Dion melangkahkan kaki dengan hentakan keras. Kedua tangannya mengepal kuat. Rahang pria itu mengeras sempurna. Dia buka mobil cepat, lalu membanting diri. Tangan yang terkepal dia pukulkan pada roda setir.
“Sialan!” Lagi, dia pukul roda kemudi. Sungguh kemarahannya tak mereda sedikit pun. Dion luar biasa kecewa. Dia tak menyangka, Aryesta bisa mengkhianatinya seperti ini. “Kurang ajar!”
Dengan dada yang naik turun, Dion memejamkan mata. Kilasan perkenalannya dengan Aryesta berkelebat. Dia yang terpana pada pandangan pertama, melihat Aryesta sebagai sosok baik-baik. Hal yang membuat Dion yakin untuk menikahi perempuan itu.
Siapa sangka, wajah cantik, tutur kata baik, sopan santun Aryesta justru kamuflase yang menutupi kebrengsekkannya.
Lima menit dalam mobil, Dion tak juga bisa meredakan rasa marah dan kecewa dalam dada. Dia mengangkat kepala dari roda kemudi. Bersiap untuk pergi. Entah ke mana. Yang jelas dia butuh pelampiasan saat ini.
Baru akan memutar kunci, seseorang yang masuk buat Dion menoleh. Pria itu mendengkus sembari melengos.
“Pergi!” usirnya pada Dinda si adik ipar. Dion menoleh saat merasa pintu mobil ditutup. Matanya membesar dia kira Dinda pergi, tetapi justru duduk di sampingnya dengan tangan menyentuh pahanya. “Pergi!” katanya lagi seraya mengempaskan tangan Dinda.
Sementara Dion bersikap ketus, di depannya Dinda justru terkekeh. Adik tiri Aryesta itu sama sekali tak tersinggung. Dia menyamankan posisi, lalu tangannya mengibaskan rambut ke belakang.
Bibir bergincu merah terang itu melengkung saat Dion kembali menusir dan menggeram. “Mas,” panggilnya manja. Dia kembali menyentuh tubuh Dion. “Aku bukan Aryesta. Walau kami bersaudara, aku enggak murahan kayak istrimu itu. Perempuan yang kamu cintai enggak lebih murahan dari perempuan pinggir jalan.”
Dion menangkap tangan Dinda, lalu seperti tadi, dia hempaskan tangan itu. “Turun,” ucapnya dingin, “cepat turun!”
Dinda tersenyum manis. Keras kepala, perempuan itu justru menyerongkan tubuh dengan gesture menggoda. “Aku tau, kamu pasti kecewa kan, Mas?” Dia berkedip lambat. “Seharusnya kamu mendengarkan aku waktu itu, tapi kamu enggak percaya.”
Tatapan Dion mengikuti jemari Dinda yang bergerak nakal menggerayangi ke arah dada. Jari-jari bercat pink nan cantik itu kini berani menyusup di antara celah kancing kemeja.
Dion mendesis sembari memejamkan mata saat ujung jari Dinda berputar-putar sebelum menekan pelan. Disusul oleh jari lain. Dia membuka kelopak perlahan, lalu dia rasakan tubuhnya panas dingin. Sialnya, Dinda justru tersenyum menggoda lengkap dengan bibir tersungging senyum sensual.
“Apa sebenernya yang kamu inginkan?” tanya Dion. Dia tahan tangan Dinda agar tak menggerayangi lebih dalam. “Keluar, saya harus pergi.”
Dinda mengedipkan mata. “Gimana kalau kita pergi bareng?” Dia dekatkan wajahnya, lalu sedikit mendongak. “Aku jamin, kamu enggak akan nyesel, Mas.”
“Kamu ....” Dion belum menggantung ucapannya. Aroma parfum dari tubuh Dinda, jarak tubuh keduanya yang terlalu dekat, juga napas wanita itu yang menempa wajahnya, menyebarkan aroma manis buat dia kesulitan bernapas. “Menjauh dariku, Sialan—“ Tak sempat mendorong, Dinda justru menempelkan bibir mereka.
Hanya menempel pada awalnya, lalu saat rasa manis terasa, Dinda yang bergerak lebih dulu, Dion tak lagi kuasa menahan diri. Dia ikut mencecap, hingga suara decapan tercipta. Dion menahan tengkuk Dinda, lalu menjadi kian panas saat Dinda bergerak ke atas pangkuan.
Dion menahan kedua tangan Dinda yang hendak membuka kancing kemejanya. “Jangan!” cegahnya. Dia kecup bibir yang mengerucut itu. “Kita ke hotel saja, ya?"
Dinda tersenyum senang. Dia balas kecupan Dion, lalu mengangguk. “Ayo,” ajaknya manja. Kali ini kecupannya berlabuh di kedua pipi Dion.
Keduanya meninggalkan kediaman dengan tergesa dengan hasrat mendesak. Sementara itu di dalam rumah, Aryesta selesai bersiap. Dia keluar dan menahan sumpah serapah pada Aleandra Zeygan. Laki-laki kurang ajar yang dia kenali.
Aryesta akan menemui laki-laki sialan itu. Dia yang belum mahir menyetir segera memanggil sopir. Lalu dia sebutkan nama perusahaan Aleandra.
Sampai di perusahaan Alra Gruop, Aryesta sampaikan tujuan kedatangannya pada resepsionis, lalu dia diarahkan ke lantai di mana ruangan CEO berada. Dia menggeram kala perempuan berblazer hitam, yang tak lain adalah sekretaris Aleandra Zeygan menghadang langkahnya.
“Saya mau bertemu Aleandra Zeygan!” ulang Aryesta. Barangkali sekretaris itu tak mendengar. “Hubungi atasan Anda sekarang.”
“Maaf, saya enggak bisa melakukan itu,” balas sang sekretaris. “Silakan pergi.”
“Kamu enggak dengar apa yang saya bilang?” kesal Aryesta yang merasa semakin geram saat ini.
Sekretaris itu pun tetap bersikukuh. “Buatlah janji temu, Nona. Pak Aleandra tak bisa ditemui jika tak melakukan janji lebih dulu.”
Aryesta menggeram. Sepertinya apa pun yang dia jelaskan sekretaris itu tetap tak mengerti. Tangan Aryesta meremat-remat jari. Lalu, tatapannya beralih pada pintu. Dia menyipit, lalu tersenyum culas membaca nama yang terpampang di depan pintu.
Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, Aryesta langsung menerjang pintu di depannya.
“Hey, Anda mau ke mana!”
Teriakan sang sekretaris itu tak didengar olehnya, Aryesta justru berlari dan menerobos hingga masuk ke dalam. Beruntung pintu ruangan CEO itu tak terkunci.
Brak!
“Pak, maaf. Saya sudah menahannya, tetapi dia memaksa masuk tanpa bisa saya cegah," ucap sekertaris itu bertepatan dengan masuknya Aryesta yang menatap penuh amarah ke arah Aleandra yang duduk membelakangi.
Aleandra tersenyum miring. Dia belum membalik badan hanya karena sedang menahan senyum kemenangan. Aryesta akhirnya datang sendiri untuk menemuinya.
Aleandra mengibaskan tangan di udara tanpa membalikan badan. “Biarkan! Kamu bisa kembali ke mejamu dan tutup pintu.”
Segera setelah bunyi pintu ditutup pelan, CEO muda yang sangat tampan sekali, bahkan jauh lebih tampan dari Dion itu pun kini membalikab badannya. “Apa kabar, Aryesta?”
Aryesta menggeram. Kakinya merangsek. “Apa yang kamu lakukan, hah!” teriaknya, “apa yang kamu inginkan? Kenapa kamu melakukan ini!”
“Santailah.” Aleandra duduk di kursinya. Senyum menyebalkannya masih bertahan. “Kamu akan kehabisan energi jika baru awal saja sudah tantrum seperti ini.”
Aryesta menggebrak meja dengan kedua tangannya. Matanya menyalak marah. “Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Aleandra?!”
“Kamu bertanya, apa mauku hmh?” Aleandra tertawa. “ Aku mau bermain. Mau menjadi teman mainku enggak, nih?”
“Jangan main-main, Aleandra!” teriak Aryesta. Dia benci melihat tawa laki-laki itu. Tak tahukah, permainan Aleandra telah menghancurkan rumah tangganya? Sungguh ini permainan yang tak lucu sama sekali. “Katakan, apa salahku?”
“Sudah kujawab, bukan?” Aleandra memiringkan wajah. “Aku hanya ingin mengajakmu bermain, Aryesta.”
Aryesta menggeram. “Kamu gila!” teriaknya makin kencang. Dada Aryesta naik turun menahan kemarahan. Mengirimkan video tak senonoh pada suaminya, di malam pertama, lalu mendapat kekerasan dan berakhir diceraikan, ini sungguh tak lucu. “Katakan, apa masalahmu. Kenapa kamu melakukan ini!”
“Aku masih punya banyak permainan. Anggaplah video tadi malam sebagai kado atas pernikahanmu.”
Aryesta membesarkan mata. “Apa maksudmu?”
Sementara itu, Aleandra makin terbahak melihat buruannya tampak tak bisa mengendalikan diri. Perlahan, tawanya mereda, berganti wajah mengejek. Namun, tangan di bawah meja terkepal kuat dengan perasaan campur aduk. Ada rasa puas melihat Aryesta begitu kacau.
“Ini belum seberapa, Aryesta! Ada hadiah lainnya yang belum kamu dapatkan! Bukankah kamu enggak tahu ... kalau saat ini suami tercintamu sedang cek in ke hotel bersama Dinda, adik tirimu itu.”
Jantung Aryesta berdebar sangat kencang mendengarnya.
Lalu Aleandra pun menjelaskan jika di perusahaannya terjadi keributan. Membuat Aryesta ikut terkejut dan mengajak suaminya itu untuk segera pergi ke perusahaan."Tapi aku tidak mungkin ninggalin kamu sama Dean di sini, Ar.""Kami ikut kamu, Mas. Urusan Maria kita serahin ke Ben saja, oke?" saran Aryesta yang langsung disetujui oleh suaminya itu.Akhirnya Aleandra pun segera menelpon Beni dan menyerahkan segala urusannya pada laki-laki itu. Sementara dia pergi ke perusahaan.Di perjalanan, Dean tersadar dan sedikit linglung, yang langsung disyukuri oleh orang tuanya.Aryesta memeluk erat tubuh putranya lalu berucap, "Maafin Mommy, Sayang. Karena Mommy lepasin tangan kamu tadi, kamu hampir saja diculik sama si Ulat bulu itu."Dean masih bingung, tetapi juga mengangguk dan balas memeluk sang ibu, dengan perasaan nyaman luar biasa.Aleandra yang ikut lega pun mengusap puncak kepala Dean, sambil tetap fokus pada kemudi, yang tersenyum kala sedetik tatapan ayah dan anak itu saling bertautan.
Mobil yang Maria kendarai menabrak motor tersebut, membuat berteriak dan membanting setir kemudi, hingga berakhir menubruk batang pohon besar, dan membuatnya tak sadarkan diri.Orang yang lalu lalang langsung mendekat, dan memanggil ambulance juga pihak polisi untuk segera datang ke tempat kejadian.Hingga kerumunan itu menyebabkan kemacetan, dan membuat Aleandra yang hendak melewati jalur tersebut mengumpat kasar.Melihat suaminya mencak-mencak, Aryesta pun memutuskan untuk keluar mobil dan bertanya pada warga sekitar."Ah itu, Bu. Ada mobil hitam tabrakan sama motor yang orangnya lagi mabuk. Kayaknya yang bawa mobil luka parah, tapi untungnya balita yang ada di mobil penumpang baik-baik saja, Bu."Ucapan salah satu warga yang menjawab pertanyaan Aryesta tentu saja membuatnya terkejut bukan main.Jantungnya berdebar-debar tak menentu, seraya melangkah menuju mobil yang bagian depannya sudah nyaris hancur.Detik itu juga mata Aryesta membulat sempurna, dan langsung berlari menuju pintu
Saat ini Aryesta dan Aleandra sedang berbelanja di supermarket untuk kebutuhan sehari-harinya. Bukan tak percaya pada asisten rumah tangga, tetapi keduanya sedang healing bersama putra mereka.Dan saat ini keduanya sedang berada di taman bermain, baru saja Aryesta mengambil dompet dari tas untuk mengangkat sebuah telepon, pada detik kelima dia berbalik langsung bertatapan dengan mata tajam Aleandra.Baru saja membuka mulutnya hendak bicara, tetapi ucapannya langsung tertahan."Di mana Dean, Ar! Kenapa kamu malah sibuk teleponan?!"Deg!Saat itu juga mata Aryesta menoleh ke samping kirinya dan melotot, ketika keberadaan putranya tiba-tiba hilang entah ke mana.Bukannya menjawab, Aryesta langsung panik dan berjalan ke sana kemari mencari Dean, yang lenyap seketika itu."Sialan! Siapa yang berani main-main denganku, hah?!" pekik Aleandra yang merasa jika ada yang tak beres dengan hilangnya putra mereka.Tanpa banyak waktu, Aleandra bergegas mencari keberadaan Dean, berpencar dari sang ist
Aleandra berdiri di balkon kamarnya, memandang langit malam dengan tatapan kosong.Ya, setelah kelahiran bayi Adam dan Dinda 3 jam yang lalu, Aleandra putuskan kembali ke rumah, melanjutkan sisa-sisa masalah yang sebelumnya sudah diurusi oleh Beni."Apakah bayinya setampan Dean, Mas?" ucal Aryesta seraya merengkuh tubuh suaminya dari belakang.Hal yang membuat Aleandra terlonjak saking kagetnya. Beruntung laki-laki itu mengenali aroma parfum yang menempel di kulit istrinya, sehingg tak berakhir dia banting, karena Aleandra sangat tak menyukai sentuhan lawan jenis, selain istrinya saja.Aleandra tersenyum dan menggelengkan kepalanya tak setuju, "Dean yang paling tampan, Ar. Kau tenang saja, di kemudian hari pasti Dean yang akan menang jika mereka terjebak cinta jajar genjang."Aryesta terkekeh mendengarnya sambil berjalan ke samping, dan menyandarkan kepalanya di lengan sang suami."Jadi namanya Bian Reganza, Mas?"Aleandra menganggukan kepalanya, lalu tanpa menunggu waktu yang lama unt
Maria melangkah pelan menuju punggung Dinda, sampai ....Bruk!"Argh!" teriak Dinda dengan tubuhnya yang sudah terjungkal ke depan, perut buncitnya pun menempel ke atas lantai dengan hantaman keras."Dinda!" Adam refleks membentak, melihat istrinya terjatuh dan mengerang di atas lantai.Sampai akhirnya dia sadar jika ada seseorang di belakang, yang sedang mematung tak percaya, dengan apa yang baru saja dia lakukan pada adik ipar dari Nyonya rumah ini."Kau ... dasar perempuan kurang ajar!" suara Adam menggelegar berat, lalu melangkah ke arah Maria hingga ....Bugh!Bruk!"Argh!" Maria meringis sata bahunya ditonjok dan disungkurkan dengan kekuatan penuh, membuat tubuhnya terpelanting di atas lantai, dan mengenai guji di dekatnya, membuat semua orang yang baru saja masuk rumah, langsung berhamburan mencari sumber suara.Semua orang menatap terkejut, saat Dinda terjatuh dan menangis, sambil menatap paha putihnya yang sudah dilumuri darah segar.Kemudian tatapan semua orang menoleh ke ara
Dada Maria berdebar keras, mendengar suara berat itu, suara yang sangat jarang dia dengar, kini laki-laki itu datang juga ke mansion tuannya.Maria masih mematung, dan belum membalikkan badannya, takut jika laki-laki itu mengadukannya pada sang Tuan, ataupun memprovokasi tuannya untuk memecatnya dari pekerjaan ini.Laki-laki yang ternyata adalah Adam, wakil direktur di perusahaan Alra Grup, sekaligus sahabat Aleandra itu pun berjalan 4 langkah, kemudian berhenti, tepat di depan Maria, membuatnya membelakangi Maria saat ini."Saya mengetahui niat busukmu itu, bahkan saya yakin, kalau sahabat saya juga sudah mengetahuinya. Dia diam hanya karena menganggap kamu bukan lawan sepadannya saja. Jadi jangan terlalu percaya diri, Maria."Perkataan Adam langsung membuat lutut Maria lemas, hingga tubuh Maria ambruk ke atas lantai, tetapi baru saja Adam hendak menoleh ke belakang untuk melihat kondisi Maria, dari arah dalam rumah muncullah seseorang."Sayang! Kamu berani gatel sama pengasuh kegatel