Share

Bab 5. Suami Tanpa Pengertian

Farhan menatap Faisal dengan tatapan tajam. “Harusnya kamu ngaca, Mas! Kamu pikir pria beristri pantas duduk berduaan sama perempuan lain?” sindir Farhan.

Faisal mencoba membela diri, “Aku bukan lagi berdua-duaan di tempat sepi, Farhan! Tapi di warung. Kebetulan aja Rahma lagi makan di sini, gak mungkin aku ngusir dia kan?”

“Tapi kalian tadi gak lagi makan,” timpal Farhan. “Kalian bercanda, ketawa-tawa, keliatan akrab banget. Lagian kamu aneh, Mas. Sama perempuan lain ramah banget, kenapa sama istri sendiri malah ngebentak-bentak mulu?”

“Siapa yang ngebentak-bentak mulu?” tanya Faisal kesal.

“Aku denger sendiri tadi kamu bentak-bentak mbak Alisha cuma karena masakan dia keasinan, masih mau nyangkal?” ucap Farhan tajam. “Mas, kamu itu imam keluarga. Harusnya kamu mengayomi istri kamu, bukan seenaknya nindas dia.”

Faisal merasa kesal karena ucapan Farhan yang terus menyudutkan dirinya. “Aku nggak pernah nindas Alisha. Lagian kamu itu tahu apa? Kamu bahkan belum nikah.”

“Aku emang nggak tau apa-apa soal pernikahan, aku emang belum nikah. Makanya, harusnya kamu kasih contoh yang baik buat aku, jangan sampe jadi suami dzolim gitu!”

Ucapan tegas dari Farhan sontak membuat Faisal naik pitam, dia melotot tak terima karena disebut suami dzolim oleh adiknya.

“Makin kurang ajar omongan kamu!!”

“Kurang ajar bagian mananya, Mas? Bukannya aku cuma negur kamu?” tanya Farhan dengan sedikit ketus.

“Tapi harusnya kamu itu tau sopan santun, mau gimana juga aku ini kakak kamu,” sahut Faisal dengan nada kesal.

Farhan menatap Faisal dengan tajam, “Oh, jadi kalo kamu kakak, aku gak boleh negur kamu gitu, Mas?”

“Udahlah, aku malas debat sama kamu, gak ada habisnya!” desis Faisal dengan nada frustasi, lalu melengos pergi meninggalkan Farhan sendirian.

Farhan mendengus kesal, merasa frustrasi dengan situasi yang terjadi, lalu kembali menghampiri motornya dan pergi dari sana.

***

Faisal melangkah masuk ke rumah dengan langkah berat, kepalanya masih dipenuhi dengan pertengkaran panas yang baru saja dia alami dengan Farhan. Saat baru masuk rumah, dia melihat Farida—adik bungsunya, duduk di sofa dengan wajah cemberut. Faisal mendekatinya, bertanya dengan nada penasaran, “Kenapa muka kamu cemberut gitu?”

“Lagi kesel,” sahut Farida.

“Kesel kenapa?”

“Biasa, istri kamu caper lagi tuh. Tadi lagi nyeterika, terus ngeluh mual-mual katanya. Padahal setrikaan masih banyak. Sekarang kamu lihat tuh, ruang tengah berantakan banget, cucian kering belum disetrika pada numpuk di sana,” keluh Farida.

Faisal merasakan kekesalan semakin bertambah. “Alisha gimana sih?” gumamnya sendiri, berusaha menahan emosi yang mulai memuncak.

“Bilangin istri kamu dong, Mas. Suruh nyelesain setrikaan dulu, aku tuh malu pake baju kusut,” pinta Farida, menambahkan beban pikiran Faisal.

“Iya, tapi kamu jangan manyun gitu dong.” Faisal mencubit hidung adiknya dengan lembut, mencoba meredakan kekesalan adiknya.

“Ih, Mas Faisal nyebelin!” keluh Farida sambil mengusap hidungnya dengan manja, lalu tertawa kecil melihat sikap kakaknya yang selalu saja menggodanya.

“Lagian kamu manyun mulu, dikira cantik apa bibir dimonyong-monyongin gitu?” goda Faisal lagi.

“Biarin!” sahut Farida, kemudian keduanya kembali tertawa-tawa.

“Mas mau ke kamar dulu deh, nanti mas tegur mbak Alisha, biar dia nyelesein kerjaan dulu,” kata Faisal. Farida langsung mengacungkan jempolnya. “Sekalian mas kasih tau mbak Alisha, kurang-kurangin tuh kebiasaan capernya, ilfeel aku liatnya tau!”

