Bali, 23 Oktober 2017
“Amalia?” seru Marvin.Ia melihat bayangan seseorang perempuan yang persis dengan mantan kekasih. Marvin melepas tangan penghulu dan mengejar sosok yang dianggap Amalia itu. Ia sama sekali tidak menoleh pada Aruna—wanita yang akan ia nikahi.Aruna tidak dapat berkata apa-apa, setetes bulir bening jatuh dari pelupuk matanya. Sekian lama menjalin hubungan, tapi Marvin tidak bisa melupakan masa lalu. Pada acara sakral mereka pun, pikiran Marvin tetap tertuju pada dia.“Aku memang tidak pernah ada dalam hati Marvin, Ma!” lirih Aruna saat sang ibunda mendekapnya.Aruna tak sanggup menunjukkan wajah pada tamu undangan, ia melepas pelukan Luna dan berlari ke lantai atas.Mereka yang hadir di sana merasa iba dengan Aruna, diperlakukan tidak layak oleh calon suami sendiri. Erika dan Patrick— orangtua Marvin, merasa bersalah dengan tingkah laku sang anak. Mereka sudah meminta para anak buah untuk mengejar Marvin, tapi apa Aruna masih mau melanjutkan pernikahan yang menyakitkan ini?Sementara itu, Marvin tidak dapat menemukan sosok yang ia kejar. Cukup jauh ia berlari, tapi tidak ada tanda-tanda Amalia di sana. Seketika Marvin teringat pada seorang wanita yang telah ia pinang beberapa waktu lalu. “Aruna” ... nama itu terbesit dalam benaknya.“Tuan muda? Nyonya dan Tuan besar meminta anda kembali,” ucap salah seorang bodyguard.Marvin tidak menjawab, ia kembali berlari menuju acara pernikahannya. Kini rasa bersalah mulai menjalar dalam hati Marvin. Karena tanpa pertimbangan ia meninggalkan Aruna begitu saja, tepat saat ijab kabul akan terlaksana.“Ma ... Pa? Aruna mana?” Marvin bertanya dengan terengah-engah.“Masih berani kamu menanyakan dia?” Erika menjawab sinis.“Tentu, Ma. Aruna calon isteri aku.”“Mama pikir, tadi kamu sedang mengejar calon isteri masa depanmu,” ucap Erika penuh penekanan.Marvin terdiam, ucapan sang mama cukup membuatnya merasa tersindir. Ia juga sempat melirik ke arah calon mertua, tapi mereka membuang muka. Merasa tidak akan mendapatkan jawaban, Marvin memutuskan untuk mengecek Aruna ke ruangan atas.“Aruna, apa kamu di dalam?” Suara Marvin terdengar begitu panik. Ia tahu perasaan Aruna terluka, tapi apa boleh buat. Semua terlanjur!Aruna tidak menjawab, ia membekap mulut sendiri agar Marvin tidak mendengar isaknya.“Kita perlu bicara, Na! Buka pintunya!”Aruna mengusap air matanya, menarik dan menghembuskan nafas beberapa kali.Ternyata dikhianati secara tidak langsung, cukup mengoyak hati Aruna. Kepercayaan pada cinta yang ia miliki, tidak mampu menghapus jejak masa lalu. Pria yang tengah bertahta di hidupnya itu, masih menggengam erat kasih yang telah pergi meninggalkannya.“Ada apa, Vin?”“Kita harus bicara, Na!”“Nanti saja, Vin! Aku butuh waktu sendiri.” Aruna mengepal tangan kuat, ia belum siap untuk menatap wajah Marvin. Rasa pedih kali ini sangat memilukan.“Maafkan aku, Run!”“Untuk apa?” tanya Aruna.Marvin tidak mampu menjawab. Karena terlalu sering ia mengutarakan kata-kata itu, tapi selalu mengulangi kesalahan yang sama.“Kamu nggak punya jawaban kan, Vin?” Aruna tertawa getir.“Aku—”“Sudahlah, Vin! Aku hanya ingin sendiri kali ini.”Marvin meninggalkan kamar tersebut dengan perasaan menyesal luar biasa.Aruna duduk bersandar pada pintu yang terkunci, sudut mata Aruna kembali berair mengenang hari-hari yang telah lewat.Marvin Louise, seorang pimpinan salah satu perusahaan properti ternama di Bali. Sebelum memutuskan menikah dengan Aruna, ia memiliki kekasih yang bernama Amalia Diatmika. Marvin sangat mencintai wanita itu, tapi suatu ketika Amalia memutuskan hubungan mereka secara sepihak tanpa alasan yang jelas. Marvin sudah berusaha mencarinya, tapi Amalia menghilang tanpa jejak.Flashback ...Enam bulan yang lalu. “Aaww!” ringis Aruna.Tubuh kekar seseorang menabraknya hingga terjatuh ke lantai.“Maaf! Saya tidak sengaja, Nona.” Pria itu membantu Aruna untuk berdiri.“Terima kasih!”“Marvin!” ucapnya mengulurkan tangan.Aruna merasa heran dengan laki-laki itu. “Apa dia sedang mengajak berkenalan?” batinnya.