Share

Sepenggal Kalimat Pisah

“Mas! Mas!” panggil Luna saat masih menuruni tangga.

“Ada apa, Sayang? Kamu kenapa?” Aditya menghampiri Luna.

“Aruna, Mas! Aruna!”

“Kenapa dengan Aruna? Bicara yang jelas, Lun!”

Aditya ketularan panik, tapi ia tetap mencoba tenang agar Luna dapat menjelaskan apa yang terjadi. Ia takut sang anak melakukan hal-hal yang tidak terpikirkan atau melakukan hal konyol lainnya. Baru Luna akan membuka suara, Marvin memnghamiri mereka.

“Ada apa dengan Aruna, Ma?” cetus Marvin ikut bertanya.

“Aruna tidak menyahutiku, Mas. Aku takut terjadi sesuatu padanya.”

“Ayo! Kita cek ke atas.”

“Aku ikut ya, Pa?”

“Tidak usah! Kamu harus tetap di sini. Ini acara pernikahan kamu, biar kami saja yang ke atas.”

“Tapi aku khawatir dengan Aruna, Pa! Semua ini terjadi karena kesalahanku.”

Derap langkah terdengar tergesah-gesah menaiki tangga. Bukan hanya sepasang kaki, melainkan beberapa, yang terus mendaki bertubi-tubi. Setiap detik suara itu semakin dekat. Berhenti tepat di depan pintu yang tertutup rapat, perlahan gagang pintu dibuka. Namun, tidak bisa.

“Aruna?”

Brak ... brak ... brak ...

“Bagaimana ini, Pa?” tanya Marvin.

“Sebentar!” Dengan langka besar Aditya meninggalkan tempat itu.

“Coba gunakan kunci ini,” Marvin bergeser, memberi ruang pada Aditya untuk membukanya.

Derit ...

Mata Aditya menjelajahi setiap sudut ruangan tersebut, hanya ada ruang kosong dengan benda-benda yang masih tersusun rapi. Tak sengaja mata elang Aditya menangkap sesuatu yang ganjal. Ia mamatung tanpa bisa berkata-kata.

“Jangan berdiri di pintu, Mas!

“Mas? Kamu kok diam saja? Terjadi sesuatu dengan Aruna, Mas?” Luna menerobos tubuh suaminya itu.

“Aru—”

“Ada apa, Ma?”

Dengan langkah tertatih Marvin mendekati gaun putih yang teronggok di atas ranjang, ia sentuh gaun itu. Sesetes air meluncur dari sudut matanya.

“Aruna? Kamu di mana?” Marvin membuka kasar pintu kamar mandi.

“Aruna? Jangan main-main, Sayang! ARUNA?” Marvin menyibak gorden.

Kehilangan memang terasa ketika seseorang yang terabaikan memilih meninggalkan kita. Saat ia telah sadar bukan prioritas dan hanya di nomor duakan. Jika wanita telah memilih pergi, berarti sakit yang ia terima tidak lagi main-main. Sekarang, Marvin merasakan hal itu. Ditinggalkan oleh wanita yang belum sempat dibahagiakan.

“Kenapa kamu tinggalkan aku, Aruna? Kenapa?”

Tubuh kekar itu terperosot ke lantai, kaki yang kokoh tidak lagi mampu menopang. Kejadian yang tak pernah ia bayangkan menyuguhi Marvin pada kenyataan.

Puluhan potong kain disambung menjadi sebuah tali, diikat pada terali besi. Itulah yang dilihat Marvin.

“Mas? Aruna, Mas?

“Kemana Aruna?” tangis Luna pecah dalam pelukan sang suami, mengetahui putrinya minggat dari rumah.

Sekarang, siapa yang harus dipersalahkan?

Aruna? Karena meninggalkan rumah begitu saja.

Aditya dan Luna? Karena memberi restu pada pernikahan anaknya.

Apa calon suami Aruna—Marvin? Sebab telah berjanji berubah, tapi tetap menoreh luka.

Mereka tidak bisa saling menyalahkan, karena semua orang di sana berkontribusi atas kejadian ini. Luna hanya bisa menangis, sedangkan Aditya sudah menelepon anak buah untuk menemukan Aruna. Marvin juga melakukan hal yang sama, ia tidak mau kehilangan cinta untuk ke dua kalinya.

Kegaduhan yang terjadi di Kamar Aruna, mengganggu ketenangan orang-orang yang berada di bawah. Erika dan Patrick pun bergegas mengecek apa yang sudah terjadi.

“Ada apa ini? Lun, kamu kenapa?” Tak ada sahutan dari orang yang ditanya.

“Marvin, apa yang terjadi? Mana Aruna?” Kali ini Patrick yang bertanya.

“Aruna pergi, Pa! Aruna meninggalkanku,” ujar Marvin tersandar lemah pada dinding.

Mendengar ucapan Marvin, emosi Erica tak sabar untuk meledak. Namun, patrick menggengam tangannya.

