Share

Memaafkan atau Berpisah

Marvin sangat yakin, Aditya dan Luna membencinya karena telah menyakiti anak mereka. Namun di luar dugaan, sang mertua tetap bersikap baik padanya. Rasa bersalah menjadi-jadi menggerogoti hati Marvin.

“Berdiri, Vin! Jangan seperti ini!” Aditya melepas pelukan pada sang isteri dan membantu Marvin berdiri.

“Kamu memang salah, Vin! Tapi kami juga tidak mungkin menghakimimu. Lebih baik kita fokus menemukan Aruna,” ujar Luna sembari mengusap air mata.

Kecewa? Tentu saja mereka kecewa. Sakit hati? Sudah pasti. Namun, mereka tidak bisa mengembankan kesalahan pada Marvin sepenuhnya. Mereka juga turut andil atas luka yang diterima Aruna.

Di sebuah penthouse bernuansa abu-abu, seorang wanita muda dengan mata yang sembab dan penampilan tak karuan terlelap nyenyak. Erina duduk di tepi ranjang menatap iba pada adik sepupunya itu, ia harus mengalami rasa sakit begitu dalam karena masalah percintaan. Ia dikhianati oleh seorang laki-laki yang telah berstatus suaminya. Memang tidak dikhianati secara terang-terangan, melainkan melalui perasaan dan pikiran.

Wanita muda itu ialah Aruna Batari Deolinda, putri tunggal dari pasangan Aditya Darendra dan Aluna Adelia. Ia melarikan diri dan bersembunyi di apartemen bersama Erina—kakak sepupunya. Ia sudah memutus segala akses agar tidak bisa ditemui oleh orangtua maupun calon suaminya—Marvin. Erina juga melakukan hal yang sama karena tidak menutup kemungkinan, ia juga menjadi sasaran pencarian tante dan omnya itu.

“Kak? Bagaimana? Apa ada orang yang mencari kita ke sini?” Aruna bangkit dari tidur sambil memegang kepala.

“Sudah bangun? Aku rasa tidak akan ada yang tahu kita di sini.” Aruna hanya mengangguk.

Panthouse Apartment itu merupakan satu-satunya lokasi yang tidak terlacak oleh orangtua mereka. Aruna dan Erina membelinya agar memiliki tempat untuk menenangkan diri ataupun menghilangkan kejenuhan. Aruna sengaja membawa Erina pergi bersama, ia takut sang kakak akan keceplosan memberitahu tempat rahasia mereka.

“Sampai kapan kita kabur-kaburan seperti ini?”

“Aku belum tahu, Kak. Apa kakak mau pulang?” tanya Aruna mengerutkan keningnya.

Erina menggeleng, “Aku akan pulang, jika kamu ikut.”

“Makasih ya, Kak!” ucap Aruna berkaca-kaca.

“Sudah menjadi tugasku menjagamu,” balas Erina tersenyum.

“Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”

Wajah Aruna berubah pias. Pertanyaan sang kakak kembali mengungkit memori beberapa jam yang lalu. Ia tidak tahu harus bagaimana melanjutkan kehidupan kedepannya. Diteruskan sulit, tapi jika berhenti Aruna belum tentu sanggup.

Heh.

“Aku tidak tahu, Kak! Yang jelas aku tidak siap hidup bersama pria yang masih mencintai wanita lain.”

Erina sangat paham dengan perasaan sang adik. Tidak mudah berjuang sendiri, apalagi dengan gamblang pasangan kita mengatakan belum bisa melupakan mantannya. Ia takut Aruna akan mengambil keputusan yang akan disesali seumur hidup.

“Cobalah perbaiki! Mungkin Marvin sudah menyesali sikapnya selama ini,” tutur Erina.

“Menurut kakak, apa baik menjalin hubungan dengan orang baru, tapi belum bisa melupakan masa lalu?”

Erina terdiam mendengar pertanyaan sang adik. Pertanyaan Aruna mengisyaratkan sebuah penjelasan bahwa sangat menyakitkan ketika kita hidup dengan seseorang, tapi ia masih terpaku pada masa lalu.

Erina juga teringat akan perjodohan yang direncanakan orangtuanya. Jika Aruna saja yang sudah saling mengenal, tersakiti begitu dalam. Bagaimana nasib ia yang belum mengenal sama sekali calon suaminya.

“Kak? Kok malah melamun?”

“Ha? Tidak, kok.” Erina tersentak.

