Share

BAB 7

Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier

BAB 7

Kuputuskan untuk mengabaikan pesan darinya. Tak ada waktu untukku mengurusi keluarga itu lagi. Kutata paper box di depanku ke dalam box plastik besar agar mudah membawanya menggunakan motorku. Aku juga memastikan semuanya aman agar bungkus maupun isi makanan yang kubawa tak akan bermasalah nantinya. 

Aku mencoba mengalihkan rasa kesalku dengan berpikir fokus pada pekerjaan di depanku. Tak boleh ada kesalahan atau kekurangan apalagi jika karena pengaruh wanita tak tahu diri itu. 

Biarlah. Aku ingin hidupku tenang dan tidak mudah terpancing dengannya. Masih ada anak-anak yang harus kuurusi. Dan tentunya itu lebih penting. Jangan sampai energiku yang pas-pasan ini justru terbuang sia-sia untuk Soraya. 

Ponselku berbunyi lagi. Kulirik sekilas. Sebuah inbox masuk lagi di aplikasi f******k. Masih dari Soraya. Kutarik napas perlahan. Bersiap aku membaca sesuatu yang pastinya membuatku sakit hati.

[ Lihatlah. Bahkan saat kamu kesulitan memperoleh nafkah dari suamiku untuk anak-anakmu, aku justru mendapat hadiah mahal ini darinya ] Selanjutnya mataku membelalak melihat foto selanjutnya yang dikirimkan wanita itu. 

Soraya dengan tubuh seksi berbalut kaos warna maroon berpose di atas motor keluaran terbaru. Yang kutahu motor tersebut harganya hampir tiga puluh juta rupiah. Sebuah angka fantastis mengingat kebutuhan susu dan diapers anak-anak yang tidak bisa tertunaikan oleh ayah mereka. 

Kuremas dadaku yang terasa sangat nyeri. Tidak apa-apa jika nafkah untuk anak-anak tak terabaikan. Karena itu juga hak istri laki-laki itu sekarang. Tapi justru yang terjadi, Mas Galih tidak memberikan sedikit pun nafkah untuk darah dagingnya. 

Jariku bergetar membalas pesan tersebut untuk Soraya. Amarahku benar-benar bergejolak hebat. Maaf, kali ini aku tidak mau diam saja. 

[ Silahkan nikmati hak anak-anakku. Barangkali gaji wanita karir ini tidak mencukupi untuk kebutuhan hidupnya, hingga menghalangi hak tiga orang anak memperoleh nafkah dari ayahnya ] 

[ tutup mulutmu! Kamu tidak tahu berapa gaji wanita karir sepertiku?] 

Bukankah dia yang memulainya sendiri. Mengapa dia yang meledak-ledak seperti itu? Wanita yang pandai bersolek itu memang tak pandai membawa diri. Dia sangat mudah marah dan menyalurkan emosinya secara langsung. 

Kututup aplikasi biru itu. Kulanjutkan membuka pesan w******p dari nomor baru. Pesanan ayam bakar lagi. Alhamdulillah. Lebih baik aku mengurusi hal seperti ini.

***

Kurekap pesanan untuk esok pagi. Alhamdulillah berkat rekomendasi dari pelanggan hari pertama, sekarang masuk 50 box ayam bakar plus nasi dilengkapi satu macam sayur. Kutawarkan beberapa menu masakan yang tentunya kukuasai. 

Tak lupa juga kuposting jualanku hari ini. Beberapa screenshoot testimoni pembeli juga kucantumkan. Tentu saja ini sangat penting, mengingat usaha ini baru saja kujalankan. 

Aku harus memperoleh kepercayaan dari calon pembeli baru maupun pelangganku mengenai makanan yang kujual. 

Rasa lelahku menguap seketika setelah kuhitung penghasilan hari pertamaku. Tentu aku tak boleh berpuas diri dengan hasil ini. Aku tak mau semangatku menggebu hanya di awal saja. 

Kudengar Zoya menangis di ruang depan televisi. Kususul segera, karena sekarang waktunya tidur untuk anak bungsuku. Sedangkan si kembar tengah asyik belajar dengan Mbah Kakungnya. Mereka berdua memang lengket sekali dengan Ayahku. 

Sepulang dari berjualan di pasar, pasti Zayn dan Ziyan langsung menempel seperti perangko. Kemana kakungnya itu pergi, pasti selalu diikuti. Terkadang aku harus mengingatkan mereka bahwa mbahnya butuh waktu untuk istirahat. 

Kudekap Zoya dan membaringkannya di kasur. Kutatap wajah kecil di depanku sambil mengASIhinya. 

***

"Mbak. Barusan aku ketemu Mas Galih dan istri wanita karirnya di swalayan. Mereka belanja banyak banget," ujar Sahira yang hari ini pulang ke rumah. Dia memang pulang sekali dalam seminggu. Tempat kerjanya yang jauh membuatnya memilih kos daripada pulang pergi setiap hari. Resiko juga, apalagi dia seorang wanita. 

"Mbak. Mas Galih bisa seroyal itu pada istri barunya, sedangkan ngasih anaknya diapers sama susu aja pelit. Gimana sih!" Adikku mencebik. Aku memandangnya sekilas. Kulihat wajahnya merah padam menahan kesal. 

"Mbak nggak mau pusing lagi mikirin mereka, Tania. Mbak capek minta hak anak-anak sama ayahnya. Do'akan saja rizki Mbakmu ini lancar dan dicukupkan. Malu juga sampai ngemis-ngemis minta hak."

"Ya nggak gitu juga, Mbak. Kan hak anak-anak nggak boleh putus meski orang tuanya pisah. Lagian kan kalian ada harta bersama yang harus dibagi. Kenapa mereka seenaknya gitu. Main jual rumah nggak ngasih kabar. Kita bisa nuntut mereka loh, Mbak! Mbak nggak boleh diem gitu. Keenakan mereka!" 

Perkataan Tania mengusikku. Benar sekali, aku tak boleh. 

"Meskipun rumah itu atas nama Mas Galih, tetapi pembeliannya itu kan saat sudah menikah sama Mbak Vinda. Otomatis masuk ke harta gono gini. Kalau mau dijual, harusnya ada surat persetujuan dari Mbak Vinda. Nah sekarang rumah itu dijual, artinya mereka bikin surat persetujuan palsu. Bisa kita tuntut loh, Mbak. Plis. Aku nggak suka Mbak Vinda lemah gini. Lawan. Haknya anak-anak koh enak-enakan buat beli motor mahal buat istri barunya. S*nting tuh mantan kakak ipar! Belum tau tendangan mautnya Tania tuh kayaknya!" 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Eli Rismoyo
Adiknya namanya Sahira apa Tania nih??
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status