"Sabarlah, Nak. Ibumu sudah tenang, jangan buat dia tidak tenang meninggalkanmu." Nyonya Sulastri membelai rambut Silvia. Namun yang dibelai tidak lagi merasakan kehangatan mertua yang sudah zalim. Malahan, dia curiga kematian ibunya ada hubungannya dengan mertuanya. "Aku akan cari tahu, Ma. Jika terbukti Mama terlibat dengan kematian ibuku, tidak ada maaf untukmu, Ma. Akan aku penjarakan kamu," batinnya. Dia sempat melihat kerlingan mata mertuanya itu kepada pelayan yang menangis tanpa henti. Jika tidak ada sesuatu, tangis pelayan itu tidak akan mengganggunya."Nak, sebaiknya sekarang kita urus pemakamannya," ucap Pak Hermansyah."Iya, Nak. Ikhlaskan kepergian ibumu, lebih baik kita urus pemakamannya sekarang," sambung Bu Iyes dengan lembut kepada Silvia.Silvia tidak bisa menahan pilu. Dia masih ingat bagaimana perjuangan ibunya dalam melawan penyakit kankernya. "Ibuku ingin hidup lebih lama lagi, dia sangat bersemangat untuk kesembuhannya. Tidak mungkin dia pergi secepat ini," rat
Dia segera berbalik, dengan menautkan kedua alisnya dia bertanya. "Apa maksud Papa bicara seperti itu, Pa? Kenapa Papa menuduh mama seperti itu? Jika orang lain mendengar, mereka akan mengira itu benar, Pa! Jangan ulangi lagi bercanda seperti itu, Pa! Gak lucu...." Dia berpura-pura marah untuk menutupi ketakutannya.Setelah membuang napas kecil Pak Efendi berkata. "Maafkan Papa. Tapi ingat, Ma. Jika Mama terlibat, Papa akan lepas tangan." Efendi Kusuma pun berlalu meninggalkan Nyonya Sulastri yang sudah berkeringat dingin. Bergegas dia membuka pintu kamar, lalu masuk dan menutup daun pintunya lagi. Dia mondar mandir mencari ide untuk lepas dari masalah kematian ibu kandung Silvia."Semua gara-gara pelayan itu. Jika dia tidak terlihat mencurigakan, pasti Silvia tidak akan memanggil Dokter forensik," gerutunya.Sementara Silvia masih menangisi ibunya yang sudah diangkat oleh dua orang petugas rumah sakit. Silvia bertekat untuk menghukum orang yang sudah sengaja menghilangkan nyawa ibuny
Begitu Silvia sampai di rumahnya, dia merebahkan badan di sofa empuknya. Suasana berkabung masih begitu terasa. Semua kerabat dan keluarga masih berada di kediaman Silvia.Semua orang yang ada di ruangan itu hanya diam. Tak ada seorang pun yang bersuara. Hanya angin kesedihan yang memenuhi ruangan itu. Dari pancaran mata mereka semua Silvia menangkap ada kejanggalan. "Tidak mungkin mereka semua bersedih seperti seperti ini karena kehilangan ibu kandungku. Ada apa ini? Sepertinya ada masalah lain, dari raut wajah mereka juga ada kecemasan yang ingin mereka tunjukkan," batin Silvia.Silvia tidak mau hanya menerka tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Akhirnya dia memutuskan untuk bertanya kepada ibunya, yaitu Bu Iyes. Karena sekarang ini hanya Bu Iyeslah orang yang bisa dia percaya. "Bu. Ada apa ini? Kenapa aku melihat semua orang seperti yang aneh gitu?"Sebelum menjawab pertanyaan Silvia, dia melihat lagi ke wajah semua orang, lanjut ke suaminya dan kembali menghadap ke Silvia yang se
Begitu Silvia sampai di rumahnya, dia merebahkan badan di sofa empuknya. Suasana berkabung masih begitu terasa. Semua kerabat dan keluarga masih berada di kediaman Silvia.Semua orang yang ada di ruangan itu hanya diam. Tak ada seorang pun yang bersuara. Hanya angin kesedihan yang memenuhi ruangan itu. Dari pancaran mata mereka semua Silvia menangkap ada kejanggalan. "Tidak mungkin mereka semua bersedih seperti seperti ini karena kehilangan ibu kandungku. Ada apa ini? Sepertinya ada masalah lain, dari raut wajah mereka juga ada kecemasan yang ingin mereka tunjukkan," batin Silvia.Silvia tidak mau hanya menerka tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Akhirnya dia memutuskan untuk bertanya kepada ibunya, yaitu Bu Iyes. Karena sekarang ini hanya Bu Iyeslah orang yang bisa dia percaya. "Bu. Ada apa ini? Kenapa aku melihat semua orang seperti yang aneh gitu?"Sebelum menjawab pertanyaan Silvia, dia melihat lagi ke wajah
