Selama beberapa saat, Astuti membiarkan ponselnya terus berdering. Ia tidak ingin berbicara dengan Dipta saat ini. Apalagi fakta bahwa pria itu telah menyembunyikan sesuatu sepenting itu darinya membuat Astuti merasa dibohongi. Astuti mengatur ponselnya dalam mode hening agar nada deringnya tidak mengganggu istirahat sang ibu. Namum, semakin lama dia mengabaikan Dipta, semakin gelisah juga hatinya. Astuti ingin bertanya mengenai kebenaran pernikahan Dipta, tetapi Astuti langsung teringat pada ancaman Tama yang langsung membuatnya merinding.Asuti benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.“Mbak Tuti, hpnya kedip-kedip tuh. Kayaknya ada telepon deh,” celutuk adik Astuti tiba-tiba, menyadari ponsel kakaknya terus-menerus menyala di karpet.Astuti terkesiap. Adiknya yang sedang memijat kaki ibunya menyadari panggilan Dipta. Astuti segera membalik ponselnya dan meneguk ludah. “Iya, ada telepon, tapi nggak penting kok.”“Tuti, kalau kamu ada yang nelpon mending diangkat, Nak,”
“A-apa!?”Napas Astuti tercekat mendengar bisikan Tama di telinganya. Matanya membola sempurna, sama sekali tak menyangka jika Tama akan mengatakan sesuatu yang tak sopan. Astuti mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tama mungkin sudah membantunya, tetapi pria itu tidak berhak meminta hal sehina itu darinya.“Maksud kamu apa, Mas?” sergah Astuti cepat. Ia harus memelankan suaranya atau percakapan mereka akan terdengar oleh orang lain yang berlalu-lalang di koridor rumah sakit. “Kamu pikir saya wanita murahan yang akan menuruti semua permintaan kamu hanya demi uang?”“Ya, kamu memang wanita murahan, kan? Bagaimana lagi saya menyebutnya?” Tama menarik pergelangan tangan Astuti semakin dekat. “Jangan sok lugu kamu, Astuti. Kamu kira saya nggak tahu wanita macam apa kamu ini, hah?”Astuti benar-benar tidak memahami ucapan Tama. Pertama, pria itu membantunya dan bahkan terkesan memaksanya menerima uang itu. Astuti akhirnya setuju setelah pertimbangan yang singkat, berpikir Tama benar-benar pem
Mata Tama bergetar melihat sosok wanita di ponsel Ara. Rasanya, baru beberapa jam yang lalu ia berbicara dengan wanita itu, tetapi sekarang Tama mendapati kenyataan jika wanita itu adalah simpanan iparnya. Tama menatap Ara yang masih terguncang dengan perselingkuhan Dipta. Tama menurunkan tangan Ara dan meremas lembut pundaknya.“Mbak minum dulu, ya. Emosi Mbak Ara belum stabil. Duduk di sini. Aku ambilin air,” ucap Tama. Ara mengangguk pasrah. Ia membiarkan Tama membimbingnya duduk di kursi terdekat. Kepalanya tertunduk pada lantai dan semakin lama Ara memandangi foto itu, semakin hancur pula hatinya. Suaminya dekat dengan perempuan lain, yang notabennya mahasiswa di kampus tempatnya bekerja. Mereka terlihat sangat dekat dalam momen yang ditangkap foto itu.Tama kembali sekitar lima menit kemudian dari dapur. Pria itu membawa segelas air sebelum duduk di samping Ara.“Minum pelan-pelan, Mbak. Hati-hati tersedak.”Tama membantu Ara minum dari bibir gelas secara perlahan. Setelah meng
Astuti dan semua yang ada di sana kaget. Tapi Tama justru menyeringai tipis melihat Prita dan ibunya membelalak seperti itu. Masalahnya, ibu Prita menawarkan Tama untuk menikahi Astuti bukan dengan cara yang tulus. Justru ia sedang mengejek Tama. Astuti adalah anak pembantunya, itu artinya level Tama hanya sampai di situ. Ia lebih pantas menikahi wanita yang selevel pembantu seperti Astuti ketimbang Prita yang sudah menjadi pramugari. Sementara itu, Tama sendiri langsung menghampiri Astuti yang terdiam membeku dengan raut bingung. Ia tidak tahu harus bereaksi apa bahkan ketika Tama mendekatinya dan mengulas senyum tipis kepadanya. “Astuti ‘kan? Ibu kamu sakit dan butuh uang? Mau saya bantu?”Astuti mendongak dan beradu tatap dengan Tama. “A-ah… Saya… itu…”Ibu Prita mengurut pelipisnya sendiri yang mendadak pening. “Udah sana kalian pergi ajalah dari sini. Rumah saya bukan tempat untuk memadu kasih kaum-kaum kelas bawah kayak kalian. Hus!”Astuti menunduk dalam-dalam. Mendengar ucap
"Cuman 50 juta? Yang bener aja kamu, anak saya ini seorang pramugari lho, bukan tukang jualan seblak!""Nih, ambil mahar kamu! Saya nggak terima uang recehan begitu. Kalau kamu mau nikahin anak saya, minimal kasih 1M lah. Tapi kalau dilihat-lihat dari pangkat kamu yang cuma pratu, aduh-aduh... saya yakin seribu persen, 100 juta aja kamu gak akan sanggup. Belum lagi nanti kalau sudah menikah, mau dikasih makan apa anak saya? Nasi sama garam?"Ucapan pedas itu terlontar dari wanita paruh baya yang begitu sombong menolak lamaran Tama, seorang tentara yang sedang melamar kekasihnya, Prita. Ia ditolak mentah-mentah hanya karena menyerahkan uang sebesar 50 juta untuk mahar pernikahannya dengan sang kekasih.Tama menatap kekasihnya yang justru malah memalingkan wajah."Prita, kamu nggak mau terima mahar dariku?" tanyanya.Gadis itu menatap jengkel ke arah Tama."Kan aku udah bilang, kamu jangan datang ke rumahku kalau cuma bawa 50 juta Mas. Ya orang tuaku gak bakal setuju lah!""Aku hanya ma
Ketika kandungan Selina mencapai empat bulan, keluarga Hanif mengadakan upacara syukuran di rumah mereka. Beberapa orang di luar batalyon diundang, seperti Bu Silvi hingga Galih serta Nilam. Acara itu memang diadakan sangat sederhana karena tenaga untuk mempersiapkannya sangat terbatas. Hanif tidak ingin ibu dan istrinya yang tengah hamil muda kelelahan, sehingga dialah yang sebagian besar mengatur acara. Selina sendiri menyarankan supaya mereka memakai jasa katering untuk konsumsi para tamu undangan. Acara diadakan pada malam hari selepas maghrib. Semua tamu undangan mengaji di rumah Hanif untuk mendoakan janin Selina. Sementara Hanif dan Bu Ira menyambut tamu di depan, Selina beristirahat di kamar karena merasa tak enak badan. Nilam dan Galih menghadiri acara tersebut tanpa anak-anak. Galih bergabung dengan tamu undangan yang lain, sedangkan Nilam menemani Selina di kamarnya. "Masih mual-mual, Sel? Biasanya kalau udah masuk trimester kedua, morning sicknessnya agak mendingan loh