“Aruna!”Setelah berkenalan hari itu, mereka menjadi dekat dan semakin akrab. Marvin sering bercerita mengenai Amalia−mantan kekasihnya pada Aruna. Kehadiran Aruna menjadi sandaran baru bagi Marvin. Ia merasa nyaman karena Aruna menerimanya dengan baik. Lama-kelamaan rasa nyaman itu berubah menjadi butuh.Marvin yang galau, selalu membutuhkan sosok Aruna di sisinya. Ia sering mengajak Aruna bertemu di waktu luang dan rutin bertukar kabar lewan pesan singkat. Sikap Marvin tersebut tentu membuat Aruna bertanya-tanya. Apakah Marvin mulai menyukaiku? Begitu pikirnya.Ting ...Marvin message ...[Bisakah kita bertemu jam makan siang?][Boleh, di mana?] send.[Di taman. Bagaimana?][Oke!] send.“Ada apa, ya? Tumben Marvin mengajak bertemu di taman.” batin Aruna.Taman Analeka ...“Aruna?” Marvin meraih tangan mungil Aruna.Sontak sang empu mengangkat kepala. Marvin sangat jarang bersikap manis seperti ini padanya.“Tiga bulan kita saling mengenal, cukup membuat aku merasa nyaman denganmu.“Jujur aku belum bisa melupakan Amalia secara utuh, tapi aku yakin hadirmu akan menghapus namanya.” Marvin menjeda ucapan sejenak.Suasana mendadak berubah, suara keramaian seketika menjadi hening. Dunia seakan hanya menyisakan mereka berdua. Marvin menyelami manik mata Aruna dengan dalam, ia mencari keyakinan untuk mengungkap apa yang diinginkan hati. Ia berharap, keputusan memilih Aruna menjadi langkah awal untuk lepas dari jerat Amalia.“Mungkin ini terlalu cepat, tapi aku tidak mau menunda lagi. Runa ... maukah kamu menjadi kekasihku? Dan membantuku melupakan Amalia?” Marvin tidak sedikit pun mengalihkan pandangan. Ia memerhatikan setiap perubahan ekspresi wanita di hadapannya. Aruna yang melihat kesungguhan Marvin, mengangguk tanda setuju.Terlihat jelas kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Berbulan-bulan saling memahami, tidak sia-sia.Enam bulan menjadi sepasang kekasih, tidak dilalui dengan mudah oleh Aruna. Selama itu, Marvin belum bisa melupakan Amalia. Ia sering membanding-bandingkan kebiasaan mereka saat berpacaran pada Aruna. Tentu hal tersebut membuat Aruna tidak nyaman dan sakit hati. Jika dulu Marvin menceritakan semua hal tentang mantannya, ia akan merasa baik-baik saja. Namun, kini status Aruna adalah kekasih Marvin.Sering terlintas di benak Aruna untuk mengakhiri hubungan, tapi Marvin selalu menunjukkan iktikad baik setelah menyadari kesalahan. Bahkan, terakhir kali setelah berbuat salah, Marvin memboyong keluarganya untuk meminta maaf sekaligus melamar Aruna, ia berjanji akan berusaha melupakan Amalia dan membahagiakan Aruna.Flashback End ...Luna melihat Marvin turun seorang diri, dapat dipastikan Aruna tidak bersedia melanjutkan pernikahan. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa pada calon menantunya itu, yang jelas Luna sangat kecewa dengan sikap Marvin. Andai saja, ia tidak memberi restu, mungkin Aruna tidak akan terluka separah ini.Luna melewati Marvin begitu saja, tanpa berniat bertanya. Ia menyusul sang puteri untuk menenangkannya.“Mau kemana, Ma?” tanya Aditya—ayah Aruna.“Melihat kondisi puteriku,” jawab Luna ketus.Tok ... tok ... tok“Aruna? Ini mama, Sayang. Buka pintunya, Nak!”Tok ... tok ... tok“Runa? Ayo kita bicarakan semua ini, Nak!”Luna mulai panik, karena tidak ada tanggapan dari sang anak. Ia mondar-mandir di depan pintu kamar Aruna, tapi tidak ada tanda-tanda akan terbuka. “Ke mana Aruna? lebih baik aku katakan pada Mas Aditya,” gumam Luna.Bersambung ...“Mas! Mas!” panggil Luna saat masih menuruni tangga.“Ada apa, Sayang? Kamu kenapa?” Aditya menghampiri Luna.“Aruna, Mas! Aruna!”“Kenapa dengan Aruna? Bicara yang jelas, Lun!” Aditya ketularan panik, tapi ia tetap mencoba tenang agar Luna dapat menjelaskan apa yang terjadi. Ia takut sang anak melakukan hal-hal yang tidak terpikirkan atau melakukan hal konyol lainnya. Baru Luna akan membuka suara, Marvin memnghamiri mereka. “Ada apa dengan Aruna, Ma?” cetus Marvin ikut bertanya.“Aruna tidak menyahutiku, Mas. Aku takut terjadi sesuatu padanya.”“Ayo! Kita cek ke atas.”“Aku ikut ya, Pa?”“Tidak usah! Kamu harus tetap di sini. Ini acara pernikahan kamu, biar kami saja yang ke atas.”“Tapi aku khawatir dengan Aruna, Pa! Semua ini terjadi karena kesalahanku.” Derap langkah terdengar tergesah-gesah menaiki tangga. Bukan hanya sepasang kaki, melainkan beberapa, yang terus mendaki bertubi-tubi. Setiap detik suara itu semakin dekat. Berhenti tepat di depan pintu yang tertutup rapat, perla