“Iyaa!!” Faisal mengacak rambut Farida sebelum berjalan menuju kamarnya.

Tiba di kamar, Faisal segera masuk ke dalam dan melihat Alisha yang terbaring di atas kasur dengan wajah yang pucat. Perempuan itu tampak mengurut pangkal hidungnya seolah menahan sakit kepala.

“Kenapa lagi sih kamu?” tanya Faisal sambil mendekati istrinya.

“Aku pusing banget, Mas. Mual juga. Barusan aku muntah-muntah lagi,” keluh Alisha sambil berusaha bangkit dari posisi rebahan.

Namun begitu ia mencoba bangkit, Alisha merasa pusingnya semakin menjadi-jadi. Ia pun mengurut keningnya dengan pelan, mencoba meredakan rasa tidak nyamannya.

“Jangan fokus ke pusing sama mualnya dong. Kalo kamu terus males-malesan, yang ada kamu malah makin pusing, makin lemes. Mending dipake buat aktivitas, biar pusingnya ilang,” bujuk Faisal sambil duduk di samping Alisha.

“Kamu pikir pusing sama mual aku bisa ilang gitu aja kalo aku coba alihin, Mas? Kamu nggak ngerasain sendiri sih— aku tuh pusing banget, dipake buat duduk gini aja rasanya muter-muter,” ujar Alisha dengan suara lemah, wajahnya juga pucat. Faisal hanya menghela napas panjang mendengar keluhan istrinya.

Tak dapat respons dari Faisal, Alisha memutuskan untuk kembali berbaring di kasur. “Aku mau istirahat dulu, Mas.”

“Gapapa kalau kamu mau istirahat, tapi minimal kamu selesein dulu tugas kamu,” ujar Faisal.

“Tugas apa maksud kamu?” tanya Alisha, menoleh pada Faisal.

“Setrikaan di ruang tengah itu, kan belum selesai. Numpuk sampe kayak gunung gitu, masa gak kamu beresin?” jelas Faisal.

“Mas, sebenernya tadi aku cuma mau nyetrika seragam kerja kamu. Tapi Farida tiba-tiba naruh baju-baju dia, makanya numpuk semua di ruang tengah,” keluh Alisha. “Sebenernya aku nggak masalah nyetrikain baju dia, tapi sekarang ini aku pusing banget, Mas. Aku nggak kuat lanjut nyetrika.”

“Alisha, kamu inget kan dulu pesen aku apa? Aku minta sama kamu buat jaga hubungan sama keluarga aku,” kata Faisal.

Alisha merasa kesal dan akhirnya bangkit dari posisi rebahan, lalu duduk menghadap Faisal dengan tatapan kecewa. “Kamu minta aku buat berusaha jaga hubungan sama keluarga kamu, tapi kenapa kamu gak pernah ingetin keluarga kamu buat jaga perasaan aku, Mas? Selama ini mereka seenaknya sama aku!” ucap Alisha dengan suara penuh emosi, kedua matanya mulai berkaca-kaca.

Faisal yang melihat kedua mata istrinya berkaca-kaca jadi kesal dan menghela napas panjang. “Kamu itu kenapa sih? Sejak hamil jadi sensitif banget? Dikit-dikit marah, dikit-dikit nangis,.”

“Kamu emang nggak pernah mau ngertiin aku, Mas,” jawab Alisha sambil mengusap airmatanya sebelum mengalir lebih banyak.

Alisha kemudian bangkit dari duduknya, merasa lelah berdebat dengan suaminya. Dia memutuskan untuk kembali ke ruang tengah, memaksa dirinya untuk tetap kuat melanjutkan aktivitas meski rasa pusing dan mual sangat menyiksanya.

Tiba di ruang tengah, Alisha kembali menyetrika tumpukan pakaian yang ada sana, sambil menahan pusing yang semakin menjadi-jadi. Saat baru mulai menggosok sepotong pakaian milik Farida, tiba-tiba Alisha merasa perutnya seperti diaduk dari dalam.

Mualnya tiba-tiba datang luar biasa. Ia membekap mulutnya, berusaha keras menahan diri agar tidak terus menerus muntah. Namun suara dari mulutnya tak bisa dikendalikan.

Farida yang kebetulan sedang nonton tv tak jauh dari meja setrika mendengarnya, lalu mencibir. “Mulai lagi deh, bilang aja kalau males,” sindirnya dengan nada sinis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status