Share

Keputusan!

“Pulang yuk, Run! Kasihan orangtua kita,” ujar Erina duduk di sebelah Aruna.

“Aku masih belum siap, Kak. Atau ka—”

“Jangan menyuruh aku pulang duluan, Run. Karena itu tidak akan terjadi.”

“Heh ... kakak kabari mereka bahwa kita baik-baik saja. Dua hari lagi kita balik, bagaimana?”

“Janji? Dua hari lagi kita pulang?” tanya Erina kegirangan. Ia tidak sabar bertemu dengan kedua orangtuanya dan menikmati hidup normal lagi.

“Iya, Kak.”

Luna dan Aditya kini berada di rumah orangtua Erina—Kevin dan Keyla. Mereka sangat yakin Aruna pergi bersama kakak sepupunya itu. karena tidak mungkin Erina pergi tanpa memberi kabar pada orangtua. Namun, seyakin-yakin orangtua tetap saja rasa gelisah menghantui mereka.

“ Kak Key? Apa sudah ada kabar dari Erina?” tanya Luna.

“Belum, Lun.” Keyla juga merasa kehilangan karena Erina pergi tanpa memberi tahu sama sekali.

“Kita tidak boleh panik! Saya yakin Erina akan menjaga Aruna,” ujar Kevin menghampiri mereka.

Kevin berusaha berpikiran positif, ia harus terlihat tegar agar sang isteri tidak menerka hal yang aneh-aneh. Keyla sangat sensitif jika berhubungan dengan Erina. Karena ia dan sang anak begitu dekat, apapun yang dikerjakan Erina pasti melalui persetujuannya. Jadi, ketika hal tak terduga ini terjadi Keyla menjadi terpukul dan overthinking.

“Jika mereka pergi terpisah bagaimana, Pi?” tanya Keyla dengan mata yang berkaca-kaca.

“Tidak mungkin! Apa pernah anakmu pergi tanpa izin? Lagi pula kita bisa lihat bagaimana Erina dan Aruna saling menyayangi. Mungkin, Erina tidak mau meninggalkan adiknya sendiri,” tutur Kevin meyakini sang isteri.

“Apa yang dikatakan bang Kevin benar, kita hanya perlu mendoakan mereka dalam keadaan baik-baik saja,” sambung Aditya.

Waktu ashar sudah masuk, mereka memutuskan untuk sholat berjamaah. Meskipun hidup di lingkungan minoritas islam, mereka tidak pernah meninggalkan ibadah. Karena tidak ada lagi tempat mereka menggantungkan harapan selain pada-Nya.

Setelah sholat mereka berkumpul di ruang tengah.

“Pa, kita cari Aruna lagi ya!” ajak Luna.

“Apa tidak sebaiknya kita pulang, Ma? Biarkan anak buah kita yang melanjutkan pencarian. Kamu juga butuh istirahat!”

“Tapi, Pa. Ak—” 

“Benar yang dikatakan suamimu, Lun. Lebih baik kalian pulang dan istirahat! Besok kita cari mereka lagi,” saran Kevin—abang Luna.

“Baiklah, Bang!” 

Wajah Luna ditekuk dengan perasaan campur aduk. Ia tidak ingin berhenti mencari Aruna, tapi melawan sang abang ia juga tidak berdaya. Dengan berat hati, Luna menuruti saran Kevin. Saat Aditya ingin membawa Luna pulang, sebuah pesan yang masuk ke ponsel Keyla menghentikan pergerakan mereka.

Keyla menatap satu persatu orang yang berada di sana, “Erina!” ucap Keyla saat membaca pengirim pesan.

“Sungguh? Apa kata Erina, Kak?” tanya Luna penasaran. Ia berharap apa yang dikatakan Kevin benar, jika Aruna dan Erina bersama.

From: Erina

[Mi, jangan khawatir! Aku baik-baik saja. Sampaikan juga pada tante Luna, Aruna bersamaku. Dua hari lagi kami akan pulang! Miss you more].

“Coba telepon, Kak!” ucap Luna tidak sabar.

“Tidak aktif, Lun.” Keyla berkata sendu.

“Sudah lah, Mi! Jangan sedih! Yang terpenting mereka dalam keadaan baik-baik saja dan akan segera kembali.”

Mimik wajah Luna pun kembali seperti semula, tidak bergairah sama sekali. Aditya menoleh pada Luna, meletakkan kepala sang isteri di dadanya. Ia sangat mengerti dengan perasaan sang isteri yang sangat merindukan Aruna. Terlebih, Luna juga merasa bersalah karena memberi izin begitu saja pada Marvin untuk menikahi putri mereka.

“Ma? Kita harus bersyukur, karena mereka sudah menghubungi kita. Lagi pula dua hari bukan waktu yang lama, Sabar ya!” Aditya mempererat pelukannya.

“Kita pulang?” tanya Aditya lagi.

Luna hanya mengangguk lemah.

“Kami pulang ya, Kak-bang!” ucap Luna.

“Iya, jangan terlalu dipikirkan. Ingat! kesehatanmu juga penting, tidak perlu menjadikan masalah ini beban. Aku yakin, keponakanku itu kuat,” tutur Kevin.

“Dit, Jaga adik saya dengan baik! Dia pasti akan merepotkan,” sambung Kevin.

“Pasti, Bang.”

Selepas kepergian Luna dan Aditya, Kevin mengajak Keyla ke kamar untuk beristirahat. Karena sudah tiga hari mereka tidak cukup tidur karena memikirkan keberadaan putri mereka. Meskipun Erina belum kembali, Kevin dan Keyla bisa sedikit tenang karena sudah tahu kondisinya.

“Pi? Apa perjodohan Erina dan Keen tetap berlanjut?” tanya Keyla.

“Tentu, memang kenapa? Mami hanya khawatir Erina akan kabur seperti Aruna.”

“Mi! Aruna kabur karena kesalahan fatal Marvin, sedangkan Erina tidak punya alasan untuk kabur-kaburan.”

“Iya juga, sih.”

“Sudah! Jangan terlalu dipikirkan,” ucap Kevin.

Pukul 21.00 WITA, Aruna sudah berada di atas ranjang. Ia berbalik ke kiri-kanan mencari posisi nyaman. Namun, tetap saia Aruna belum bisa memejamkan mata. Karena memikirkan cara agar segera lepas dari Marvin. Ya! Keputusan yang diambil Aruna adalah berpisah dengan sang kekasih.

Itulah Aruna, ia selalu memutuskan segala sesuatu tanpa berpikir panjang. Ia mudah memaafkan dan menerima kembali. Namun, tidak sulit bagi Aruna memutuskan untuk pergi saat ia merasa tidak sanggup lagi. 

“Ish ...” desis Aruna.

“Kok belum tidur, Run?”

“Aku sedang memikirkan bagaimana cara mengakhiri hubunganku dengan Marvin, Kak.”

“Apa kamu sudah yakin? Kamu sudah ikhlas jika Marvin bersama orang lain?” tukas Erina. 

Ia bukan ingin memprovokasi sang adik untuk bertahan dengan Marvin, tapi ia juga memikirkan seperti apa nasib sang adik ke depannya. Ia tahu bagaimana Aruna begitu mencintai sang kekasih. 

 “Kamu tidak mau memikirkan lagi, Run? Mungkin saja, Marvin sekarang sedang menyesali perbuatannya setelah kepergianmu.”

Aruna sedikit bimbang setelah mendengar ucapan sang kakak. “Apa benar Marvin menyesal?” batin Aruna.

Aruna menimang-nimang ucapan kakaknya, ia berharap apa yang diucapkan Erina benar. Marvin menyesal dan tidak akan mengulangi perbuatan yang sama. Erina tersenyum, ia merasa Aruna mulai termakan omongannya. Erina percaya sang adik akan bijak dalam memutuskan sesuatu.

“Tapi, aku tetap akan mengakhirinya, Kak. Jika hubunganku sudah melangkah jauh dan Marvin masih terikat dengan Amalia, bagaimana?” lanjut Aruna.

Senyum Erina seketika menghilang, ia kembali terdiam saat pertanyaan Aruna mengandung isyarat seperti itu.

“Kita tidak bisa membaca perasaan seseorang, Kak. Berkali-kali aku memaafkan Marvin, tapi ujung-ujungnya tetap aku yang sakit,” imbuh Aruna lagi.

Erina memikirkan setiap kata-kata yang dilontarkan Aruna, ia semakin ragu dengan perjodohan yang dilakukan kedua orangtuanya. Erina merasa tidak sanggup jika kelak ia mengetahui, pria yang dijodohkan dengannya mencintai wanita lain. Erina tidak seperti Aruna yang dapat memutuskan sesuatu dengan mudah.

“Apa yang kakak pikirkan, sih! Aku sering loh mendapati kakak melamun,” sindir Aruna.

Erina kontan menoleh mendengar pernyataan sang adik. Ia bingung bagaimana menjelaskan pada Aruna.

“Tidak ada!” cetus Erina.

“Kalau ada masalah cerita saja, Kak!”

Erina menatap sang adik, apa sekarang waktu yang tepat untuk mengatakan pada Aruna?

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status