"Kamu hari ini jadi dateng kan ke lokasi syuting?"
Mas Sandy bertanya di sela-sela waktu sarapan kami. Entah sudah berapa lama kami tidak makan semeja bersama. Kebetulan dia bilang hari ini waktu syutingnya dimundurkan sehingga dia tidak perlu keluar rumah pagi-pagi buta. Aku yang sedang menyuapi Naomi hanya meliriknya sekilas. Lantas menjawab singkat, "Ya." Terhitung sudah tiga hari ini aku memberi silent treatment pada suamiku. Penyebabnya adalah Line yang dikirimkan Sinta waktu malam-malam kemarin. Bagaimana aku tidak marah kalau isi pesan yang kulihat sepintas itu menanyakan apakah Mas Sandy sudah mandi atau belum? Memang apa urusannya sama dia? Sayang, waktu itu aku tidak bisa memeriksa lebih jelas, termasuk riwayat obrolan-obrolan lain yang terjadi sebelumnya antara Mas Sandy dan Sinta. Sebab, Mas Sandy buru-buru keluar dari kamar mandi dan mengambil ponselnya lebih dulu. Ketika aku berusaha mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan, dia justru balik memarahiku lebih keras. Aku tidak mengerti. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Mengapa seolah aku yang berbuat kesalahan, karena justru Mas Sandy yang lebih emosi? Karena hal itulah aku lantas memberikan silent treatment dengan tidak mengajak berbicara lebih dulu dan hanya menjawab seperlunya saat ditanya. Namun, Mas Sandy tetap saja tidak peka. Dia masih melakukan aktivitas seperti biasa dan tampak tidak terganggu sama sekali dengan aksi diamku. Aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya dia perhatian tidak sih denganku? "Jangan lupa, VLog nanti bukan cuma penting buat image kamu, tapi juga karierku dan orang banyak," pesan Mas Sandy lagi. Takk!! Aku menaruh sendok cukup keras ke atas meja. Kulemparkan lirikan tak suka ke arah Mas Sandy. Aku sudah terlalu kesal padanya. Untunglah Naomi tidak menyadari atmosfer tidak menyenangkan di antara kami. Gadis kecilku itu masih asyik menjilati bekas bumbu ayam kecap di jemarinya yang jadi menu sarapan pagi ini. "Mas, apa yang ada di pikiranmu itu cuma image dan karier aja?!" tanyaku ketus. Mas Sandy mengangkat satu alis, tanda tak mengerti. Aku mendengkus melihat reaksinya. "Bukannya kamu yang ngajarin supaya fokus kerja dan bangun image bagus biar cuan ngalir terus?" Aku mendelik mendengar sindirannya. Memang benar, di awal-awal saat kuperkenalkan dengan dunia entertain, aku sering berpesan supaya Mas Sandy bisa bersikap profesional agar mendapat banyak tawaran job sehingga pemasukan mengalir. Tidak kusangka dia akan menggunakannya untuk menyerangku balik di saat seperti ini. "Pokoknya kamu kudu bisa ngendaliin diri. VLog ini harus sukses. Ngerti?!" Aku mencebik kesal, tetapi Mas Sandy lagi-lagi tak menghiraukan. Dia malah bangkit dan meninggalkan sarapannya yang masih separuh. "Sudah! Aku berangkat dulu. Assalaamualaikum." Tidak ada salim tangan, apalagi kecupan hangat di kening. Suamiku pergi begitu saja. Dia hanya sempat mengelus singkat kepala Naomi dan mengabaikanku yang masih dalam mode ngambek. *** Meski masih ada rasa mengganjal di hati, pukul sepuluh tepat aku tetap membawa Naomi dan timku bertolak ke lokasi syuting sinetron "Setulus Cinta Kasih". Rencananya, kami akan membuat VLog kunjungan kejutan untuk Mas Sandy, meski tentu semua hanya setting-an. Malahan, ide pembuatan VLog kali ini datang dari dia, yang kemungkinan besar juga Mas Sandy dapatkan dari desakan rekan-rekan kerjanya. Ya, sejak video Mas Sandy dan Sinta di gala premiere waktu itu membuat gempar, komentar-komentar miring mulai bermunculan. Tidak hanya ditujukan untuk mereka, bahkan aku juga terkena imbasnya. Ada saja orang yang menyeletuk bahwa sebagai wanita aku terlalu mandiri secara finansial dan dominan, sehingga suamiku merasa minder. Padahal apa salahnya menjadi wanita karier? Sampai kapan budaya patriarki mau dibiarkan melekat di masyarakat? Gara-gara skandal tersebut, tentu membawa efek pula bagi pekerjaan Mas Sandy. Penonton film debutnya menurun, padahal sebelumnya promosi sudah dilakukan secara besar-besaran. Lebih-lebih sinetron yang dibintanginya bersama Sinta. Ratingnya turun drastis dan dipenuhi komentar julid. Yang rugi, tentu saja bukan hanya aku, Mas Sandy, dan Sinta, tetapi semua orang yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itulah aku tak sampai hati membiarkan semua berlarut dan menyetujui ide membuat VLog kejutan ini. Bagaimanapun juga, Mas Sandy masih suamiku, dan kewajiban seorang istri pula menutupi aib pasangannya. Meski itu berarti aku harus berdamai dengan segala rasa sakit dan kesal yang kurasakan. "Kita sudah sampai, nih!" Suara Aldo yang menjadi pengemudi rombongan kami membuyarkan lamunanku. Tidak lama kemudian, mesin mobil dimatikan. Satu per satu penumpang pun turun, termasuk aku dan Naomi. "Nao, tunggu sini dulu, ya. Bunda mau bantu siap-siap," ucapku pada Naomi yang tampak asyik mengamati sekitar. Aku lantas berbalik ke mobil dan membantu menurunkan beberapa peralatan syuting dan make up yang masih tersisa. Meski video yang direkam nanti 'hanya' diunggah di kanal Youtube, aku tidak mau jika hasilnya nanti seadanya. Semua peralatan itu aku butuhkan untuk menjamin pengambilan gambar dan suara yang jernih dan jelas. Aku juga memerlukan penata rias agar penampilanku tidak terlihat lusuh di kamera. "Sudah diturunin semua, Kak. Ayo kita ke Kak Sandy," ajak Rina. Maksudnya untuk memberitahukan kalau tim kami sudah datang. Namun, aku buru-buru mencegahnya. "Bentar, Rin! Aku mau benerin make up dulu." Lalu, aku beralih ke sosok perempuan yang ujung-ujung rambutnya dicat cokelat muda di sebelahku. "Tika, yuk ke mobil!" Dengan bingung, Tika menjawab, "Lho, Kak, tadi kan udah make up-an sebelum berangkat." "Udaah, yuk! Kamu kan udah saya bayar untuk ini!" tukasku dan Tika tak lagi memprotes. Aku pun menyeretnya masuk kembali ke mobil yang masih terbuka dan menutup pintunya rapat. "Tolong benerin kerudungku yang bagus sama re-touch make up, ya. Kalau ada yang udah pudar, kamu tambahin lagi. Tapi jangan tebel-tebel!" perintahku memberi instruksi usai melepas jarum yang tersemat di kerudung bagian bawah daguku. Tika mengangguk cepat dan langsung mengeluarkan senjata—alat-alat riasnya. Alasanku memaksa ingin di-make up lagi, tentu saja karena aku tidak mau kelihatan kalah cantik dibandingkan Sinta. Bisa ditebak, jika VLog-ku sudah diunggah nanti, pasti ada saja netizen yang akan mengomentari dan membanding-bandingkan paras kami berdua. Lima belas menit kemudian, aku sudah keluar lagi dari mobil dengan tampilan yang lebih fresh dan beberapa semprotan minyak wangi di pakaian. Aku sudah siap mendatangi Mas Sandy dan sutradara yang membawahi sinetronnya, ketika kepalaku yang celingukan menyadari bahwa Naomi tidak kelihatan di sekitar. "Naomi mana?" tanyaku pada para kru yang tadi menunggu di luar. "Lho, kami kira sama Kak Ressa tadi di dalam," jawab salah satu dari mereka. Kepanikan menyergapku seketika. Dengan ayunan kaki cepat, aku segera mencari sambil memanggil-manggil namanya. Namun, tidak ada respons dari putri kecilku. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh, sementara langkahku semakin dekat dengan lokasi syuting Mas Sandy. "Naomi!!" Refleks aku menjerit saat melihat apa yang hendak Naomi lakukan. Segera aku berlari sekencang-kencangnya."Biasa aja kali, Re, mukanya!" celetuk Feri sambil terkikik, sementara tatapan matanya menembus maskermu yang menutupi sebagian besar wajah. "Seperti yang aku bilang tadi, kan, kafeku ramai karena endorse-an gratis. Justru harusnya aku yang bilang makasih." Aku hanya bisa memutar bola mata di balik masker, meski tak yakin ekspresiku benar-benar tersembunyi. Entah bagaimana, hawa panas mulai merambat dari tengkuk hingga pipiku. Memalukan. Bagaimana mungkin Feri, pria cuek yang tampaknya tidak doyan gosip, tahu soal huru-hara rumah tanggaku? Apa kabar dunia? Gosip itu pasti lebih liar dari yang kubayangkan, bahkan orang sepertinya sampai tahu. Sekilas, pandanganku menyapu sekeliling ruang tunggu rumah sakit yang tampak lengang, hanya beberapa orang duduk berjauhan, tenggelam dalam urusan mereka sendiri. Semua tampak tenang, seolah aku satu-satunya yang terjebak dalam pusaran perasaan tak karuan. Tunggu, tunggu! Otakku kembali berputar. Dulu saat di Bali, aku sama sekali tidak membuka
Aku terus melangkah menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah cepat, tetap menjaga maskerku erat-erat menutupi hampir seluruh wajahku. Kewaspadaan ini terasa penting—meski tadi sudah cukup tenang setelah selesai membuat video di kamar Naomi, aku tidak mau mengambil risiko. Nama besarku di dunia YouTube memang membawa banyak keuntungan, tapi di saat-saat seperti ini, aku ingin bisa bersembunyi dari sorotan mata orang-orang. Sesekali aku melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada satu pun orang yang mengenaliku. Beberapa petugas rumah sakit berlalu lalang tanpa menghiraukan kehadiranku, yang membuatku sedikit lebih lega. Mungkin mereka mengiranya aku seperti penjenguk atau keluarga penunggu pasien biasa. Dengan masker yang menutupi sebagian besar wajah, aku berharap penyamaranku ini sudah cukup.Namun, kenyataan yang sebenarnya belum aku sadari, aku sungguh payah dalam hal menyamar."Re? Kamu Re, kan?" Sebuah suara terdengar di belakang punggungku. Ayunan kakiku langsung terhenti.
