Faisal menarik tangan Alisha menuju kamar dengan agak kasar, membuat Alisha meringis kesakitan.
“Mas, kenapa kamu narik-narik tangan aku kayak gini? Tangan aku sakit, Mas,” protes Alisha sambil berusaha melepaskan tangannya yang dicengkeram Faisal. Setibanya di kamar, Faisal segera menutup pintu dan melepaskan pegangannya. Pria itu menatap Alisha dengan ekspresi serius. “Kamu bisa gak sih, sehari aja gak bikin masalah?”
“Aku gak bikin masalah apa-apa!” balas Alisha dengan tegas, ia kesal selalu dipersalahkan.
“Kalau kamu gak bikin masalah, kenapa Farida sampai marah-marah begitu?” tanya Faisal. Alisha tak langsung menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain— enggan menatap suaminya dalam kondisi seperti ini.
“Kenapa malah diam? Jawab!” ucap Faisal dengan suara meninggi. Alisha akhirnya kembali menatap Faisal, namun masih tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Andai pun ia menjawab apa adanya, belum tentu Faisal akan mempercayai ucapannya.
“Sebelumnya aku udah bilang, aku gak bikin masalah apa-apa. Terserah kamu mau percaya atau gak,” ucap Alisha.
Faisal kesal mendengar jawaban Alisha. “Kamu ini gak pernah bisa menghargai aku sebagai suami! Aku nanya baik-baik sama kamu, tapi kenapa jawaban kamu seperti itu?!”
“Kalau pun aku cerita semuanya, memangnya kamu mau belain aku, Mas?” tanya Alisha dengan nada sarkas. “Selama ini kamu selalu belain ibu dan adik kamu, tanpa mau dengerin aku, kan?”
“Aku gak niat bela ibu atau adik aku! Aku cuma gak mau ada konflik di antara kamu sama keluarga aku. Mau gimana juga kita numpang di sini,” jelas Faisal.
“Iya, aku tau kita numpang di sini, Mas. Aku udah selalu berusaha menempatkan diri aku sebaik mungkin. Tapi harusnya kamu juga bisa ngertiin posisi aku, hidup sama mertua dan ipar juga bukan hal mudah buat aku,” kata Alisha dengan suara bergetar.
“Hidup dengan mertua dan ipar berat buat kamu?” tanya Faisal. “Maksud kamu, kamu gak suka tinggal sama keluarga aku?”
“Bukan gitu maksud aku, Mas. Aku cuma ngerasa kurang nyaman,” jelas Alisha.
“Apa bedanya?!” Faisal kesal. “Selama ini ibu selalu baik sama kamu, gak pernah beda-bedain posisi kamu, meski kamu menantu. Kenapa kamu gak ada terima kasihnya?”
Alisha merasa tertekan dengan pertanyaan itu. “Bukan masalah terima kasih, Mas. Aku bersyukur ibu selalu baik sama aku, tapi...” Alisha terdiam, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Tapi, kadang aku ngerasa kurang nyaman. Mungkin ini karena ada perbedaan cara berpikir dan kebiasaan yang berbeda di antara keluarga kamu sama aku mas, jadi— saran aku, mending kita ngontrak rumah sendiri saja, Mas.”
Faisal kaget, “Kamu pengennya ngontrak? Kamu pikir gaji sebagai guru itu besar?” tanya Faisal dengan nada menyindir.
“Mas, kita bisa ngontrak rumah kecil-kecilan, kok,” Alisha mencoba membujuk.
“Alisha, ngontrak rumah itu cuma buang-buang uang. Daripada buat ngontrak, lebih baik uangnya dikumpulin, kan? Kebutuhan kita di masa depan masih banyak. Apalagi kamu lagi hamil. Butuh banyak uang buat anak kita nanti,” jelas Faisal.
“Tapi mas, aku juga butuh tempat tinggal yang nyaman,” ucap Alisha meski agak ragu.
“Apa rumah ini kurang nyaman? Kamu itu gak bisa bersyukur banget,” kata Faisal dengan nada agak kesal.
“Mas,” Alisha baru mau bicara, tapi Faisal menyela, “Udah cukup! Jangan ngajak debat lagi.”
Alisha akhirnya terdiam, tidak berani mendebat lagi.
