Lelaki yang duduk pada bangku paling depan menjatuhkan tatapannya sekilas kepada Asma sebelum suara ketukan palu itu terdengar. Tanda jika persidangan akan segera dimulai.
"Saudara Asma ...!"Belum sempat Hakim melanjutkan kalimatnya seseorang datang menghampiri lelaki itu. Mendekatkan tubuhnya lalu berbisik. Yang mulia hakim mengangguk tanda mengerti dengan apa yang lelaki itu katakan."Baiklah!" ucap Yang mulia hakim yang terlihat dari gerakan bibirnya pada lelaki yang berjalan meninggalkan ruang pesien."Ibu Asma shafiyyatul qolbu, sidang gugat cerai yang anda ajukan tidak bisa dilanjutkan," tegas suara lantang dari yang mulia Hakim. Wajah Asma seketika berbinar. Senyuman haru tersungging dari kedua sudut bibirnya. Ia tidak peduli mengapa Hakim menggagalkan persidangannya. Yang terpenting ia tidak jadi bercerai dengan Wisnu.Abah bangkit dari bangku dengan wajah memerah. "Kenapa tidak bisa dilanjutkan yang mulia?" seru lelaki bertubuh kurus itu dengan wajah kesal. Suaranya menggelegar di seluruh penjuru ruangan."Asma!"Suara yang tidak asing yang muncul dari bilik pintu ruangan yang terbuka menghentikan gerakan bibir yang mulia Hakim yang hendak menjawab pertanyaan Abah. Semua sorot mata tertuju pada lelaki yang berdiri di ambang pintu ruang persidangan."Abang!" seru Asma. Seketika wanita itu pun berlari menghampiri lelaki yang berdiri di ambang pintu ruang persidangan. Asma menjatuhkan pelukan pada tubuh Wisnu untuk sesaat."Maafkan Asma Bang, ini bukan keinginan Asma." Wanita berkerudung hitam itu terisak di dalam pelukan Wisnu, wajahnya terlihat sangat menyesal sekali."Tidak Neng, tidak apa-apa! Justru Abang yang harus meminta maaf sama Neng Asma. Karena sudah pergi meninggalkan Neng Asma tanpa pesan," jawab Wisnu.Lelaki bertubuh kurus itu berdecak kesal, melangkahkan kakinya dengan hentakan keras menuju ke ambang pintu. Saat Wisnu hendak mengulurkan tangan untuk berjabat, Abah justru membuang wajahnya acuh dari tatapan Wisnu dan berjalan pergi.____Rasanya Asma sama sekali tidak ingin melepaskan genggaman tangan suaminya. Ia takut jika lelaki itu kembali hilang dari dalam hidupnya. Hampir satu bulan tanpa Wisnu kehidupan Asma seperti kehilangan arah. Ia terombang-ambing dalam batin yang tersiksa.Sesekali Wisnu menatap ke arah Asma yang berjalan mensejajarinya. Senyuman merekah dari bibir wanita itu menatap lelaki yang selama ini ia rindukan."Maafkan Abang ya, Neng!" tutur Wisnu saat mereka sudah hampir tiba di rumah."Harusnya Neng yang minta maaf sama Abang. Karena Neng sudah menuruti permintaan Abah." Wajah cantik Asma yang masih seperti terlihat gadis berubah sedih.Wisnu memutar tubuh Asma ke arahnya. "Tidak apa-apa, itu adalah hal yang wajar. Semua ini adalah karena kesalahanku, harusnya sebelum aku pergi, aku pamit dulu kepadamu." Wisnu mengusap lembut pucuk kepala Asma yang menatap ke arahnya. "Karena saat itu aku buru-buru pergi ke Sumatra jadi aku tidak sempat pulang dan berpamitan dulu sama kamu," tutur Wisnu dengan wajah penuh penyesalan.Asma membalas tatapan Wisnu berbinar. Sesaat ia menjatuhkan pelukannya pada tubuh Asma. Sebelum mereka melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.____Lelaki tampan dan gagah itu terlihat sedang asyik bermain dengan putra semata wayangnya. Kerinduan terlihat jelas dari cara ia memperlakukan balita yang usianya hampir dua tahun itu. Selain Wisnu adalah lelaki yang penyabar, lelaki bertubuh tinggi dengan kulit putih itu juga adalah seorang penyayang pada keluarga."Pasti Akbar sangat rindu sekali dengan Abang," seloroh Asma meletakan cangkir teh hangat di atas meja yang berada di depan Wisnu."Benarkah sayang, ayah juga sangat rindu sekali sama kamu!" ucap Wisnu dengan nada menggoda pada Akbar. Ia