Farhan dan Alisha berjalan bersama menuju halaman parkir, di mana mobil Dion baru saja tiba. Dion turun dari mobil dengan senyuman lebar. “Hai, Lis. Mau pulang, ya?” sapa Dion sambil melangkah menghampiri Alisha. Alisha pun menimpali sapaan itu dengan ramah.
“Iya. Mas Dion mau ketemu sama Mas Lian?” tanya Alisha. Mereka berdua pun mengobrol ringan sesaat, Alisha berbasa-basi menanyakan keadaan Dion setelah beberapa hari diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Sebaliknya, Dion pun bertanya bagaimana keadaan kandungan Alisha.
Farhan mengamati interaksi antara Alisha dan Dion dengan hati yang berdebar. Meski dia enggan mengakui, tapi sepertinya Farhan memang cemburu. Farhan meremas jemarinya, mencoba menekan perasaan tak seharusnya itu. Namun gelombang ketidaknyamanan itu terus menyusup dalam dadanya, membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Hal itu karena Farhan menyadari ada sesuatu yang tidak biasa dengan tatapan Dion pada Alisha. Farhan bisa melih
Suara ceria burung-burung pagi memecah keheningan udara saat Alisha melangkah ke halaman kosannya dengan ember kecil berisi pakaian basah. Terik matahari pagi sudah mulai terasa menyengat, Alisha tersenyum menyadari jika pakaiannya hari ini akan cepat kering. Saat Alisha baru menggantung pakaiannya di atas jemuran, tiba-tiba terdengar suara yang tidak biasa menarik perhatiannya. “Kiu kiu!” Alisha menoleh mendengar suara usil tersebut, dan melihat sosok Farhan yang sudah nongkrong di atas motornya di sudut kosan. Farhan tersenyum lebar saat Alisha melihat ke arahnya. “Cukurukuk.” Alisha tak bisa menahan tawanya saat mendengar celetukan Farhan, “Farhan? Kamu ngapain ke sini?” Farhan turun dari motornya, lalu melangkah menghampiri Alisha. “Jemput kamu.” Alisha bingung. “Jemput kemana? Bukannya ini hari Minggu? Kan libur kerja?” “Iya, karena hari Minggu, aku mau jemput kamu buat ke bidan, Mbak. Waktunya periksa kan?”
Alisha termenung bingung. Di satu sisi, dia menyadari jika Farhan adalah sosok yang begitu perhatian dan baik padanya. Setiap kali Alisha membutuhkan bantuan atau dukungan, Farhan selalu ada di sana untuknya. Ia merasa nyaman dan aman berada di dekatnya, seolah-olah dunianya menjadi lebih baik ketika bersama Farhan. Namun, di sisi lain, kehadiran Farhan juga membawa konsekuensi yang menyulitkan. Dalam hubungan mereka yang semakin dekat, Alisha mulai menyadari bahwa ada banyak masalah dan perdebatan yang muncul, terutama dari pandangan orang lain di sekitarnya. Tuduhan-tuduhan dan gosip-gosip yang tersebar membuat Alisha merasa terjebak di tengah pertarungan antara keinginannya untuk terus dekat dengan Farhan dan keinginannya untuk menghindari konflik dan celaan orang lain. Sementara itu, di parkiran Farhan merasakan darahnya mendidih ketika mendengar makian Surti yang terus berlanjut. Dia merasa seperti sebuah bom waktu yang siap meledak setiap saat. Dalam hati,
“Kalo syukuran ultah Cio, berarti kita harus siapin hadiah, kan?” tanya Alisha. Farhan mengangguk. “Kita pergi ke toko perlengkapan bayi dulu. Sekalian nanti minta dibungkusin, gimana?” Alisha setuju dan segera mereka berdua naik ke motor. Tak lama kemudian, Farhan dan Alisha tiba di depan toko perlengkapan bayi. Mereka berdua masuk ke dalam toko, siap memilih hadiah untuk ulang tahun Cio. “Kamu mau kasih hadiah apa buat Cio, Mbak?” tanya Farhan pada Alisha sambil melihat sekitar. “Bingung nih— tapi yang jelas, aku gak akan kasih hadiah baju bayi,” jawab Alisha. Farhan tertawa karena teringat selama ini Cio selalu mengenakan baju-baju lucu dan stylish hasil karya mamanya. “Kalo soal baju bayi, Cio gak pernah kekurangan, keknya mending kita pilih mainan bayi aja deh,” kata Farhan. “Setuju!” Alisha mengangguk. Mereka berdua mulai mencari di antara berbagai macam mainan bayi yang tersedia di rak-rak toko. Mereka memilih beberapa barang
Faisal baru saja keluar dari kamarnya. Hari Minggu merupakan hari libur mengajarnya, jadi dia merasa nyaman untuk tidur lebih lama. Sementara Nur yang melihatnya langsung protes, “Jam segini kenapa baru bangun, sih?” Faisal tersenyum kecil, “Libur kan cuma sehari dalam seminggu, Bu. Aku pengen santai-santai.” Nur menggeleng, “Harusnya kamu bantuin beres-beres. Adik-adik kamu pada gak ada di rumah, tapi piring kotor numpuk di belakang. Ibu udah risi liatnya. Tolong kamu cuciin ya.” Faisal menghela napas. “Iya, Bu,” katanya sambil bergerak menuju dapur. Faisal melihat begitu banyak tumpukan piring dan juga perabot lain yang ada di wastafel dapur. Meski enggan, Faisal tetap mencucinya. Nur menghampiri Faisal yang sibuk mencuci piring. “Maaf ya, ibu cuma bisa mengandalin anak-anak ibu sekarang. Ibu kan ada darah tinggi, ibu pusing kalo terlalu capek.” Faisal menoleh dengan wajah penuh pengertian, “Gapapa, Bu. Ibu istirahat aja,
Langkah Alisha terasa berat ketika dia memasuki kamar kosnya setelah pelaksanaan putusan perceraian. Suasana di dalam kamar terasa terlalu sunyi, seolah mencerminkan kekosongan yang kini mengisi hatinya. Sebelumnya Alisha merasa akan baik-baik saja meski berpisah dengan Faisal, toh lelaki itu sudah sangat menyakitinya— terlebih perlakuan keluarganya yang selama ini selalu semena-mena. Namun nyatanya? Setelah resmi bercerai, Alisha merasa ada lubang yang menganga di balik dadanya. Dia tak pernah menyangka jika kehidupan pernikahannya berakhir begitu cepat, bahkan sebelum bayinya lahir. Alisha duduk di tepi ranjangnya, memandang ke arah dinding yang kosong. Di antara bayang-bayang kenangan masa lalu, dia berusaha mencari ketenangan. Namun, hatinya masih terluka dan penuh dengan kekecewaan akan nasib yang menimpanya. Tangannya mengusap lembut perutnya yang semakin membesar, merasakan gerakan lembut sang bayi di dalam sana. “Maafin ibu, Nak… ibu gak bisa mempertahank
Alisha berniat kembali ke kamarnya, namun dia terkejut karena tiba-tiba dia papasan dengan Rona—ibu kosnya, di lorong menuju kamar. Alisha yang masih terisak-isak, buru-buru mengusap airmatanya, berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah di depan Rona. Rona melihat keadaannya dengan iba. Dia pun segera mendekat dan merangkul Alisha. Tangannya mengusap punggung Alisha dengan lembut, berusaha memberikan sedikit kehangatan dan ketenangan. Alisha terdiam dalam rangkulan itu, tetapi airmatanya makin mengalir deras. Rona merasa prihatin dan terus menepuk punggung Alisha. “Gapapa, nangis aja sepuas kamu, kalo itu bisa bikin kamu lebih lega,” desis Rona pelan, sambil terus memeluk Alisha. Dalam dekapan Rona, Alisha merasakan kehangatan kehangatan yang perlahan sedikit meredakan kesedihannya. *** Alisha duduk di meja makan di dapur kosan, wajahnya kini terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Tak lama kemudian, Rona yang baru selesai memasak
Alisha merasakan kepala yang berputar dan tubuh yang lemas. “Aku tiba-tiba pusing, Bu,” ucapnya dengan suara yang lemah. Rona menyentuh kening Alisha dan merasakan panas yang tidak wajar. “Panas banget, kamu demam. Mending sekarang ibu anter kamu ke kamar dulu, biar kamu bisa istirahat.” Alisha mengangguk. Rona pun membantu memapah Alisha berjalan ke kamarnya. Setibanya di sana, Rona segera membimbing Alisha berbaring di atas tempat tidur. “Kamu istirahat dulu, ibu akan hubungin temen ibu yang dokter.” Alisha hanya mengangguk lemah. Rona pun segera meraih ponsel di sakunya untuk menelepon teman dokternya. Setelah beberapa saat, panggilan akhirnya dijawab. “Halo, Herman? Kamu bisa datang ke kosan?” Rona agak melipir untuk bicara dengan teman dokternya itu, wajahnya terlihat kecewa. “Jadi kamu lagi di luar kota? Ya sudah tidak apa-apa, makasih ya.” Rona menutup sambungan telepon, kemudian kembali menoleh pada Alisha yang berbaring di ranjang den
Mobil Dion berhenti di depan kosan Alisha. Dion melangkah keluar dari mobil, dan segera disambut oleh sosok wanita tambun berkulit putih yang tampak cemas. “Dion ya?” Tanya wanita itu. Dion mengangguk, menebak wanita itu sebagai ibu kos Alisha. “Bu Rona?” Rona mengangguk. “Ayo, saya antar ke kamar Alisha, dia masih tidur—badannya makin panas. Padahal semalem sudah saya kompres.” Dion segera mengikuti langkah cepat Rona menuju kamar Alisha. Saat pintu kamar terbuka, Dion langsung terperangah melihat Alisha yang terbaring di atas ranjang dengan wajah pucat pasi. Dion bisa merasakan denyut jantungnya berdegup kencang karena khawatir dengan keadaan Alisha. Dion mendekat perlahan pada Alisha yang terbaring, mengusap lembut bahunya. “Alisha.” Alisha membuka matanya perlahan, sedikit terkejut melihat kehadiran Dion dan Rona di kamarnya. “Mas Dion, kok di sini?” katanya, berusaha bangkit dengan bantuan Rona. “Aku denger k