Farhan menatap Faisal dengan tatapan tajam. “Harusnya kamu ngaca, Mas! Kamu pikir pria beristri pantas duduk berduaan sama perempuan lain?” sindir Farhan.
Faisal mencoba membela diri, “Aku bukan lagi berdua-duaan di tempat sepi, Farhan! Tapi di warung. Kebetulan aja Rahma lagi makan di sini, gak mungkin aku ngusir dia kan?”
“Tapi kalian tadi gak lagi makan,” timpal Farhan. “Kalian bercanda, ketawa-tawa, keliatan akrab banget. Lagian kamu aneh, Mas. Sama perempuan lain ramah banget, kenapa sama istri sendiri malah ngebentak-bentak mulu?”
“Siapa yang ngebentak-bentak mulu?” tanya Faisal kesal.
“Aku denger sendiri tadi kamu bentak-bentak mbak Alisha cuma karena masakan dia keasinan, masih mau nyangkal?” ucap Farhan tajam. “Mas, kamu itu imam keluarga. Harusnya kamu mengayomi istri kamu, bukan seenaknya nindas dia.”
Faisal merasa kesal karena ucapan Farhan yang terus menyudutkan dirinya. “Aku nggak pernah nindas Alisha. Lagian kamu itu tahu apa? Kamu bahkan belum nikah.”
“Aku emang nggak tau apa-apa soal pernikahan, aku emang belum nikah. Makanya, harusnya kamu kasih contoh yang baik buat aku, jangan sampe jadi suami dzolim gitu!”
Ucapan tegas dari Farhan sontak membuat Faisal naik pitam, dia melotot tak terima karena disebut suami dzolim oleh adiknya.
“Makin kurang ajar omongan kamu!!”
“Kurang ajar bagian mananya, Mas? Bukannya aku cuma negur kamu?” tanya Farhan dengan sedikit ketus.
“Tapi harusnya kamu itu tau sopan santun, mau gimana juga aku ini kakak kamu,” sahut Faisal dengan nada kesal.
Farhan menatap Faisal dengan tajam, “Oh, jadi kalo kamu kakak, aku gak boleh negur kamu gitu, Mas?”
“Udahlah, aku malas debat sama kamu, gak ada habisnya!” desis Faisal dengan nada frustasi, lalu melengos pergi meninggalkan Farhan sendirian.
Farhan mendengus kesal, merasa frustrasi dengan situasi yang terjadi, lalu kembali menghampiri motornya dan pergi dari sana.
***
Faisal melangkah masuk ke rumah dengan langkah berat, kepalanya masih dipenuhi dengan pertengkaran panas yang baru saja dia alami dengan Farhan. Saat baru masuk rumah, dia melihat Farida—adik bungsunya, duduk di sofa dengan wajah cemberut. Faisal mendekatinya, bertanya dengan nada penasaran, “Kenapa muka kamu cemberut gitu?”
“Lagi kesel,” sahut Farida.
“Kesel kenapa?”
“Biasa, istri kamu caper lagi tuh. Tadi lagi nyeterika, terus ngeluh mual-mual katanya. Padahal setrikaan masih banyak. Sekarang kamu lihat tuh, ruang tengah berantakan banget, cucian kering belum disetrika pada numpuk di sana,” keluh Farida.
Faisal merasakan kekesalan semakin bertambah. “Alisha gimana sih?” gumamnya sendiri, berusaha menahan emosi yang mulai memuncak.
“Bilangin istri kamu dong, Mas. Suruh nyelesain setrikaan dulu, aku tuh malu pake baju kusut,” pinta Farida, menambahkan beban pikiran Faisal.
“Iya, tapi kamu jangan manyun gitu dong.” Faisal mencubit hidung adiknya dengan lembut, mencoba meredakan kekesalan adiknya.
“Ih, Mas Faisal nyebelin!” keluh Farida sambil mengusap hidungnya dengan manja, lalu tertawa kecil melihat sikap kakaknya yang selalu saja menggodanya.
