Part 3
“Permisi Bu, ini ada surat dari Jakarta untuk Bu Hana Aisyah,” ujar seorang kurir. Aku yang saat itu tengah menyapu lantai, segera menerimanya.Tanganku sedikit dingin dan gemetar saat membuka amplop putih itu ternyata isinya sebuah undangan. Aku mengejanya dengan seksama, undangan pernikahan “Bambang Wijaya dan Mariana.”Deg! Hatiku seperti diremas-remas kembali. Perasaan luka yang kemarin mulai mengering kini terkoyak lagi. Jadi ... ini alasannya Mas Bambang menceraikanku? Dia akan menikah lagi? Dan dia tega sekali mengirimkan undangan pernikahannya padaku padahal akta cerai belum kuterima.Jadi semudah itu Mas Bambang melupakanku? Sakit dan kecewa itu pasti.“Han, ini kesempatan bagus loh! Ada lowongan jadi ART di tempat orang kaya, gajinya 5 juta perbulan. Lima juta, Han, banyak banget kan?”“Masa sih ada gaji ART 5 juta?”“Udah deh gak usah kebanyakan mikir, Han. Kita langsung aja berangkat. Pasti diterima, Han, kita ini sama-sama rekomendasi dari Bu Haji Siti Sadiyah, beliau disana sebagai penyalur ART dan baby sitter, Han,” seru Dita lagi. Dita sudah lebih dulu mendapatkan pekerjaan, dia pun sama atas rekomendasi Bu Sadiyah, orang kaya di kampungku ini.Lima juta yang ditawarkan memang sangatlah banyak untuk orang miskin sepertiku, agak heran juga dengan persyaratannya. Tapi dalam bayanganku tiap bulan bisa mentransfer uang untuk orang tua dan biaya sekolah adik-adik, itulah yang membuatku bersemangat, juga senyuman kedua orang tua setelah kemarin menorehkan kecewa.Untuk itulah aku berada disini, dengan harapan baru dan semoga bisa melupakan Mas Bambang yang sudah mencampakkanku.***“Varo, sini sama daddy!”“Aku gak mau sama daddy, aku mau sama mommy!”Mataku membulat mendengar ucapan bocah laki-laki ini. Wajahnya tampan dengan manik mata berwarna coklat. Sungguh ciptaan Allah yang paripurna. Tampan, lucu dan menggemaskan, serupa perwujudan ayahnya yang tak kalah mempesona.“Varo, ayo ikut daddy sayang!” tukasnya lagi.Tapi anak itu justru makin mengeratkan pelukannya padaku. Bocah mungil yang kutaksir umurnya baru empat tahunan itu menatapku lekat. Serasa ada magnet dalam tatapannya membuatku terkesima beberapa saat.“Aku gak mau!” celotehnya makin menggemaskan, membuatku tersenyum lalu membelai kepalanya.Dia menatapku beberapa saat. “Adik kecil namanya siapa? Varo ya?”“Alvayo,” sahutnya, tidak bisa mengucapkan huruf R.“Oh, Alvaro.”Dia mengangguk.“Alvaro, ayo sayang sama daddy dulu ya. Main sama tantenya nanti lagi ya.” Setelah dibujuk, anak itu akhirnya mau mengikuti ucapanku.“Ehem! Maaf sebenarnya putra saya ini tak biasa dengan sembarang orang. Tapi sekali lagi terima kasih,” ujar pria itu seraya menggendong Varo. Tapi beberapa detik kemudian Varo langsung beralih ke tangan wanita yang mengenakan seragam baby sitter itu.Pria itu hendak mengeluarkan uang dari dalam dompetnya dan mengulurkannya padaku.“Ini buat kamu, terima kasih sudah menyelamatkan anak saya.”“Eh tidak perlu, Pak,” tolakku. “Terima kasih banyak, sebenarnya saya kesini sedang cari alamat.”“Alamat?”“Iya, Pak. Kami sedang cari alamat ini,” ujar Dita yang entah sejak kapan berada di sampingku. “Ini benar kan rumahnya Tuan Mahesa?”Pria itu langsung memandangku dengan tatapan entah. “Baik, saya mengerti. Jadi kamu orang yang direkomendasikan Bu Sadiyah?”Aku mengangguk.“Oke, kamu boleh masuk, aku akan jelaskan di dalam,” ucap pria itu lagi. Ia berjalan masuk mendahului dengan langkah tegap dan berwibawa.Aku menoleh ke arah Dita. “Wow, calon majikan kamu ganteng banget, Han.”Dita terkikik saat aku menyenggol lengannya. “Oke, sukses ya, Han. Aku langsung pulang, kita berkabar lewat telpon nanti ya.”“Tapi, Dit.”“Sudah jangan takut, sana masuk. Gaji gede, bos ganteng, bukankah itu impian semua orang!”Aku mendelik mendengar ucapan Dita. Ia pun ngeloyor pergi. Tempat kerja Dita pun ada di area perumahan elit ini, hanya beda blok saja.***Sebuah seragam baby sitter berwarna pink muda dan juga map berisi dokumen pekerjaan sudah ada di hadapanku.