Satu jam kemudian, ruang rawat inap Naomi sudah penuh dengan anggota tim dan peralatan syuting kami. Ruangan berwarna pastel itu terasa hidup dengan tawa dan canda mereka, meskipun di sudut lain, Naomi terbaring lemah di ranjang. Kebetulan Naomi baru bangun dan hendak aku suapi sarapan dari bagian gizi rumah sakit. Aroma bubur hangat memenuhi udara, memberikan sedikit harapan untuk perut kecilnya yang sudah terlalu lama kosong."Dimulai sekarang aja ya, syutingnya," kataku pada yang lain. Semua setuju dan langsung siap ke posisi masing-masing. Mereka sudah terbiasa dengan situasi ini, siap untuk bekerja meskipun keadaan Naomi yang belum sepenuhnya pulih. Aldo, sebagai cameraman, memeriksa semua peralatan dengan seksama, sementara Bunga dan Tika menyiapkan tempat duduk dan merapikan ruang agar terlihat rapi.Aldo memberi aba-aba dengan isyarat jari. Tepat pada hitungan ketiga, dia menyalakan kameranya. Suasana di ruangan itu menjadi tegang namun penuh semangat, meski ada kekhawatiran y
"Anak Anda mengalami infeksi saluran pencernaan. Suhu tubuhnya tinggi karena reaksi tubuhnya yang berusaha melawan infeksi tersebut dan diperparah dengan kondisi dehidrasi, atau kekurangan cairan."Kata-kata dokter itu seakan menghantamku dengan kekuatan penuh. Refleks, kedua tanganku menutup mulut, seakan berusaha menahan napas yang mendadak terasa berat. Infeksi saluran pencernaan? Apa ini ada hubungannya dengan makanan yang aku berikan kemarin? Aku teringat Naomi memakan beberapa jajanan dari luar tanpa banyak pertimbangan. Sungguh, jika memang itu penyebabnya, betapa besar rasa bersalah yang kurasakan sekarang."Ta-tapi kondisinya nggak apa-apa, kan, Dok?" tanyaku dengan suara bergetar. Meskipun dokter sudah menjelaskan, ketakutan masih menghantui pikiranku. Apa yang akan terjadi pada Naomi? Apakah kondisinya serius? Apakah ada kemungkinan buruk yang mungkin belum dikatakan oleh dokter?"Kami sudah memasang infus dan memberinya cairan. Semoga dehidrasinya segera teratasi dan demam
Keesokan paginya, aku terbangun oleh teriakan Naomi yang memecah keheningan, sangat keras hingga tembus dinding kamarku. Seketika aku melompat bangun, jantungku berdetak kencang. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Langsung saja aku berlari menuju kamar Naomi yang berada di sebelah."Undaaa!!!" Naomi kembali meraung di tengah-tengah tangisnya, memanggilku dengan suara yang terdengar putus asa.Dengan napas yang masih belum stabil, aku masuk ke kamarnya. Kamar itu remang-remang, tirai jendelanya masih tertutup rapat. Aku bahkan tidak sempat terpikir untuk menyalakan lampu terlebih dahulu. Hanya dengan beberapa langkah cepat, aku sudah mencapai sisi tempat tidurnya."Naomi! Ada apa, Sayang?" tanyaku setengah panik.Tapi ucapanku terhenti, begitu pula langkahku, ketika telapak kakiku merasakan sesuatu yang basah dan lengket di lantai. Mata ini segera beralih ke bawah, dan aku langsung melihat genangan muntah berwarna pucat yang menyebar di sekitarnya."Ya ampun, Naomi! Kamu muntah?"
Wawancara itu hanya berlangsung tiga puluh menit dan berjalan dengan lancar. Ada untungnya aku menyuruh Bunga membuat daftar pertanyaan dan jawaban untuk dicocokkan Rina dengan tim kreatif televisi sehingga tidak ada pertanyaan yang menyimpang. Rasanya, beban yang semula menghimpitku sedikit terangkat. Wawancara yang terasa mengintimidasi itu akhirnya berakhir tanpa masalah.Lampu-lampu sorot mulai redup, dan aku menghembuskan napas panjang, lega. Kaki yang tadinya terasa kaku akhirnya bisa kulemaskan saat turun dari panggung. Aku memutar pergelangan tangan dan mengusap leherku yang tegang. Sesaat, aku berharap bisa duduk sebentar di ruang ganti dan menyesap segelas kopi. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Dari kejauhan, kulihat sosok kecil Naomi berlari menghampiri dengan wajah cemberut dan matanya yang berkaca-kaca. Ia kembali merengek, “Unda, Nao lapar!”Deg. Seketika kelegaanku menguap. Aku sudah mengatur semuanya agar Naomi tenang dan nyaman selama aku syuting, tetapi tetap s