"Lain kali nggak usah lebay! Gitu aja pake teriak-teriak."
Tanganku berhenti mengusap kepala Naomi yang sudah duduk di pangkuanku. Mataku memicing, menatap Mas Sandy tidak suka. Lebay katanya? Padahal beberapa saat yang lalu anaknya bisa saja sesak napas gara-gara disuapin kue cokelat oleh Sinta! Tapi kenapa malah aku yang dianggap berlebihan? "Mas," panggilku penuh penekanan. "Naomi itu alergi cokelat. Kamu ingat, kan, dia dulu pernah masuk UGD gara-gara makan roti yang ada selai cokelatnya!" Aku berusaha sekuat tenaga mengatur volume suaraku. Bagaimanapun juga, kami sekarang berada di tempat umum dan tidak baik menampilkan pertengkaran di depan orang banyak. "Ya itu kan dulu. Siapa tahu sekarang udah enggak," jawab Mas Sandy enteng. Sampai-sampai mataku melotot, tak percaya dengan apa yang kudengar. "Lagian Sinta mana tahu kalau Naomi alergi cokelat," imbuh dia lagi sambil mengalihkan pandangan. Justru itu masalahnya! teriakku dalam hati. Kalau memang tidak tahu punya alergi atau tidak, jangan asal kasih makanan ke anak orang! Bisa fatal akibatnya! Aku terus menekuk wajah. Mood-ku benar-benar ambyar dan hancur berantakan. Ditambah lagi, si Sinta tadi tidak kelihatan menyesal sama sekali. Benar sih, dia minta maaf. Tapi ekspresinya itu sungguh dibuat-buat sekali! "Tim kamu udah siap? Kalo udah, dimulai sekarang aja bikin VLog-nya. Masih banyak adegan yang belum diambil di syutingku," kata Mas Sandy kemudian. Dia benar-benar tidak memedulikan bagaimana perasaanku. Bahkan sekadar berpura-pura peduli dan menenangkanku saja tidak! Mas Sandy pergi meninggalkanku dan Naomi lebih dulu tanpa berkata apa-apa lagi. Dia berjalan menuju tempat para kru-nya berkumpul. Dari kejauhan, aku bisa melihat dia mendekati Sinta yang sedang duduk. Mas Sandy tampak mengajaknya bicara lebih dulu. Entah apa, barangkali dia memintakan maaf atas sikapku yang menurutnya berlebihan, tetapi keduanya terlihat akrab dan dekat. Kutarik napas dalam dan mengembuskannya kuat-kuat. Rasa cemburu yang seenaknya datang membuat dadaku terasa panas. Namun, aku berusaha menepisnya jauh-jauh. Sejak awal aku mendorong Mas Sandy ke dunia akting, tentu risiko semacam ini sudah kuprediksi. Aku tidak mau termakan emosi buta dan mengacaukan segalanya. Yang terpenting, Mas Sandy adalah suamiku. Ayah dari anakku. Setidaknya itu yang kutahu. "Yuk, sayang! Kita juga siap-siap!" kataku pada Naomi sambil menurunkannya dari pangkuan. Lantas menggandeng gadis kecil itu agar ikut ke tempat timku sendiri. *** "1 ... 2 ... 3 .... Action!" "Halo, guys! Hari ini aku sama Naomi mau kasih kejutan ke Mas Sandy dengan dateng ke lokasi syutingnya tanpa bilang-bilang. Kira-kira gimana ya, reaksi suami aku? Penasaran, kan? Ikuti aku, yuk! Ssstt ..." Aku mulai berakting dengan suara rendah, seolah sedang berbisik-bisik pada para penonton di kanal Youtube-ku nanti. Tidak lupa kulambaikan tangan juga seperti sedang memberi isyarat mereka agar mengikutiku yang berjalan mengendap-endap sambil satu tangan menggandeng Naomi. "Eh, eh, lihat tuh, di sana Mas Sandy." Aku menunjuk tempat Mas Sandy dan Alexa yang sedang beradu akting dan kamera yang dipegang Aldo otomatis mengarah ke mereka. Selang beberapa saat kemudian, Aldo kembali memfokuskan padaku. "Kita kagetin, yuk! Satu ... dua ..." Aku