Vinda adalah seorang wanita yang harus merasakan kepahitan diceraikan sang suami dengan alasan dirinya bukan wanita karier. Dia diceraikan setelah memiliki tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Tak ada pilihan lain, dia harus berjuang untuk ketiga anaknya yang tak memperoleh nafkah dari ayahnya yang langsung menikah lagi dengan wanita selingkuhannya. Di saat Vinda sudah mulai merasakan kebahagiaan dengan ketiga anaknya, muncul kembali keluarga mantan suami yang menginginkan salah satu anaknya karena ternyata istri baru mantan suaminya tidak bisa memberikan anak. Beruntung dia tak berjuang sendirian saat mempertahankan anaknya. Dia bertemu dengan laki-laki yang sangat pengertian dan menyayangi anak-anaknya yang bernama Rafli. Ternyata ujian tak berhenti disitu, wanita dari masa lalu suaminya mulai mengusik kehidupan bahagia Vinda dan Rafli. Bagaimana Vinda dan Rafli melewati semua ujian dalam kehidupan rumah tangga mereka? Baca selengkapnya kisah Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier ini.
View MoreKedatangan Keluarga Mantan
Aku duduk menghadap suami istri yang duduk berdampingan. Sang suami menegakkan tubuhnya di atas sofa ruang tamuku. Matanya berkali-kali mengalihkan pandangannya denganku saat kami bertatapan tanpa sengaja. Tangan sang istri bergelayut di lengan suaminya, menegaskan dengan kuat posisinya saat ini.
Wanita itu dengan begitu jelas menampakkan wajah tak sukanya padaku. Matanya melirik dengan pandangan sinis sekaligus merendahkanku. Beberapa kali dia mengeratkan jemari lentikknya pada lengan Sang suami. Aku tertawa dalam hati melihat tingkahnya yang seperti ketakutan kehilangan laki-laki di sampingnya.
Sedangkan dua orang lagi, sepasang suami istri lanjut usia masing-masing duduk di kursi single di kanan dan kiriku. Sama dengan pasangan sebelumnya, tak ada raut ramah sama sekali dari air mukanya. Aneh, padahal merekalah yang datang sendiri kemari tanpa kuundanh. Bahkan jika aku mau, sudah kuusir kedua pasang manusia yang sudah menorehkan luka begitu dalam di dalam hatiku. Tetapi aku menahan diri, aku ingin tahu keajaiban apa yang membawa mereka datang kemari.
Kuangkat daguku, mengabaikan dentuman detak jantung dan emosi yang tertahan. Aku tak bisa membiarkan emosi membuatku lepas kendali dan kalah dengan permainan ini.
" Bagaimana kabar anak-anakmu, Vin?" tanya Pak Tanu, mantan mertuaku. Rambutnya hampir keseluruhan memutih, berbeda dengan tiga tahun lalu, saat terakhir bertemu dengannya. Suara baritonnya sama angkernya dengan bertahun yang lalu. Hanya saja mentalku sudah lain, aku tak serapuh dulu saat masih menjadi menantunya.
"Sehat, Alhamdulillah." Aku menjawab datar. Bahkan aku tak ingin memanggilnya dengan sebutan 'pak'. Kudengar dia berdehem. Mungkin dia tak suka dengan nada suaraku. Mana aku peduli! Kulihat mantan ibu mertuaku meremas tas yang dari tadi berada di pangkuannya. Entah kalimat apalagi yang akan dia lontarkan untuk mencairkan sebongkah hati yang sudah beku di dalam dadaku.
Sedangkan pria di depanku, yang tiga tahun lalu menjatuhkan talak dan mengusirku beserta tiga anaknya, hanya tertunduk saat tatapan mataku menghujam manik matanya. Tak ada kesombongan yang terlihat dari sana. Tentu kontras dengan sikapnya dulu. Aku masih ingat matanya menyala-nyala seolah ada bara api kebencian disertai kalimat kasar yang dia lontarkan padaku tanpa ampun.
