Share

Bab 5

"Ayo, kita cari makanan. Ibu laper, nih," ajak Ibu seraya menggandeng lenganku. 

Bu Sari tak lagi mempedulikan kakak sepupuku itu. Kasihan juga Mbak Neni. Pasti dia malu kalau sampai tidak jadi membeli semua pakaian yang sudah dipilih olehnya. 

Dia itu paling pantang kalau sudah memilih sesuatu tapi tidak dibelinya. Apa yang sudah ditunjuk, biasanya selalu dibayar olehnya. 

"Bu, jangan begitu dong. Ini belanjaanku gimana?" teriak Mbak Neni yang kebingungan. 

Aku bisa melihat dia bolak-balik melihat ke arah bajunya dan ke arah kami. Dia pasti sangat menginginkan pakaian itu. Antara ingin tertawa dan juga sedih melihat Mbak Neni seperti itu. 

"Kalau kamu nggak punya uang, ya, tinggalkan saja! Gitu aja kok repot," sahut Ibu tak mau ambil pusing dengan urusan Mbak Neni.

Duh, gimana ya? Aku nggak mungkin meminta calon mertuaku ini untuk membayarnya. Belanjaan untukku saja sudah sebanyak itu. Apalagi kalau ditambah barang Mbak Neni. Mau habis berapa lagi. 

"Ayo, Nak. Sudah, biarkan saja Mbakmu itu. Dia 'kan sudah sering dibelikan baju sama Nenek dan Ibunya. Nanti biar dia minta dibelikan sama mereka lagi." Ibu kembali menarik lenganku.

Aku mengikuti Ibu mertua dan membiarkan Mbak Neni yang sepertinya sedang menjelaskan sesuatu pada penjaga toko. Tampak terjadi perdebatan di antara mereka. Dan setelahnya, Mbak Neni seperti memarahi mereka lalu pergi begitu saja. 

Meskipun sedang berjalan, sesekali aku menoleh ke belakang melihat Mbak Neni yang mengekor dengan menghentakkan kakinya. Dia pasti sangat kesal karena keinginannya tidak tercapai.

***

"Mbak Menik, kami pulang dulu, ya," pamit Bu Sari, sesaat setelah kami sampai di rumah dan berbincang-bincang sebentar dengan Nenek. 

Bu Sari mengatakan pada Nenek, seminggu lagi Ia dan keluarganya akan datang untuk melamarku secara resmi.

Nenek sudah menyetujui semuanya, dan dengan senang hati menerimanya. Ya, aku tau. Nenek pasti senang karena aku sudah akan pergi dari rumah ini dan tidak lagi menjadi parasit di hidup Nenek. 

"Kok buru-buru, toh, Dek Sari," jawab Nenek berbasa-basi. 

"Iya, Mbak. Sudah lumayan lama saya ninggalin rumah. Takutnya nanti dicariin sama cucu." Ibu tertawa tak enak. 

Setelah acara salam-salaman sebagai pertanda perpisahan, Nenek mengantar Bu Sari sampai di depan teras. 

Pakaian yang tadi dibelikan oleh Bu Sari, semuanya ditinggal di rumah. Calon mertuaku itu juga mengatakanpada Nenek jika semua pakaian itu milikku. 

Mbak Neni tak henti-hentinya cemberut sepanjang perjalanan pulang tadi. Bahkan saat kami makan, Mbak Neni tidak mau makan meski sudah ditawarin oleh Bu Sari. Dia masih sakit hati dan mengatakan jika takut makanan yang dipilihnya tidak akan dibayarkan lagi oleh Ibu. 

Saat sampai di rumah, Mbak Neni juga langsung pulang ke rumahnya tanpa berpamitan pada kami. 

"Enak banget, ya, dibelikan baju sama calon mertua!" seru Mbak Neni, sewot. Ia baru saja masuk ke dalam rumah Nenek saat mobil Bu Sari sudah pergi. 

Mbak Neni juga terlihat sudah berganti pakaian. Sepertinya ia sudah selesai mandi. 

"Mana banyak banget lagi." Mbak Neni membongkar semua pakaian yang masih berada di dalam plastik besar. 

"Kamu jangan malu-maluin, Rah. Minta dibelikan pakaian sebanyak itu!" sungut Nenek saat ia sudah masuk ke dalam rumah. 

"Bukan Sarah yang minta kok, Nek. Semua ini Bi Sari sendiri yang membelikannya. Padahal Sarah sudah menolaknya."

"Jangan banyak alasan kamu! Nenek nggak suka nanti keluarga kita direndahkan oleh mereka."

"Tapi, Nek. Sarah bener-bener udah nolak, kok." Aku kembali membela diri. Karena semua ini juga bukan mauku. Tapi Bu Sari sendiri yang berinisiatif membelikannya. 

"Nenek tau, tadi, Neni minta dibayarkan juga beberapa potong baju. Tapi calon mertua Sarah menolaknya. Dia nggak mau membayarkan barang satu pun. Si Sarah juga, bukannya membela, malah dia diam aja. Jadilah semua pilihanku nggak bisa kebeli," cerocos Mbak Neni kesal. 

"Kamu itu, Rah. Serakah sekali sama sepupu sendiri. Seharusnya tuh, kamu minta belikan juga untuk Neni. Jadi biar impas, gitu. Bukannya malah mencari keuntungan sendiri aja!" Nenek jadi ikutan memarahiku. 

Tadi saja, Nenek seperti menjaga harga dirinya karena aku dibelanjakan obanyak oleh Bu Sari. Tapi sekarang, hanya karena cucu kesayangannya, Nenek rela menjatuhkan harga dirinya dengan cara memintaku untuk Bu Sari membayarkan barang Mbak Neni. 

"Sarah nggak enak, Bu. Bu Sari juga kan, masih calon mertua. Jadi Sarah nggak mungkin memintanya untuk membayar pakaian Mbak Neni juga. Semua itu juga dibelikan oleh Bu Sari tanpa sepengetahuan Sarah."

"Banyak sekali alasanmu, Rah!" sungut Mbak Neni sambil merobek kertas pembungkus pakaian yang sudah tak ada plastiknya lagi. 

Aku hanya diam, tak lagi menjawabnya. Percuma saja, aku tetap akan salah di mata mereka. 

"Ini bajumu lebih dari sepuluh pieces. Kamu bagi aku tiga, ya?" pinta Mbak Neni setelah membongkar habis semuanya, dan melihat satu persatu pakaianku. Ia juga sudah mengepaskan pada tubuhnya. 

"Tapi, Mbak. Aku gimana bilangnya, sama Bu Sari? Tadi kan Ia membelikan semuanya untukku."

"Kamu itu, b*doh atau tol-ol, sih? Ya, nggak usah bilang lah sama dia!" bentaknya marah. 

Mbak Neni tetap membawa pakaian pilihannya. 

Meskipun aku berikan itu padanya. Aku yakin tidak akan muat dipakainya. Tubuh berisi Mbak Neni tidak memungkinkan untuk dia memakainya. 

"Sudahlah. Berikan itu pada Mbakmu! Jangan kikir kamu jadi manusia!" ketus Nenek. 

"Nek, aku pulang, ya! Mau nyoba baju baru." Mbak Neni berpamitan dengan sangat girang. Ia tetap membawa pakaianku. 

Apapun yang sudah menjadi keinginan Mbak Neni, mau tak mau aku harus menurutinya. Kalau tidak, Nenek akan memarahiku bahkan mema-kiku. 

Nenek tampak tersenyum melihat Mbak Neni. 

Hmmmm. Sabar Sarah, sebentar lagi, kau akan keluar dari rumah ini. Bisik hatiku. 

"Bereskan itu semua. Jangan berantakan seperti itu! Sumpek Nenek lihatnya!" gerutu Nenek saat ia hendak berjalan ke belakang. 

Pakaian yang tadi sempat diobrak-abrik Mbak Neni, tidak kembali di bereskannya. Semua dibiarkan begitu saja.

Sudah menjadi kebiasaan. Siapa yang buat berantakan, siapa juga yang disuruh bereskan. 

Satu-persatu, aku kembali melipat pakaian dan menumpuknya terlebih dahulu sebelum membawanya ke kamar untuk dipindahkan ke dalam lemari pakaian. 

Plastik pembungkusnya juga kukumpulkan menjadi satu dan akan segera membuangnya. 

Selesai. 

Akhirnya semua sudah tertata rapi di kamar. 

"Sarah! Sarah!" teriak Mbak Neni dengan gerutuan tak jelasnya. 

"Ada apa, Mbak?" tanyaku saat menemuinya di dapur. 

"Lihat nih, pakaian yang dibelikan mertuamu semua kaliannya jelek. Lihatlah, baru dibeli sudah sobek!" sungutnya seraya melemparkan pakaian yang tadi sempat ia bawa pulang. 

Aku membentangkan pakaian itu ke atas lantai. Ternyata memang benar sudah sobek di bagian resletingnya. Ada juga yang dibagian bawah ketiak. 

"Ini sih bukan kainnya yang jelek. Tapi badan Mbak Neni saja yang kebesaran."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sri Sudaryati
Kasihan Sarah selalu dikambing hitamkan oleh neneknya dan Neni ,semoga menemukan kebahagiaannya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status