“Lagian kamu manyun mulu, dikira cantik apa bibir dimonyong-monyongin gitu?” goda Faisal lagi.
“Biarin!” sahut Farida, kemudian keduanya kembali tertawa-tawa.
“Mas mau ke kamar dulu deh, nanti mas tegur mbak Alisha, biar dia nyelesein kerjaan dulu,” kata Faisal. Farida langsung mengacungkan jempolnya. “Sekalian mas kasih tau mbak Alisha, kurang-kurangin tuh kebiasaan capernya, ilfeel aku liatnya tau!”
“Iyaa!!” Faisal mengacak rambut Farida sebelum berjalan menuju kamarnya.
Tiba di kamar, Faisal segera masuk ke dalam dan melihat Alisha yang terbaring di atas kasur dengan wajah yang pucat. Perempuan itu tampak mengurut pangkal hidungnya seolah menahan sakit kepala.
“Kenapa lagi sih kamu?” tanya Faisal sambil mendekati istrinya.
“Aku pusing banget, Mas. Mual juga. Barusan aku muntah-muntah lagi,” keluh Alisha sambil berusaha bangkit dari posisi rebahan.
Namun begitu ia mencoba bangkit, Alisha merasa pusingnya semakin menjadi-jadi. Ia pun mengurut keningnya dengan pelan, mencoba meredakan rasa tidak nyamannya.
“Jangan fokus ke pusing sama mualnya dong. Kalo kamu terus males-malesan, yang ada kamu malah makin pusing, makin lemes. Mending dipake buat aktivitas, biar pusingnya ilang,” bujuk Faisal sambil duduk di samping Alisha.
“Kamu pikir pusing sama mual aku bisa ilang gitu aja kalo aku coba alihin, Mas? Kamu nggak ngerasain sendiri sih— aku tuh pusing banget, dipake buat duduk gini aja rasanya muter-muter,” ujar Alisha dengan suara lemah, wajahnya juga pucat. Faisal hanya menghela napas panjang mendengar keluhan istrinya.
Tak dapat respons dari Faisal, Alisha memutuskan untuk kembali berbaring di kasur. “Aku mau istirahat dulu, Mas.”
“Gapapa kalau kamu mau istirahat, tapi minimal kamu selesein dulu tugas kamu,” ujar Faisal.
“Tugas apa maksud kamu?” tanya Alisha, menoleh pada Faisal.
“Setrikaan di ruang tengah itu, kan belum selesai. Numpuk sampe kayak gunung gitu, masa gak kamu beresin?” jelas Faisal.
“Mas, sebenernya tadi aku cuma mau nyetrika seragam kerja kamu. Tapi Farida tiba-tiba naruh baju-baju dia, makanya numpuk semua di ruang tengah,” keluh Alisha. “Sebenernya aku nggak masalah nyetrikain baju dia, tapi sekarang ini aku pusing banget, Mas. Aku nggak kuat lanjut nyetrika.”
“Alisha, kamu inget kan dulu pesen aku apa? Aku minta sama kamu buat jaga hubungan sama keluarga aku,” kata Faisal.
Alisha merasa kesal dan akhirnya bangkit dari posisi rebahan, lalu duduk menghadap Faisal dengan tatapan kecewa. “Kamu minta aku buat berusaha jaga hubungan sama keluarga kamu, tapi kenapa kamu gak pernah ingetin keluarga kamu buat jaga perasaan aku, Mas? Selama ini mereka seenaknya sama aku!” ucap Alisha dengan suara penuh emosi, kedua matanya mulai berkaca-kaca.
Faisal yang melihat kedua mata istrinya berkaca-kaca jadi kesal dan menghela napas panjang. “Kamu itu kenapa sih? Sejak hamil jadi sensitif banget? Dikit-dikit marah, dikit-dikit nangis,.”
“Kamu emang nggak pernah mau ngertiin aku, Mas,” jawab Alisha sambil mengusap airmatanya sebelum mengalir lebih banyak.
Alisha kemudian bangkit dari duduknya, merasa lelah berdebat dengan suaminya. Dia memutuskan untuk kembali ke ruang tengah, memaksa dirinya untuk tetap kuat melanjutkan aktivitas meski rasa pusing dan mual sangat menyiksanya.
Tiba di ruang tengah, Alisha kembali menyetrika tumpukan pakaian yang ada sana, sambil menahan pusing yang semakin menjadi-jadi. Saat baru mulai menggosok sepotong pakaian milik Farida, tiba-tiba Alisha merasa perutnya seperti diaduk dari dalam.
Mualnya tiba-tiba datang luar biasa. Ia membekap mulutnya, berusaha keras menahan diri agar tidak terus menerus muntah. Namun suara dari mulutnya tak bisa dikendalikan.
Farida yang kebetulan sedang nonton tv tak jauh dari meja setrika mendengarnya, lalu mencibir. “Mulai lagi deh, bilang aja kalau males,” sindirnya dengan nada sinis.
Senja mulai merayap di tepi danau yang tenang, memancarkan warna jingga keemasan yang memukau. Tenda-tenda berwarna-warni berdiri kokoh di antara pepohonan pinus, sementara suara riang tawa dan canda para karyawan Cantika memenuhi udara. Mereka menikmati camping bersama sebagai bonus atas pencapaian kerja tim selama ini. Suasana penuh keakraban dan kegembiraan terasa hangat di tengah sejuknya angin sore.Cantika, dengan senyum ceria, sibuk mengatur segala sesuatu. “Ayo, teman-teman! Kita siapkan untuk bakar-bakar malam ini!” serunya sambil menggulung lengan bajunya. Anak-anak karyawan berlarian dengan riang, bermain kejar-kejaran di sekitar perkemahan.Di sudut lain, Alisha duduk di dekat tenda sambil memperhatikan Haqi yang tertidur pulas di kereta bayinya. Matanya kemudian tertuju pada sosok Farhan yang berdiri sendiri di tepi danau. Pemuda itu tampak termenung, menatap jauh ke permukaan air yang memantulkan cahaya matahari terbenam. Wajahnya menggambarkan kesedihan yang sulit diung
Hari Minggu pagi yang cerah. Alisha dengan telaten memandikan Haqi dan memakaikannya baju lucu bergambar hewan. Bayi itu tertawa riang, menikmati perhatian dari ibunya. Setelah selesai, Alisha menyematkan topi rajut kecil di kepala Haqi, membuat bayi itu semakin menggemaskan.“Siapa yang mau jalan-jalan?” tanya Alisha dengan suara ceria, menciumi pipi Haqi yang lembut, menikmati aroma segar minyak telon yang dipakai bayi itu.Haqi tertawa riang dan membalas ciuman ibunya dengan menggigit pipinya karena gemas, membuat Alisha tertawa. Setelah memasangkan kaos kaki, Alisha mengangkat tubuh Haqi dan menggendongnya dengan kain gendongan, memastikan dia nyaman dan aman.“Siap jalan-jalan, Nak?” kata Alisha sambil bersiap keluar. Namun, ketika baru saja membuka pintu, dia terkejut melihat Rona berdiri di depan pintu.“Ada bos kamu tuh,” kata Rona sambil tersenyum.“Kak Cantika?” tanya Alisha, merasa heran de
