Share

Kembali

“Aku tidak ada masalah, kok. Hanya merindukan mami-papi.” Elak Erina.

Aruna merasa bersalah pada sang kakak. Karena ulahnya, Erina harus jadi ikut kena getah. Padahal, ia tahu kakak sepupunya itu tidak pernah betah lama-lama jauh dari orangtua. 

“Maaf ya, Kak! Karena ak—”

“Sst ... Pikiran kamu terlalu jauh, aku baik-baik saja.” Erina dengan cepat memotong ucapan Aruna.

Aruna tidak percaya seratus persen pada ucapan Erina. Meskipun benar, tapi ia merasa ada hal lain yang disembunyikan sang kakak darinya. Aruna ingin menanyakan hal itu, tapi anak dari omnya itu seperti enggan untuk berbagi. Ia juga tidak bisa memaksa Erina bercerita, lebih baik menunggu saat sang kakak siap untuk mengatakannya.

Dua hari berlalu ...

“Runa, bangun! Kamu janji kita pulang sekarang bukan?” Hampir setengah jam Erina membangunkan Aruna, tapi ia tetap bergeming. Erina yang mulai jengah dengan adik sepupunya itu, menyiram Aruna dengan segelas air.

“Banjir ... banjir ... banjir,” Aruna bangkit dan berteriak-teriak, sedangkan Erina sampai mengeluarkan air mata karena tertawa.

Aruna ternganga melihat sang kakak. Ia sudah seperti orang gila, tapi tanpa merasa salah Erina menertawakannya. Jika bukan saudara, mungkin Aruna sudah melemparkan Erina ke laut yang terlihat dari penthouse mereka. Dengan wajah masam, Aruna menyapu mukanya yang basah.

“Kakak mengerjaiku?” tanya Aruna bertolak pinggang.

“Siapa suruh kamu susah dibangunin? Cepat mandi! Aku tidak sabar bertemu dengan papi dan mami, yang pasti aku tidak terkurung lagi di sini.”

“Iya!” jawab Aruana pasrah.

Tidak butuh waktu lama bagi Aruna untuk bersiap-siap. Ia mengubah penampilan menjadi wanita tomboi. Menggunakan jaket levis, jeans panjang dan topi. Erina yang melihat penampilan sang adik memerhatikannya dari atas sambai ke bawah.

“Kamu serius akan berpenampilan seperti ini?” tanya Aruna.

“Kenapa? Jelek ya, Kak?”

“Bukan jelek, tapi aneh saja.” Aruna memajukan bibirnya mendengar pernyataan sang kakak.

“Biarin! Yuk ah, pulang!” Aruna berjalan mendahului Erina dan duduk di bangku penumpang.

“Aku bukan supir, Aruna. Duduk  di depan!”

“Aku masih ngantuk, Kak. Jadi mau lanjut tidur, lagian siapa suruh kakak menganggu tidurku,” sungut Aruna.

Erina hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah sang adik. Saat Erina sudah menghidupkan mesin mobil, Aruna menyuruhnya mematikan. Kemudian, ia bergegas keluar.

“Kenapa lagi sih, Run?” Erina mulai kesal dengan tingkah sang adik.

“Kak, kalau kita pulang dengan mobil ini otomatis Marvin akan mengenalinya. Lebih baik kita pulang naik taksi saja, Kak.”

“Terserah kamu lah!”

Taksi yang mereka tumpangi sudah memasuki kawasan rumah Aruna, ketika mobil akan berhenti Aruna malah menyuruhnya lanjut. Ia juga menarik tangan Erina agar duduk di bawah, seperti bersembunyi dari seseorang. Saat Erina akan bertanya, Aruna lebih dulu membekap mulutnya. Setelah merasa aman, baru Aruna melepaskan tangannya.

“Selamat!” gumam Aruna.

“Kamu apa-apaan sih, Run? Aku udah kayak tawanan tau nggak,” Erina merapikan pakaian dan rambutnya yang berantakan.

“Kakak tidak lihat, Marvin lagi mantau rumah aku. Aku belum siap bertemu dengan dia, Kak.” Erina dapat menangkap nada kesedihan dari suara Aruna.

“Kalau kamu masih mencintainya, kenapa memilih berpisah?” 

“Karena cinta sepihak tidak mungkin untuk bertahan, Kak. aku hanya butuh lebih banyak waktu agar bisa melupakan seutuhnya.”

“Taksi siapa itu?” tanya Marvin pada diri sendiri.

“Kenapa tidak jadi berhenti?”

