POV DickiAkhirnya, aku bisa terbebas juga dari Ningsih, dan menikah dengan Nella. Setelah ini aku tak perlu lagi malu jika datang ke acara besar perusahaan, karena punya istri baru yang cantik.Sebenarnya aku tidak menyangka, kalau setelah pisah denganku, Ningsih bisa sukses seperti sekarang. Tapi tetap saja, dia gendut dan jelek. Mana mungkin ada laki-laki yang mau menikahi dia.Setelah menikah, kami memutuskan untuk tinggal bersama Mama, karena rumah milik Nella dan beberapa aset miliknya terpaksa kami jual untuk mengganti uang tanah milik Bapak Ningsih, meskipun masih separuhnya saja. Dia bilang ikhlas membantuku. Begitulah seharusnya seorang istri, bukan seperti Ningsih yang meminta balik uang pemberiannya.Malam pertama kami lalui dengan indah dan sempurna. Nella ternyata memang wanita impianku selama ini. Tidak hanya cantik dan mandiri, ternyata dia begitu lihai di atas ranjang.Pagi harinya saat bangun tidur, aku merasa heran karena tidak menjumpai bercak darah di atas sprei,
POV Dicki"Mbak Ningsih mau ketemu sama kamu, Mas?" tanya Nella saat aku memberitahunya tentang chat yang Ningsih kirim."Iya, Dek. Dia mengajakku bertemu hari ini di tempat yang dulu biasa kami kunjungi," jawabku."Dia pasti memintamu menghapus foto itu. Jangan mau, Mas," ucap Nella lagi."Tentu saja aku akan menghapusnya jika dia mau menghapus utang kita, Dek."Netra Nella langsung terlihat berbinar."Benar juga, Mas. Dia pasti akan setuju dengan itu," ucapnya kemudian. "Kalau begitu ayo kita bersiap berangkat sekarang."Aku mengangguk, lalu bersiap untuk pergi bersama dengan Nella."Tunggu dulu, Dicki!"Aku dan Nella urung keluar dari pintu rumah. Mama berjalan mendekat ke arah kami."Sebelum kalian pergi, kasih Mama uang arisan dulu. Mama sudah tidak pegang uang lagi," ucap Mama."Loh, kamu belum memberikan uang itu buat Mama, Dek?" tanyaku pada Nella."Belum, Mas." Nella langsung merengut. "Habisnya buat apa sih, Mama pegang uang? Pakek acara ikut arisan segala. Kan Mama cukup di
POV DickiDokter Reza membalikkan badan, lalu mengikuti Ningsih meninggalkan meninggalkan tempat itu. Nella mengambil berkas yang tadi Dokter Reza berikan."Dia pemilik dari PT. Wijaya Kusuma, Mas? Itu tidak mungkin!" ucap Nella saat ikut membaca berkas itu.Aku tidak menjawab ucapan Nella. Kalau benar PT. Wijaya Kusuma itu milik Dokter Reza, habislah perusahaanku! Tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari mengejar Dokter Reza dan Ningsih.Setelah mencari-cari, aku melihat mereka berdua di area parkir, bersiap memasuki mobil. "Ningsih!" panggilku.Mereka berdua menoleh, tapi sepertinya Ningsih terlanjur sakit hati dengan apa yang aku ucapkan. Dia tetap masuk ke dalam mobil, tanpa menungguku. Tinggal Dokter Reza yang masih berdiri di sisi pintu mobilnya."Ningsih! Dengarkan aku dulu! Aku khilaf tadi," ucapku, berusaha mencegah dia pergi.Ningsih membuang muka, dan malah menaikkan kaca mobil yang tadinya terbuka."Sepertinya Ningsih sudah tidak ingin bicara lagi padamu, Dicki," uca
POV Dicki"Nella! Gila kamu, ya?" ucap Mama ketika mendengar ucapan Nella. "Pokoknya aku gak mau hamil, Ma!"ucap Nella lagi, tetap membantah."Astaga, Dicki. Bilang itu sama istrimu, Mama juga pengen punya cucu, keturunan dari kamu!" Mama menatap ke arahku dengan gusar."Sudah, Mama tenang dulu," ucapku sambil memegang pundak Mama, menenangkannya, lalu berjalan mendekat ke arah Nella."Kita pergi ke dokter, untuk periksa ya, Dek?" bujukku pada Nella.Nella tak menjawab permintaanku. Dia masih merengut sambil membuang muka. "Ayolah, Dek. Siapa tahu ini bukan karena kamu hamil, tapi ada masalah di perutmu. Bagaimana kalau terjadi apa-apa, dan kita tidak tahu karena tidak periksa?" bujukku lagi.Setelah aku bujuk berulang kali, akhirnya Nella mau juga untuk pergi ke dokter. Aku memintanya untuk berganti baju dan bersiap, sementara aku menunggu di luar bersama Mama."Gimana sih si Nella itu? Seenaknya saja bilang tidak mau hamil. Apa kata orang nanti, Dicki?""Mungkin Nella sedang sensi
