Sejak pertemuan pertama dengan Dewi, Seno semakin jarang pulang ke rumah. Sekalipun dia pulang, pasti hari sudah larut. Bukan hanya Seno yang berubah dan jarang di rumah, Bu Sekar pun lebih banyak menghabiskan waktunya di luar sana.
Terkadang keduanya pulang dalam keadaan mabuk, atau pulang dengan tangan penuh barang belanjaan. Andin tidak tahu apa yang keduanya lakukan, tapi dia bukan gadis lugu yang tidak tahu apa pun.Seperti halnya dini hari ini, saat Andin baru saja selesai dengan pekerjaan rumah, suaminya baru saja pulang. Namun ada yang berbeda, jika selalunya Seno pulang sendiri malam ini Dewi dengan Seno."Ngapain kamu bengong! Cepetan bantu aku, kamu kira mapah Mas Seno nggak berat!" hardik Dewi. Dewi kewalahan menyanggah tubuh Seno yang teler akibat minuman keras yang dia tenggak."Kenapa kamu yang bawa Mas Seno pulang? Biasanya dia pulang sendiri.""Heh! Cewek dungu, lihat dong kondisi Mas Seno. Memang dengan kondisinya yang seperti itu dia bisa pulang dengan kakinya sendiri? Kenapa? Kamu cemburu?" tanya Dewi dengan sombongnya."Bukan begitu, tapi 'kan tidak enak dilihat tetangga. Mas Seno tiap hari pulang mabuk dan sekarang malah diantar wanita lain," ucap Andin."Emang apa urusannya dengan mereka? Hidup Mas Seno kenapa kamu yang melarangnya? Suka-suka dia dong mau pulang dalam keadaan seperti apa dan dengan siapa?"Dewi mengamati penampilan Andin dari atas hingga ke bawah, kemudian dia terkekeh sendiri."Pantas saja Mas Seno lebih betah di luar dari pada di rumah. Lihat saja dirimu sendiri, nggak pernah ngaca ya? Mana nafsu dia lihat istrinya yang jauh lebih terlihat seperti pembantu," sindir Dewi.Andin tidak menghiraukan Dewi, dia memapah suaminya menuju kamar utama. Kamar yang hanya di tempati Andin jika Seno menginginkan dirinya saja. Dewi yang jengkel karena ucapannya diabaikan Andin menarik rambut sebahu Andin yang bergelombang."Heh! Aku itu ngomong sama kamu, bukan sama tembok! Mentang-mentang Mama sedang liburan di luar negeri, kamu jadi bersikap seenaknya saja ya!" teriak Dewi yang tidak suka jika ada orang mengabaikan dirinya.Andin menghela nafas berat, dia memang bersyukur ibu mertua dan Seno jarang di rumah. Setidaknya dia tidak mendapatkan kekerasan fisik maupun mental, yang dilakukan oleh keduanya.Bu Sekar juga sudah dua hari ini berada di Jepang, Dewi yang membiayai liburan ibu mertuanya itu."Dasar tidak tahu diri! Kau bukan karena Mas Seno yang kasihan sama kamu, kamu itu sudah jadi gelandangan tahu tidak! Lihat saja, akan aku adukan sama Mas Seno dan Mama. Mam*us kamu nanti!" ancam Dewi.Dewi merebut kembali Seno dari Andin, dia kemudian mendorong Andin saat ketiganya sudah sampai di depan pintu kamar utama."Sana keluar! Jangan ganggu kami, biar aku yang akan mengurus Mas Seno mulai dari sini. Mas Seno itu lebih suka denganku, dari pada denganmu. Dia sendiri yang mengatakan kalau berhubungan denganmu itu monoton dan tidak memuaskan dirinya," sindir Dewi."Tapi aku istrinya Mas Seno," balas Andin."Kamu itu hanya istri di atas kertas saja, begitu Seno sudah bosan denganmu dia akan membuangmu ke jalanan. Paham!"Dewi menutup pintu dengan kasar, hingga membuat Andin yang berdiri di dekat pintu hampir jatuh.Hari demi hari kelakuan Seno makin menjadi, jangankan untuk pulang ke rumah yang sudah mulai jarang. Seno bahkan sudah tidak pernah memberikan nafkah pada Andin. Alasan Seno selalunya sebab Andin tidak memerlukan uang, makan rumah sudah ditanggung Seno. Sementara itu mereka juga belum punya anak, jadi Andin tidak punya alasan untuk meminta nafkah padanya. Untuk keperluan pribadinya, Andin mencoba menjadi reseller online shop. Secara tidak langsung, Andin sudah diabaikan oleh Seno. "Andin!!" "Andin!!" Lamunan panjang Andin memikirkan nasibnya seketika buyar, saat ibu mertuanya memanggil dirinya dengan lantang. "Iya, Ma. Ada apa?" tanya Andin yang tergopoh-gopoh memenuhi panggilan sang ibu mertua. "Kamu ini dari tadi aku panggil nggak dengar apa? Tuli atau memang sengaja, hah?" Bu Sekar segera menarik telinga Andin, hingga telinga menantunya itu memerah. "A--ampun, Ma. S--saya beneran nggak denger," jawab Andin, meringis kesakitan. "Ya Tuhan! Aku lama-lama bisa mati berdiri, ka
