Part 4
'Mas Bambang?'Tampak keterkejutan dalam tatapannya. Hampir aja aku keceplosan ingin memanggil namanya dan membicarakan masalah kami.Dia yang pergi tiba-tiba, jadi inikah alasan yang sebenarnya?"Hei Mbak, tolong barang-barang kami dibawa masuk ya!" sergah seorang wanita di samping Mas Bambang.Apakah dia yang bernama Mariana? Seorang wanita muda yang tampak begitu cantik dan menawan. Dengan bibir merah merona dan rambut bergelombang berwarna pirang. Sungguh teramat cantik, bahkan aku yang seorang wanita pun turut mengagumi kecantikannya."Tunggu, tunggu, kamu pembantu baru di sini ya? Aku kok baru lihat kamu?""Eh i-iya, Nyonya, saya baru bekerja hari ini," sahutku, kali ini aku mengalihkan pandangan.Wanita itu manggut-manggut tapi pandangannya mengulitiku."Lain kali jangan lihatin suamiku seperti itu. Aku tahu suamiku ini tampan. Tapi jangan lancang ya!" serunya lagi.Deg! Ah, rasanya sungguh tak karuan ..."Maaf, Nyonya." Aku menunduk dengan debar jantung yang tak menentu.Bohong rasanya kalau aku bilang baik-baik saja, aku belum bisa melupakan sosok lelaki yang sudah menemaniku selama tiga tahun terakhir.Ingin bangkit dan melupakan semua tapi tak semudah membalikkan telapak tangan."Sudah itu, tolong dibawa masuk semuanya ya! Jangan sampai ada yang ketinggalan, soalnya itu oleh-oleh dari luar negeri. Barang-barang mahal, kamu tidak akan bisa menggantinya kalau rusak."Tiba-tiba seseorang menyenggol lenganku, rupanya ada Isna yang datang menyusulku. Isna ini sama sepertiku, seorang pembantu yang mengabdi, bedanya dia sudah lebih dari dua tahun tinggal di sini.Setelah mengatakan hal itu, Mariana dan Mas Bambang masuk dan bergabung dengan yang lain."Ayo buruan, Hana, nanti bu majikan malah marah-marah! Kamu lelet banget sih! Tadi Nyonya Mariana ngomong apa sama kamu? Kelihatannya dia tidak suka?" tegur Isna.Aku mengangguk. Keluar mengikuti Isna, mengambil koper-koper yang sudah berjejer di teras depan. Bukan hanya koper, banyak pula tas belanja di sana, yang isinya barang-barang mahal dan branded.“Tolong ya, itu dibawa naik ke atas semua, di ruang keluarga!” tukas Mariana sambil menunjukku saat aku melewati ruang makan.Aku menoleh sejenak, tanpa sengaja tatapanku kembali terfokus pada lelaki itu. Mas Bambang sudah bergabung di sana untuk makan bersama, ia tampat tertawa kecil saat ditanyai oleh Tuan Bama.Apa Mas Bambang pura-pura tak mengenalku di sini?“Hana, jangan bengong terus! Ayo, nanti kamu kena komplen lagi loh!” tegur Isna lagi.Isna mendahuluiku naik ke atas tangga. Akupun mengangguk. Sebagai orang baru aku hanya bisa mengikuti tanpa bisa menolak. Bolak-balik ke atas dan ke bawah rasanya begitu melelahkan, tapi perjuangan belum berakhir. Ini baru permulaan. Kupikir aku bekerja jauh di sini bisa melupakan bayang-bayang Mas Bambang, tapi nyatanya justru aku dipertemukan dengan dia lagi?Aku menata barang belanjaan itu di ruang keluarga.“Mbak Isna, tadi itu siapa? Apa dia juga nyonya di rumah ini?” tanyaku ingin tahu.Isna memandangku. “Kau belum tahu ya?”Aku menggeleng pelan.“Dia itu cucu pertama Tuan Besar, alias putrinya Tuan Bama. Hati-hati jangan sampai buat kesalahan di depannya.”“Kenapa?”“Ya … Nanti kau juga akan merasakan sendiri sikap Nyonya Mariana seperti apa. Banyak para pembantu yang keluar gara-gara salah sama dia meski pun hal sepele.”Aku terdiam tak berani bertanya lagi.“Dia juga baru menikah bulan kemarin, pestanya mewah sekali. Yang tadi pulang bersamanya itu Tuan Wijaya, suaminya. Dan mereka baru pulang dari luar negeri, habis bulan madu, bikin bocil,” bisiknya lagi sambil tertawa kecil.Mendengarnya begitu seketika membayangkan Mas Bambang, ah, nyeri sekali hati ini.“Enak sekali ya jadi orang kaya, sekalinya bulan madu sewa hotel yang mewah dan jalan-jalan ke luar negeri, bawa oleh-oleh seabreg, ah rasanya jadi ingin dipersunting lelaki kaya.”“Hei, kalian kok malah ngerumpi di sini? Kerja sana! Kalian ada di sini itu bukan untuk bersantai tapi untuk kerja!” seru Bik Rasni yang tiba-tiba muncul, matanya mendelik ke arah kami. Padahal dia tahu sendiri kami tak menganggur, karena banyak sekali barang bawaan yang perlu dirapikan.“Iya, Mbak.” Kami memanggilnya Mbak pada Bik Rasni karena dia sendiri yang memintanya.Seketika, aku dan Isna turun dari lantai dua rumah mewah ini. Kembali menuju ruang meja makan, rupanya para majikan masih memakan hidangan itu dengan lahap. Belum lagi si cantik Mariana yang berceloteh riang menceritakan pengalamannya yang paling berkesan, hingga tercipta tawa di antara mereka.“Siap-siap nih, papa bakal punya cicit,” seru Ny. Bama pada ayah mertuanya, disambut tawa renyah yang lain, tapi tidak dengan Tuan Putra, dia hanya diam tak menanggapi.Selesai makan malam, para majikan langsung ke pergi ke ruang keluarga, mereka asyik berbincang di sana dengan tawa yang begitu riang gembira. Tapi tidak dengan Tuan Putra yang lebih memilih pergi ke kamarnya sendiri.Sementara para permbantu masih sibuk dengan pekerjaan rumah tangga. Dan baru makan setelah semua pekerjaan selesai.“Hei, kamu pembantu baru! Tolong bereskan kamar saya! Saya mau istirahat!” pungkasnya menghentikan langkahku yang tengah mengelap piring.Aku menatap kedatangan Mariana ke dapur, tangannya sudah disilangkan depan dada.“Buruan! Jangan bengong aja! Kamu tahu kamarku kan? Ada di atas dan di ujung kanan!” ketusnya lagi.Aku mengangguk, lalu mengikuti perempuan yang sudah berganti pakaian lebih seksi. Mendadak kami berpapasan dengan Mas Bambang yang tengah membawa gelas kosong.Mariana langsung merangkul pria itu. Untuk sejenak, tatapan kami bertemu.“Sayang, mau ngapain?” tanya Mariana. Ia langsung mengecup bibir Mas Bambang tanpa rasa malu.Aku tertunduk. Haruskah aku menyaksikan adegan mesra mereka? Sungguh Mas Bambang tak punya hati!Ah, lebih baik aku memang tak mengenal Mas Bambang dari pada harus mebelan sakit seperti ini.“Hana …” Tiba-tiba suara tegas seorang lelaki memenuhi pendengaranku. Panggilan itu cukup mengagetkan hingga Mariana pun melepaskan ciuman mesranya.“Kau ikut dengan saya!” titahnya. Aku menoleh ke arah pria yang berdiri tak jauh dariku. Tuan Putra memandang dengan tatapan datar tanpa eksrpresi.“Om? Kenapa sih mengganggu aja!” seru Mariana.“Pembantu ini sudah aku tugaskan untuk membersihkan kamarku malam ini! Jadi jangan seenaknya sendiri dong, Om! Kalau Om butuh bantuan minta saja sama Bik Rasni!” tambahnya lagi dengan nada kesal, raut wajah Mariana tampak terganggu.“Dia pengasuh Alvaro, jadi aku yang lebih berhak menggunakan jasa tenaganya, bukan kamu. Ayo, kau ikut aku, Hana!”Part 119Satu tahun berlalu sejak badai besar itu.Rumah besar keluarga kembali ramai dengan tawa. Mariana kini sudah melanjutkan hidup, wajahnya lebih segar dan matanya tak lagi kosong seperti dulu. Sesekali ia masih menangis kalau mengingat masa lalu, tapi kini ia punya alasan untuk terus melangkah.Reni lebih banyak menghabiskan waktu dengan kegiatan sosial dan mengurus Mariana. Ia tidak lagi terlihat murung seperti dulu, karena penyesalan sudah ia tebus dengan banyak berbuat kebaikan.Tuan Mahesa sudah bisa berjalan perlahan dengan tongkat, meski tidak sekuat dulu, tapi semangat hidupnya kembali menyala.Putra dan Hana makin harmonis. Alvaro dan Elvano tumbuh sehat, lucu, dan penuh canda. Di halaman rumah, mereka sering duduk bersama di sore hari. Reni dan Mariana ikut bercengkerama, sementara Tuan Mahesa menatap dengan senyum bahagia.“Alhamdulillah… akhirnya keluarga ini kembali utuh,” ucapnya lirih.Putra meraih tangan ayahnya, Hana tersenyum, Mariana ikut mengangguk.Meski me
Part 118Malam itu rumah keluarga Putra mendadak heboh. Hana yang hamil besar tiba-tiba merasa perutnya mulas, keringat dingin bercucuran, dan wajahnya panik.“Astaga, Aa… ini kayaknya mau lahiran deh!” Hana menggenggam tangan Putra erat-erat.Putra yang baru saja pulang kerja langsung pucat pasi. “Lahiran? Sekarang? Aduh, aduh… tas persiapan udah dibawa belum?”Hana meringis. “Mana aku tahu, A! Harusnya kamu yang siapin! Katanya suami siaga?”Putra kalang kabut. Ia berlari ke kamar, membuka lemari, dan bukannya mengambil tas persalinan malah mengangkat tas olahraga. “Ini ya? Udah lengkap isinya!”Hana melotot. “Itu kan tas futsal, A! Isinya sepatu sama kaos bolong!”Alvaro ikut heboh. Ia menenteng boneka dinosaurus kesayangannya dan berkata polos, “Ayah, ini bawa juga ya! Biar adik nggak takut di rumah sakit.”Putra malah tambah bingung, hampir saja ia ikut membawa boneka dinosaurus itu ke mobil.Sementara itu, Mariana yang ikut tinggal di rumah langsung mengambil alih. “Om Putra! Ta
Beberapa Hari KemudianMariana duduk di teras rumah sambil memeluk lututnya. Pandangannya kosong ke arah jalanan sepi. Wajahnya masih pucat, matanya sembab. Meski waktu sudah lewat beberapa hari, rasa kehilangan itu masih menusuk tajam di dadanya.Tante Reni keluar sambil membawa teh hangat. “Nak, minum dulu. Badanmu lemah kalau gak ada asupan.”Mariana hanya menggeleng pelan. “Tante, aku masih gak percaya… semuanya terasa mimpi buruk. Seandainya aku bisa putar waktu, aku gak akan biarkan semua ini terjadi.”Reni mengusap punggungnya lembut. “Nak, jangan salahkan dirimu. Semua sudah kehendak Allah. Kamu masih muda, jangan habiskan hidupmu dengan menangisi yang sudah pergi.”***Hari-hari berlalu ...Putra tersenyum lega melihat keadaan ayahnya yang kini sudah jauh lebih bugar. Tuan Mahesa sudah bisa di kursi roda setelah sekian lama berbaring.“Ayah sudah jauh lebih baik. Ayah mau pulang ke rumah atau tetap di sini?” kata Putra penuh syukur.Tuan Mahesa menatap anak dan menantunya den
Part 116Keesokan harinya ... "Tante, apa bisa temani aku ke tempat kecelakaannya Mas Jaya? Aku ingin lihat langsung," ucap Mariana dengan nada lemah. Mata indahnya tampak begitu sembab setelah menangis seharian."Iya, Sayang, ayo Tante temani, kamu siap-siap ya!"Mariana mengangguk.Reni menghubungi sang sopir untuk menemani mereka ke tempat kejadian peristiwa naas itu. Pagi yang kelam seolah menemani perjalanan mereka. Kabut tebal menyelimuti jalan raya yang sunyi.Sampai di sana ... Mariana dan Reni turun dari mobil. Mariana berdiri di pinggir jalan, menggenggam erat seikat bunga krisan putih. Matanya tertuju ke bawah, ke bangkai mobil yang gosong dan belum sempat dievakuasi. Di sebelahnya, Reni berdiri memberikan dukungan, matanya juga penuh dengan duka."Jadi ini tempat kecelakaannya ya?" tanya Tante Reni dengan suara bergetar. Wanita paruh baya itu merapatkan jaketnya lebih erat, berusaha melindungi diri dari angin dingin yang menerpa.Mariana menarik napas dalam-dalam, beru
Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti