Share

BAB 8

Bab 8

Diceraikan Karena Bukan wanita Karir ( 7 ) 

Bertemu Mantan 

Saat ini aku sudah tidak mau sibuk memikirkan hak atas penjualan rumah itu. Bahkan Mas Galih pun tidak bisa menunaikan keputusan pengadilan mengenai nafkah tiga juta untuk ketiga anaknya. Entah memang dilarang oleh Soraya, atau memang Mas Galih yang sudah tak peduli lagi dengan darah dagingnya. 

 Setelah proses perceraian kami, dia hanya memberi uang lima ratus ribu. Itu pun karena adikku Tania memberikan ancaman akan memviralkan soal nafkah ini. Mas Galih terpaksa memberi uang pada Tania saat tak sengaja bertemu di restoran dekat kantor Tania. Gadis itu memang sangat pandai menekan orang lain. Apalagi Tania sudah tahu persis dengan permasalahan yang membelitku. Dia yang sangat sayang dengan ketiga keponakannya tak terima melihat ayah mereka melenggang menikmati kehidupan barunya dengan Soraya tanpa memikirkan anak-anak sama sekali. 

Aku bisa membayangkan bagaimana Tania mempermalukan pasangan itu di depan banyak orang. Wajah wanita yang merasa dirinya sangat terhormat itu pasti hancur tak berbentuk lagi. Tania berucap bahwa banyak orang yang mengabadikan peristiwa itu. Hanya saja memang hanya uang lima lembar ratusan yang bisa diberikan laki-laki itu. Dia beralasan bahwa tak memegang uang cash. Tania yang memang sedang diburu waktu tak punya pilihan lain. Dia menerima uang itu meski sangat tak puas. 

Malam setelah kejadian itu, aku mendapatkan w******p penuh ancaman dari Bu Mirna, mantan mertuaku. Aku yakin anak dan menantu kesayangannya sudah melaporkan kejadian itu padanya.

[ Beri tahu adik urakanmu itu untuk tidak mempermalukan anak dan menantuku lagi. Apakah dia sama denganmu yang tak berot*k sama sekali? Beri tahu adikmu, siapa menantuku itu. Kuyakin dia akan beribu kali berpikir jika tahu siapa wanita yang dia permalukan hari ini!]

Begitulah bunyi w******p seorang nenek yang berbulan-bulan tak pernah mencari tahu bagaimana kabar ketiga cucunya.

[ Ibu. Bagaimana kabarmu sekarang? Apakah kau makin sehat setelah berhasil mengusirku dan anak-anak? Apa yang adikku lakukan sudah sepantasnya dia lakukan. Siapa tahu Mas Galih lupa dengan kewajibannya memberi nafkah! Sayangnya hanya lima ratus ribu yang mampu dia beri. Apakah uang hasil penjualan rumah sudah habis untuk liburan kalian sekeluarga ke Bali? ]

Tak ada balasan apapun dari wanita itu. Aku yakin dia tak bisa berkata apapun karena memang apa yang kusampaikan memang benar adanya. Dia tak bisa menyangkal karena aku memang mengantongi foto liburan mereka penuh dengan kebahagiaan terpancar dari wajah mereka. Wajah-wajah puas telah berhasil mewujudkan keinginan yang selama ini terpendam, meski ulah mereka membuat anak-anakku harus hidup tanpa ayah mereka. 

Uang lima ratus ribu itu adalah pertama dan terakhir kali kudapatkan dari lelaki yang pernah membersamaiku selama enam tahun itu. Setelah itu sama seperti dahulu, tak pernah ada sokongan dana untuk membesarkan anak-anak yang sangat dia sayangi. 

Bulan-bulan berikutnya tak pernah sekalipun Mas Galih menanyakan kabar anaknya. Aku cukup lega karena Zayn dan Ziyan tak lagi bertanya kapan ayahnya akan datang mengunjungi mereka. Sepertinya mereka sudah terbiasa tanpa sosok Ayahnya. 

Mengingat berapa kerasnya hati Mas Galih dan keluarganya, aku putuskan berhenti menggugat apapun pada mereka. Percuma, manusia yang tak punya hati itu justru dengan santainya posting momen jalan-jalan mereka di medsos. Tak perlu mencari tahu, karena ada saja orang yang tiba-tiba memberi informasi tersebut. 

Serapi apapun dia menutupi kegiatan foya-foya mereka, sepertinya Tuhan memberikan celah padaku untuk terus mengetahui tanpa susah payah. 

Biarkan, toh usahaku sudah cukup lumayan. Pesanan datang bertubi-tubi. Makin lama makin banyak yang tahu bagaimana cita rasa ayam bakarku. Teman-teman pun membantu mempromosikan jualanku hingga makin banyak pesanan datang. Rasa lelah karena meracik bumbu dan tubuhku yang beraroma asap tak lagi kupedulikan. Ketika susu si kembar dan diapers si kecil sudah bertumpuk-tumpuk maka disitulah aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Mereka juag bisa dengan mudah menikmati makanan yang mereka inginkan. Bahkan sesekali kuajak mereka bermain di wahana permainan sebuah swalayan. 

Aku tak ingin mereka kehilangan keceriaan di masa anak-anak mereka. Sebisa mungkin aku harus memberikan kenangan indah dan menghapus trauma mereka terutama kembar yang terkadang mempertanyakan apa yang terjadi pada malam itu. Malam dimana kami diusir dan keluar rumah saat cuaca sangat dingin. 

Terkadang aku marah pada keadaan. Mengapa di saat aku susah payah menghapus ingatan buruk mereka di malam itu dan di sisi lain ayah mereka  menghabiskan hari-harinya tanpa dosa bergelung kemewahan. 

Aku tak akan menyerah pada nasib. Tanganku sudah kekar mengangkat belasan kilo ayam. Bahkan keluar masuk pasar di jalanan becek rela kulakukan demi mendapatkan ayam yang sehat dan segar. Karena tentu saja ayam yang berkualitas membuat cita rasa ayam bakarku makin nikmat. 

Pesanan demi pesanan berdatangan. Bahkan aku punya langganan kantor kecamatan dan puskesmas untuk menyediakan makan siang mereka tiga kali dalam seminggu. Terkadang mereka pun ada acara-acara mendadak yang membutuhkan konsumsi berat. 

Belum lagi beberapa kali aku bekerja sama dengan pemilik graha yang sering disewa untuk acara pernikahan. Mereka mendapat rekomendasi dari orang-orang yang menggunakan gedung tersebut. Aku benar-benar mengalami kebanjiran pesanan di luar ekspektasiku. 

Aku bersyukur dengan semua ini. Mudah-mudahan rejeki untuk anak-anakku makin mengalir lewat usaha ini. Atas rekomendasi dari ibu, aku merekrut satu orang untuk membantu menangani pesanan. Aku menerima saran tersebut karena memang aku tak mampu menjalankan semuanya sendirian.

"Jangan ngoyo, kalau capek jangan maksa diambil. Tubuh punya batas maksimal. Jangan sampai sakit. Anak-anak butuh kamu," ucap Ayah padaku. Aku sering mendapati ayah yang sedang menonton televisi hingga larut saat selesai dari kegiatanku di dapur. Entah kebiasaannya sejak kapan, aku sendiri terkadang heran. Seingatku dia bukan orang yang sering begadang. 

 Aku yang sedang meracik sambal pelengkap ayam bakar menoleh sambil tersenyum. Wajah teduh itu tersenyum, meski kilat matanya tak bisa berbohong. Ada rasa sedih yang susah payah dia sembunyikan. 

"Siap, Pak Bos. Mumpung lagi semangat dan orderan mengalir terus, nggak boleh nolak rejeki. Lagian sudah dibantu Mbak Mi. Tenang, Vinda tahu batas kemampuan sendiri, kok." Aku kembali fokus dengan pekerjaan di depanku. Pesanan 50 box paket ayam bakar ini akan diambil oleh pelanggan jam sepuluh nanti. Sebuah acara perpisahan untuk seorang guru SMA yang purna tugas. 

"Ayah nggak ke pasar?" 

"Nggak. Hari ini Ayah mau libur dulu. Zayn dan Ziyan minta dibuatkan kolam ikan di belakang. Di pasar Ayah minta Anto yang handle," jawab Ayah sambil berlalu. Mas Anto adalah anak dari Bibik Ratri, adik kandung ayah. Dia sudah dianggap anak sendiri oleh orang tuaku karena ayahnya meninggal saat dia masih kecil. 

Kudengar beliau memanggil kedua anak kembarku. Zayn dan Ziyan berseru senang saat Mbah Kung mereka mengabulkan keinginan mereka. Lahan yang cukup luas di belakang rumah merupakan tempat yang nyaman untuk bermain anak-anak. Apalagi jika kolam ikan yang diinginkan mereka berdua dikabulkan oleh Mbah mereka. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status