Aku berusaha memfokuskan pandanganku. Tidak salah lagi, itu adalah Bang Irfan! Terlihat Bang Irfan semakin mesra saja dengan wanita itu, bahkan tak malu sesekali mencium pipinya.Kedua tanganku mengepal seketika. Aku berjalan ke arah mereka dengan amarah yang memuncak. Begitu sampai di dekatnya, langsung kucengkeram krah kemejanya bagian belakang, dan menariknya dengan keras.BUK!Saat itu juga bogem mentahku berhasil mengenai pipi kirinya hingga dia jatuh tersungkur. Wanita di sampingnya menjerit."Apa-apaan ini?!"Semua yang ada di acara itu seketika gaduh. Beberapa orang membantu Bang Irfan berdiri."Kurang ajar kamu, Bang! Berani sekali membohongi Mbak Mei, dan bersenang-senang dengan wanita lain di tempat seperti ini!" ucapku sambil menatap tajam padanya.Bang Irfan terlihat melotot , dan belum sempat aku mengucapkan perkataan lain, tiba-tiba sebuah pukulan melayang ke pipiku. Aku terjatuh, tapi ternyata masih disusul oleh pukulan dan tendangan berikutnya. Masih bisa kudengar sua
"Apa maksudmu, Mei? Cerai?" Mama seketika shock mendengar ucapan Mbak Mei."Iya, Ma. Dia mau menceraikanku! Bagaimana ini, Ma?" tangis Mbak Mei semakin kencang.Aku menutup pintu rumah, agar tak ada yang mendengar keributan ini. Kulihat Mbak Mei masih meraung-raung. Aku berusaha menenangkannya."Tenang dulu, Mbak. Kita duduk dulu, bicarakan dengan tenang," ucapku kemudian.Mama menuntun Mbak Mei menuju ruang tengah, lalu mengajaknya duduk. Aku mengambil segelas air dan memberikannya pada Mbak Mei. Mbak Mei meminum air itu dengan sekali teguk, ditengah kesenggukan tangisnya. Matanya terlihat sangat sembab, rambutnya berantakan, tak seperti penampilannya yang selalu terlihat sempurna."Apa yang sebenarnya terjadi, Mei?" tanya Mama cemas karena melihat keadaan putrinya yang seperti itu."Gak tahu, Ma," jawab Mbak Mei. "Hari ini tiba-tiba saja dia menalakku. Padahal baru saja dia pulang setelah berhari-hari bisnis ke luar kota.""Astaga, kenapa Irfan jadi seperti itu?" Mama membulatkan n
"Mama!" Aku terus memanggil Mama tapi Mama tak kunjung sadar.Dokter dan beberapa orang suster langsung membantuku. Mama dibawa ke dalam ruangan dan segera diberi pertolongan."Jangan khawatir. Ibu Anda tidak apa-apa. Sepertinya hanya shock dan kecapekan," ucap Dokter setelah selesai merawat Mama.Aku sedikit bernapa lega. Entah apa yang harus kulakukan jika Mama dan Mbak Mei sakit secara bersamaan. Mama dipindahkan ke ruang rawat inap agar bisa beristirahat. Begitu pula Mbak Mei yang sudah disuntik obat penenang oleh Dokter, meskipun mereka terpaksa mengikat tangan dan kakinya agar tidak meronta.Aku duduk di salah satu kursi rumah sakit dengan kepala pening. Baru saja kupikir bisa sedikit lega ketika Ningsih bersedia membantuku, tapi lagi-lagi musibah datang menghampiri. Apakah karma ini akan terus berlanjut?Aku hanya bisa duduk di sana, belum bisa memikirkan apapun sampai pagi. Ketika mataku mulai sedikit terpejam karena kelelahan, tiba-tiba gawaiku berdering. Aku membuang napas s
"Hilang? Bagaimana bisa hilang, Ma?" Aku ikut terkejut bukan main saat menyadari ternyata Mama kehilangan semua perhiasan dan surat-surat penting miliknya."Bagaima Mama bisa tahu, Dicki? Mama jelas-jelas menaruhnya di sini!" jawab Mana sambil menunjukkan kotak berbentuk peti yang ada di lemarinya bagian bawah."Jangan-jangan rumah kita kemasukan maling?" tanyaku panik.Mama juga terlihat kaget mendengar ucapanku."Tapi kita baru keluar semalam, Dicki! Jangan-jangan ...." Mama tak meneruskan ucapannya. Raut wajahnya berubah kesal. Dia melangkah keluar dari kamar dan seketika berteriak,"Nella!"Aku bergegas menyusul Mama. Mama terlihat berdiri dengan wajah merah padam, menatap Nella yang masih santai sambil membaca majalah."Pasti kamu yang sudah mengambil perhiasan dan surat-surat berharga Mama!" teriak Mama."Apaan sih, Ma?" Nella menatap Mama dengan muka malas. "Mama ini tiap hari ngajak aku ribut melulu. Sekarang apa lagi?""Jangan pura-pura kamu, Nella! Perhiasan dan surat-surat