membantu Akbar memainkan mobil-mobilan baru yang telah ia belikan untuk Akbar sebagai buah tangan."Bang!" panggil Asma yang sejak tadi menjatuhkan tatapan haru kepada Wisnu. Ia pikir rumah tangganya akan berakhir naas. Tapi ternyata Allah datang dengan pertolongannya yang sama sekali tidak dapat diduga.Wisnu menatap pada Asma. "Kenapa, Neng!" jawab Wisnu."Abang kenal dengan Tuan Hamzah?" ucap Asma. Wisnu terdiam sesaat dengan wajah tanpa ekspresi apapun."Kenapa Neng?" tanya Wisnu. Ia mengalihkan tatapannya kepada Akbar yang duduk di atas pangkuannya."Dia datang ke sini, ngasih aku uang yang banyak," tutur Asma. "Kata Tuan Hamzah ini adalah uang bonus Bang Wisnu selama bekerja di perkebunan." Asma memperhatikan dengan intens tatapan Wisnu."Oh, ya Alhamdulillah Neng. Berarti selama ini perusahaan memperhatikan perkerjaan Abang," balas Wisnu setelah cukup lama ia terdiam. Senyuman terukir dari kedua sudut bibir Wisnu di akhir kalimat."Tapi Bang!" Asma menatap ragu, mengigit bibir bawahnya. "Mandor di perkebunan itu mengatakan jika Abang tidak pernah bekerja di perkebunan." Tatapan Asma berubah menyelidik. Genangan air mata sudah memenuhi pelupuk mata gadis itu.Wisnu terdiam untuk sesaat. Memerhatikan wajah Asma yang nampak gusar menunggu penjelasannya."Oh, mungkin mandor itu adalah orang baru Neng. Jadi dia belum kenal dengan Abang," balas Wisnu."Tidak Bang! Bahkan dia melihat pada daftar nama pemetik teh dari beberapa tahun yang lalu. Tapi tidak ada satupun nama Abang." Asma bersikukuh meminta pertanggungjawaban atas apa yang selama ini menganggu pikirannya.Wisnu terdiam. Perlahan menurunkan Akbar dari atas pangkuannya, kemudian beringsut mendekati Asma."Lebih baik Abang jawab saja jangan jujur!" tegar Asma, suaranya terdengar bergetar seperti sedang menahan tangis."Bener Neng, selama ini Abang memang bekerja di perkebunan." Wisnu bersikukuh memasang wajah penuh keyakinan kepada Asma."Tapi Bang, mandor itu mengatakan jika Abang bukan pemetik teh di perusahaan itu. Bahkan, aku sempat bertanya pada pemetik teh yang lainnya. Mereka juga tidak ada yang mengenal Abang." Butiran bening berjatuhan membasahi pipi Asma. Ia merasa di bohongi oleh Wisnu. "Aku hanya tidak ingin keluarga kita makan uang haram, Abang!" isak Asma penuh ketulusan.Wisnu menghela napas panjang. Menarik tubuh Asma ke dalam pelukannya. "Baiklah jika Neng Asma masih tidak percaya dengan Abang. Besok kita datang ke perkebunan. Nanti biar Abang yang tanya sendiri sama mandor yang bekerja di sana," tutur Wisnu dengan nada lembut."Wisnu melepaskan tubuh Asma dari pelukannya. Lalu menyeka air mata yang membanjiri pipi wanita itu. "Sudah jangan menangis! Percayalah sama Abang, Abang sama sekali tidak melakukan pekerjaan haram untuk keluarga kita, Neng!" tutur lelaki itu menatap penuh keyakinan kepada Asma.Wanita berbalut kerudung itupun mengangguk lembut. "Benar ya, Bang!" tutur Asma dengan tatapan penuh harap. Isakannya masih kerap kali terdengar. Menggerakkan bahunya naik turun.Suara dering ponsel yang menggema di dalam ruangan membuat Asma dan Wisnu terkejut. Mereka saling bersitatap untuk sesaat."Bang, ponsel siapa itu?" seloroh Asma penasaran._____Bersambung ....Wisnu mengerjap bangun, dengan wajah bingung. Lelaki itu berjalan cepat menuju ke arah kamar, tempat sumber suara ponsel itu terdengar. Asma yang penasaran ikut bangkit dan mengekori Wisnu. Ia sudah mendapati Wisnu berdiri di samping tumpukan pakaian kotor yang belum sempat tiap ia pindahkan ke kamar mandi. Lelaki tampan itu terlihat sibuk dengan benda pintar yang berada di tangannya."Itu ponsel siapa, Bang?" tanya Asma.Wisnu mengalihkan tatapannya kepada Asma. "Ini, emh ... Ini ponsel milik atasan Abang Neng. Kebetulan kemarin pas kami perjalanan pulang beliau menitipkannya sama Abang. Eh tapi Abang lupa memberikannya," jawab Wisnu mengukir ulasan senyuman kepada Asma. Wajah wanita dengan pakaian tertutup itu menghela nafas lega."Oh, aku kira ini ponsel milik Abang!" Asma meraih benda pipih berlogo buah apel dari tangan Wisnu. Membolak-balikkannya untuk sesaat."Bukan Neng mana mungkin Abang bisa beli ponsel samahal ini. Bisa membahagiakan Neng Asma saja Abang sudah senang," balas
