Bab 6
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 6 )Memulai Perjuangan Rencanaku mendapat restu dari ibu. Tanpa banyak tanya Ibu langsung menyanggupi untuk meminjamiku modal. Aku benar-benar berniat meminjam, akan kukembalikan setelah usahaku memperoleh keuntungan. Tadinya dia bersikeras untuk memberikan cuma-cuma modal yang kuminta dan tentu saja kutolak. Tak banyak mendebat karena Ibu tahu bagaimana watak anaknya ini. "Kamu sekarang hanya punya keluarga dan anak-anak saja. Jadi mulai detik ini apapun yang kamu rasakan maka bagilah dengan kami."Kalimat ibu membuatku bungkam. Ada rasa sesal mengapa di usia senjanya justru harus kerepotan dengan masalah yang kuhadapi. Tetapi aku tak punya pilihan lain. Aku benar-benar harus merepotkannya kali ini. "Maaf, Bu. Tak seharusnya Ibu direpotkan oleh urusanku lagi. Seharusnya aku membahagiakan Ibu di usia yang senja ini. Vinda janji setelah ini tak akan merepotkan Ibu lagi," ucapku dengan menunduk. Pandanganku tertuju pada tangan keriput ibuku yang tengah kugenggam erat. Disanalah aku memperoleh kekuatan untuk memulai semua usahaku. Aku yakin dengan restunya langkah mencari nafkah untuk anak-anakku akan makin mudah. "Berjanjilah untuk bahagia, Vinda. Dengan melihatmu bahagia, ayah dan ibu pasti akan turut bahagia. Jangan menoleh ke belakang. Tinggalkan semua rasa sakitmu agar tak memperberat langkahmu untuk maju." Ucapan ibu bagai embun yang membuat jiwa yang gersang ini terasa sejuk. "Maaf untuk sementara waktu aku akan merepotkan Ibu dengan menitipkan anak-anak ke Ibu selama aku bekerja," ucapku lagi. Ibu tersenyum sembari mengusap rambutku dengan lembut. " Zoya biar sama ibu. Kamu fokus dengan usahamu mencari nafkah untuk anak-anak. Buktikan…kamu bisa berdiri tegak tanpa mengemis hak anakmu pada ayahnya. Biarkan mereka merebut semua hakmu, asal bukan anak-anak yang diambil. Ikhlaskan. Ibu yakin suatu saat dia akan mencari anak-anaknya. Dan saat itu terjadi, maka Ibu pastikan kamu sudah mampu menegakkan kepalamu di depan mereka,"ujar ibu dengan lantang. Matanya mengilatkan kemarahan yang dia pendam untuk mantan menantu dan keluarganya. Mungkin saja selama ini dia sudah paham dengan perlakuan tak adil yang mertua dan suamiku lakukan padaku. Hanya saja demi menjaga perasaan anak perempuannya, dia rela memendam rasa tak suka itu sendirian. Lagi pula siapa yang tak akan sakit hati anak yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang itu disia-siakan oleh keluarga suaminya? "Vinda anakku adalah anak yang kuat. Dia petarung hebat yang tak akan mudah kalah siapapun lawannya. Kau ingat dulu saat masih kelas tiga SD? Bahkan kau tak mau menyerah saat lawan lomba larimu adalah anak-anak kelas enam. Vinda dengan kaki mungilnya tetap melanjutkan pertandingan lari meski hampir terjungkal. Ya… Meskipun hidup ini tak sesederhana lomba lari, paling tidak kamu bisa membuktikan dirimu adalah perempuan yang kuat."Ibu membelai rambutku dengan sangat lembut. Wanita yang tak sangat ingin kebahagiaan itu tak pernah gagal memberiku semangat untuk terus bangkit menghadapi semua permasalahan ini. Baiklah. Aku berjanji tidak akan melemah meski kesulitan untuk menjalankan usaha ini pasti datang silih berganti. ***Kuposting foto ayam bakar lengkap dengan sambal dan lalapan di beberapa akun sosial mediaku. Kubuang rasa malu jauh-jauj agar