksa.

Sesekali Wisnu menatap ke arah Asma yang berjalan mensejajarinya. Senyuman merekah dari bibir wanita itu menatap lelaki yang selama ini ia rindukan.

"Maafkan Abang ya, Neng!" tutur Wisnu saat mereka sudah hampir tiba di rumah.

"Harusnya Neng yang minta maaf sama Abang. Karena Neng sudah menuruti permintaan Abah." Wajah cantik Asma yang masih seperti terlihat gadis berubah sedih.

Wisnu memutar tubuh Asma ke arahnya. "Tidak apa-apa, itu adalah hal yang wajar. Semua ini adalah karena kesalahanku, harusnya sebelum aku pergi, aku pamit dulu kepadamu." Wisnu mengusap lembut pucuk kepala Asma yang menatap ke arahnya. "Karena saat itu aku buru-buru pergi ke Sumatra jadi aku tidak sempat pulang dan berpamitan dulu sama kamu," tutur Wisnu dengan wajah penuh penyesalan.

Asma membalas tatapan Wisnu berbinar. Sesaat ia menjatuhkan pelukannya pada tubuh Asma. Sebelum mereka melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.

____

Lelaki tampan dan gagah itu terlihat sedang asyik bermain dengan putra semata wayangnya. Kerinduan terlihat jelas dari cara ia memperlakukan balita yang usianya hampir dua tahun itu. Selain Wisnu adalah lelaki yang penyabar, lelaki bertubuh tinggi dengan kulit putih itu juga adalah seorang penyayang pada keluarga.

"Pasti Akbar sangat rindu sekali dengan Abang," seloroh Asma meletakan cangkir teh hangat di atas meja yang berada di depan Wisnu.

"Benarkah sayang, ayah juga sangat rindu sekali sama kamu!" ucap Wisnu dengan nada menggoda pada Akbar. Ia membantu Akbar memainkan mobil-mobilan baru yang telah ia belikan untuk Akbar sebagai buah tangan.

"Bang!" panggil Asma yang sejak tadi menjatuhkan tatapan haru kepada Wisnu. Ia pikir rumah tangganya akan berakhir naas. Tapi ternyata Allah datang dengan pertolongannya yang sama sekali tidak dapat diduga.

Wisnu menatap pada Asma. "Kenapa, Neng!" jawab Wisnu.

"Abang kenal dengan Tuan Hamzah?" ucap Asma. Wisnu terdiam sesaat dengan wajah tanpa ekspresi apapun.

"Kenapa Neng?" tanya Wisnu. Ia mengalihkan tatapannya kepada Akbar yang duduk di atas pangkuannya.

"Dia datang ke sini, ngasih aku uang yang banyak," tutur Asma. "Kata Tuan Hamzah ini adalah uang bonus Bang Wisnu selama bekerja di perkebunan." Asma memperhatikan dengan intens tatapan Wisnu.

"Oh, ya Alhamdulillah Neng. Berarti selama ini perusahaan memperhatikan perkerjaan Abang," balas Wisnu setelah cukup lama ia terdiam. Senyuman terukir dari kedua sudut bibir Wisnu di akhir kalimat.

"Tapi Bang!" Asma menatap ragu, mengigit bibir bawahnya. "Mandor di perkebunan itu mengatakan jika Abang tidak pernah bekerja di perkebunan." Tatapan Asma berubah menyelidik. Genangan air mata sudah memenuhi pelupuk mata gadis itu.

Wisnu terdiam untuk sesaat. Memerhatikan wajah Asma yang nampak gusar menunggu penjelasannya.

"Oh, mungkin mandor itu adalah orang baru Neng. Jadi dia belum kenal dengan Abang," balas Wisnu.

"Tidak Bang! Bahkan dia melihat pada daftar nama pemetik teh dari beberapa tahun yang lalu. Tapi tidak ada satupun nama Abang." Asma bersikukuh meminta pertanggungjawaban atas apa yang selama ini menganggu pikirannya.

Wisnu terdiam. Perlahan menurunkan Akbar dari atas pangkuannya, kemudian beringsut mendekati Asma.

"Lebih baik Abang jawab saja jangan jujur!" tegar Asma, suaranya terdengar bergetar seperti sedang menahan tangis.

"Bener Neng, selama ini Abang memang bekerja di perkebunan." Wisnu bersikukuh memasang wajah penuh keyakinan kepada Asma.

"Tapi Bang, mandor itu mengatakan jika Abang bukan pemetik teh di perusahaan itu. Bahkan, aku sempat bertanya pada pemetik teh yang lainnya. Mereka juga tidak ada yang mengenal Abang." Butiran bening berjatuhan membasahi pipi Asma. Ia merasa di bohongi oleh Wisnu. "Aku hanya tidak ingin keluarga kita makan uang haram, Abang!" isak Asma penuh ketulusan.

Wisnu menghela napas panjang. Menarik tubuh Asma ke dalam pelukannya. "Baiklah jika Neng Asma masih tidak percaya dengan Abang. Besok kita datang ke perkebunan. Nanti biar Abang yang tanya sendiri sama mandor yang bekerja di sana," tutur Wisnu dengan nada lembut."

Wisnu melepaskan tubuh Asma dari pelukannya. Lalu menyeka air mata yang membanjiri pipi wanita itu. "Sudah jangan menangis! Percayalah sama Abang, Abang sama sekali tidak melakukan pekerjaan haram untuk keluarga kita, Neng!" tutur lelaki itu menatap penuh keyakinan kepada Asma.

Wanita berbalut kerudung itupun mengangguk lembut. "Benar ya, Bang!" tutur Asma dengan tatapan penuh harap. Isakannya masih kerap kali terdengar. Menggerakkan bahunya naik turun.

Suara dering ponsel yang menggema di dalam ruangan membuat Asma dan Wisnu terkejut. Mereka saling bersitatap untuk sesaat.

"Bang, ponsel siapa itu?" seloroh Asma penasaran.

_____

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Knp sih hrs berbohong segala
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status