Share

Bab 4. Rekan Kerja

 “Sudah gila kamu, Mas? Aku cuma ngingetin kamu buat gak bersikap seenaknya ke mbak Alisha, kamu malah mikir kalau aku suka sama istri kamu?” geram Farhan.

“Kalau kamu gak suka sama Alisha, buat apa kamu bela-belain dia terus?” bentak Faisal.

“Karena aku gak suka liat perlakuan orang-orang di rumah ini ke mbak Alisha! Nyadar dong, Mas. Mbak Alisha ini juga anak perempuan orang— coba bayangin kalo orangtua mbak Alisha sampai tahu kalau di sini, mbak Alisha diperlakukan kayak gini,” ucap Farhan.

“Gak usah sok nasihati! Kamu itu tau apa?” geram Faisal.

Farhan maju, mau mendekat pada Faisal seperti siap berkelahi, tapi Alisha lebih dulu berdiri di antara Faisal dan Farhan. “Udah-udah cukup! Gak usah ribut. Farhan, udah gak usah diterusin. Mas Faisal capek, baru pulang kerja. Kamu jangan ngajak ribut.”

“Mas Faisal sendiri yang ngajak ribut,” ucap Farhan dengan suara meninggi. Faisal dan Farhan saling bertatapan dengan dengan tajam. Diam-diam, Alisha menatap Farhan dengan ekspresi memohon sambil menggeleng pelan, berharap Farhan mengerti dengan kode yang dia berikan untuk tidak meneruskan keributan. Farhan akhirnya menghela napas panjang, sebelum melangkah pergi menuju kamarnya.

Alisha menghela napas lega karena Farhan akhirnya pergi.

Faisal menatap kesal pada Alisha seolah menyalahkannya atas apa yang baru saja terjadi. “Puas kamu sekarang?” Faisal langsung pergi meninggalkan ruang makan.

Alisha berusaha mengejar, “Mas, kamu mau pergi kemana?”

Faisal terus melangkah pergi, “Keluar beli makan!”

***

Faisal tiba di depan warung nasi goreng, langkahnya terhenti di depan gerobak sederhana yang menguarkan aroma harum nasi goreng. “Nasi goreng satu, Bu,” pesan Faisal kepada penjual dengan suara rendah.

“Makan sini atau bungkus, Mas?” tanya penjual nasi goreng itu sambil tersenyum ramah.

“Makan sini aja,” jawab Faisal, lalu melangkah menuju salah satu bangku kosong di warung itu. Dia duduk dengan tatapan kosong, pikirannya melayang ke perdebatannya dengan Farhan. Faisal menggerutu kesal dalam hati, merasa bahwa setelah sekian lama tidak tinggal bersama membuat Farhan semakin kurang ajar. Entah bagaimana bibinya dulu mendidik anak itu.

Lamunan itu terputus oleh suara lembut yang tiba-tiba terdengar. “Pak Faisal?”

Faisal tersentak dan menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat Rahma— salah satu guru yang mengajar di sekolah yang sama dengannya. Rahma tersenyum lembut, kemudian duduk di sampingnya.

“Bu Rahma?” sapa Faisal tak menyangka bisa bertemu dengan rekannya di warung nasi goreng. “Kok bisa kebetulan sekali bisa ketemu ibu di sini?”

“Saya baru pulang dari sekolah, Pak. Sekalian mampir ke sini dulu. Saya sudah langganan di sini,” jawab Rahma, kemudian gadis itu memesan satu porsi nasi goreng istimewa pada si pedagang nasi goreng.

“Saya gak nyangka ternyata Bu Rahma suka beli nasi goreng di sini, warung ini dekat sama rumah saya loh, Bu,” ucap Faisal.

Rahma tersenyum agak terkejut, “Masa, Pak? Memangnya rumah Pak Faisal di mana?”

“Rumah saya di kompleks Bougenville nomor 25,” jawab Faisal.

“Ternyata Pak Faisal tinggal di kompleks itu? Berarti memang dekat sekali ya, Pak,” kata Rahma.

Faisal mengangguk, “Silakan Bu kalau mau mampir.”

Rahma tersenyum tidak enak hati, “Gak enak sama istri Pak Faisal.”

Faisal hanya tersenyum.

“Ngomong-ngomong, Pak Faisal juga langganan beli nasi goreng di sini?” tanya Rahma basa-basi.

Faisal menggeleng, “Gak sih, Bu. Kebetulan saja, Bu. Biasanya saya jarang jajan di luar.”

“Wah, Pak Faisal jarang jajan di luar. Pasti karena masakan istri Bapak enak banget ya?” tanya Rahma. Faisal tertawa garing, “Enak apanya, Bu? Saya nahan diri gak jajan di luar biar gak terlalu banyak pengeluaran aja. Kalau masakan istri saya sih, gak ada yang spesial. Tadi saja masakan istri saya asin banget, makanya saya gak tahan dan mutusin beli di luar.”

Rahma sok prihatin, “Sabar saja, Pak. Jago masak memang butuh waktu.”

“Iya, Bu,” Faisal mengangguk sambil menatap kosong.

Nasi goreng pesanan Faisal dan Rahma akhirnya siap. Pedagang menyajikannya di depan mereka. “Silakan Pak, Bu.”

Faisal dan Rahma segera menikmati nasi goreng tersebut. Sementara itu, pedagang tersebut tersenyum melihat Rahma dan Faisal makan, lalu berkomentar, “Baru pertama kali saya lihat mbaknya makan bareng suami di sini. Biasanya sendiri.”

Rahma dan Faisal kaget. Rahma segera meralat, “Ini bukan suaminya saya, Bu.”

“Oh, bukan? Kirain suaminya, soalnya serasi banget,” pedagang tersenyum malu karena salah menebak.

Faisal dan Rahma saling melirik dengan ekspresi canggung karena sebelumnya mendengar komentar yang mengatakan mereka serasi. Rahma tersenyum, mencoba meredakan kecanggungan di antara mereka.

“Tidak usah diambil hati, Pak. Bu pedagangnya tidak tahu,” ucap Rahma dengan lembut.

“Gak apa-apa, Bu Rahma. Mari dilanjut makan,” ujar Faisal sambil mencoba menyudahi momen canggung itu, lalu melanjutkan makan.

Rahma mengangguk sambil tersenyum, kemudian mereka melanjutkan makan hingga selesai. Setelah menikmati nasi goreng mereka, keduanya bangkit dari tempat duduk dan berjalan ke depan warung.

“Pak Faisal mau langsung pulang?” tanya Rahma. Faisal hanya mengangguk sebagai jawaban. Entah kenapa ada ekspresi kecewa yang terselip di wajah Rahma setelah melihat anggukan Faisal.

Faisal yang menyadari ekspresi Rahma jadi heran, “Kenapa, Bu Rahma?”

Rahma menggeleng, “Gak apa-apa kok, Pak. Saya cuma ngerasa sakit perut aja.” Rahma mengusap perutnya.

“Ibu sakit?” tanya Faisal cemas melihat wajah Rahma yang lebih pucat dari sebelumnya.

“Gak pak, saya cuma nyeri bulanan aja. Mungkin saya mau istirahat di warung dulu, sampai nyerinya hilang.” Rahma kembali duduk di bangku yang ada di depan warung.

Faisal yang melihat rekannya terlihat makin pucat jadi tidak tega meninggalkannya begitu saja. “Saya pesankan jahe hangat ya, Bu?”

“Makasih, Pak Faisal,” jawab Rahma sambil tersenyum dengan kebaikan dan perhatian Faisal.

Faisal melangkah masuk ke dalam warung dengan langkah cepat, mengarahkan pandangannya pada penjual. “Bu, satu jahe hangat, ya,” pesan Faisal dengan ramah.

Penjual nasi goreng mengangguk mengerti, “Baik, Mas. Akan saya siapkan segera.”

Tak berlalu lama, Faisal kembali keluar dari warung dengan segelas jahe hangat di tangannya. Ia menyusuri lorong sempit menuju tempat Rahma duduk di luar warung.

“Diminum jahe hangatnya, Bu,” ucap Faisal sambil menyerahkan gelas itu pada Rahma.

Rahma menerima gelas jahe hangat tersebut dengan senyum ramah, “Terima kasih, Pak Faisal.”

Faisal hanya mengangguk, lalu duduk di samping Rahma.

“Pak Faisal, kok tahu kalau jahe hangat bisa meredakan nyeri datang bulan?” tanya Rahma penasaran, menyesap sedikit jahe hangatnya.

“Adik saya perempuan, Bu. Dari dulu kalau datang bulan, dia selalu sakit perut. Habis minum jahe hangat biasanya agak enakan,” jelas Faisal sambil mengingat masa kecilnya.

