"Apa-apaan!?"
Pria di hadapannya itu tak kunjung menjawab pertanyaan Yudha. Justru, dia menghampiri Marla dan membantunya untuk berdiri. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya. Marla mengangguk tanpa suara, terpaku atas kedatangan pria tersebut. Namun, wanita itu bertanya-tanya dalam hati, siapa pria yang telah datang membantunya itu? Mengapa postur tubuhnya terlihat tidak asing? Memastikan Marla tidak kenapa-kenapa, pria itu berbalik menghadap Yudha beserta dua wanita di belakangnya. Dengan tatapannya yang dingin dan tajam, membuat orang di sekitar segan untuk mendekatinya. “Jangan main tangan pada wanita, terlebih wanita saya. Anda bukan siapa-siapanya sekarang, dan jika Anda melukainya, saya tak akan tinggal diam.”Suara bariton dan tegas itu seolah berhasil menyihir semua orang. Bahkan, Marla yang baru saja mendengar ucapan tak berdasar sang pria tak mampu mengatakan apapun. Namun, beberapa detik berikutnya, satu kata berputar di pikiran Marla. "Wanitaku?" Memangnya siapa pria itu?
Untuk sesaat, Marla merasakan kedua tangan sang pria yang membantunya itu tengah menyalurkan gelombang keberanian pula. Marla mengepalkan tangan, lantas bertatapan dengan setitik kesadaran baru. Pria itu tersenyum simpul, kemudian mengelus puncak kepala Marla. "Ayo, saya antar kamu pulang.” Belum genap berbalik, Yudha berseru dengan segumpal kekesalan. "Mau ke mana kalian? Oh! Jadi, selama ini kalian memang sudah diam-diam bermain di belakangku? Ternyata, kamu memang serendah itu ya, Marla?" Marla mengepalkan tangan disertai geraman rendah yang masih tertahan. Tadinya dia berniat mengekori sang pria yang masih kewalahan dia kenali itu untuk keluar dari area Pengadilan Agama. Namun, mantan suaminya itu baru saja menyentil sesuatu yang tidak seharusnya. "Kamu bicara apa, Mas? Kamu menuduh aku berselingkuh? Bukankah kamu tahu sendiri bagaimana kesetianku padamu selama ini? Lalu, sekarang kamu menuduhku begitu?" timpal Marla. "Kalau tidak berselingkuh," Kamilia menambahkan, "kenapa sekarang laki-laki asing yang tidak tahu diri ini malah datang menjemputmu? Berarti, memang benar kalau kejadian malam itu memang terjadi atas keinginan kalian berdua. Lihatlah! Dia malah mengancam kami juga dengan menyerukan kalau kamu adalah wanitanya, Marla." "Kamilia? Kamu juga menuduh aku berselingkuh? Cih! Lucu sekali! Kamu sendiri yang sudah kuanggap sebagai sahabatku, tapi malah menusukku dari belakang. Apa yang kamu lakukan itu tidak lebih buruk lagi?" Marla mendecih, secara perlahan merasakan gelegak amarah yang selama ini bersemayam di balik peti hatinya. "Kalau aku yang begini saja disebut selingkuh, lalu kamu apa?" Kamilia melotot, mulutnya bergetar, siap melontarkan semburan panas yang ditujukan pada Marla. "Ka-kamu—" "Sudah tahu pria yang kamu dekati itu mempunyai istri, malah dengan percaya dirinya berdiri di tengah-tengah. Bahkan, kamu mau-mau saja ditiduri sama suami orang. Kamu menuduhku berselingkuh, tapi kamu sendiri tidak lebih dari sekadar pelakor rendahan yang berlindung di balik izin Tuan dan Nyonya Besar, Kamilia." "Marla!" sela Yudha, tidak terima atas perkataan Marla barusan—meski yang terdengar merupakan kebenaran belaka. Mengabaikan seruan Yudha serta kemarahan Kamilia yang belum tersalurkan, pria yang menjemput Marla pun menariknya untuk cepat pergi dari sana. Mereka melangkah secepat mungkin, tak mengindahkan raungan kekesalan yang menggema dari sosok Kamilia. Begitu tiba di tempat parkir, Marla terdiam dengan wajah pucatnya. Wanita itu mendongak, menatap wajah sang pria yang terlihat sabar menantinya. "A-aku ... aku tidak tahu kalau aku bisa jadi seberani ini ...." Pria itu mengulum senyum. Memandang Marla dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Marla mendengkus, selama ini dia senantiasa menjadi seorang istri yang lemah dan terlalu berpasrah diri. Namun, baru saja dia berani menampar mantan suami dan selingkuhannya. "Ah, iya," wanita itu tersadar bahwa dia tidak sedang sendiri, "kalau boleh tahu, Anda siapa ya? Kenapa Anda mau datang ke sini untung menyelamatkan sa—" Pria itu mengulurkan tangan, tersenyum simpul seolah-olah telah mendambakan momen tersebut.Namun, begitu manik Marla mengarah ke jam tangan dengan strap berwarna coklat yang ia kenali dari foto memalukan dirinya, Marla sadar, jika pria ini bukanlah pria asing.