Marvin sangat yakin, Aditya dan Luna membencinya karena telah menyakiti anak mereka. Namun di luar dugaan, sang mertua tetap bersikap baik padanya. Rasa bersalah menjadi-jadi menggerogoti hati Marvin. “Berdiri, Vin! Jangan seperti ini!” Aditya melepas pelukan pada sang isteri dan membantu Marvin berdiri.“Kamu memang salah, Vin! Tapi kami juga tidak mungkin menghakimimu. Lebih baik kita fokus menemukan Aruna,” ujar Luna sembari mengusap air mata.Kecewa? Tentu saja mereka kecewa. Sakit hati? Sudah pasti. Namun, mereka tidak bisa mengembankan kesalahan pada Marvin sepenuhnya. Mereka juga turut andil atas luka yang diterima Aruna. Di sebuah penthouse bernuansa abu-abu, seorang wanita muda dengan mata yang sembab dan penampilan tak karuan terlelap nyenyak. Erina duduk di tepi ranjang menatap iba pada adik sepupunya itu, ia harus mengalami rasa sakit begitu dalam karena masalah percintaan. Ia dikhianati oleh seorang laki-laki yang telah berstatus suaminya. Memang tidak dikhianati secara
“Pulang yuk, Run! Kasihan orangtua kita,” ujar Erina duduk di sebelah Aruna.“Aku masih belum siap, Kak. Atau ka—”“Jangan menyuruh aku pulang duluan, Run. Karena itu tidak akan terjadi.”“Heh ... kakak kabari mereka bahwa kita baik-baik saja. Dua hari lagi kita balik, bagaimana?”“Janji? Dua hari lagi kita pulang?” tanya Erina kegirangan. Ia tidak sabar bertemu dengan kedua orangtuanya dan menikmati hidup normal lagi.“Iya, Kak.”Luna dan Aditya kini berada di rumah orangtua Erina—Kevin dan Keyla. Mereka sangat yakin Aruna pergi bersama kakak sepupunya itu. karena tidak mungkin Erina pergi tanpa memberi kabar pada orangtua. Namun, seyakin-yakin orangtua tetap saja rasa gelisah menghantui mereka.“ Kak Key? Apa sudah ada kabar dari Erina?” tanya Luna.“Belum, Lun.” Keyla juga merasa kehilangan karena Erina pergi tanpa memberi tahu sa
“Aku tidak ada masalah, kok. Hanya merindukan mami-papi.” Elak Erina.Aruna merasa bersalah pada sang kakak. Karena ulahnya, Erina harus jadi ikut kena getah. Padahal, ia tahu kakak sepupunya itu tidak pernah betah lama-lama jauh dari orangtua.“Maaf ya, Kak! Karena ak—”“Sst ... Pikiran kamu terlalu jauh, aku baik-baik saja.” Erina dengan cepat memotong ucapan Aruna.Aruna tidak percaya seratus persen pada ucapan Erina. Meskipun benar, tapi ia merasa ada hal lain yang disembunyikan sang kakak darinya. Aruna ingin menanyakan hal itu, tapi anak dari omnya itu seperti enggan untuk berbagi. Ia juga tidak bisa memaksa Erina bercerita, lebih baik menunggu saat sang kakak siap untuk mengatakannya.Dua hari berlalu ...“Runa, bangun! Kamu janji kita pulang sekarang bukan?” Hampir setengah jam Erina membangunkan Aruna, tapi ia tetap bergeming. Erina yang mulai jengah dengan adik sepupunya itu, meny
Aruna tidak kaget sama sekali, ia yakin mantan calon suaminya itu akan segera tahu dia kembali.“Katakan padanya, aku sibuk dan tidak ingin bertemu dengan siapapun,” tegas Aruna.Lea tidak beranjak, ia masih memandangi wajah Aruna dengan perasaan bertanya-tanya.“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Aruna.“Tidak! Saranku, lebih baik kamu temui dia! Marvin sepertinya sangat terpukul sejak kamu tinggalkan,” imbuh Lea.Aruna tidak menanggapi ucapan Lea, ia fokus dengan laptop dan rancangan strategi yang akan ia gunakan untuk menambah daya tarik hotelnya. Lea pun bergeming, ia ingin Aruna menyelesaikan persoalan yang menghinggapi kehidupannya, bukan selalu menghindari.Hampir 15 menit Aruna dan Lea bertanding diam. Akhirnya Aruna mengalah, ia tidak bisa mengabaikan orang yang selalu hadir saat ia butuh.“Sampai kapan kamu akan berdiri, Le? Jangan menyiksa dirimu demi orang lain,” seru Aruna.