tak mengangguku melangkah. Tak lagi kupedulikan ijazah sarjanaku yang tak kugunakan untuk melamar pekerjaan. Aku tak mau meninggalkan anak-anak jika harus bekerja di tempat lain. Biarlah asal halal aku harus menjalani semua usahaku ini dengan penuh semangat. Anak-anak membutuhkan biaya yang tak sedikit. Beruntung mereka tak pernah mempermasalahkan kehidupan yang mereka jalani saat ini. Aku bersyukur benar-benar memiliki anak-anak yang tangguh. Beberapa saat aku memposting tawaran ayam bakarku di medsos, terdengar notifikasi dari ponsel yang kuletakkan di atas meja dapur. Dengan semangat aku meraih benda tersebut dan kini sudah beralih di tanganku. Kutengok postinganku di aplikasi berwarna biru. Sudah delapan orang yang mengomentari postingan tersebut. Ada desir bahagia meski cepat-cepat aku menguasai diri. Aku tak ingin cepat berpuas diri, apalagi di awal usaha seperti ini. [ seandainya dekat ] tulis Maudy, teman SMA-ku dulu. Anak itu sekarang menetap di Surabaya. Tentu saja dia tak bisa menikmati makanan buatanku ini. Aku tersenyum sesaat kemudian kubalas emotikon senyuman di komentarnya. [ Wah…ready di Karangsalam Mbak?] tanya Gita, adik kelasku. Kami sama-sama anggota pengurus OSIS di SMA dulu. Karangsalam dengan tempatku tak terlalu jauh. Jika harus melakukan sistem DO aku tak keberatan. Apalagi untuk menarik pelanggan. Semangatku tiba-tiba naik berkali lipat. [ Mbak, aku sudah WA. Ceki-ceki, Mbak!] tulis akun Martania. Kali ini aku agak asing dengannya. Beberapa akun di aplikasi biru tak semuanya kukenal. Mereka hanya teman di dunia maya yang mudah-mudahan tertarik dengan jualanku. Beberapa pesan muncul di whatsappku. Kubuka satu persatu dan kutulis pesanan beserta alamat mereka di atas kertas. Aku tersenyum mengamati tiap porsi yang mereka pesan. Rasanya sangat bahagia, apalagi aku yang sebelumnya tak punya keahlian di bidang jualan. Mudah-mudahan ini awal yang baik. Lumayan, setelah kurekap hari ini sudah masuk pesanan dua puluh potong ayam bakar. Mulai kusiapkan pesanan mereka sambil mengecek ponsel kembali. Mungkin saja ada pesanan tambahan yang pasti akan makin menambah pemasukanku. Setelah kupastikan semuanya sudah penuh, aku mulai memasukkan setiap pesanan menggunakan paper box yang aman untuk makanan panas. Meskipun baru merintis usaha ini, aku tidak mau asal mengerjakannya. Aku tak mau pembeli kecewa yang nantinya akan merugikan usahaku. Bahkan aku sudah menyiapkan stiker yang kudesain sendiri menggunakan laptop lawas milikku yang masih tersimpan di lemari lamaku. Benar-benar aku mempersiapkan semuanya sebaik mungkin. Ayam Bakar 3Z. 3 Z sendiri adalah singkatan nama ketiga anakku. Zayn, Ziyan, dan Zoya. Berharap ada keberkahan dalam langkahku mencari nafkah untuk mereka. TringNotifikasi dari aplikasi biru terdengar. Sebuah inbox masuk. Semangat sekali aku membukanya. Berharap ada pesanan tambahan lagi. [ Karirmu mentok sebagai penjual ayam bakar? 🤣🤣] Hatiku panas seketika. Akun Soraya Praditiya milik Soraya yang mengirimi inbox tersebut. Entah dari mana dia bisa tahu bahwa aku sekarang berjualan ayam bakar. Aku ingat, beberapa teman termasuk Melda membagikan statusku. Mungkin istri mantan suamiku itu tahu dari sana. Geram sekali karena dia pun menikmati uang suamiku hingga anak-anak nya harus terabaikan.PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe