Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 1"Udah siap, Dek?" tanya Mas Bambang seraya memperhatikan penampilanku.Aku mengangguk lalu tersenyum manis ke arahnya. Tumben sekali hari ini Mas Bambang mengajakku pergi berlibur bahkan menginap selama beberapa hari ke depan. Biasanya dia akan sibuk dengan pekerjaannya."Baju-bajumu udah siap?""Udah, Mas, itu di koper."Mas Bambang mengangguk lagi. Entah kenapa sedari tadi dia kehilangan senyum. Wajahnya tampak tegang, bahkan pikirannya tak fokus."Mas, emangnya kita mau liburan kemana sih? Kok bawa baju banyak banget?""Kejutan, Dek, nanti juga kamu tahu," ujarnya lagi.Tiap ditanya pasti jawabannya begitu saja, ya sudah, aku takkan bertanya lagi. Aku percaya pada suamiku yang paling tampan dan juga baik hati, dia pasti memilihkan tempat terbaik untuk kami liburan.Mobil mulai melaju meninggalkan rumah yang sudah tiga tahun aku huni bersama Mas Bambang. Rumah minimalis bergaya eropa, tampak mewah dan elegan. Rumah yang menjadi saksi bisu, kulewati malam-malam manis bersamany
Part 2"Mas, tunggu, Maaas,!!" teriakku. Aku mengejarnya sampai ke mobil. "Mas, aku salah apa, Mas? Kasih tahu aku, apa salahku?""Sudahlah Hana, jangan seperti ini. Aku akan mengantar barang-barangmu yang lain nanti."Seketika hatiku mencelos. Ah, kenapa rasanya perih sekali, diceraikan tanpa sebab?Mas Bambang hampir saja masuk ke dalam mobil."Tunggu, Nak!" Suara bapak menghentikannya pergi. Mas Bambang kembali turun dan menatap bapak, hendak menyalami tangannya, tapi tiba-tiba ...Buuugghhhtt ... sebuah pukulan melayang di perut Mas Bambang hingga ia terhuyung ke belakang. "Neng, ayo masuk!" sergah bapak."Tapi, Pak--""Neng, masuk! Si Bambang sudah gak mau lagi sama kamu, Neng. Jadi buat apa dikejar lagi. Masuk, Neng!" sergah bapak."Pergi kau!! Jangan pernah datang kesini lagi! Mentang-mentang kaya, bisa seenaknya sendiri!" seru bapak. Terdengar emosi dalam nada suaranya. "Maaf, Pak, saya permisi!" ujar Mas Bambang seraya meringis kesakitan. Ia masuk ke dalam mobilnya dan mel
Part 3“Permisi Bu, ini ada surat dari Jakarta untuk Bu Hana Aisyah,” ujar seorang kurir. Aku yang saat itu tengah menyapu lantai, segera menerimanya. Tanganku sedikit dingin dan gemetar saat membuka amplop putih itu ternyata isinya sebuah undangan. Aku mengejanya dengan seksama, undangan pernikahan “Bambang Wijaya dan Mariana.”Deg! Hatiku seperti diremas-remas kembali. Perasaan luka yang kemarin mulai mengering kini terkoyak lagi. Jadi ... ini alasannya Mas Bambang menceraikanku? Dia akan menikah lagi? Dan dia tega sekali mengirimkan undangan pernikahannya padaku padahal akta cerai belum kuterima.Jadi semudah itu Mas Bambang melupakanku? Sakit dan kecewa itu pasti. “Han, ini kesempatan bagus loh! Ada lowongan jadi ART di tempat orang kaya, gajinya 5 juta perbulan. Lima juta, Han, banyak banget kan?”“Masa sih ada gaji ART 5 juta?”“Udah deh gak usah kebanyakan mikir, Han. Kita langsung aja berangkat. Pasti diterima, Han, kita ini sama-sama rekomendasi dari Bu Haji Siti Sadiyah, b
Part 4'Mas Bambang?' Tampak keterkejutan dalam tatapannya. Hampir aja aku keceplosan ingin memanggil namanya dan membicarakan masalah kami. Dia yang pergi tiba-tiba, jadi inikah alasan yang sebenarnya?"Hei Mbak, tolong barang-barang kami dibawa masuk ya!" sergah seorang wanita di samping Mas Bambang. Apakah dia yang bernama Mariana? Seorang wanita muda yang tampak begitu cantik dan menawan. Dengan bibir merah merona dan rambut bergelombang berwarna pirang. Sungguh teramat cantik, bahkan aku yang seorang wanita pun turut mengagumi kecantikannya."Tunggu, tunggu, kamu pembantu baru di sini ya? Aku kok baru lihat kamu?""Eh i-iya, Nyonya, saya baru bekerja hari ini," sahutku, kali ini aku mengalihkan pandangan.Wanita itu manggut-manggut tapi pandangannya mengulitiku. "Lain kali jangan lihatin suamiku seperti itu. Aku tahu suamiku ini tampan. Tapi jangan lancang ya!" serunya lagi. Deg! Ah, rasanya sungguh tak karuan ..."Maaf, Nyonya." Aku menunduk dengan debar jantung yang tak me
Part 5“Dia pengasuh Alvaro, jadi aku yang lebih berhak menggunakan jasa tenaganya, bukan kamu. Ayo, kau ikut aku, Hana!”Aku terdiam untuk beberapa saat.“Kenapa masih diam? Ayo ikut saya, ada yang ingin saya bicarakan mengenai Alvaro!” tegasnya lagi. “Ba-baik, Tuan,” jawabku gugup. Duh rasanya tidak nyaman sekali apalagi saat kulirik dari ekor mataku, Mariana tampak menghentakkan kakinya kesal.Sampai di ruangan kerja Tuan Putra, aku masih berdiri menunggunya berbicara. Tapi lelaki itu justru asyik membaca buku.Sepuluh menit berlalu hingga lima belas menit berlalu, tak ada yang dia ucapkan, padahal kakiku mulai kesemutan.“Maaf Tuan, kalau saya lancang, ada tugas apa tuan memanggil saya? Den Alvaro sudah tidur dan--"Lelaki itu justru melayangkan tangannya, agar aku berhenti bicara. Aku menelan ludah, lalu menunduk. Sebenarnya orang yang seperti apa sih majikanku ini?Hingga waktu berlalu, detik berganti menit dan sampai lima belas menit tanpa suara.“Alvaro sepertinya cocok den