POV Dicki"Nella! Gila kamu, ya?" ucap Mama ketika mendengar ucapan Nella. "Pokoknya aku gak mau hamil, Ma!"ucap Nella lagi, tetap membantah."Astaga, Dicki. Bilang itu sama istrimu, Mama juga pengen punya cucu, keturunan dari kamu!" Mama menatap ke arahku dengan gusar."Sudah, Mama tenang dulu," ucapku sambil memegang pundak Mama, menenangkannya, lalu berjalan mendekat ke arah Nella."Kita pergi ke dokter, untuk periksa ya, Dek?" bujukku pada Nella.Nella tak menjawab permintaanku. Dia masih merengut sambil membuang muka. "Ayolah, Dek. Siapa tahu ini bukan karena kamu hamil, tapi ada masalah di perutmu. Bagaimana kalau terjadi apa-apa, dan kita tidak tahu karena tidak periksa?" bujukku lagi.Setelah aku bujuk berulang kali, akhirnya Nella mau juga untuk pergi ke dokter. Aku memintanya untuk berganti baju dan bersiap, sementara aku menunggu di luar bersama Mama."Gimana sih si Nella itu? Seenaknya saja bilang tidak mau hamil. Apa kata orang nanti, Dicki?""Mungkin Nella sedang sensi
Aku berusaha memfokuskan pandanganku. Tidak salah lagi, itu adalah Bang Irfan! Terlihat Bang Irfan semakin mesra saja dengan wanita itu, bahkan tak malu sesekali mencium pipinya.Kedua tanganku mengepal seketika. Aku berjalan ke arah mereka dengan amarah yang memuncak. Begitu sampai di dekatnya, langsung kucengkeram krah kemejanya bagian belakang, dan menariknya dengan keras.BUK!Saat itu juga bogem mentahku berhasil mengenai pipi kirinya hingga dia jatuh tersungkur. Wanita di sampingnya menjerit."Apa-apaan ini?!"Semua yang ada di acara itu seketika gaduh. Beberapa orang membantu Bang Irfan berdiri."Kurang ajar kamu, Bang! Berani sekali membohongi Mbak Mei, dan bersenang-senang dengan wanita lain di tempat seperti ini!" ucapku sambil menatap tajam padanya.Bang Irfan terlihat melotot , dan belum sempat aku mengucapkan perkataan lain, tiba-tiba sebuah pukulan melayang ke pipiku. Aku terjatuh, tapi ternyata masih disusul oleh pukulan dan tendangan berikutnya. Masih bisa kudengar sua
"Apa maksudmu, Mei? Cerai?" Mama seketika shock mendengar ucapan Mbak Mei."Iya, Ma. Dia mau menceraikanku! Bagaimana ini, Ma?" tangis Mbak Mei semakin kencang.Aku menutup pintu rumah, agar tak ada yang mendengar keributan ini. Kulihat Mbak Mei masih meraung-raung. Aku berusaha menenangkannya."Tenang dulu, Mbak. Kita duduk dulu, bicarakan dengan tenang," ucapku kemudian.Mama menuntun Mbak Mei menuju ruang tengah, lalu mengajaknya duduk. Aku mengambil segelas air dan memberikannya pada Mbak Mei. Mbak Mei meminum air itu dengan sekali teguk, ditengah kesenggukan tangisnya. Matanya terlihat sangat sembab, rambutnya berantakan, tak seperti penampilannya yang selalu terlihat sempurna."Apa yang sebenarnya terjadi, Mei?" tanya Mama cemas karena melihat keadaan putrinya yang seperti itu."Gak tahu, Ma," jawab Mbak Mei. "Hari ini tiba-tiba saja dia menalakku. Padahal baru saja dia pulang setelah berhari-hari bisnis ke luar kota.""Astaga, kenapa Irfan jadi seperti itu?" Mama membulatkan n
"Mama!" Aku terus memanggil Mama tapi Mama tak kunjung sadar.Dokter dan beberapa orang suster langsung membantuku. Mama dibawa ke dalam ruangan dan segera diberi pertolongan."Jangan khawatir. Ibu Anda tidak apa-apa. Sepertinya hanya shock dan kecapekan," ucap Dokter setelah selesai merawat Mama.Aku sedikit bernapa lega. Entah apa yang harus kulakukan jika Mama dan Mbak Mei sakit secara bersamaan. Mama dipindahkan ke ruang rawat inap agar bisa beristirahat. Begitu pula Mbak Mei yang sudah disuntik obat penenang oleh Dokter, meskipun mereka terpaksa mengikat tangan dan kakinya agar tidak meronta.Aku duduk di salah satu kursi rumah sakit dengan kepala pening. Baru saja kupikir bisa sedikit lega ketika Ningsih bersedia membantuku, tapi lagi-lagi musibah datang menghampiri. Apakah karma ini akan terus berlanjut?Aku hanya bisa duduk di sana, belum bisa memikirkan apapun sampai pagi. Ketika mataku mulai sedikit terpejam karena kelelahan, tiba-tiba gawaiku berdering. Aku membuang napas s
"Hilang? Bagaimana bisa hilang, Ma?" Aku ikut terkejut bukan main saat menyadari ternyata Mama kehilangan semua perhiasan dan surat-surat penting miliknya."Bagaima Mama bisa tahu, Dicki? Mama jelas-jelas menaruhnya di sini!" jawab Mana sambil menunjukkan kotak berbentuk peti yang ada di lemarinya bagian bawah."Jangan-jangan rumah kita kemasukan maling?" tanyaku panik.Mama juga terlihat kaget mendengar ucapanku."Tapi kita baru keluar semalam, Dicki! Jangan-jangan ...." Mama tak meneruskan ucapannya. Raut wajahnya berubah kesal. Dia melangkah keluar dari kamar dan seketika berteriak,"Nella!"Aku bergegas menyusul Mama. Mama terlihat berdiri dengan wajah merah padam, menatap Nella yang masih santai sambil membaca majalah."Pasti kamu yang sudah mengambil perhiasan dan surat-surat berharga Mama!" teriak Mama."Apaan sih, Ma?" Nella menatap Mama dengan muka malas. "Mama ini tiap hari ngajak aku ribut melulu. Sekarang apa lagi?""Jangan pura-pura kamu, Nella! Perhiasan dan surat-surat
POV Ningsih"Mbak Mei terkena gangguan jiwa?" Netraku membulat sempurna ketika mendengar apa yang baru saja Dokter Reza ucapkan."Aku tidak tahu detailnya, tapi kudengar suaminya menceraikannya dan mengambil hak asuh atas anak-anaknya," ucap Dokter Reza lagi."Itu tidak mungkin. Selama ini suami Mbak Mei begitu memanjakan Mbak Mei. Pernikahan mereka terlihat sangat bahagia," ucapku, masih belum mempercayainya.Dokter Reza tersenyum, lalu menatapku."Kita tidak bisa menilai kehidupan seseorang hanya dari luarnya saja," ucapnya kemudian.Aku terdiam. Selama ini aku berpikir Mbak Mei adalah sosok istri yang sempurna. Dia cantik dan mampu membawa diri di manapun dia berada. Penampilannya juga selalu glamor, tak terlihat sedikitpun ada kecacatan di sana.Karena itulah dulu mantan suami dan Mama mertuaku selalu menjadikannya contoh untuk ditiru. Tapi bagaimanapun, aku tidak bisa seperti Mbak Mei. Saat itulah aku benar-benar merasa gagal menjadi seorang istri."Ningsih." Dokter Reza menepuk
POV Ningsih"Me ... menikah?"Suaraku hampir tak terdengar karena tercekat di tenggorokan. Antara kaget dan bingung, karena semua ini begitu mendadak."Terima ... terima!" Para karyawatiku berseru sambil bertepuk tangan, membuatku semakin salah tingkah.Dokter Reza masih tersenyum sambil menatapku, seperti sedang menunggu jawaban dariku. Air mataku berusaha untuk keluar dari pelupuk mata karena menahan haru, meskipun sebisa mungkin kutahan agar tidak menetes."Tolong ... jangan bercanda, Dokter," ucapku dengan bibir bergetar."Aku serius, Ningsih," jawab Dokter Reza lagi. "Selama mengenal dan bersamamu, aku merasa nyaman. Kamu adalah sosok yang aku cari selama ini."Aku menggigit bibir yang bergetar. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku sungguh merasa bahagia. Tak bisa aku pungkiri, akupun merasa nyaman saat bersama Dokter Reza. Bagiku, dialah pahlawanku, yang datang di saat aku merasa begitu terpuruk.Dan yang lebih utama lagi, Dokter Reza mampu mengambil hati Vian, bahkan mengis
POV NingsihAku masih terpaku dengan pemandangan di depanku. Dokter Reza terlihat melepaskan wanita itu dari pelukannya, lalu menatapnya dengan netra membola."Vanesa?" sebuah nama meluncur dari bibirnya."Iya, ini aku," ucap wanita yang ternyata bernama Vanesa itu dengan wajah yang berseri. "Kamu pasti merindukanku, kan?"Dokter Reza tak menjawab. Dia terlihat salah tingkah, dan berulang kali menatapku dengan wajah bersalah."Ningsih, kamu datang bersama Reza?" tanya Nyonya Diana seraya tersenyum padaku."I-iya, Tante," jawabku gugup."Kenalkan, Vanesa, ini Ningsih desaigner kebanggaan kami," ucap Nyonya Diana kemudian, sambil merangkul pundakku dan menghadapkanku pada Vanesa.Vanesa tersenyum seraya mengulurkan tangannya padaku. Aku menyambutnya, sambil berusaha untuk tersenyum."Kenalkan, aku Vanesa, calon istri Reza," ucapnya, lalu merangkul lengan Reza setelah melepaskan tanganku.Bagaikan sebuah sembilu, seketika dadaku terasa perih. Aku menatap Dokter Reza dengan tubuh sedikit