Ia ingin menceritakan tentang perjodohan yang direncanakan orangtuanya pada Aruna. Namun, melihat kondisi sang adik, ia menjadi ragu. Aruna sedang menghadapi masalah, rasanya tidak etis jika ia diberikan beban yang lain.

“Aruna lagi banyak pikiran, aku tidak mau menambah beban pikirannya,” kata hati Erina.

“Kakak lihat ponsel aku tidak?” Aruna memutar-mutar tubuhnya mencari benda pipih itu.

“ Tuh, di atas nakas!” tunjuk Erina.

“Kamu mau ngapain? Kamu lupa kalau kita lagi sembunyi dari pencarian,” ujar Erina mengingatkan.

“Astaga! Hampir saja, untung kakak ingat.” Aruna menepuk jidat.

Aruna kembali merebahkan diri dengan berbantalkan tangannya. Ia menatap langi-langit, “Miris!” gumam Aruna.

Gambaran pernikahan impian hancur sebelum mencapai tujuan. Kekuatan masa lalu ternyata sedasyat itu. Kata orang, cinta dapat dikalahkan oleh dia yang selalu ada. Namun, hal itu tidak berlaku pada kisah Aruna dan Marvin. Sekuat hati bertahan, rasa kecewa cukup mampu menghancurkan.

“Kak? Aku tidak ingin melanjutkan hubunganku dengan Marvin,” ujar Aruna tiba-tiba.

“Bukankah kamu sangat mencintainya?”

“Mencintai sebelah pihak sangat menyakitkan, Kak. Lebih baik aku akhiri saja,” tukas Aruna.

Pikiran Aruna tidak stabil, ketika rasa sakit itu muncul emosinya mendorong untuk berpisah. Namun, saat mengingat cinta dan perjuangan, Aruna menjadi takut dengan apa yang melintas di otaknya itu.

“Jangan gegabah mengambil keputusan, pikirkan dulu matang-matang. Mungkin saja, Marvin sudah menyesali perbuatannya.”

Aruna mencerna baik-baik ucapan sang kakak, apa yang dikatakan Erina ada benarnya. Namun, rasa percaya yang dibangun kokoh, rubuh karena kecewa yang diberikan Marvin. Bertahan, memaafkan, memberi kesempatan atau putuskan, tinggalkan dan lupakan. Aruna terjebak dalam pemikiran yang belum menemukan titik terang.

Tiga hari Aruna dan Erina menghilang dari rumah masing-masing. Bukan hanya Aditya, Luna dan Marvin yang kelimpungan mencari Aruna, tapi Kevin dan Keyla—orangtua Erina juga sibuk mencari sang anak. Mereka sudah mengecek bandara ataupun stasiun, tidak ada tanda-tanda Aruna dan Erina melakukan perjalanan keluar.

“Ke mana lagi aku harus mencarimu, Na? Kumohon kembalilah! Maafkan aku!”

Di sebuah ruangan yang berantakan, seorang pria tengah meratapi nasib. Marvin Louise kehilangan gairah untuk hidup sejak ditinggal sang calon isteri. Ia melupakan pekerjaan, bahkan melewatkan jam makan. Waktu Marvin habis hanya untuk mencari keberadaan Aruna.

“Vin? Ayo makan! Mama sudah bawakan makanan untukmu,” ujar Erica mendekati sang anak.

Marvin menggeleng “Aku cuma butuh Aruna!”

“Jangan menyiksa diri, Vin! Perhatikan juga kesehatanmu!”

“Aku akan makan, kalau Aruna sudah ditemukan.” Marvin menyambar kunci mobil meninggalkan Erica begitu saja.

Erica mengikuti gerak-gerik Marvin sampai menghilang di balik pintu. “Kasihan sekali kamu, Nak. Mungkin ini cara Tuhan menghukummu karena telah menyakiti Aruna,” batin Erica ngilu.

Ia turut berduka menyaksikan kondisi sang anak, tapi Erica tidak mungkin menyalahkan Aruna yang kabur. Karena sangat jelas, Marvin yang menyebabkan hal ini terjadi. Karena cinta masa lalu, cinta masa depannya di ambang pintu.

Hanya doa yang bisa ia aturkan, semoga Sang Kuasa memberikan yang terbaik untuk putra semata wayangnya itu.

Aruna kini tengah bersantai menyeruput minuman, menikmati keindahan laut dari penthouse. Luka hati Aruna sedikit terobati, meski bayangan menyakitkan itu terus mengusik. Kini, ia sudah memiliki keputusan, meski harus sakit ia sangat yakin dengan pilihannya.

“Walau berat aku akan mengambil jalan itu!” gumam Aruna.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status