Share

Bab 6

Pov Neni. 

"Ini sih bukan kainnya yang jelek. Tapi badan Mbak Neni saja yang kayak Singa laut," gumam Sarah dan masih dapat kudengar. 

"Apa kamu bilang? Kamu ngatain aku kayak singa laut?" bentakku tak terima dibilang Singa laut. 

Enak saja dia mengataiku singa laut. Tubuh indah seperti Meghan Trainor begini kok dikatain Singa laut. Huuuhh, dasar Lisa bungkring! Body sepertiku ini yang banyak dicari kaum laki-laki. Tidak seperti dia, hanya lung-lit-lut. Iya, tulang, kulit, kentut. 

"Ehh, nggak kok, Mbak. Ini bajunya ada gambar Singa laut-nya," jawabnya gelagapangelagapan sambil nyengir tidak merasa bersalah. 

"Mana gambar singa lautnya? Kamu pikir Mbakmu ini rabun? Itu tuh, gambar Gajah terbang!" sungutku dan menatapnya tajam. 

Dia pikir aku bodoh. Baju itu semuanya sudah kucoba, dan tak ada gambar singa laut seperti ucapannya. Dia pasti memang berniat mengataiku.

"Eh, iya. Aku pikir gambar Singa, Mbak." Sarah terlihat salah tingkah, sambil menggaruk kepalanya yang berkutu. 

Entahlah ada kutunya atau tidak. Tapi kalau sudah garuk-garuk, berarti ya berkutu. 

"Kamu, nggak bisa bedain, mana singa, mana gajah?" gerutuku emosi.

Ingin sekali rasanya kutimpuk dia pakai sendal. Kenapa sih dia itu pura-pura lugu? 

Aku tau, dia itu licik, selicik Almarhum Ibunya. 

"Bukan beg-" 

"Ahh, sudahlah. Males ngomong sama kamu!" Aku berbalik dan pergi dari dapur rumah Nenek. 

Setiap melihat wajah Sarah, aku tuh bawaannya pengen menindas dia aja. Entah kenapa, wajah melasnya bikin aku emosi terus.

'Ting!'

Suara ponsel yang sedang kutaruh di dalam saku terdengar berdenting. Sepertinya pesan w******p masuk.

Ah, benar. Ternyata Mas Fajar yang mengirimkan pesan. 

(Sayang, lagi apa? Sudah makan kah siang ini?) 

Duhh, kekasih hatiku. Bisa saja membuatku berbunga-bunga. 

(Belum, sayang. Adek lagi nggak selera makan, nih.) 

Balasku dengan semangat. 

Sesekali berbohong demi mencari perhatiannya kan nggak papa. 

Padahal, tadi aku sudah makan. Bahkan sampai nambah dua piring penuh. Habisnya, saat pergi dengan calon mertua si Sarah tadi, aku nggak makan. Takut aja wanita peyot itu tidak mau membayarkan makananku. Kan bisa malu untuk ke dua kalinya aku. Sudah malu gara-gara pakaian, malu lagi gara-gara makan. 

Walaupun mereka sudah menawariku makanan tadi, aku tetap ogah memesannya. Nanti Bu Sari ngeprank aku pula. Padahal, cacingku sudah berjoget ria sambil menggerogoti ususku. 

(Uluh-uluh. Tini tayang, biar di cuapin.) 

Aawwww!

Aku melompat-lompat kegirangan mendapat pesan dari Mas Fajar lagi.

Perhatian banget sih, calon suamiku ini. Meski kami belum sempat bertemu, tapi, aku sudah sering video call dengannya. Jadi dia nggak mungkin berbohong padaku tentang status pekerjaannya. 

Mas Fajar ini, setiap kali Video call, dia selalu memakai seragam kerjanya. Bukan bermaksud pamer. Tapi, dia selalu menghubungiku setelah pulang dari tugas.

Untuk wajah, Mas Fajar tidak terlalu ganteng. Bahkan tubuhnya terlihat sama gempalnya denganku. Tapi tidak apalah. Yang penting cita-citaku menjadi istri seorang abdi Negara akan tercapai. 

Aku sudah membayangkan saat kami foto prewedding nanti. Duh, aku pakai baju Ibu persit, dia pakai baju dinas. Ihh, pokoknya ada kebanggaan tersendiri, deh. 

(Uuncchh, cayang. Aku jadi rindu, deh.) balasku sambil senyum-senyum seperti orang gi-la yang kutemui di pasar.

'BRAK!'

"Semprul!" ma-kiku saat tubuh ini menubruk pintu masuk, karena aku terlalu fokus pada ponsel dan tidak melihat pintu segede itu setengah tertutup. Bibir seksiku ini, juga dengan tidak sabaran mencium daun pintu sampai benturannya terasa ke gigi. 