Erica tak sengaja melihat secarik kertas tergeletak di lantai. Ia memungut dan membacanya. Di sana jelas tertulis surat itu tertuju untuk Marvin. “Mungkin tulisan ini bisa lebih menyadarkan kamu, Marvin!”

Sepenggal Kalimat Pisah

To: Marvin Louise.

Aku mengingat hari ini dengan jelas, Vin! 23.10.2017, tanggal yang aku sisipkan di bagian kenangan pahit.

Saat kamu melamarku, aku sangat yakin bisa mengalihkan perasaanmu seutuhnya. Ternyata aku salah, bahkan kamu meninggalkanku sebelum ijab kabul. Kau menipuku, Vin! Mengatakan akan melupakan, tapi tetap menempatkan ia dalam relung terdalam.

Mungkin aku terlalu percaya diri untuk mendapatkan cintamu. Seharusnya, dari awal aku ikuti arahan hati untuk melepaskan. Namun, egoku terlalu kuat mempertahankan.

Jika dia masih bertahta dalam hatimu, kenapa kau seret aku dalam lembah luka ini? Lebih baik kau tetap memberi batas! Agar aku tak terjebak, Vin.

Namun, semua telah terjadi. Tak ada yang harus disesali ataupun disalahkan. Aku ingin menekankan satu hal, Vin! Jangan pernah mencari ataupun menemuiku lagi!

Satu kalimat terakhirku,

‘Jika hadirku tak membuatmu lupa pada Amalia, mungkin pergiku sedikit menggoyahkan rindumu untuknya.’

Salam pisah,

Aruna Batari Deolinda.

“A–ru–na,” lirih Marvin.

Tangan Marvin bergetar, tidak hanya rintik yang jatuh dari pelupuk mata Marvin, melainkan hujan deras yang tak terbendung. Petir seakan menyambar tubuh lemah itu, hari yang seharusnya diisi dengan senyum bahagia kini berubah menjadi air mata.

Erica iba menyaksikan karapuhan sang anak, Marvin lebih terpukul dibandingkan saat diputuskan Amalia dulu. Apa karena cinta Marvin lebih dalam pada Aruna? atau rasa bersalah yang tengah menguasai dirinya. Erica tidak dapat menerka hal itu, yang pasti Marvin sangat terpukul dengan kejadian yang menimpa sang anak.

“Aruna tidak akan kembali dengan kamu menangis, Vin.” Erica mengusap-usap bahu Marvin.

“Ma, apa aku akan kehilangan cinta lagi?”

“Benarkah kamu mencintainya?”

“Kenapa mama bertanya seperti itu?”

“Jika kamu mencintainya, tidak mungkin kamu meninggalkan begitu saja,” tutur Erica.

Marvin sadar, kesalahan yang ia lakukan kali ini sangat fatal. Namun, ia juga tidak tahu mengapa bayang Amalia bisa muncul pada saat seperti itu.

“Aku sangat bersalah pada Aruna, Ma. Mungkinkah dia mau memaafkanku lagi?”

“Entahlah! Kali ini kesalahanmu terlalu besar, Vin.”

“Apa tidak ada kesempatan ke dua untukku, Ma?” Erica tersenyum miris.

“Bahkan kamu sudah mendapatkan puluhan kali kesempatan, Vin. Tapi kamu menyia-nyiakannya.”

Tak ada yang bisa Marvin ucapkan lagi, semua yang dikatakan Erica benar. Aruna merawat lukanya dengan cinta, sedangkan cinta Marvin melukai Aruna. Rasa bersalah, menyesal, dan kehilangan menjadi satu dalam diri Marvin. Namun, semua percuma! Aruna terlanjur meninggalkannya.

Patrick mendekati istri dan sang anak, berjongkok di hadapan mereka. “Tidak ada yang bisa kami lakukan untukmu, Vin. Semua terjadi karena sikap egomu yang terus mengingat masa lalu. Jika sekarang kamu kehilangan masa depan, satu pesan papa! Jangan pernah menyalahkan keadaan. Perbaiki dirimu! Dan belajarlah menerima kenyataan,” ujar Patrick bijak.

Marvin mengalihkan pandangan pada sepasang suami isteri yang masih berdiri, saling merangkul, merisaukan putri mereka yang pergi. Ia merangkak mendekati Aditya dan Luna. Dengan posisi berlutut, Marvin menyatukan kedua telapak tangan.

“Maafkan aku, Pa, Ma! Maafkan aku! Aku mengingkari janji, aku menyakiti anak kalian.” Air mata Marvin terus membanjir.

Aditya dan Luna tidak merespon sama sekali. Entah apa yang mereka rasakan terhadap calon menantunya itu. Tubuh Marvin terduduk dengan kepala yang menunduk. Ia berada pada titik putus asa, kehilangan dan tidak memiliki dukungan.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status