Ia berencana mengikuti taksi tersebut, tapi hatinya kembali menyadarkan. Jika ia pergi dan Aruna kembali, maka ia tidak akan memiliki kesempatan untuk bertemu dengan sang kekasih.

Setiap hari Marvin memantau kediaman Aruna, ia selalu berharap kekasihnya kembali dan mau memberi kesempatan lagi. Segala usaha telah Marvin lakukan untuk mencari Aruna, tapi tak ada yang membuahkan hasil. Kini, Marvin hanya bisa menunggu takdir untuk mempertemukan mereka kembali.

“Berhenti di perempatan ya, Pak!” pinta Aruna pada supir taksi.

“Loh, Run! Kita mau ngapain berhenti di sana?”

“Kakakku tersayang ... kita tidak mungkin lewat depan, jadi lebih baik kita masuk di pintu belakang saja.”

“Jauh loh, Run!” protes Erina.

Aruna tidak menanggapi, ia raih tangan sang kakak dan membawanya turun. Sepanjang jalan Erina terus saja merengut, tapi Aruna tidak peduli. Bagi Aruna yang terpenting adalah menghindar dari Marvin.

Prank!

Bunyi nyaring terdengar jelas ke telinga Luna dan Aditya yang tengah bersantai. Mendengar sesuatu terjatuh, mereka sontak berlari memeriksa sumber suara. Luna dan Aditya melihat dua orang wanita muda tengah berjalan mundur dengan mengendap-endap.

“Siapa kalian?” tanya Aditya.

Erina dan Aruna berhenti saat mendengar suara Aditya. Mereka berbalik dan menampilkan deretan gigi putih mereka.

“Papa-mama/Om-tante,” sapa Erina dan Aruna serempak.

“Kalian?” Luna kontan menghambur memeluk Aruna, ia sangat merindukan sang putri. Aditya pun tidak mau kalah, ia turut memeluk dua wanita yang sangat berharga di dalam hidupnya itu.

Erina tersenyum bahagia, ia senang Aruna mau kembali ke rumah. Lari dari masalah tidak akan pernah menyelesaikannya, tapi akan memunculkan konflik baru.

“Aku tidak dianggap ceritanya, nih!” sindir Erina pura-pura kesal.

“Maafkan tante, Sayang!” Luna beralih memeluk Erina.

“Terima kasih, Rin! Kamu sudah menjaga Aruna,” ujar Luna lagi sembari merenggangkan pelukannya.

“Sudah menjadi tugasku, tante.”

“Kita makan siang di sini dulu ya, Rin!” ajak Aditya.

“Maaf! Om, tante. Aku harus pulang, mami dan papi pasti menungguku.”

Mereka mengizinkan Erina pulang dengan syarat harus diantar supir pribadi. Luna tidak ingin terjadi sesuatu dengan putri kakaknya itu, apalagi Erina telah berbaik hati menemani Aruna selama menghilang. 

Keesokan pagi, Aruna kembali beraktivitas. Namun, ia membatasi orang-orang yang ingin berinteraksi dengannya. Hanya Lea—sekretaris sekaligus teman baiknya yang diizinkan masuk ke ruangan Aruna.

Saat memasuki ruangan, Lea menangkap jelas jejak kesedihan di wajah Aruna. Ia sudah mendengar insiden yang terjadi pada hari pernikahan sang sahabat. Lea sangat menyayangkan sikap calon suami Aruna yang tega meninggalkannya, hanya demi bayangan masa lalu.

“Run?” sapa Lea.

“Lo udah denger kan kisah gue?” tanya Aruna, Lea hanya mengangguk ragu.

“Yang sabar, ya. Gue yakin lo kuat. Apa lo akan tetap melanjutkan pernikahan?”

“Menurut lo apa aku masih sanggup?”

Lea mendekat, ia peluk sang sahabat dengan erat. Seolah ia memberitahu Aruna, bahwa ia tidak sendiri.

“Gue yakin lo udah ngambil keputusan yang tepat,” ujar Lea melepaskan rangkulan.

“Thank’s Le! Karena selalu mendukung gue,”

“Yah! Oh iya, gue ke sini mau mengantarkan laporan pembangunan hotel cabang kita.”

Aruna menerimanya dan Lea pamit undur diri.

Berselang setengah jam, Lea kembali ke ruangan Aruna.

“Kenapa, Le? Ada yang kurang berkasnya?”

“Bukan, Run. Aku cuma mau kasih tau, Marvin menunggu kamu di luar.”

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status