Keraguan tidak hanya terbesit dalam kepala Aruna, tapi bersarang. Ia takut untuk mengambil resiko ini. Namun, apa yang dikatakan sang mama ada benarnya. Mungkin pilihan Aruna kemaren kurang tepat dan pilihan orangtua lebih baik untuknya. 1 Minggu berlaluHari ini Aruna akan menikah denga pria pilihan orangtuanya, tapi sampai detik ini sang kakak—Erina belum jua menampakkan diri. Dihubungi pun tidak bisa, padahal ia berharap bisa berbagi kesedihan dengan sang kakak. “Kamu di mana sih, Kak?” ucap Aruna dalam hati. Saat akan menikah dengan Marvin, Aruna berharap tidak ada kendala sama sekali. Ia sudah membayangkan bagaimana bahagianya bisa hidup dengan pria yang dicintai. Namun, kali ini ia berdoa agar ada permasalahan yang terjadi dan pernikahan batal. Terdengar konyol memang, tapi pikiran itulah yang melintas di benak Aruna. “Run! Kamu udah siap, Sayang?” Luna menghampiri sang anak yang masih di rias.“Ya, sepertinya,” jawab Aruna lesu.Luna mengerti dengan perasaan sang anak, tapi h
Aruna yang mendengar teriakan Keen dan suara tabrakan menoleh ke belakang, ternyata suaminya menjadi korban tabrak lari. Keen yang terus mengejar Aruna tidak memerhatikan jalan sama sekali, sehingga ia tidak menyadari jika ada mobil yang melaju kencang dari arah kiri.“Keen...” desis Runa.Wanita yang baru saja menikah itu bimbang, harus menolong sang suami atau tetap berlari. Ia takut jika mendekat ternyata luka Keen tidak separah itu dan laki-laki itu pasti menangkap dan tidak akan melepasnya lagi.‘Tapi.. jika tidak kutolong, kejam sekali diriku,’ bisik hati Aruna.Akhirnya Aruna memutuskan mundur ke belakang untuk memeriksa keadaan sang suami. Meskipun ia ditipu oleh Keen, paling tidak Aruna masih memiliki rasa simpati pada orang yang sedang butuh pertolongan.“Permisi, Pak..” ucap Aruna pada bapak-bapak yang sedang mengelilingi tubuh Keen. Ternyata luka pengacara itu cukup parah, tapi untungnya dia masih sadar meski meringis kesakitan.“Pak, tolong panggilkan ambulan. Saya mengen
Sesampainya di rumah sakit, Aluna langsung menuju ruangan Keen. Ia melihat Mela tengah tersedu-sedu di bangku tunggu. Sedangkan suami Mela, Luna tidak melihatnya. "Mel?" Aluna menepuk bahu sang besan. "Aluna, " tanpa basa basi, Mela menghambur dalam pelukan mertua anaknya itu. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, rasa bersalah seolah menggerogoti perasaannya. Aruna kabur dan Keen terbaring di rumah sakit, Mela merasa mendapat kutukan atas semua yang terjadi."Maafin aku, Lun," ucap Mela penuh penyesalan. Aluna hanya mengangguk, ia tidak bisa menyalahkan Mela sepenuhnya. Karena yang paling bersalah dalam situasi ini adalah ia dan suaminya--Aditya. Awalnya Erina yang akan menikah dengan Keen, tapi bercermin pada kisah percintaan sang adik, Erina menjadi ragu untuk melanjutkan pernikahan. Apalagi ia tidak mengenal Keen sama sekali. Karena merasa tersudut dengan permintaan orangtuanya untuk menikah, Erina melakukan hal yang sama seperti Aruna yaitu kabur. Namun, yang tak pernah ada d