"Dimana mereka sekarang?" tanya mantan mertuaku lagi.
"Adek tidur di kamar. Dua kakaknya sedang ikut les di bimbel, " jawabku lantang tak ada keraguan sama sekali.
"Kamu biarkan Zoya sendirian di kamar? Bukankah tadi waktu kami datang kamu sedang berada di dapur?" Pertanyaan Ibu mertua terdengar ingin mengulitiku. Matanya terlihat puas mempermalukanku. Seolah aku ibu yang payah, membiarkan anaknya yang berusia tiga tahun tidur sendirian di dalam kamar. Dia belum tahu serangan apa yang kusiapkan untuk menjawab kalimatnya.
"Siapa bilang sendirian? Sudah kuminta pengasuh untuk menjaganya." Sengaja kutekan kata 'pengasuh' kali ini. Kata yang hampir tak mungkin dikeluarkan saat aku masih menjadi menantunya dahulu.
Kulihat wajah-wajah tegang mereka. Entah hanya perasaanku atau memang nyatanya seperti itu, aku melihat rona wajah kecewa setelah aku menjawab demikian. Memang benar, aku meminta Mbak Yuli—pengasuh Zoya—untuk menjaga anak bungsuku itu. Tak ada kebohongan dalam kalimatku. Hanya saja mereka yang seolah tak siap dengan jawaban yang kulontarkan.
" Jam berapa Zayn dan Ziyan pulang dari les? " Laki-laki pecundang di depanku akhirnya bersuara. Kulihat sang istri meremas lengan suaminya, seolah tak setuju dengan kalimat yang dikeluarkannya. Aku hampir terkekeh melihat kecemburuan yang mudah sekali terlihat dari mata cantik wanita itu.
"Sebentar lagi. Sudah kuminta tantenya untuk menjemput, " jawabku singkat dengan menatap sekilas ke arahnya. Lagi-lagi mata itu mengalihkan pandangannya. Kali ini aku tak tahan menyunggingkan senyum sinis untuknya.
" Tiga tahun tak bertemu, sepertinya banyak perubahan pada dirimu, Vin. Belum juga berniat menikah? " Mantan Ibu mertuaku bertanya. Wanita yang dulu begitu kuhormati dan kuperlakukan selayaknya ibu kandung itu bertanya lagi. Nada suaranya seperti mengejekku yang belum juga menikah selepas bercerai dari anak kesayangannya.
" Belum. Fokusku membesarkan anak-anak dengan baik."
" Menikahlah, Vin. Anak-anak membutuhkan sosok ayah dalam kehidupan mereka. Jangan larut dengan kesedihan seperti ini. Kamu masih muda, masih banyak laki-laki …."
" Memangnya ada, laki-laki yang mau dengan janda beranak tiga?" tanyaku memancing emosi mereka. Kuingatkan kembali kalimat yang dulu pernah mereka ucapkan saat mengusir kami dari rumah.
" Bukankah semua laki-laki dan keluarganya kebanyakan mencari gadis yang memiliki karir? Lagi pula anak-anakku sudah terbiasa hidup dengan ibunya saja, bahkan jauh sebelum orangtuanya bercerai mereka sudah tak punya ayah. Ayah mereka sibuk dengan pekerjaan … dan urusan lainnya."
Kuberi tekanan lebih saat mengucapkan kalimat terakhir. Mereka semua tertunduk, kecuali wanita di depanku. Soraya menatapku penuh kebencian. Aku tak gentar, lagi pula aku tak pernah melakukan kesalahan sedikit pun padanya. Bahkan dialah wanita mengerikan yang sudah masuk dan memporak-porandakan kehidupan keluargaku.
Kenanganku dengannya berkelebat di kepalaku. Tiga tahun yang lalu aku nekat menemuinya di sekolah tempat dia bekerja. Bahkan aku menggendong Zoya yang seharusnya tertidur nyaman di kasurnya yang hangat. Saat itu aku berharap dia mengasihiku dan mau memutuskan hubungannya dengan Mas Galih—suamiku.