Rani mempercepat langkah kakinya memutari lantai atas menuju tangga eskalator. Lelaki yang ia lihat di lantai bawah berjalan sangat cepat sekali menuju ke arah pintu keluar pusat perbelanjaan tempatnya berada. "Ran, tunggu!" teriak Bagas berusaha untuk mengejar calon istrinya. Namun langkah wanita bertubuh ramping itu begitu cepat, mungkin karena kaki kakinya yang panjang."Ah, sial!" cebik Rani kesal saat ia tiba di depan pintu keluar pusat perbelanjaan. Ia tidak menemukan lelaki yang baru saja ia lihat dari lantai atas tadi. "Kemana perginya?" gerutu Rani kesal."Ran, sudah Ran! Kamu hampir saja membuat jantungku copot," keluh Bagas menahan nafasnya yang hampir saja putus karena berlari mengejar Rani. Tubuhnya yang padat kesulitan membuatnya untuk mengejar Rani yang lebih dulu meninggalkannya.Rani kesal. Kekecewaan terlukis jelas pada wajahnya. Netranya menyapu ke sekeliling, berharap ia masih bisa menemukan lelaki yang mirip sekali dengan kakak iparnya."Kamu sebenarnya mencari
"Apa ini, Ran?" netra Asma tertuju pada rantang yang ada di tangan Rani. Sementara Rani terus memperhatikan lelaki yang berdiri di hadapannya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan menyelidik."Oh, ini Mbak ada titipan dari ibu!" seru Rani tergeragap. Ia mengalihkan tatapan pada Asma. Lalu menyodorkan rantang yang berada di tangannya kepada Asma dengan senyuman paksa."Terimakasih, Ran!" ucap Asma menyunggingkan senyuman hangat kepada Rani. "Maaf sudah merepotkan kamu," ucap Asma."Iya Mbak As, tidak apa-apa," ucap Rani terdengar ramah.Sesekali Rani masih melirik kepada Wisnu. Melihat penampilan kakak iparnya yang jelas terlihat beda sekali dengan lelaki yang ia temui di pusat berbelanja kemarin."Kamu mau mampir dulu?" ajak Asma kembali mengalihkan tatapan Rani kepadanya."Tidak Mbak, terima kasih, aku harus segera berangkat bekerja dulu," ucap Rani cepat. Ia bergegas meninggalkan rumah Asma yang terletak cukup jauh dari jalan besar. Setelah memastikan jika Wisnu adalah
"Assalamualaikum Abah," sapa Wisnu seraya mencium tangan lelaki berwajah masam yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh kurus itu menarik kasar tangannya dari genggaman Wisnu, dengan wajah masam ia menatap pada Wisnu.Asma menatap tidak suka pada sikap Abah yang terkesan tidak sopan kepada Wisnu. Namun sebisa mungkin Asma menahan gemuruh yang bergejolak di dalam dadanya. Karena bagaimanapun Abah adalah orang tua Asma."Ada apa Abah ke sini?" tanya Asma.Abah menarik kasar pergelangan tangan asma hingga tubuh wanita itu bergeser ke arah Abah."Ada apa ini, Abah?" seru Wisnu yang terlihat panik melihat sikap bapak mertuanya yang mendadak kasar."Asma harus ikut denganku!" cetus Abah dengan nada memaksa. "Ikut?" jawab Wisnu dan Asma bersamaan wajah mereka sama-sama terkejutnya."Ikut ke mana, Abah?" cetus Asma, ia tau jika sesuatu hal buruk sedang menghadang langkahnya. Dari wajah Abah yang meradang."Pulang ke rumah!" sentak Abah penuh penekanan. Lelaki bertubuh kurus itu menoleh ke
Wanita yang duduk di bibir ranjang semakin kuat meremas ujung kerudung besar yang ia kenakan. Akhirnya pertanyaan yang selama ini bergelut di dalam dadanya telah terjawab. Alasan mengapa lelaki bertubuh kurus itu bersikukuh untuk memisahkan Asma dari Wisnu."Kapan kita bisa segera melaksanakan pernikahan itu?" ucap suara dari ruang tamu rumah terdengar hingga ke dalam indra pendengaran wanita yang duduk pada bibir ranjang."Terserah juragan jali saja. Kapanpun saya siap untuk menikahkan Asma dengan Juragan," sahut Abah diikuti gelak tawa renyah diantara keduanya. Hal itu semakin membuat hati Umi terasa diremas-remas. Bagaimana tidak, jika sampai pernikahan itu terjadi, itu berarti Asma harus siap untuk menjadi istri ketiga dari juragan jali. Seorang lelaki pemilik peternakan sapi yang terkenal kaya raya di kampung itu."Bagaimana kalau minggu depan." Suara juragan Jali terjeda untuk sesaat. "Jika Abah ingin pesta yang mewah saya harus mempersiapkannya dulu. Tapi jika Abah ingin pesta
Wanita yang mengenakan pakaian syar'i itu menghela nafas berat. Saat melihat makanan yang tersaji di atas meja masih utuh dan tidak tersisa. Sesuai dengan perintah Abah, tidak ada satupun orang yang boleh mengeluarkan Asma dari dalam kamar. Sekalipun itu adalah Umi. Umi menyeret langkah kakinya pelan mendekati ranjang di mana wanita bergamis tosca masih berbaring di atas sana dengan netra terpejam. Tangisan yang cukup lama, membuatnya tanpa sadar telah tertidur."Asma!" ucap Umi mengusap lembut bahu Asma yang meringkuk menghadap ke arah tembok. Netranya berkaca-kaca menatap penuh kesedihan pada anak bungsunya.Asma mengerang pelan. Tanda jika wanita itu telah tersadar dari rasa kantuknya. Perlahan Asma membuka netranya menatap pada dinding tembok yang berada di samping ranjang."Asma, kamu belum makan, Nak?" tanya Umi dengan suara bergetar. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang menggenang pada pelupuk. Tanpa sepengetahuan Asma, ia segera mengusap sudut matanya yang sedikit basah.As
Wanita berkerudung biru muda itu menarik tubuhnya menjauh dari lelaki yang duduk pada bangku kemudi yang berusaha menyentuh punggung tangannya. Wajahnya terlihat ketakutan saat lelaki yang usianya hampir lima puluh tahun lebih itu menjatuhkan tatapan menggoda kepadanya."Kenapa, As?" ucapnya dengan nada lembut yang terdengar begitu mendayu. Ekor matanya melirik pada Asma dengan tatapan menggoda.Asma sama sekali tidak menjawab, ia memilih membuang wajahnya ke arah samping kaca mobil. Keringat dingin membasahi pelipis wanita itu.Terdengar lelaki yang duduk di sampingnya membuang nafas berat. "Baiklah kalau kamu belum siap. Tidak masalah," ucapnya mengakhiri kalimatnya dengan nada lesu. "Tapi aku harap, setelah kamu sudah resmi menjadi istriku maka kamu harus menuruti semua kemauanku," cetus Juragan Jali memberikan penekanan diujung kalimatnya.Asma tidak bergeming, tidak terasa sudut matanya telah basah. Bahkan air mata berlinang membasahi pipi wanita itu tanpa sepengetahuan lelaki ya
Lelaki berkemeja hitam itu melepaskan kacamata yang bertengger di atas hidungnya. Wajah menawan itu tidak lain adalah Wisnu, lelaki yang Asma pikir sudah melupakannya setelah menghilang begitu."Abang!" Pengantin wanita yang mengenakan pakaian adat sunda itu bangkit dari bangku yang berada di depan penghulu. Meninggalkan mempelai lelaki yang meradang seketika setelah melihat seseorang telah mengacaukan acaranya."Asma, tunggu!" teriak Juragan Jali.Asma sama sekali tidak mempedulikan panggilan lelaki yang usianya hampir sepantaran Abah itu. Wanita cantik berbalut gaun pengantin itu menjatuhkan tubuhnya memeluk lelaki berkemeja hitam yang dikelilingi oleh lelaki bertubuh besar dengan seragam yang sama. Sejenak wanita itu terisak dalam pelukan Wisnu."Kamu adalah Bang Wisnuku, kan?" ucap Asma setelah melepaskan pelukannya dari tubuh Wisnu. "Iya lah Neng, ini Abang!" sahut lelaki berkemeja hitam itu seraya menyunggingkan senyumnya yang khas. Asma semakin terisak. Ketampanan suaminya se