segera berlari kecil sambil tetap menggandeng Naomi. Aku yakin suara kegaduhan yang kuciptakan pasti sampai ke telinga Mas Sandy dan kru-nya. Namun, mereka semua bersikap seolah-olah tidak mendengar apa-apa. Hingga akhirnya ... "Doorr!!!" Aku berteriak kencang dengan ekspresi seriang mungkin. Respons yang kudapat setimpal. Mas Sandy terlonjak sambil beristigfar, sedangkan Sinta menjerit kecil. Akting keduanya tampak natural sekali. "Ayang! Kok kamu di sini, sih? Ngaget-ngagetin aja!" celetuk Mas Sandy sambil tersenyum lebar. Tidak tampak sama sekali kemarahan di wajahnya. Aku membalas pertanyaan itu dengan bibir melengkung, meski dalam hati terasa kecut. "Ayang", panggilan spesial di antara kami saat masih di awal-awal masa pernikahan dulu. Entah sudah berapa lama aku tidak mendengar panggilan itu keluar dari mulutnya. Sayang sekali aku baru bisa mendengarnya lagi dalam posisi sedang berakting seperti sekarang. "Hehe, kaget, ya? Sengaja, kan aku mau kasih kejutan buat Ayang," balasku dengan nada manja. Mas Sandy melirik ke sisi sebelahku dan makin tampak bahagia saat melihat Naomi. "Eh, ada putri cantik kesayangannya Ayah juga!" ucapnya sambil mengangkat Naomi tinggi-tinggi, lalu menggendongnya. Pemandangan harmonis ala keluarga cemara itu tentu sangat manis. Sayang, semua hanya di depan kamera. Seandainya setiap hari interaksiku dan Mas Sandy bisa sehangat ini, tentu aku tidak perlu merasa waspada pada wanita di depanku. "Ehem! Aduh, mentang-mentang ada istri sah, yang KW jadi dilupain!" celetuk Sinta yang berpura-pura batuk, demi mengambil perhatian. Dalam sinetron, dia memang berperan sebagai kekasih Mas Sandy. "Eh, iya, nih! Sampe lupa kalau lagi syuting. Yuk, kenalan dulu," kata Mas Sandy seraya menggeser tubuhnya sehingga kini aku dan Sinta saling berhadapan. "Mas ini gimana, sih?! Kita kan udah saling kenal, masa kenalan lagi!" protes Sinta sambil mendaratkan pukulan manja ke lengan atas Mas Sandy. Aku hanya tersenyum lebar menahan dongkol. "Eh, iya. Lupa, lupa lagi! Aduuh ... gini, deh, grogi kalo didatengin anak-istri! Salaman dulu, biar makin akrab." Aku menuruti perintah Mas Sandy dan menyambut Sinta yang lebih dulu mengulurkan tangan. Wanita itu kemudian sedikit menarikku supaya kami bisa ber-cipika-cipiki. Baiklah, mungkin kontak fisik manis seperti ini dibutuhkan kamera supaya lebih meyakinkan penonton nanti bahwa hubungan kami benar-benar baik. Dua jam berikutnya, kuhabiskan dengan berakting layaknya istri pengertian yang mendukung penuh pekerjaan suaminya. Tidak ketinggalan juga, adegan mengobrol sambil bercanda tawa dengan Sinta, demi menunjukkan keakraban kami. Tentu saja dalam semua rekaman itu, aku yang berperan menjadi sosok 'rame' dan 'petakilan' sebagaimana image yang dikenal masyarakat selama ini. Sedangkan Sinta tampil layaknya wanita cantik yang elegan. Biasanya aku tidak masalah dengan hal itu. Namun, entah kenapa kali ini aku merasa kesal karena menurut pandanganku, Sinta tidak sungguhan baik, seperti apa yang ditampilkannya di depan kamera. Usai seluruh adegan yang diperlukan diambil, aku pun mengambil tempat duduk bersama Naomi untuk beristirahat. Udara Jakarta yang panas seolah membakar tubuhku yang berkeringat. Untunglah Rina juga menyiapkan sebuah kipas tangan yang cukup lebar di atas meja. Sebab udara yang diembuskan oleh kipas angin besar di dekat kami nyatanya tidak mampu mengusir rasa gerah. "Undaaa!" panggil Naomi tiba-tiba sambil menggoyang-goyang badanku yang baru bersandar ke punggung kursi. "Ayah kok nggak duduk baleng kita, sih?" tanyanya kemudian. Aku melemparkan pandangan ke arah Mas Sandy yang cukup jauh dari kami, sedang bersama para kru sinetronnya. Setelah Rina mengatakan 'cut' tadi, sikapnya langsung berubah ke setelan awal—cuek, dingin, dan tak peduli. Aku sebenarnya ingin pura-pura bodoh saja dengan hal itu, tetapi karena dia turut mengabaikan Naomi, rasanya hatiku jadi sakit sekali. "Ayah masih kerja, Sayang," ucapku sambil membelai kepala Naomi, berusaha memberi pengertian. Sekesal apa pun aku pada Mas Sandy, aku tidak ingin Naomi terkena dampaknya. Bagaimanapun juga, aku ingin anakku tetap melihat ayahnya sebagai sosok yang baik. Naomi mengerjap-ngerjap. Mata bulatnya tampak menggemaskan sekali saat menatapku lurus. Pertanda ada sesuatu hal yang sedang mengganggu pikirannya. Benar saja, tidak lama setelah itu, Naomi mengajukan pertanyaan yang membuat sekujur tubuhku seolah kebas, tidak bisa merasakan aliran angin dari kipas mana pun. "Tapi, Nda. Apa benel Ayah mau menikah sama Tante Sinta?""Biasa aja kali, Re, mukanya!" celetuk Feri sambil terkikik, sementara tatapan matanya menembus maskermu yang menutupi sebagian besar wajah. "Seperti yang aku bilang tadi, kan, kafeku ramai karena endorse-an gratis. Justru harusnya aku yang bilang makasih." Aku hanya bisa memutar bola mata di balik masker, meski tak yakin ekspresiku benar-benar tersembunyi. Entah bagaimana, hawa panas mulai merambat dari tengkuk hingga pipiku. Memalukan. Bagaimana mungkin Feri, pria cuek yang tampaknya tidak doyan gosip, tahu soal huru-hara rumah tanggaku? Apa kabar dunia? Gosip itu pasti lebih liar dari yang kubayangkan, bahkan orang sepertinya sampai tahu. Sekilas, pandanganku menyapu sekeliling ruang tunggu rumah sakit yang tampak lengang, hanya beberapa orang duduk berjauhan, tenggelam dalam urusan mereka sendiri. Semua tampak tenang, seolah aku satu-satunya yang terjebak dalam pusaran perasaan tak karuan. Tunggu, tunggu! Otakku kembali berputar. Dulu saat di Bali, aku sama sekali tidak membuka
Aku terus melangkah menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah cepat, tetap menjaga maskerku erat-erat menutupi hampir seluruh wajahku. Kewaspadaan ini terasa penting—meski tadi sudah cukup tenang setelah selesai membuat video di kamar Naomi, aku tidak mau mengambil risiko. Nama besarku di dunia YouTube memang membawa banyak keuntungan, tapi di saat-saat seperti ini, aku ingin bisa bersembunyi dari sorotan mata orang-orang. Sesekali aku melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada satu pun orang yang mengenaliku. Beberapa petugas rumah sakit berlalu lalang tanpa menghiraukan kehadiranku, yang membuatku sedikit lebih lega. Mungkin mereka mengiranya aku seperti penjenguk atau keluarga penunggu pasien biasa. Dengan masker yang menutupi sebagian besar wajah, aku berharap penyamaranku ini sudah cukup.Namun, kenyataan yang sebenarnya belum aku sadari, aku sungguh payah dalam hal menyamar."Re? Kamu Re, kan?" Sebuah suara terdengar di belakang punggungku. Ayunan kakiku langsung terhenti.
Satu jam kemudian, ruang rawat inap Naomi sudah penuh dengan anggota tim dan peralatan syuting kami. Ruangan berwarna pastel itu terasa hidup dengan tawa dan canda mereka, meskipun di sudut lain, Naomi terbaring lemah di ranjang. Kebetulan Naomi baru bangun dan hendak aku suapi sarapan dari bagian gizi rumah sakit. Aroma bubur hangat memenuhi udara, memberikan sedikit harapan untuk perut kecilnya yang sudah terlalu lama kosong."Dimulai sekarang aja ya, syutingnya," kataku pada yang lain. Semua setuju dan langsung siap ke posisi masing-masing. Mereka sudah terbiasa dengan situasi ini, siap untuk bekerja meskipun keadaan Naomi yang belum sepenuhnya pulih. Aldo, sebagai cameraman, memeriksa semua peralatan dengan seksama, sementara Bunga dan Tika menyiapkan tempat duduk dan merapikan ruang agar terlihat rapi.Aldo memberi aba-aba dengan isyarat jari. Tepat pada hitungan ketiga, dia menyalakan kameranya. Suasana di ruangan itu menjadi tegang namun penuh semangat, meski ada kekhawatiran y
"Anak Anda mengalami infeksi saluran pencernaan. Suhu tubuhnya tinggi karena reaksi tubuhnya yang berusaha melawan infeksi tersebut dan diperparah dengan kondisi dehidrasi, atau kekurangan cairan."Kata-kata dokter itu seakan menghantamku dengan kekuatan penuh. Refleks, kedua tanganku menutup mulut, seakan berusaha menahan napas yang mendadak terasa berat. Infeksi saluran pencernaan? Apa ini ada hubungannya dengan makanan yang aku berikan kemarin? Aku teringat Naomi memakan beberapa jajanan dari luar tanpa banyak pertimbangan. Sungguh, jika memang itu penyebabnya, betapa besar rasa bersalah yang kurasakan sekarang."Ta-tapi kondisinya nggak apa-apa, kan, Dok?" tanyaku dengan suara bergetar. Meskipun dokter sudah menjelaskan, ketakutan masih menghantui pikiranku. Apa yang akan terjadi pada Naomi? Apakah kondisinya serius? Apakah ada kemungkinan buruk yang mungkin belum dikatakan oleh dokter?"Kami sudah memasang infus dan memberinya cairan. Semoga dehidrasinya segera teratasi dan demam
Keesokan paginya, aku terbangun oleh teriakan Naomi yang memecah keheningan, sangat keras hingga tembus dinding kamarku. Seketika aku melompat bangun, jantungku berdetak kencang. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Langsung saja aku berlari menuju kamar Naomi yang berada di sebelah."Undaaa!!!" Naomi kembali meraung di tengah-tengah tangisnya, memanggilku dengan suara yang terdengar putus asa.Dengan napas yang masih belum stabil, aku masuk ke kamarnya. Kamar itu remang-remang, tirai jendelanya masih tertutup rapat. Aku bahkan tidak sempat terpikir untuk menyalakan lampu terlebih dahulu. Hanya dengan beberapa langkah cepat, aku sudah mencapai sisi tempat tidurnya."Naomi! Ada apa, Sayang?" tanyaku setengah panik.Tapi ucapanku terhenti, begitu pula langkahku, ketika telapak kakiku merasakan sesuatu yang basah dan lengket di lantai. Mata ini segera beralih ke bawah, dan aku langsung melihat genangan muntah berwarna pucat yang menyebar di sekitarnya."Ya ampun, Naomi! Kamu muntah?"
Wawancara itu hanya berlangsung tiga puluh menit dan berjalan dengan lancar. Ada untungnya aku menyuruh Bunga membuat daftar pertanyaan dan jawaban untuk dicocokkan Rina dengan tim kreatif televisi sehingga tidak ada pertanyaan yang menyimpang. Rasanya, beban yang semula menghimpitku sedikit terangkat. Wawancara yang terasa mengintimidasi itu akhirnya berakhir tanpa masalah.Lampu-lampu sorot mulai redup, dan aku menghembuskan napas panjang, lega. Kaki yang tadinya terasa kaku akhirnya bisa kulemaskan saat turun dari panggung. Aku memutar pergelangan tangan dan mengusap leherku yang tegang. Sesaat, aku berharap bisa duduk sebentar di ruang ganti dan menyesap segelas kopi. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Dari kejauhan, kulihat sosok kecil Naomi berlari menghampiri dengan wajah cemberut dan matanya yang berkaca-kaca. Ia kembali merengek, “Unda, Nao lapar!”Deg. Seketika kelegaanku menguap. Aku sudah mengatur semuanya agar Naomi tenang dan nyaman selama aku syuting, tetapi tetap s
Seperti yang kuduga, jalanan mulai padat saat kami baru memasuki kawasan kota. Mobil-mobil berdesakan, klakson bersahut-sahutan, dan rasanya setiap detik yang berlalu menambah ketegangan di dadaku. Sesekali aku menoleh ke samping, memastikan Naomi masih tenang dengan tab-nya, sementara Aldo di kursi depan terus melirik jam tangan dengan gelisah. Tidak ada waktu sampai setengah jam lagi sebelum syuting, dan aku tak mau terlambat.Pertanyaan yang sempat dilontarkan Naomi tadi kembali mengusikku. Saat aku mencoba menggali lebih lanjut sambil menahan gejolak di dadaku tadi, ia justru menyengir polos."Sayang, kamu ... tahu dari mana kalau Bunda nanti mau jelasin soal alasan nggak syuting?" tanyaku sambil membelai lembut kepalanya, meski aku yakin kebingungan tampak jelas di wajahku."Ngg ... tadi Nao dengan sedikit-sedikit dali omongan Unda, Kak Lina, Kak Bunga, sama Kak Tika," jawabnya lugu.Senyum yang tersungging di bibirku terasa kaku. "Nao, menguping pembicaraan orang lain itu nggak
Tepat dua minggu setelah mengumumkan pamit dari YouTube, aku memutuskan untuk kembali menampakkan diri. Undangan untuk mengisi wawancara perlahan berkurang karena aku terus menerus menolak. Itu tandanya, perhatian masyarakat padaku mulai beralih, sehingga aku perlu menariknya kembali.Rina sudah menyiapkan segalanya. Aku mengatakan padanya untuk mengiakan tawaran syuting yang masuk esok hari. Ini adalah wawancara pertamaku yang akan membahas soal keputusanku pamit dari YouTube. Aku tahu, dengan sedikit drama dan sentuhan emosi, publik akan kembali tertarik padaku. Sebuah kesempatan yang harus kugunakan dengan baik."Rina! Tolong siapin apa yang sekiranya perlu aku bawa, ya. Tika, tolong make up-in aku tipis-tipis aja," ujarku sambil merapikan blus yang baru saja kuminum. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, sedikit lebih kusut dari biasanya, tetapi itulah yang membuat semuanya lebih nyata—lebih personal.Pukul setengah enam pagi. Matahari baru menyembul di balik gedung-gedung tingg
"Aw!" "Maaf, Bu! Maaf!" Mbak Mala langsung membungkuk-bungkuk panik, tangannya mencengkeram sepiring nasi dan lauk-pauk yang untung saja tidak sampai tumpah. Aku mengernyit sambil mengusap bahu yang bertabrakan. "Udah, udah, Mbak, nggak apa-apa!" ucapku sambil menggoyangkan kedua tangan di depan dada, memberi isyarat agar dia berhenti. Sejujurnya, ini murni kesalahanku. Pikiran yang berkelana jauh membuatku lengah, sehingga kami bertabrakan di lorong sempit menuju ruang makan. Mbak Mala masih terlihat gelisah, matanya berlari-lari tak menentu. "I-iya, Bu. Maaf, Bu, saya nggak lihat." "Enggak, ini salahku juga," jawabku cepat, mencoba meredakan ketegangannya. Namun, raut wajahnya yang tak kunjung rileks membuatku merasa ada sesuatu yang salah. Aku memperhatikan dia lebih dekat, melihat tubuhnya yang sedikit gemetar. "Mbak Mala ada apa? Kok kayaknya buru-buru?" tanyaku sambil menyipitkan mata, firasatku mulai merasa tidak enak. "I-iya, Bu... anu...," Mbak Mala terlihat semakin ca