“Aku lapar, kamu buruan siapin makanan sana,” ucap Faisal sambil melepas kemejanya.
“Iya, Mas,” ucap Alisha segera keluar dari kamar.
Alisha berjalan menuju dapur, untuk menyiapkan makanan untuk Faisal. Di dapur, Alisha mengupas bawang dalam diam sambil terus memikirkan pembicaraan dengan Faisal. Sesekali, ia mengusap air matanya yang hampir jatuh.
Setelah selesai mengupas bawang, Alisha mengulek bumbu, tetapi pikirannya masih melayang ke perdebatan yang baru saja terjadi. Setelah selesai menghaluskan bumbu, Alisha menumisnya bersama nasi putih. Ketika nasi goreng akhirnya matang, dia menyiapkannya di atas piring.
Faisal keluar dari kamar dengan ekspresi wajah yang lesu. Melihat Alisha sibuk di dapur, dia pergi ke arahnya dan duduk di meja makan dengan ekspresi yang tak terbaca.
“Nasi gorengnya udah siap, Mas,” ucap Alisha dengan suara lembut.
“Makasih,” jawab Faisal tanpa ekspresi.
Dia mulai menyantap makanannya dengan cepat, tetapi tak lama kemudian, dia memuntahkan makanan itu kembali ke piring. Wajahnya terlihat kesal.
Alisha terkejut melihat reaksi Faisal. “Kenapa, Mas?” tanyanya.
“Apaan ini? Asin banget! Kamu gak ikhlas masakin aku?” tanya Faisal dengan nada yang meninggi. Alisha kaget dan sakit hati mendengar ucapan Faisal, namun ia lebih memilih mencicipi nasi goreng buatannya. Setelah menyadari jika nasi goreng buatannya memang terlalu asin, Alisha menunduk merasa bersalah. “Maaf, Mas. Aku tadi agak bengong pas masak.”
“Kebanyakan alasan kamu! Bilang aja kamu emang keberatan masak buat aku,” tuding Faisal dengan nada penuh emosi, membuat Alisha semakin tertekan.
“Aku beneran minta maaf, Mas. Gimana kalau aku buatin lagi nasi gorengnya?” tawar Alisha.
“Gak perlu! Kelamaan! Keburu aku kelaparan!” bentak Faisal. Alisha terkejut mendengar sentakan Faisal. Farhan tiba-tiba muncul dan tanpa sengaja mendengar Alisha dibentak-bentak.
“Kenapa Mbak Alisha dibentak-bentak kayak gitu, Mas?” tanya Farhan dengan wajah heran.
Alisha kaget dan malu karena ada orang lain yang melihat dirinya dibentak Faisal. Faisal menjelaskan keadaannya, “Aku baru pulang kerja, capek, minta dibikinin nasi goreng malah keasinan gini. Padahal aku udah lapar banget.”
“Tinggal makan aja sih, Mas. Lagian mbak Alisha sudah berusaha masakin,” kata Farhan mencoba menengahi.
Faisal mengabaikan ucapan Farhan dan mengalihkan perhatian, “Kamu kapan sampai rumah?” tanyanya pada Farhan.
“Tadi pagi,” jawab Farhan.
Faisal mengangguk, “Harusnya waktu ibu suruh kamu pulang, kamu buruan pulang. Selama ini ibu selalu kangen sama kamu,” kata Farhan.
“Iya, maaf, Mas. Tapi selama ini aku kan hidup sama bibi. Meski bibi sudah meninggal setahun lalu, rasanya aku masih belum bisa ninggalin rumah bibi,” kata Farhan.
Faisal mengangguk, lalu menepuk bahu Farhan. “Mas ngerti. Maaf, ya, mas gak kurang bisa ngertiin kondisi kamu.”
Farhan menggeleng dan tersenyum. “Mas tadi katanya lapar? Makan sayur capcai yang dimasak Mbak Alisha tadi pagi aja, kan masih ada.”
Faisal menggeleng malas. “Aku terbiasa makan makanan yang baru dimasak,” ucap Faisal dengan wajah malas.
“Tapi kasihan mbak Alisha kalau harus bolak balik masak, Mas. Dia kan lagi hamil muda, jangan bikin dia kecapean,” ujar Farhan dengan nada prihatin.