Berdarah nggak ya, nih, gigi? 

Aku menggerakkan lidahku untuk merasai darah yang keluar dari gusi. Ternyata tidak ada. Berarti masih aman. 

"Neni, kamu tau gelang Mama yang kemarin ditaruh di atas kulkas, nggak?" tanya Mama saat aku baru saja masuk. 

"Nggak tau, Ma."

"Kok nggak tau? Kemarin Mama taruh di sini loh?" Mama masih saja ngotot dengan pertanyaannya. 

"Neni, nggak tau, Ma. Coba tanya Papa." Aku langsung saja kabur ke kamar. Malas mendengar pertanyaan Mama yang akan semakin panjang bila dia tidak menemukan barang yang dicarinya. 

Gara-gara gelang Mama, aku jadi ingat dengan calon Ibu mertua Si Sarah yang sok kaya itu. 

Gampang banget dia ngeluarin uang sebanyak itu hanya untuk membeli emas saja. Apa ada petani yang sekaya itu? Aku yakin, semua uangnya itu hasil ngutang. Dia pasti ingin memameriku karena berharap aku berubah pikiran dan mau menggantikan posisi Sarah menjadi menantunya.

Emang siapa sih, yang bisa menolak gadis berpendidikan sepertiku? 

Kasihan sekali Bu Sari. Aku tetap tidak akan goyah meski dia sudah banyak keluar uang. Aku tidak akan mau menjadi menantunya yang nantinya akan menjadi kacung, dan diminta bayarin semua hutangnya setelah menikah.

Pokoknya, aku tidak akan pernah mau jadi manantunya. Titik! 

Tapi ... aku masih heran dengan anak Bu Sari. Sudah dua kali dia datang ke sini. Tapi, belum pernah sekalipun sang anak ikut. 

Aku curiga. Jangan-jangan calon suami Sarah sama dekilnya dengan Sarah. Hitam, berkumis, berjenggot, jerawat di mana-mana. Iuuhhh, bukan tipeku banget.

Mungkin saja Bu Sari sengaja membawa anaknya saat akan menikah nanti, agar Sarah tidak bisa menolak saat tau calon suaminya buruk rupa. 

Duh, malang sekali nasibmu Sarah, akan dinikahkan dengan pemuda yang tak pernah tau wujudnya. 

(Cama sayang. Mas juga kangen sama, kamu.) balas Mas Fajar lagi, disertai emoticon love.

(I Love you, sayang.) Aku mengirimkan kata cinta beserta foto yang kuambil saat di dalam mobil sewaan calon mertua Sarah tadi. 

Posenya dengan satu mata berkedip manja.

(I love you too, tayang.) Mas Fajar juga mengirimkan fotonya saat ia sedang duduk bersandar di tiang ya v ada di sampingnya. 

***

"Hallo, sayang, kamu lagi sibuk nggak?" tanyaku Saat Mas Fajar baru saja pulang bekerja. 

Bagaimana aku tau kalau dia baru pulang kerja? Itu semua karena sudah menjadi kebiasaan kami, jika di jam segini biasanya lelaki itu akan menelponku. 

"Enggak, sayang. Ada apa?" tanyanya dengan suara yang sangat lembut. 

"Jadi, gini. Tadi sepupu Adek baru saja dibelikan emas sama calon mertuanya. Nah, terus, Adek nggak mau dong kalah saing. Masa calon istri petani bisa memakai emas sebanyak itu. Jadi, Adek minta, kalau nanti Mas mau melamar, Mas juga harus memberikan emas padaku, ya? Bahkan harus lebih dari itu. Pokoknya, kita nggak boleh terlihat dibawah mereka. Kalau bisa, foto prewedding kita di tempat yang bagus. Biar semakin iri dia."

"Iya, sayang. Semua yang kamu inginkan, pasti akan dikabulkan," ucapnya sangat yakin. 

Yes! Akhirnya aku bisa membalaskan perbuatan mereka tadi. Akan kuberi tau mereka semua, siapa suamiku. 

"Hallo, sayang!" panggil Mas Fajar saat aku sibuk melamun. 

"Eh, iya. Hallo, Mas."

"Maaf sebelumnya. Tapi, Mas nggak tau lagi harus gimana. Jadi, Mas bisa minta tolong?"

"Minta tolong apa, Mas?"

"Mas, lagi butuh uang untuk naik pangkat sayang. Bolehkan, Mas pinjam uang kamu, dulu? Sedikit, kok, Nggak banyak. Cuma lima puluh juta aja."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sri Sudaryati
Neny semoga tidak keleru jodoh ya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status