"Arjuna."Tidak salah lagi, Arjuna adalah pria itu! Otot lengan, jam tangan, serta figur tubuh Arjuna persis sama dengan pria yang bersenggama dengannya malam itu.
"Kamu!?"
Sebelum tangannya kembali bergerak, tahu-tahu saja Arjuna menggenggam tangannya, lantas menyisipkan sesuatu dalam genggaman tersebut. Terheran-heran, Marla membuka genggamannya, terkejut saat mendapati sebuah benda berkilauan yang tersemat pada salah satu jemarinya tidak lebih dari lima detik. Menganga, Marla nyaris tak memercayai penglihatannya sendiri. "Karena semuanya sudah beres—mau menikah dengan saya, Nona Marla? Izinkanlah saya untuk bertanggungjawab atas apa yang terjadi pada malam itu." Marla tidak memiliki gangguan pendengaran apa pun, tetapi pertanyaan yang Arjuna tawarkan padanya bagai fatamorgana di tengah padang pasir. Membingungkan serta menyilaukan. Meski begitu, dia merasakan ketegasan yang terpancar dari sepasang mata kelam Arjuna, membuatnya yakin, apa yang pria itu ucapkan bukanlah lelucon belaka. “Nona Marla?” Wanita itu mendongak, gelagapan. “Apakah kamu baru ingat dengan saya?” Sial! Seharusnya Marla merasa emosi, atau bahkan menampar pria yang ada di hadapannya ini karena telah membuat hidupnya hancur. Namun, perlakuan dan juga ucapannya justru membuat Marla jadi salah tingkah. Pipinya memerah sempurna tak terkendali."Kalau begitu, saya akan bertanya sekali lagi. Apakah kamu mau menikah dengan saya, Nona?"
Bagaimana ini? Dia baru saja berpisah dengan Yudha, ditemani luka yang belum mengering sepenuhnya. Lalu, secara tidak terduga pria montir yang kerap datang untuk membenahi mobil mantan suaminya itu malah datang melamarnya seperti ini? Di tempat parkir gedung Pengadilan Agama? Akan tetapi, Marla tahu, ini juga bisa jadi salah satu kesempatan baginya untuk menunjukkan pada Yudha dan juga Kamilia, bahwa dirinya bukanlah wanita yang pantas untuk dihina, dan disia-siakan. “Baik, saya mau menikah denganmu, Tuan Arjuna.”Pasangan Purnama tengah bercakap dengan rekan bisnis lain. Melihat kesempatan tersebut, Mariana meneruskan langkah ke arah Marla yang berdiri agak menepi. Selagi hidangan belum disajikan, sebenarnya Marla ingin sekali pergi keluar ruang naratama untuk mencari angin segar—sekaligus melarikan diri. Namun, sepertinya dia tidak akan bisa lolos dengan mudah. "Ternyata benar dugaanku. Kita akan bertemu di sini lagi, Nona Marla. Kamu terlihat cantik sekali," puji Mariana setengah hati dengan tatapan merendahkan. Tidak perlu diragukan, Marla bisa mengenalinya. Mariana seperti mengejek penampilan Marla yang tidak dalam balutan gaun mewah nan mahal seperti yang Mariana kenakan. "Kamu juga cantik sekali, Mariana. Jujur saja, aku menyukai gaya rambutmu malam ini." Balasnya. Alis kanan Mariana meninggi. "Benarkah? Yah, aku mengaturnya di salon sejak dua jam yang lalu, sekaligus melakukan perawatan rutin. Kalau seluruh tubuhku tidak dijaga dengan baik, apalah gunanya uang yang telah Ayah dan B
Marla telah mendapati sang suami menanti di meja makan, melahap makanan seraya memindai tablet yang terpampang pada sisi kanan piring pria itu.Entah kapan Arjuna pulang ke rumah, saking pudarnya kehangatan dalam hubungan mereka, Marla tidak tahu kapan suaminya pulang. Tidak seperti dulu, saat dia menunggu kepulangan Arjuna dengan hati berdebar, sekarang rasanya berbeda.Mau ditunggu, rasanya seakan-akan suaminya itu sengaja memperlambat diri pulang ke rumah. Alhasil, Marla jadi kelelahan sendiri hanya untuk menunggu kepulangan sang suami.Menarik napas perlahan, Marla memantapkan diri sebelum mengambil tempat di meja makan. Wanita itu berupaya untuk tak mencuri lirikan ke arah sang suami.Jujur saja, semalam tidurnya tidak nyenyak sama sekali. Bahkan, dia mendapati diri terjaga di tengah malam setelah bermimpi buruk.Tidak bisa dimungkiri, mimpi buruk itu datang lantaran dipicu oleh foto yang didapatkannya. Arjuna dan Julie. Sebetulnya apa yang mereka sembunyikan darinya?Apakah bena
Arjuna melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Pria itu mendesah lelah, menyandarkan diri pada punggung kursi kerjanya.Seharian ini dia sudah dibuat kesal lantaran Yudha datang tanpa pemberitahuan ke rumahnya hanya untuk membujuk Marla lagi.Kening pria itu berkerut, tidak memahami mengapa sekarang Yudha ingin sekali kembali mengambil Marla, setelah dulu memperlakukan wanita itu semena-mena."Tuan, saya mendapat laporan dari mata-mata, semuanya berjalan sesuai rencana."Arjuna hanya mengangguk sekilas saat mendengar ucapan Julie. Seharusnya dia merasa puas atas segala sesuatu yang berjalan sesuai rencana. Namun, mengingat belakangan ini dia harus menjaga jarak dengan Marla meski sebentar, membuat suasana hatinya memburuk."Lalu, apakah sudah ada kabar dari si pengancam?" tanyanya dengan tangan mengepal erat.Mendengar pertanyaan tersebut, sepasang alis Julie bertaut serius. Bukan hanya Arjuna, tetapi Julie turut waspada akan si pengancam yang selama ini sedang meng
Marla tengah melayani salah satu pembeli saat dia mendapatkan pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. [Hai, Marla? Apa kamu tidak penasaran dengan seseorang yang sudah menjebakmu sehingga tidur dengan Arjuna malam itu? Ya, malam terakhir di mana kamu bermalam di kediaman Anugerah, seseorang menjebak kalian berdua.] Kening wanita itu berkerut, memindai kata-kata yang tersusun tepat di layar ponselnya. Kemudian, ditiliknya nomor asing yang tidak pernah diketahui sebelumnya itu. "Siapa pun yang mengirim ini, sepertinya dia mengetahui banyak hal tentangku yang tidak aku ketahui sama sekali." Marla menahan pergerakan ibu jarinya yang hendak melayangkan pesan balasan. Untuk sesaat, dia berdiam diri dengan mata berkedip gelisah. Haruskah dia menanggapi pesan tersebut? Bagaimana kalau semua itu hanya berupa tipuan belaka? Jangan-jangan pesan tersebut berasal dari Yudha? Mengingat pagi tadi, mantan suaminya itu telah menimbulkan keributan kecil di rumahnya. "Tapi ... Yudha tidak m
"Cepat bawa orang itu keluar dari sini!"Marla belum genap mencerna perkataan Yudha, ketika Arjuna datang dengan dua pengawal yang datang bersamanya. Sepertinya, suaminya itu sudah berada di perjalanan ke suatu tempat, terlihat dari setelan Arjuna yang cukup rapi seperti hari-hari biasanya.Yudha berdecak kesal, tak mengira jika Arjuna akan datang lebih cepat dari perkiraannya. Lantaran dia enggan diseret secara paksa, Yudha mengangkat kedua tangan tanda menyerah."Baiklah, baiklah, aku akan pergi dengan sendirinya, puas?"Meski Yudha berkata demikian, tatapan pria itu membuat Arjuna kesal bukan main. Sebelum Yudha memutar langkah, dia sempat bertatapan dengan Marla.Segaris kebingungan masih mendominasi wajah wanita itu. Marla ingin bertanya, tetapi yang ada malah memperlihatkan jika dirinya mudah terpancing oleh omongan Yudha.Tidak. Bisa saja Yudha sedang bermain-main dengannya. Bisa saja mantan suaminya itu ingin mengetahui seberapa bodoh Marla agar bisa ditipu untuk yang kesekian
Malam itu, Marla pulang lebih larut dari biasanya. Dia sudah mempersiapkan alasan bila Arjuna bertanya mengenai keterlambatannya, atas eksistensinya saat membantu Bu Sani di festival. Lantaran sudah telanjur tahu, Marla akan berterus terang saja soal rencananya yang ingin membangun cabang baru, tetapi atas namanya. Dia ingin memperlihatkan passion yang satu-satunya dimiliki. Akan tetapi, rumah dalam keadaan sepi, sunyi, senyap. Begitu meniliki garasi, mobil suaminya juga belum datang.Mengembuskan napas perlahan, Marla merebahkan diri di sofa. Berhenti sejenak selagi memutar kejadian hari ini.Tentu saja, kilas yang berisikan Arjuna dan Julie di festival tadi menjadi hantu nomor satu dalam pikirannya.Semakin lama, seolah-olah Marla tengah diejek oleh dunia, bahwa tempatnya memang bukan berada di samping Arjuna. Dia tidak ada apa-apanya dibanding Julie."Astaga, lagi-lagi pikiran semacam ini ...."Marla mendesah lelah, memijit pelipis dengan insekuritas yang kembali membayangi tiap