Rahma tersenyum, “Pak Faisal perhatian banget orangnya. Pasti istri Pak Faisal bahagia deh.”

“Bahagia apanya, Bu? Tiap hari dia selalu ngeluh mulu,” ucap Faisal dengan sedikit tawa, tetapi tatapan matanya terlihat menerawang ke kejauhan.

“Masa sih, Pak? Padahal setahu saya, Pak Faisal ini orangnya perfect banget. Saya sering mikir kalau pasti orang yang jadi istri Pak Faisal, bakal jadi perempuan paling beruntung di dunia,” kata Rahma sambil menyeruput jahe hangatnya.

“Bu Rahma berlebihan, saya gak sesempurna yang ibu bayangkan kok,” kata Faisal dengan nada rendah.

“Tetap saja saya iri sama istri Pak Faisal,” sahut Rahma.

Faisal terdiam, merasa agak canggung dengan pujian tersebut.

Rahma tersenyum tidak enak hati, “Saya bercanda ya, Pak.”

“Iya, Bu. Saya tahu kok,” jawab Faisal sambil mencoba tersenyum. “Lagian perempuan secantik dan semandiri bu Rahma ini, mana mungkin ngiri sama istri saya,” ucap Faisal dengan nada canda, kemudian tertawa. Rahma pun tertawa mendengar candaan Faisal.

Rahma menggeleng sambil tersenyum. “Cantik dan mandiri apaan sih, Pak? Saya sama sekali gak ngerasa seperti itu. Buktinya sampai sekarang gak ada laki-laki yang mau jadi suami saya, belum laku juga nih.”

“Turunin standarnya dong, Bu. Saya yakin kalau banyak yang berebut pengen nikahin Bu Rahma,” kata Faisal dengan nada menggoda.

Rahma dan Faisal jadi tertawa-tawa karena obrolan mereka. Suasana yang santai dan hangat membuat mereka berdua semakin akrab.

Di saat yang sama, Farhan sedang mengendarai motornya, tanpa sengaja melihat kedua orang tersebut dari kejauhan. Mata Farhan langsung tertuju pada Faisal yang terlihat bercanda gurau dengan seorang perempuan di depan warung.

Farhan kaget melihat adegan tersebut. Ia menepikan motornya dengan cepat dan segera menghentikannya. Pandangan matanya memperhatikan setiap gerak-gerik Faisal dan perempuan itu.

Farhan terdiam sejenak, berusaha tetap tenang meski saat melihat kakaknya tertawa-tawa dengan perempuan lain, rasa jengkel merayap di dadanya begitu saja.

Setelah sejenak berpikir, Farhan akhirnya turun dari motornya. Ia melangkah mendekati Faisal. “Ngapain Mas di sini?” tanyanya dengan nada sinis. Tatapan matanya yang tajam kemudian beralih pada perempuan yang duduk di sampingnya.

Faisal yang menyadari ditatap dengan pandangan curiga oleh adiknya, buru-buru menjelaskan. “Ini Bu Rahma, guru juga di tempat mas ngajar. Kami cuma rekan kerja.”

“Rekan kerja gak perlu ketawa-tawa bareng di depan warung kali, Mas,” ujar Farhan dengan nada sarkas.

Faisal merasa kesal mendengar komentar itu. “Kamu jangan salah paham! Aku sama Bu Rahma ketemu cuma kebetulan, jadi kami sedikit ngobrol, itu saja” Faisal membela diri.

Farhan menanggapinya dengan menyindir. “Oh, wajar kan kalau orang bisa salah paham? Tadi saja Mas Faisal nuduh aku naksir Mbak Alisha cuma gara-gara aku minta Mas Faisal nggak seenaknya.”

Faisal menahan geram mendengar respons Farhan, namun ia berusaha menahan diri karena merasa tidak enak pada Rahma yang masih ada di sana.

Farhan kemudian menoleh pada Rahma, “Maaf, Mbak, tapi saran saya, nggak usah terlalu dekat sama orang yang sudah beristri, bisa menimbulkan fitnah.”

Rahma tampak canggung dengan situasi yang memanas, lalu memutuskan untuk mengakhiri pertemuan itu. “Maaf, kalau gitu saya permisi dulu,” ucapnya sambil berdiri dan pergi dengan terburu-buru.

Setelah Rahma pergi, Faisal menoleh pada Farhan. Tanpa pikir panjang, ia mendorong bahu adiknya dengan kasar. “Maksud kamu apa? Sengaja kamu mau bikin aku malu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status