Matanya membola melihat Silvia dan Dokter Dana, rasa bersalah begitu terpancar di matanya. Tampak sekali langkah kakinya yang begitu berat berjalan ke arah Silvia sambil menatap nya tanpa berkedip. Mata itu sudah bengkak, namun masih mengalir air matanya dengan deras. Dengan gemetar tangannya memegang jeruji besi yang menjadi pembatas antara wanita yang berada di dalam sel dan Silvia yang sedang memandang wanita itu dengan tatapan tajam dengan mulut ternganga yang ditutupi dengan kedua telapak tangan.Ingin rasanya Silvia memakai orang yang ada di dalam sana. Tapi mulutnya terkunci. Matanya yang penuh dengan amarah mulai memerah dan berair.rasa dendam, benci dan kecewa bercampur menjadi satu.Wanita yang sedang memegang jeruji besi itu seakan menarik beban yang sangat berat di kakinya, sehingga dia tidak kuasa menahan tubuhnya yang pada akhirnya luruh juga ke lantai. Dia mencoba mengeluarkan suaranya untuk berkata."Silvia..., Maaf kan Mama, Nak..., Eghngeee...." Tangis wanita itu pec
"sayang. Kamu sudah bangun?" ucap Perdana sambil membelai kening Silvia yang sedang membuka matanya secara perlahan."Aku tertidur ya, Mas? Kenapa tidak bangunin aku?""Sekarang kan sudah bangun," jawab Perdana sambil tersenyum. "Yuk kita makan, supnya sudah siap, mungkin sudah dingin juga. Tapi tenang saja, tinggal di angatin sebentar di oven."Perdana membantu istrinya untuk bangun. Mereka pun menuju meja makan untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan oleh Perdana."Umm, wanginya enak sekali. Pasti rasanya enak.""Makanya cobain dong, Mas suapin, Ya?" Perdana menyendok nasi dan sup lalu menyuapi Silvia. Begitu mencobanya, matanya membulat, lalu bibirnya tersenyum."Kenapa, Sayang. Enak, gak?""Ini enak, Mas. Cuma agak kurang garam dan micin saja. Tapi aku suka banget. Rempah-rempahnya terasa. Jadi kayak alami gitu. Enak banget ini, Mas.""Mas memang sengaja tidak menambahkan micin, kar
"Aku tidak peduli jika aku harus dihukum mati. Bukankah semua orang juga akan merasakan yang namanya mati.""Meski pun begitu, Mama tidak berhak meracuni ibuku." Serangah Silvia yang sangat kesal."Sebenarnya Mama tidak berniat meracuni ibumu. Waktu itu, Mama memergoki dia sedang menelepon seseorang. Dia bilang kalau dia hanya pura-pura sakit kanker, agar dia bisa tinggal bersama kamu." Nyonya Sulastri memberikan penjelasan kepada Silvia."Itu tidak benar kan? Mama pasti berbohong!" Bentaknnya."Tidak. Mama tidak berbohong. Saat itu dia bilang kalau misinya tinggal beberapa bulan lagi. Lalu dia bilang, kita akan bisa menguasainya setelah anaknya lahir. Mama sangat takut. Mama yakin, yang dia maksud beberapa bulan lagi tu adalah masa kehamilan kamu. Itulah alasannya kenapa Mama menyuruh orang untuk menculik kamu, sebenarnya tidak lain karena Mama mau melindungi kamu dari wanita jahat itu. Mama tahu kalau mantan suamimu dan mantan mertuamu sudah menjadi orang yang baik, itu sebabnya Mam
“Sayang, jangan pergi. Maaf karena tadi Abang emosi. Abang berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Laki-laki yang berstatus suami Silvia itu mencoba menenangkan istrinya yang sedang tergugu menangis sambil memangku lututnya dilantai. Selalu seperti itu. Pria itu selalu lepas kendali jika amarahnya sedang memuncak. Dia tidak segan-segannya mengeluarkan kata-kata kasar, bahkan sampai mengucapkan kata talak. Dan setelah itu dia akan membujuk wanita yang sudah dinikahinya dua tahun lalu itu. “Apa maksud Abang tidak akan mengulanginya? Abang sudah mengucapkan kata cerai di depan Ibu,” ucap Silvia tergugu. Dia sudah merasa putus asa menghadapi sikap suaminya yang kasar. Hal yang paling menyakitkan adalah saat suaminya mengucapkan kata talak dan mengusirnya. Ditambah lagi dengan mertuanya yang tidak pernah menghargai keberadaan Silvia. Ingin rasanya dia mundur dari pernikahannya yang baru seumur jagung. Tapi dia selalu meyakinkan hatinya bahwa tidak ada rumah tangga yang tidak ada cob