Hari ini Andin keluar diam-diam dari rumah, bukan untuk kabur. Dia hanya ingin bertemu dengan temannya, oh bahkan mungkin sahabatnya. Sebab hanya dia teman yang Andin punya. Andin terpaksa keluar tanpa meminta izin dari ibu mertua maupun suaminya, selain ke pasar Andin tidak diizinkan untuk keluar rumah. Hidup Andin di rumah itu tidak cukup dijadikan sebagai pembantu, pemuas nafsu suaminya, tapi juga bagai tawanan. "Andin!" Suara yang sangat Andin kenal membuatnya menoleh, mencari si pemilik suara. "Siska..." Andin berlari sekuat tenaga dan memeluk sahabat yang sudah lama tidak dia temui. "Ya ampun, Ndin. Kamu kenapa jadi kurus begini?" Ketika Siska membalas pelukan Andin, dia menyadari tubuh sahabatnya itu jauh lebih kurus dari terakhir dia bertemu dengan Andin. "Sebenarnya apa yang terjadi selama pernikahan kamu dengan Seno? Jangan bilang Seno tidak memperlakukan kamu dengan baik?" terka Siska. Andin membisu, dia tidak yakin apa harus menceritakan semuanya pada Siska. Bukank
"Dari mana kamu?" Suara Bu Sekar mengagetkan Andin, yang baru saja kembali seusai dia menemui Siska. "S--saya habis buang sampah di depan, Ma." "Buang sampah aja lama amat. Dipanggil-panggil nggak nyahut.""Maaf, Ma. Tadi saya juga bersihin halaman belakang, jadi nggak denger Mama manggil saya." Andin menyeka keringat dingin di dahinya, dia sangat takut kalau sampai ketahuan keluar dari rumah. "Ya sudah! Buatin aku mie rebus, lapar banget ini." "Tapi, bukannya Mama mau keluar sama Dewi?" Bu Sekar mendelik, persis seperti dedemit yang selalu muncul di film horor. "Kalau disuruh tuh jangan banyak tanya! Sana buat, bawel amat jadi orang!" Bu Sekar mendorong Andin, sampai hampir jatuh. Tidak mau membuat ibu mertuanya murka lebih dari itu, Andin menuruti apa yang ibu mertuanya minta. Selama memasak mie rebus, Andin teringat dengan rencana yang disarankan oleh Siska. Siska mengatakan padanya, kalau dia akan mencari seorang pengacara untuk menangani kasus Andin. Pengacara yang komp
"Apa yang kamu lakukan tadi?" tanya Bu Sekar dengan pandangan mata penuh curiga. "T--tidak sedang apa-apa kok, Ma. Sumpah." Andin tidak tahu harus menjawab apa pada ibu mertuanya. Selama ini dia menjadi menantu dan istri yang jujur. Tidak pernah sekalipun Andin berkata bohong, sepahit apa pun hidup yang dia alami sejauh ini. "Sudah berani berbohong ya kamu, tadi aku lihat kamu sedang membalas chat orang 'kan? Hayo ngaku! Jangan bilang kamu itu punya selingkuhan di luar sana? Makanya ngumpet-ngumpet begini?" terka Bu Sekar. "T--tidak, Ma. S--saya tidak pernah punya pikiran seperti itu. Demi Tuhan, Ma." "Halah! Jangan bawa-bawa nama Tuhan untuk menutupi kebohonganmu itu, kemarikan HP-mu! Cepat!" Andin menggeleng cepat, dia sudah menghapus chat dengan Siska. Untung saja dia juga belum memfoto luka lebam seperti yang diminta Siska. Mengantisipasi jika hal yang tidak diinginkan terjadi, sebelum rencana mereka berhasil. Baru saja Andin ingin memulai rencananya, dia sudah kepergok dulua
Seno menekan tombol hijau sehingga terdengarlah suara si penelpon. Seno pun juga mengaktifkan speaker, supaya ibunya dan Dewi dapat mendengar juga. "Selamat sore Ibu, saya Angie dari jasa_" Belum juga si penelpon yang ternyata spam itu selesai berbicara, tapi Seno sudah memutuskan sambungan telepon itu. Bukan Seno namanya jika melepaskan hal itu begitu saja. Karena dia gagal membuat masalah dengan Andin, Seno pun mengecek history chat dan panggilan di HP istrinya itu. Tidak ketinggalan dengan galeri yang ada juga menjadi objek kekesalan Seno. "Tuh 'kan, Mas. Aku bilang juga apa. Aku tidak pernah sekalipun berpaling hati darimu, Mas. Berbeda dengan apa yang kamu lakukan padaku. Bukan hanya kamu melukai hatiku dengan membawa wanita lain ke rumah kita, kamu juga menjadi lebih ringan tangan. Sebenarnya aku ini siapa di matamu, Mas? Masihkah aku dianggap sebagai istri?" ujar Andin. "Sekarang itu aku bukan lagi bahas tentang aku, tapi kamu. Jangan memutar balikkan pembicaraan ya!" sent
Suara bel masih nyaring terdengar, baik Bu Sekar, Seno, mau pun Dewi tidak ada yang berani beranjak membukakan pintu. Ketiganya ketakutan dengan apa yang baru saja mereka lakukan terhadap Andin. Begitulah apa yang dirasakan orang yang berbuat dzalim. Mau sekeras apapun menyangkal dan menutupi perbuatan mereka, hati kecil mereka tidak dapat berbohong. Karena rasa takut itulah, ketiganya hanya saling melempar tugas untuk membukakan pintu dan melihat siapa yang datang. "Ma, Mama saja tuh yang buka. Paling juga itu teman Mama," ucap Seno. "Loh, kok Mama sih? Harusnya kamu saja, kan kamu yang laki-laki di antara kita bertiga.""Duh, kok aku? Ya sudah kamu saja, Dewi." "Kok aku? Kan ini rumah kamu, Mas." Sampai akhir pun tidak ada yang mau, akhirnya Seno terpaksa mengakhiri perdebatan siapa yang membuka pintu. Dia pun melangkah ke arah pintu depan."Semangat ya, Mas. Hati-hati juga," bisik Dewi sambil cekikikan. Seno hanya mengangguk, tapi dia terus menerus menggerutu akan kehadiran
"Ma! Buka pintunya, Ma! Mama! Mas Seno!" teriak Andin. Digedornya juga pintu kayu itu dengan sekuat tenaga. Namun nihil, jangankan ada yang membukakan pintu itu. Dua orang yang dia panggil juga tidak ada yang menyahut. "Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" Andin mengitari kamarnya, dengan kakinya yang pincang itu dia tertatih-tatih mencari sesuatu untuk membuka pintu kamar atau kabur dari kamar tersebut. Beruntung kamar yang ditempati Andin itu berada di lantai satu, bersampingan dengan dapur. Setelah dia pisah kamar dengan suaminya yang menempati kamar utama di lantai dua. Jadi kalau pun dia kabur dari jendela, tubuhnya tidak akan cidera. "Kamar ini hanya punya satu pintu yang kuncinya dipegang Mas Seno. Jendela ini juga tidak bisa dibuka dengan mudah." Andin memutar otaknya, diperhatikannya susunan jendela itu. Jendela kayu yang tidak memiliki kunci. Karena kamar yang dia tempati itu awalnya gudang, maka dari awal rumah itu dibangun, jendela itu memang tidak diperuntukk
"Sarip! Bagus, tahan dia! Jangan biarkan dia kabur!" seru Bu Sekar. Sarip--tukang kebun-- itu lah yang tengah mencegat Andin. Sarip ini tidak bisa bicara, tapi dia bisa paham apa yang orang lain katakan melalui gerak bibir orang tersebut. "Mang Sarip, tolong lepaskan saya, Mang. Saya harus pergi dari rumah ini. Saya mohon, Mang," ucap Andin penuh harap. Andin dapat membayangkan bagaimana nasibnya jika dia kembali tertangkap oleh ibu mertuanya. Mengingat keributan yang terjadi dan Seno tidak kelihatan sama sekali, itu artinya Seno dan Dewi sudah pergi. Makanya saat ini merupakan kesempatan langka bagi Andin. Sarip masih belum melepaskan tangan Andin, mungkin dia juga takut jika dia menuruti ucapan Andin. "Mang, tolong saya. Saya bisa mati kalau sampai tertangkap oleh Mama, saya mohon, Mang Sarip." Andin kembali memohon. Wajah Andin memucat saat dilihatnya Bu Sekar sudah makin dekat dengannya."Sarip! Jangan kamu lepaskan Andin! Awas kamu kalau melawan perintahku!" ancam Bu Sekar.