“Kecapean apa? Seharian Alisha cuma di rumah, yang capek itu aku, baru pulang kerja,” kata Faisal.
Farhan dan Alisha kaget mendengar ucapan itu.
“Mas, Mbak Alisha memang seharian di rumah, tapi banyak yang dia kerjain. Dia bukan cuma leha-leha doang di rumah,” tambah Farhan, mencoba menjelaskan kondisi Alisha kepada Faisal.
Faisal menghela napas panjang, lalu menatap Alisha dengan mata kecewa. “Jadi benar yang dibilang sama Farida, kamu memang ngadu macem-macem sama Farhan?”
Alisha dan Farhan kaget mendengar pertanyaan Faisal. “Aku gak pernah ngadu, Mas,” bantah Alisha.
Farhan kesal mendengar pertanyaan Faisal. “Mas, kenapa malah ngomong kayak gitu ke mbak Alisha? Mbak Alisha gak pernah ngadu apa-apa sama aku. Pas aku baru pulang, aku liat sendiri mbak Alisha nyuci baju banyak banget. Segala baju ibu sama Farida juga dicuciin sama mbak Alisha,” jelas Farhan.
Faisal menanggapinya dengan santai, “Udah sewajarnya.”
Farhan yang mendengar ucapan santai itu jadi geram. “Orang-orang di rumah ini pada kenapa sih? Farida, Ibu, bahkan kamu, Mas... kenapa semua seenaknya nyuruh-nyuruh mbak Alisha kayak pembantu? Kamu itu suaminya, harusnya kamu bisa memuliakan istri kamu.”
Faisal geram mendengar ucapan Farhan. “Aku dengar dari Farida, dari tadi kamu belain Alisha. Kenapa? Kamu suka sama Alisha?”
DEG! Farhan kaget mendengar pertanyaan Faisal. Alisha pun tak habis pikir.
Senja mulai merayap di tepi danau yang tenang, memancarkan warna jingga keemasan yang memukau. Tenda-tenda berwarna-warni berdiri kokoh di antara pepohonan pinus, sementara suara riang tawa dan canda para karyawan Cantika memenuhi udara. Mereka menikmati camping bersama sebagai bonus atas pencapaian kerja tim selama ini. Suasana penuh keakraban dan kegembiraan terasa hangat di tengah sejuknya angin sore.Cantika, dengan senyum ceria, sibuk mengatur segala sesuatu. “Ayo, teman-teman! Kita siapkan untuk bakar-bakar malam ini!” serunya sambil menggulung lengan bajunya. Anak-anak karyawan berlarian dengan riang, bermain kejar-kejaran di sekitar perkemahan.Di sudut lain, Alisha duduk di dekat tenda sambil memperhatikan Haqi yang tertidur pulas di kereta bayinya. Matanya kemudian tertuju pada sosok Farhan yang berdiri sendiri di tepi danau. Pemuda itu tampak termenung, menatap jauh ke permukaan air yang memantulkan cahaya matahari terbenam. Wajahnya menggambarkan kesedihan yang sulit diung
Hari Minggu pagi yang cerah. Alisha dengan telaten memandikan Haqi dan memakaikannya baju lucu bergambar hewan. Bayi itu tertawa riang, menikmati perhatian dari ibunya. Setelah selesai, Alisha menyematkan topi rajut kecil di kepala Haqi, membuat bayi itu semakin menggemaskan.“Siapa yang mau jalan-jalan?” tanya Alisha dengan suara ceria, menciumi pipi Haqi yang lembut, menikmati aroma segar minyak telon yang dipakai bayi itu.Haqi tertawa riang dan membalas ciuman ibunya dengan menggigit pipinya karena gemas, membuat Alisha tertawa. Setelah memasangkan kaos kaki, Alisha mengangkat tubuh Haqi dan menggendongnya dengan kain gendongan, memastikan dia nyaman dan aman.“Siap jalan-jalan, Nak?” kata Alisha sambil bersiap keluar. Namun, ketika baru saja membuka pintu, dia terkejut melihat Rona berdiri di depan pintu.“Ada bos kamu tuh,” kata Rona sambil tersenyum.“Kak Cantika?” tanya Alisha, merasa heran de
Alisha terdiam, merasakan perasaannya bergemuruh. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, namun dia mencoba untuk memahami dan menghormati keinginan Farhan.Farhan menghela napas panjang, lalu berkata, “Dan soal gelang itu—aku lega kalo kamu suka. Kamu boleh simpan. Tapi soal tawaran sebelumnya, itu udah gak berlaku.”Deg! Alisha merasakan hatinya tercekat, seolah diremas oleh perasaan kecewa dan sakit yang mendalam. Air mata menggenang di matanya, namun dia tetap diam, menahan perasaannya.“Kamu sebaiknya memang sama Dion,” lanjut Farhan dengan suara serak, sambil menyandang tasnya. Tanpa menunggu reaksi Alisha, dia berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Alisha yang terpaku di tempatnya.Farhan berjalan cepat di koridor butik. Pikiran dan perasaannya bergejolak, namun dia tahu bahwa meninggalkan Alisha mungkin adalah pilihan terbaik. Di belakangnya, Alisha hanya bisa berdiri di ambang pintu ruang kerja, melihat p
Alisha duduk di kursi di seberang meja Farhan, berusaha menangkap tatapan matanya. Namun, Farhan tetap terpaku pada buku sketsa di depannya. Alisha merasa ada sesuatu yang sangat salah.“Kamu kelihatan capek, Farhan,” ucap Alisha lembut. “Mungkin sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Ide bisa menunggu besok.”Farhan tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Aku nggak capek, Mbak. Kamu pulang aja duluan, aku masih mau nerusin kerjaanku.”Alisha merasa ada dorongan kuat untuk tidak meninggalkan Farhan sendirian, tapi sebelum dia sempat berkata lebih jauh, Farhan menyela, “Duluan aja, Mbak.”Tatapan kosong Farhan dan caranya menghindari percakapan lebih lanjut membuat Alisha merasa tak berdaya. Dia akhirnya mengangguk, meskipun hatinya menolak. Dengan langkah berat, Alisha bangkit dan berjalan menuju pintu. Namun, setibanya di ambang pintu, dia berhenti dan menoleh kembali ke arah Farhan.
Farhan menoleh perlahan, tatapannya masih kosong.“Farhan, kamu gapapa?” tanya Alisha dengan nada penuh perhatian.Farhan menghela napas dalam. “Aku gapapa, Mbak. Kita balik ke butik sekarang aja. Kamu bareng aku atau—”“Aku bareng kamu,” kata Alisha cepat.Mereka berjalan bersama keluar dari bandara, suasana sekeliling terasa hening meskipun ada keramaian orang yang berlalu lalang. Alisha terus memerhatikan Farhan, dia tahu jika pemuda itu sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, tatapan kosong dan langkah berat Farhan memperlihatkan sebaliknya.Sepanjang perjalanan ke butik, Alisha mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana. “Farhan, kamu tahu nggak? Haqi mulai suka main di taman sekarang. Padahal sebelumnya dia takut sama rumput,” katanya, berharap cerita tentang Haqi bisa sedikit menghibur Farhan.Farhan tersenyum tipis. “Syukurlah, Haqi udah nggak takut lagi.”
Alisha meminta izin tidak masuk kerja selama beberapa hari untuk menjaga Haqi yang sakit. Bayi itu menjadi manja selama sakit dan ingin terus berada di dekat Alisha. Haqi menempel sepanjang hari padanya, membuat Alisha tidak bisa beranjak jauh. Ketika akhirnya Haqi pulih sepenuhnya dan kembali tersenyum seperti biasanya, Alisha merasa lega. Dia bisa kembali bekerja dan menitipkan Haqi pada Rona.“Jangan sakit lagi ya, sayang,” kata Alisha sambil menciumi pipi Haqi sebelum memberikan bayi itu pada Rona.“Saya berangkat kerja dulu, Bu,” kata Alisha.“Iya, hati-hati,” jawab Rona sambil tersenyum.Alisha mengangguk, lalu keluar dari kosan menuju butik. Setibanya di butik, Alisha terkejut melihat Farhan sudah duduk di balik mejanya. Ada rasa senang melihat pemuda itu kembali bekerja di ruangan yang sama dengannya. Farhan menoleh saat melihat Alisha baru tiba.“Haqi gimana, Mbak?” tanya Farhan.&ldqu