"Tentu saja. Mas Galih dan keluarganya mendambakan istri dan menantu sepertiku. Wanita karir lebih menjamin kehidupan rumah tangga ke depannya dibandingkan dengan ibu rumah tangga yang tidak memiliki kemandirian finansial. Jangan salahkan orang lain, salahkan dirimu yang tak memiliki apapun untuk dibanggakan."
Soraya mengangkat dahunya tinggi. Bibir berwarna mirabela berpadu cantik dengan wajahnya yang putih berseri. Rambutnya digerai begitu indah yang membuatnya sangat mirip dengan model papan atas.
Perkataan Soraya membuatku tergelitik. Kutarik sudut bibirku, membuat senyuman yang tidak simetris.
" Wah … Ibu juga dulu hanya ibu rumah tangga kan, Bu? Berarti kehidupan Ibu dan Bapak dulu juga tidak terjamin? Serba kekurangan tepatnya … "
Kutatap wajah kedua mantan mertuaku bergantian. Rahang Pak Tanu mengeras, matanya nyalang menatapku. Begitu pun istrinya, kulihat jarinya bertaut satu sama lain. Sementara Soraya memandangku penuh amarah. Kalimatnya berhasil kukembalikan, hingga justru memukul wajahnya sendiri. Sang suami membelai punggung tangannya dengan lembut. Perlakukan yang dulu hanya kuterima di awal-awal pernikahan.
Suara gawaiku berbunyi. Sebuah panggilan dari Tania, adikku perempuanku satu-satunya.
"Mbak. Kembar pengin main timezone dulu, boleh nggak, nih?" tanya adikku setelah aku menjawab salam darinya. Kuyakin mereka yang duduk disana mendengar kalimat yang diucapkan Tania. Buktinya wajah mereka berubah lebih keruh.
" Boleh. Maksimal satu jam, jangan lebih. Ingatkan mereka jam lima nanti guru ngajinya datang ke rumah. Jangan sampai ustadzah menunggu," jawabku. Panggilan dimatikan oleh Tania. Kudengar lamat-lamat Zayn dan Ziyan berteriak kegirangan setelah keinginan mereka dikabulkan. Aku tersenyum membayangkan tingkah kedua anak kembarku. Pasti mereka tak menyangka aku mengizinkan mereka bermain tanpa pulang terlebih dahulu.
"Loh, kok mereka diijinkan main timezone? Padahal kami ingin mengajaknya jalan-jalan, kenapa malah tidak langsung pulang?" protes Bu Mirna, mantan mertuaku. Aku balas memandang wajahnya yang memang tak pernah menyukaiku dari awal pernikahan.
" Loh, siapa yang mengijinkan kembarku ikut kalian? Lagi pula … kalian yakin sekali mereka mau ikut orang asing." Ja
" Kami bukan orang asing! Kami keluarganya! Jangan mencoba memisahkan anak dari ayahnya!" ucap mantan suamiku setengah berteriak. Aku berusaha menetralisir debaran jantung yang berdetak makin cepat seiring emosi yang mulai naik.
Sejak kapan dia ingat bahwa dirinya adalah seorang ayah?
" Kalau kalian bukan orang asing, mengapa dengan teganya mengusir kami berempat dari tempat tinggal kami, padahal waktu itu sudah malam."Aku menjeda kalimatku dengan sekali tarikan napas. Kutatap mereka satu persatu dengan dengan emosi yang kutekan sekuat tenaga.
"Dan kau, Mas. Hal apa yang membuatmu tiba-tiba ingat dirimu adalah seorang ayah? Dan sejak kapan?"
***
Kutatap kepergian mereka satu per satu dari ruang tamu. Raut kekecewaan tergambar jelas di wajah mereka. Setelah menunggu lama Zayn dan Ziyan dari bermain timezone, nyatanya hanya kekecewaan yang mereka dapatkan.
Tak ada sambutan penuh haru biru layaknya ayah bertemu anak yang bertahun-tahun terpisah. Tak ada pelukan hangat dari Sang cucu pada kakek neneknya yang mungkin baru ingat ada darah dagingnya disini. Hanya kekecewaan karena anakku bahkan menampakkan wajah pias saat melihat tamu-tamu itu duduk rapi di sofa rumahku.
Kedua anak kembarku yang saat ini berusia delapan tahun kupaksa bersalaman dengan mereka. Tadinya mereka hanya menampakkan wajah kaget dengan orang-orang itu tanpa mau beranjak dari tempatnya berdiri.
Sedangkan Zoya, dia hanya menangis kencang saat Mas Galih berusaha menggendongnya. Aku tak bisa memaksa, karena Zoya bahkan hanya merasakan dekapan ayahnya kurang dari tiga bulan. Itu pun sangat jarang, mengingat ayahnya saat itu sibuk dengan Soraya—selingkuhannya.
"Jangan racuni anakmu untuk membenci ayahnya. Bagaimanapun Galih adalah ayah kandung mereka," ujar Bu Mirna dengan wajah kesal. Dia yang ingin menggendong Zoya bahkan tak sempat menyentuh kulit bungsuku. Saat Mas Galih tak bisa menenangkan Zoya barang sedetik pun, kuminta dengan segera Mbak Yuli mengambil alih anakku. Zoya mendekap erat tubuh pengasuhnya seolah tengah terlepas dari bahaya yang mengancamnya.
Bagus, penolakan itu sudah pasti melukai harga diri mereka hingga tak berharga sama sekali. Aku tak bisa memaksa anak-anakku untuk menerima mereka, sedangkan orang-orang dewasa itulah yang dulu sudah menolaknya mentah-mentah.
"Anakku punya ingatan, Bu. Mereka tentu tak akan lupa pernah melihat bagaimana ayah mereka memperlakukan ibunya. Bagaimana kakek neneknya bahkan tak punya perasaan sama sekali pada anak sekecil mereka. Jangan merasa menjadi pihak yang tersakiti disini, Bu. Nada suaramu terdengar kau begitu didzolimi. Justru itu lucu sekali.
Kalau Zoya, barangkali memang dia benar-benar asing dengan ayahnya. Maklum Bu, sejak lahir Zoya hanya mengenal ibunya. Mas Galih bahkan bisa dihitung dengan jari berapa kali dia menggendong Zoya," jawabku menohok.
Puas sekali kukuliti mereka satu per satu. Laki-laki yang pernah menyandang gelar suamiku selama hampir enam tahun itu hanya menunduk mendengar penuturanku. Tangannya mengepal rapat, kurasa perkataanku cukup membuatnya tersudut. Tetapi dia bisa menyangkalnya, karena memang kenyataannya sama dengan yang kuucapkan.
"Mohon maaf, sebentar lagi guru ngaji kembar akan datang. Aku harus mempersiapkan baju mereka. Jika ada hal penting lainnya, kalian bisa tunggu mereka disini. Mungkin saja setelah mengaji pikiran mereka jauh lebih fresh dan bisa menerima kunjungan mendadak dari keluarga ayahnya. Tidak lama, menjelang maghrib mereka selesai."
Kurasa mereka paham dengan kalimat pengusiranku kali ini. Buktinya tak lama mereka berdiri, diawali oleh mantan ayah mertuaku. Disusul Mas Galih dan dua orang lainnya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Bahkan kalimat pamitan pun tak keluar sama sekali dari mulut orang-orang berpendidikan itu.
Kuikuti mereka sampai pintu rumahku. Kututup pintu dengan gerakan cepat hingga menimbulkan bunyi cukup keras. Tak peduli lagi soal sopan santun yang selalu kukatakan pada kedua anakku. Mereka, Orang-orang tak punya hati itu harus tahu bagaimana rasanya terusir.
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments