Aryesta membelalakkan mata tak percaya atas apa yang dia dengar. Sumpah, demi apa pun dia tak pernah menyangka Aleandra tega mengatakan itu padanya.
“Apa?” Mata Aryesta membesar, lalu menyipit dengan gigi-gigi yang saling bergesekan saking bencinya pada Aleandra. “Coba kamu ulangi sekali lagi, sialan!”
Aleandra tertawa menjengkelkan. Sambil memiringkan kepala, dia mainkan kedua alis untuk menggoda. “Kamu mendengar apa yang kukatakan, Aryesta. Oh, ayolah ... atau kamu layanin aku dulu, hmh?"
Amarah dalam dada Aryesta membuncah. Napasnya tampak putus-putus. Sungguh, dia sangat-sangat tak menyangka, Aleandra akan meminta hal itu untuk ditukar dengan alamat hotel tempat Dion dan Dinda sekarang.
“Kamu sudah gila?” Aryesta mendesis. “Kamu pikir aku ini apa? Perempuan penghibur, hah?!”
Aleandra mengedikkan bahu. “Terserah. Pilihan ada di tangan kamu. Kamu mau, aku akan kasih informasi di mana adik tiri dan suami kamu itu sekarang. Kalau pun tidak, aku enggak akan rugi.” Dia bersiap membalik badan. “Pilihan ada di tangan kamu.”
Aryesta terdiam dengan rasa tak terima. Buku-buku jarinya memutih sebab tanpa sadar terkepal di masing-masing tubuh. Napasnya masih memburu kasar. Dia ingin mengumpati laki-laki yang melenggang santai.
“Baiklah,” ucapnya pelan sambil menundukkan kepala. Seingin apa pun dia ingin melenyapkan Aleandra, Aryesta tak punya pilihan lain. Dia harus bergegas, membuktikan kebenaran tentang suaminya. Atau dia akan kehabisan waktu. “Aku mau melakukan apa yang kamu mau, tapi tolong setelahnya beri apa yang kamu janjikan.”
“Wah, jadi kamu seriusan, nih?” Aleandra berbalik badan penuh sebelum tertawa mengejek. “Cepat lakukan kalau begitu!” tantangnya kemudian.
Aryesta perlahan mengangkat wajahnya. Rahangnya mengetat. Namun, tangannya menarik pelan cardigan yang masih dia kenakan. Kedua maniknya memanas. Seumur hidupnya, ini kali pertama dia merendahkan diri.
Memejamkan mata, Aryesta menarik lepas cardigan tersebut dengan perasaan campur aduk. Menyisakan blush tanpa lengan. Lalu, dia telan ludah sebelum jari-jari lentiknya membuka satu per satu kancing blush berwarna putih itu.
Sementara itu, di depannya, Aleandra melebarkan mata marah. Matanya tak beralih pada jari-jari Aryesta yang melepas satu per satu kancing bajunya. Rahang laki-laki tampan itu mengetat keras. Manik tajam itu kian membola saat Aryesta benar-benar menanggalkan blush hingga pakaian itu teronggok di dekat kakinya.
“Kamu gila, hah!” teriak Aleandra kencang. Dia buka jas dengan cepat, lalu melemparkannya pada Aryesta. “Pakai!” titahnya tak kalah kencang. Kaki-kakinya melangkah lebar dengan tak sabar. Lalu dia pakaikan sendiri jas itu pada Aryesta.
“Dasar perempuan murahan!” bisik Aleandra setelah selesai memakaikan jasnya di tubuh Aryesta yang mematung.
Aryesta menatap marah pada Aleandra, sekaligus tak percaya dan sakit hati. Bukankah tadi laki-laki itu yang memintanya begini? Lalu, sekarang justru mengumpatinya. Sebenarnya apa yang Aleandra inginkan. Harusnya Aryesta-lah yang marah.
“Ikut aku sekarang!” Aleandra mencengkeram tangan Aryesta. Menariknya hingga keduanya sampai pada private room yang memang tersedia di dalam ruangan CEO itu. “Gantilah bajumu!” Setengah tak sabar, dia menghempaskan tangan Aryesta setelah keduanya berada di dalam kamar.
Laki-laki itu membuka semua pintu lemari. “Apa yang sedang kamu lihat, hah!” sentak Aleandra yang melihat Aryesta masih terdiam menatap isi lemari yang penuh dengan pakaian perempuan.
Mengingat kenekatan Aryesta membuka baju tadi, dia semakin kesal. Laki-laki itu terus mengumpati Aryesta dalam hati. Hanya demi sebuah informasi, Aryesta mau memperlihatkan tubuh di depan laki-laki asing tadi.
Sial! Dia harus memastikan dua temannya tadi tak sempat melihat tubuh Aryesta. Beruntungnya rambut Aryesta tergerai, Alaendra rasa kedua temannya belum sempat melihat jelas.
“Cepat ganti bajumu, hei!” suruh Aleandra, lalu pergi dari sana dengan pintu yang ditutup rapat setelah mengatakan alamat hotel pada Aryesta sesuai janjinya tadi.
Aryesta masih memandangi pintu yang tertutup. Dia menggeleng. Merasa sangat aneh dengan sikap Aleandra. Lelaki itu yang memintanya membuka pakaian, dan sekarang justru tampak begitu marah.
“Dasar aneh!” gumam Aryesta. Matanya kemudian memindai seisi ruangan sambil berjalan. Lalu, maniknya berhenti tepat pada isi lemari. “Semuanya pakaian perempuan.” Dia menggeser-geser baju yang digantung. “Hah, ada dalaman juga. Apa dia sering bawa perempuan ke sini?” tanyanya masih dengan menggumam. Lalu, tiba-tiba saja Aryesta merasa kesal sendiri.
Aryesta mengambil satu blush berwarna peach yang tampak cantik. Dia menyentuh bandrol yang masih terpasang di sana. Dia lalu mengambil pakaian lainnya untuk memilih. Dari merek yang tertera di sana, Aryesta tahu bahwa pakaian itu memiliki harga yang sangat mahal.
Memilih blush peach yang akan dia pakai, Aryesta meletakkan pakaian lain ke tempatnya. Dia kenakan pakaian dengan cepat. Lalu, bergeser ke arah cermin.
Di meja rias itu dia temukan perlengkapan perempuan cukup lengkap. Tak ingin pikirannya meliar ke mana-mana, dan jadi kian kesal, Aryesta merapikan rambutnya saja agar segera selesai.
Selesai menyisir rambut, Aryesta tak sengaja menatap satu pigura. Dalam foto itu, ada Aleandra bersama perempuan. Jika Aleandra menatap ke arah kamera, perempuan yang menyandarkan kepala justru membelakangi kamera.
Menyentuh bingkai foto, Aryesta merasa tak asing dengan sosok yang hanya tampak belakang. Matanya sedikit menyipit, lalu membesar lagi. Sayang, meski tak asing, tak dia temukan ingatan tentang foto tersebut.
Aryesta membolak-balik pigura tersebut. Menimbang sebentar, tangannya hendak membuka bagian belakang. Namun, tiba-tiba foto dari tangannya ditarik. Aryesta terkesiap.
“Apa yang kamu lakukan, hah?!” Aleandra mendesis. “Lancang sekali kamu menyentuh barang-barang pribadiku!"
Aryesta meneguk ludah kesal. "Aku hanya melihat fotonya saja! Bukan barang berharga! Dasar menyebalkan!" Dia entakkan kaki, lalu pergi dari sana.
Kembali ke ruangan tadi, tak dia temukan dua laki-laki tadi. Aryesta sempat heran, kenapa dua lelaki itu tak ada. Menggeleng tak peduli, Aryesta membawa dirinya ke hotel.
Sementara itu. Di dalam ruangan, Aleandra duduk di tepi kasur. Matanya memandangi potret di tangannya. “Ini belum seberapa dengan apa yang kamu lakukan dulu, Aryesta,” bisiknya dengan tatapan tajam penuh dendam dengan ingatan-ingatan yang mulai melanglang buana pada lima tahun lalu.
*
*
Sementara itu lima belas menit kemudian, Aryesta telah berada di hotel yang Aleandra maksud. Ada getar ragu untuk melanjutkan langkah. Biar bagaimana pun, Aryesta masih tak percaya jika Dion berselingkuh dengan adik tirinya hari ini.
Rasa penasaran, pada akhirnya membuat Aryesta mendekat. Dia berjalan di lorong hotel menuju kamar dengan nomor yang sesuai. Sampai di kamar yang dimaksud, dia mengerutkan kening, saat melihat pintu itu tak tertutup rapat.
Pelan-pelan, Aryesta buka pintu lalu menutupnya pelan. Saat dia berbalik dan berjalan, dia temukan pakaian yang tercecer tak beraturan. Seketika, jantungnya berdentam tak beraturan.
Melangkah lebih dekat, Aryesta memejamkan mata. Kakinya berhenti seketika. Suara desah dua orang saling bersahutan kian menambah getar dalam tubuhnya.
Aryesta menggeleng demi menyangkal. “Enggak mungkin Mas Dion mengkhianatiku,” bisiknya pada diri sendiri. Dia ingin berhenti mencari tahu. Namun, kaki-kakinya justru membawanya hingga ke dapur.
Aryesta menutup mulutnya dengan kedua tangan. Pemandangan dua orang saling memagut, juga tubuh saling menempel dengan salah satunya bergerak pelan, adalah yang membuat tubuhnya lemas.
Menggeleng tak percaya pada apa yang dia lihat, Aryesta mundur. Tubuhnya limbung hingga dia tak sengaja menyenggol vas bunga. Vas bunga yang terbuat dari kaca itu jatuh, menimbulkan bunyi pecahan nyaring hingga dua sejoli yang sedang saling mencari kepuasan praktis menghentikan aktivitas percintaan mereka.
“Aryesta?” Dion terkejut. Dia menjauhkan tubuhnya dengan rasa gugup seolah tertangkap basah sedang berselingkuh. “I–ini enggak seperti yang kamu pikirkan, Sayang!"
Aryesta tertawa miris. Dia tak menjawab pertanyaan suaminya. Dia lebih tertarik pada Dinda yang menyunggingkan senyum penuh kemenangan.
“Jadi, ini kelakuan kalian di belakang aku, Mas!” teriak Aryesta yang seketika itu juga hatinya hancur berkeping-keping.
"Enggak Sayang! Aku bisa jelasin semuanya!" jawab Dion yang seketika matanya membulat kala melihat ke arah Aryesta yang sedang mengangkat pecahan vas bunga
Lalu Aleandra pun menjelaskan jika di perusahaannya terjadi keributan. Membuat Aryesta ikut terkejut dan mengajak suaminya itu untuk segera pergi ke perusahaan."Tapi aku tidak mungkin ninggalin kamu sama Dean di sini, Ar.""Kami ikut kamu, Mas. Urusan Maria kita serahin ke Ben saja, oke?" saran Aryesta yang langsung disetujui oleh suaminya itu.Akhirnya Aleandra pun segera menelpon Beni dan menyerahkan segala urusannya pada laki-laki itu. Sementara dia pergi ke perusahaan.Di perjalanan, Dean tersadar dan sedikit linglung, yang langsung disyukuri oleh orang tuanya.Aryesta memeluk erat tubuh putranya lalu berucap, "Maafin Mommy, Sayang. Karena Mommy lepasin tangan kamu tadi, kamu hampir saja diculik sama si Ulat bulu itu."Dean masih bingung, tetapi juga mengangguk dan balas memeluk sang ibu, dengan perasaan nyaman luar biasa.Aleandra yang ikut lega pun mengusap puncak kepala Dean, sambil tetap fokus pada kemudi, yang tersenyum kala sedetik tatapan ayah dan anak itu saling bertautan.
Mobil yang Maria kendarai menabrak motor tersebut, membuat berteriak dan membanting setir kemudi, hingga berakhir menubruk batang pohon besar, dan membuatnya tak sadarkan diri.Orang yang lalu lalang langsung mendekat, dan memanggil ambulance juga pihak polisi untuk segera datang ke tempat kejadian.Hingga kerumunan itu menyebabkan kemacetan, dan membuat Aleandra yang hendak melewati jalur tersebut mengumpat kasar.Melihat suaminya mencak-mencak, Aryesta pun memutuskan untuk keluar mobil dan bertanya pada warga sekitar."Ah itu, Bu. Ada mobil hitam tabrakan sama motor yang orangnya lagi mabuk. Kayaknya yang bawa mobil luka parah, tapi untungnya balita yang ada di mobil penumpang baik-baik saja, Bu."Ucapan salah satu warga yang menjawab pertanyaan Aryesta tentu saja membuatnya terkejut bukan main.Jantungnya berdebar-debar tak menentu, seraya melangkah menuju mobil yang bagian depannya sudah nyaris hancur.Detik itu juga mata Aryesta membulat sempurna, dan langsung berlari menuju pintu
Saat ini Aryesta dan Aleandra sedang berbelanja di supermarket untuk kebutuhan sehari-harinya. Bukan tak percaya pada asisten rumah tangga, tetapi keduanya sedang healing bersama putra mereka.Dan saat ini keduanya sedang berada di taman bermain, baru saja Aryesta mengambil dompet dari tas untuk mengangkat sebuah telepon, pada detik kelima dia berbalik langsung bertatapan dengan mata tajam Aleandra.Baru saja membuka mulutnya hendak bicara, tetapi ucapannya langsung tertahan."Di mana Dean, Ar! Kenapa kamu malah sibuk teleponan?!"Deg!Saat itu juga mata Aryesta menoleh ke samping kirinya dan melotot, ketika keberadaan putranya tiba-tiba hilang entah ke mana.Bukannya menjawab, Aryesta langsung panik dan berjalan ke sana kemari mencari Dean, yang lenyap seketika itu."Sialan! Siapa yang berani main-main denganku, hah?!" pekik Aleandra yang merasa jika ada yang tak beres dengan hilangnya putra mereka.Tanpa banyak waktu, Aleandra bergegas mencari keberadaan Dean, berpencar dari sang ist
Aleandra berdiri di balkon kamarnya, memandang langit malam dengan tatapan kosong.Ya, setelah kelahiran bayi Adam dan Dinda 3 jam yang lalu, Aleandra putuskan kembali ke rumah, melanjutkan sisa-sisa masalah yang sebelumnya sudah diurusi oleh Beni."Apakah bayinya setampan Dean, Mas?" ucal Aryesta seraya merengkuh tubuh suaminya dari belakang.Hal yang membuat Aleandra terlonjak saking kagetnya. Beruntung laki-laki itu mengenali aroma parfum yang menempel di kulit istrinya, sehingg tak berakhir dia banting, karena Aleandra sangat tak menyukai sentuhan lawan jenis, selain istrinya saja.Aleandra tersenyum dan menggelengkan kepalanya tak setuju, "Dean yang paling tampan, Ar. Kau tenang saja, di kemudian hari pasti Dean yang akan menang jika mereka terjebak cinta jajar genjang."Aryesta terkekeh mendengarnya sambil berjalan ke samping, dan menyandarkan kepalanya di lengan sang suami."Jadi namanya Bian Reganza, Mas?"Aleandra menganggukan kepalanya, lalu tanpa menunggu waktu yang lama unt
Maria melangkah pelan menuju punggung Dinda, sampai ....Bruk!"Argh!" teriak Dinda dengan tubuhnya yang sudah terjungkal ke depan, perut buncitnya pun menempel ke atas lantai dengan hantaman keras."Dinda!" Adam refleks membentak, melihat istrinya terjatuh dan mengerang di atas lantai.Sampai akhirnya dia sadar jika ada seseorang di belakang, yang sedang mematung tak percaya, dengan apa yang baru saja dia lakukan pada adik ipar dari Nyonya rumah ini."Kau ... dasar perempuan kurang ajar!" suara Adam menggelegar berat, lalu melangkah ke arah Maria hingga ....Bugh!Bruk!"Argh!" Maria meringis sata bahunya ditonjok dan disungkurkan dengan kekuatan penuh, membuat tubuhnya terpelanting di atas lantai, dan mengenai guji di dekatnya, membuat semua orang yang baru saja masuk rumah, langsung berhamburan mencari sumber suara.Semua orang menatap terkejut, saat Dinda terjatuh dan menangis, sambil menatap paha putihnya yang sudah dilumuri darah segar.Kemudian tatapan semua orang menoleh ke ara
Dada Maria berdebar keras, mendengar suara berat itu, suara yang sangat jarang dia dengar, kini laki-laki itu datang juga ke mansion tuannya.Maria masih mematung, dan belum membalikkan badannya, takut jika laki-laki itu mengadukannya pada sang Tuan, ataupun memprovokasi tuannya untuk memecatnya dari pekerjaan ini.Laki-laki yang ternyata adalah Adam, wakil direktur di perusahaan Alra Grup, sekaligus sahabat Aleandra itu pun berjalan 4 langkah, kemudian berhenti, tepat di depan Maria, membuatnya membelakangi Maria saat ini."Saya mengetahui niat busukmu itu, bahkan saya yakin, kalau sahabat saya juga sudah mengetahuinya. Dia diam hanya karena menganggap kamu bukan lawan sepadannya saja. Jadi jangan terlalu percaya diri, Maria."Perkataan Adam langsung membuat lutut Maria lemas, hingga tubuh Maria ambruk ke atas lantai, tetapi baru saja Adam hendak menoleh ke belakang untuk melihat kondisi Maria, dari arah dalam rumah muncullah seseorang."Sayang! Kamu berani gatel sama pengasuh kegatel
"J–jadi Tuan tahu kalau Maria itu ...."Ucapan Beni menggantung, dan menatap tuannya sedang tersenyum miring, diiringi anggukan kepala untuk membenarkan apa yang ada di dalam kepala Beni."Maria berhalusinasi terlalu tinggi, hingga bermimpi ingin menjadi Nyonya rumahku. Oh, sungguh menggelikan. Bahkan Maria belum ada seujung kukunya istriku, Ben," kekeh Aleandra, yang mentertawakan kelakuan absurd baby sister putranya.Namun,satu alis Beni terangkat, dan bingung dengan apa yang ada di dalam kepala tuannya pun kembali bertanya."Kalau Tuan tahu kelakuan perempuan kampret itu, kenapa Tuan belum juga mengusirnya?"Aleandra tersenyum singkat, lalu mengangkat kedua bahunya, "Seperti yang kubilang tadi. Aku cukup terhibur dengan kecemburuan istriku, dan sangat menyenangkan melihat kesulitan Maria, saat menghadapi ketantrumannya Dean."Beni cukup mengerti, dan memang cukup menghibur melihat Maria dalam kesulitan menghadapi Dean selama ini.Hingga akhirnya percakapan keduanya selesai, karena d
"I–ini tidak mungkin," lirih Aleandra yang masih tak percaya dengan diagnosa dokter tadi.Masih sangat terkejut, kini Aleandra duduk di bangku yang tersedia di luar ruang perawatan. Kemudian matanya menatap pintu kamar VVIP tempat istrinya beristirahat.Sibuk dengan lamunan, tiba-tiba saja seseorang menepuk bahu Aleandra, membuatnya sedikit terlonjak kaget, saat melihat Beni datang tanpa Dean.Berhubung ini rumah sakit, dengan usia Dean yang baru 3 tahun, membuat balita itu mau tak mau harus duduk manis di mansion mewahnya, ditemani Denia, juga Dinda untuk menjaganya, selama Aryesta belum diperbolehkan pulang."Saya minta maaf mengenai kejadian dua hari lalu, Tuan. Tapi yang jelas kami tidak memiliki hubungan apa pun selain Nyonya dan bodyguard-nya saja," jelas Beni membuka pembicaraan, karena laki-laki itu belum mengetahui hasil pemeriksaan medis sang Nyonya.Ada helaan napas dari Aleandra saat mendengar penjelasan tersebut. Karena sebetulnya dia pun tahu kebenarannya, setelah mengece
Meninggalkan Maria yang masih menyeringai di belakang, Aleandra sudah berjalan menjauh, menururni anak tangga, dan mata tajamnya menyapu ruang tamu yang lampunya sudah menyala.Dan entah kenapa perasaannya mendadak tak tenang, setelah mendapat aduan dari baby sister putranya tadi, mengenai keberadaan istrinya yang sedang berduaan dengan salah satu orang kepercayaannya, yaitu Beni."Aku tidak akan memaafkanmu kali ini, Ar. Kita lihat saja setelah ini apa yang akan aku lakukan padamu," cicit Aleandra dengan tangan mengepal kencang. Terus berjalan hingga kakinya berhenti di ambang pintu dan melihat sesuatu yang membuat dadanya terbakar api cemburu. Di depan sana ... Beni sedang memeluk pinggang istrinya, membuat Aleandra berteriak kencang."Apa yang kalian lakukan di sini, brengsek!"Bugh!Bugh!Bugh!Dengan brutal Aleandra menarik kerah kemeja Beni, lalu memberikan 3 pukulan pada laki-laki yang sudah sangat lancang menyentuh miliknya. Sialan!Gigi Aleandra bergemelutuk, saat bayangan