Alisha terdiam, merasakan perasaannya bergemuruh. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, namun dia mencoba untuk memahami dan menghormati keinginan Farhan.Farhan menghela napas panjang, lalu berkata, “Dan soal gelang itu—aku lega kalo kamu suka. Kamu boleh simpan. Tapi soal tawaran sebelumnya, itu udah gak berlaku.”Deg! Alisha merasakan hatinya tercekat, seolah diremas oleh perasaan kecewa dan sakit yang mendalam. Air mata menggenang di matanya, namun dia tetap diam, menahan perasaannya.“Kamu sebaiknya memang sama Dion,” lanjut Farhan dengan suara serak, sambil menyandang tasnya. Tanpa menunggu reaksi Alisha, dia berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Alisha yang terpaku di tempatnya.Farhan berjalan cepat di koridor butik. Pikiran dan perasaannya bergejolak, namun dia tahu bahwa meninggalkan Alisha mungkin adalah pilihan terbaik. Di belakangnya, Alisha hanya bisa berdiri di ambang pintu ruang kerja, melihat p
Alisha duduk di kursi di seberang meja Farhan, berusaha menangkap tatapan matanya. Namun, Farhan tetap terpaku pada buku sketsa di depannya. Alisha merasa ada sesuatu yang sangat salah.“Kamu kelihatan capek, Farhan,” ucap Alisha lembut. “Mungkin sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Ide bisa menunggu besok.”Farhan tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Aku nggak capek, Mbak. Kamu pulang aja duluan, aku masih mau nerusin kerjaanku.”Alisha merasa ada dorongan kuat untuk tidak meninggalkan Farhan sendirian, tapi sebelum dia sempat berkata lebih jauh, Farhan menyela, “Duluan aja, Mbak.”Tatapan kosong Farhan dan caranya menghindari percakapan lebih lanjut membuat Alisha merasa tak berdaya. Dia akhirnya mengangguk, meskipun hatinya menolak. Dengan langkah berat, Alisha bangkit dan berjalan menuju pintu. Namun, setibanya di ambang pintu, dia berhenti dan menoleh kembali ke arah Farhan.
Farhan menoleh perlahan, tatapannya masih kosong.“Farhan, kamu gapapa?” tanya Alisha dengan nada penuh perhatian.Farhan menghela napas dalam. “Aku gapapa, Mbak. Kita balik ke butik sekarang aja. Kamu bareng aku atau—”“Aku bareng kamu,” kata Alisha cepat.Mereka berjalan bersama keluar dari bandara, suasana sekeliling terasa hening meskipun ada keramaian orang yang berlalu lalang. Alisha terus memerhatikan Farhan, dia tahu jika pemuda itu sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, tatapan kosong dan langkah berat Farhan memperlihatkan sebaliknya.Sepanjang perjalanan ke butik, Alisha mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana. “Farhan, kamu tahu nggak? Haqi mulai suka main di taman sekarang. Padahal sebelumnya dia takut sama rumput,” katanya, berharap cerita tentang Haqi bisa sedikit menghibur Farhan.Farhan tersenyum tipis. “Syukurlah, Haqi udah nggak takut lagi.”
Alisha meminta izin tidak masuk kerja selama beberapa hari untuk menjaga Haqi yang sakit. Bayi itu menjadi manja selama sakit dan ingin terus berada di dekat Alisha. Haqi menempel sepanjang hari padanya, membuat Alisha tidak bisa beranjak jauh. Ketika akhirnya Haqi pulih sepenuhnya dan kembali tersenyum seperti biasanya, Alisha merasa lega. Dia bisa kembali bekerja dan menitipkan Haqi pada Rona.“Jangan sakit lagi ya, sayang,” kata Alisha sambil menciumi pipi Haqi sebelum memberikan bayi itu pada Rona.“Saya berangkat kerja dulu, Bu,” kata Alisha.“Iya, hati-hati,” jawab Rona sambil tersenyum.Alisha mengangguk, lalu keluar dari kosan menuju butik. Setibanya di butik, Alisha terkejut melihat Farhan sudah duduk di balik mejanya. Ada rasa senang melihat pemuda itu kembali bekerja di ruangan yang sama dengannya. Farhan menoleh saat melihat Alisha baru tiba.“Haqi gimana, Mbak?” tanya Farhan.&ldqu