“Dibaca dulu, itu daftar tugas dan pekerjaanmu selama di sini, serta hal-hal apa saja yang boleh dan terlarang di sini. Seperti yang ditawarkan sebelumnya, gajimu lima juta. Apa ada pertanyaan?” ucap lelaki itu.“Jadi beneran lima juta, Tuan?” tanyaku dengan nada gugup bercampur girang.“Ya, apa masih kurang?”Aku hanya menggeleng sembari menelan ludah, apalagi saat pria di hadapanku menatapku tanpa berkedip.“Silakan ganti bajumu, kau mulai bekerja hari ini. Bik Rasni, silakan kau jelaskan padanya lebih terperinci mengenai pekerjaannya.”“Baik, Tuan,” sahut wanita yang ada di sampingku. Kutaksir usianya baru 40 tahunan.“Ayo, Hana, kau ikut aku.”“Baik.”Aku berjalan mengekori Bik Rasni, yang ternyata dia kepala pelayan di sini. Wanita bertubuh sedikit gemuk berisi itu katanya sudah lima belas tahun mengabdi pada keluarga Mahesa.“Tugasmu yang paling utama adalah menjaga Den Alvaro, anak dari Tuan Putra. Kau harus bisa mengimbanginya, tidak boleh membuatnya tantrum. Selama ini tak ada yang betah mengasuh Den Alvaro karena dia sangat nakal dan ya ... aku tak bisa menjelaskannya, biar nanti kamu mengalaminya sendiri.”“Maka dari itu, kamu mendapatkan gaji spesial, lebih besar dari pada yang lain. Tuan Putra, berharap agar kamu betah di sini. Pokoknya kamu baca saja semua yang ada di lembaran kertas itu, mengenai kesukaan dan ketidaksukaan Den Alvaro dan juga apa saja yang terlarang dan diperbolehkan.”Aku menahan nafas. Mengasuh anak kecil seperti Alvaro harus sedetail ini? Benarkah dia begitu nakal sampai tak ada yang betah jadi baby sitternya?“Kamu harus hati-hati, sedikit kesalahan saja, kamu bisa dipecat. Kalau kau sudah menyelesaikan tugasmu, bila Den Alvaro tidur, kamu juga harus bantu-bantu pekerjaan kami. Misalnya bantu menyiapkan makan malam bersama keluarga besar.”Dari penjelasan Bik Rasni, aku jadi tahu kalau mereka semua akan berkumpul saat jam makan malam. Saat siang begini, semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.“Kamu juga harus standbye 24 jam bila dibutuhkan untuk Den Alvaro, jadi kamu tak boleh izin maupun libur selama enam bulan ke depan. Apa kau mengerti, Hana?”“Iya, saya mengerti, Mbak.”Aku langsung berganti baju dan dibawa ke kamar Alvaro. Anak kecil itu rupanya dikunci dari luar setelah kejadian kabur dari rumah tadi. Aku mendengar tangisannya sungguh memilukan.“Alvaro ...?”Dia masih sesenggukkan saat melihatku. “Mommy!” serunya dan langsung menghambur ke arahku. Aku tersenyum dan menenangkannya hingga dia tertidur.***Pukul 19.00 WIBKami semua tengah sibuk menyiapkan makan malam. Meski baru hari pertama bekerja, aku harus sigap dan cepat menyesuaikan diri. Setelah tadi dikenalkan pada para majikan oleh Bik Rasni. Aku mengelap meja makan itu lalu membawa makanan yang sudah dimasak oleh para juru masak pilihan dan menatanya di atas meja.Para majikan satu persatu mulai turun dan duduk di kursi masing-masing. Tuan Besar Mahesa, lalu ketiga anak dan dua menantunya lalu cucu-cucunya yang sudah beranjak remaja. Tuan Bama dan istri, Nyonya Reni serta suami dan anak bungsunya, Tuan Putra. Dan kami para pembantu akan menunggu mereka selesai makan.“Tunggu-tunggu, yang baru balik bulan madu belum datang!” seru Nyonya Bama.“Kapan si Ana dan Jaya datang, Mbak?” tanya Nyonya Reni.“Sebentar lagi sampai. Tungguin dulu ya, biar ramai.”Selang beberapa menit terdengar suara bel pintu. Bik Rasni menyenggol lenganku agar membukakan pintu. Gegas, setengah berlari aku menuju ke depan, membuka handle pintu.Seorang wanita muda nan cantik datang dengan wajah yang sumringah. Pandanganku beralih menatap ke lelaki di sampingnya yang merangkul wanita itu dengan mesra.Deg! Jantung berdebar lebih kencang saat tatapan kami bersirobok.‘Mas Bambang?’Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti
Part 113"Aaarrghh! SIAAALL!"'Hari apesku sepertinya mulai datang, ck!' gumam Wijaya. Belum sempat turun dari mobil, Wijaya segera berputar arah sebelum petugas polisi menyadarinya. Tapi sayang, salah seorang polisi memergoki mobilnya. "Ada mobil lain yang datang, tapi dia langsung pergi lagi!" "Kejar dia! Itu pasti komplotannya!"Di bawah langit yang gelap dan sebentar lagi turun huhan, pohon-pohon di samping kiri dan kanan jalan menjadi satu-satunya saksi dari kecepatan mobil hitam yang melaju dengan cepat di jalan raya yang sepi. Di dalam mobil itu, Wijaya duduk dengan tegang di kursi pengemudi. Tatapan cemasnya terpaku pada cermin belakang saat ia menyadari bahwa mobil polisi sedang mengejarnya.Saat ini, ia benar-benar terjerat dalam situasi yang sulit. "Yolanda kabur, lalu Om Heri tertangkap?! Astaga, lalu apa yang akan terjadi padaku?! Ini benar-benar di luar dugaan!" rutuknya sendiri.Wijaya mengambil ponseknya di dashboard lalu mengirimkan pesan suara pada sang istri.
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 109"Aku senang sekali, sebenarnya aku masih belum percaya kau bisa hamil anakku. Mulai sekarang, jaga kandunganmu baik-baik, semoga lancar sampai persalinan nanti," jawab Wijaya.Mendapatkan kabar gembira ini, Bambang Wijaya pun segera memerintah para pembantu untuk memasak membuat kue dan hidangan lain untuk dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur. "Aku akan jadi ayah, benarkan?" tanya Wijaya pada sang istri. Mariana mengangguk."Untuk lebih pastinya, besok kamu periksa ke dokter.""Iya, Mas."Mereka pun menikmati waktu minum teh dan memakan kudapan bersama. ***Di dalam kamar ...Usai menikmati waktu minum teh, Reni dan Heri berlalu ke kamarnya. Ia merasa senang akan kedatangan keluarga baru. Ia bahkan banyak berbicara pada sang suami dan melupakan insiden yang pernah terjadi.Lagi pula, Reni merasa aman karena sikap Heri sekarang baik-baik saja dan tak mengintimidasinya lagi."Aku mandi dulu ya, Sayang," ujar Heri. Ia meletakkan dompet, handphone dan jaketnya di na
Part 108Beberapa waktu sebelumnya ... "Hahaha.... " Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil membayangkan kejadian yang telah terjadi beberapa waktu terakhir. Tak henti-hentinya, ia terus tertawa seolah baru saja mendapatkan kemenangan."Sebentar lagi kemenangan ada di tanganku. Aku bisa membalaskan dendammu, Ayah. Mahesa sekarang sudah tak berdaya tinggal tunggu waktu saja dan aku akan menguasai semua hartanya."Heri tersenyum simpul saat bermonolog dalam hati."Dia dan keluarganya akan membalas semua sakit hati yang kurasakan selama ini. Ayah, aku akan mengembalikan semuanya dan membersihkan namamu. Ya, meskipun engkau tidak bisa merasakannya, tapi sesuai janji dan tekadku padamu, mereka juga akan hancur pada titik yang terdalam." Batin Heri penuh dengan keyakinan.Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu membuyarkannya. Tak lama seorang pria memasuki ruangan. Mereka duduk saling berhadapan saling memberi tahu perkembangan pekerjaan
Part 107"Keadaan rumah tidak baik-baik saja, Tuan!" ujar sebuah suara di seberang telepon. Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja.'Siapa tadi yang meneleponku? Kenapa suaranya begitu asing? Apakah ada penjaga baru di rumah? Bukankah seharusnya mereka pakai telepon rumah?'' Putra berpikir keras karena ia tak mengenali suaranya."A, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Hana.Putra terhenyak dan menoleh menatap istrinya, ia mengusap pelan punggung tangan sang istri. "Tidak apa-apa," sahut Putra seraya tersenyum tipis. Putra menghela nafas dalam-dalam. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan pulang dulu untuk cek keadaan di rumah."Kali kali ini Hana mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud ucapan sang suami."Katanya ada masalah di rumah, kau tunggu di sini saja ya, tungguin ayah dan juga Alvaro."Hana mengangguk ragu. "Apa aku tidak perlu ikut?""Tidak perlu, Sayang. Di Rumah Sakit ini lebih aman untuk kalian.""Kamu berkata seperti ini membuatku ja