Tok... Tok... Tok... "Mbak, kamu sudah bangun?"Suara Lukman dari luar kamar Andin, membangunkannya. Andin bangun dari tidurnya dengan kepala yang terasa berat. Sampai dini hari dia tidak bisa tidur, walau dia berusaha untuk tidak memikirkan Seno lagi. Namun tetap saja, tidak mudah baginya untuk melupakan orang yang telah hidup bersama dengannya selama beberapa hari terakhir. Apa lagi Seno adalah cinta pertama Andin, orang bilang cinta pertama itu susah dilupakan. Walau hadirnya terkadang sering kali menyebabkan luka dan derita. Seperti yang Andin rasakan saat ini. Dibukanya pintu kamar hingga memperlihatkan Lukman yang telah siap dengan setelan jas warna hitam, membalut tubuh tegap Lukman. "Baru bangun?" Lukman merapikan rambut Andin yang hampir menutupi wajah cantik perempuan itu. "Sepertinya Mbak masih belum bisa melupakan Mas Seno. Hati Mbak terlalu lemah, aku tidak yakin kita bisa menjalankan rencana kita," ucap Lukman. "Sekarang, apa yang ingin Mbak lakukan? Apakah Mbak a
Andin, Lukman, dan Laras telah sampai di kafe yang telah Laras tetapkan sebagai tempat pertemuan antara dirinya dan Seno. "Kamu yakin kan Mas Seno tidak tahu identitasmu yang sebenarnya?" tanya Lukman. "Tenang saja, dia hanya tahu aku sebagai pemilik diskotik saja. Selain itu dia tidak tahu apapun. Lagian kamu jangan terlalu khawatir, Seno itu aslinya bego. Dia hanya pintar merayu wanita saja. Otaknya mah cetek," jawab Laras. Laras menggandeng lengan Andin, meninggalkan Lukman yang masih mematung seorang diri. "Kita tinggalkan saja dia, kebanyakan mikir." Laras tidak peduli dengan panggilan Lukman. Di dalam kafe tidak terlalu banyak pengunjung, musik jazz yang mengalun juga menambah suasana tenang. Namun tidak dengan hati dan pikiran Andin. Ada rasa takut yang mulai menyelimuti dirinya, apakah dia akan baik-baik saja saat bertemu dengan suaminya nanti? Bagaimana jika nanti suaminya itu justru murka dan membuat masalah di kafe ini. Apakah suaminya juga menerima begitu saja ketik
"Kamu!" Mata Seno terbuka lebar saat Lukman yang tidak dia kenali menolong Andin. Dewi mendengus kesal, dia tidak menyangka kalau Andin akan dibela oleh seseorang. Apa lagi orang yang menolong Andin itu lelaki tampan berwibawa, tubuh kekar lelaki itu juga membuat Dewi menelan ludahnya. "Oh, pantes saja kamu kabur. Ternyata memang kamu punya selingkuhan di luar sana, dasar munafik! Gayanya saja sok alim, nasehatin ini itu tentang aku dan Mas Seno. Eh tahunya, kamu sendiri juga melakukan hal yang sama," cibir Dewi. "Apa kamu bilang? Hei, Dewi! Kamu itu nggak tahu apapun tentangku, jadi kamu tidak berhak untuk menghinaku seperti itu!" Andin naik pitam ketika dia mendengar ucapan Dewi, rasanya dia ingin menghajar perempuan yang telah menjadi duri dalam rumah tangganya. "Hahaha....! Dasar munafik! Sudah jelas ini orang yang menjadi selingkuhan kamu bukan? Kalau bukan begitu untuk apa dia menolong cewek kampungan macem kamu!" Lagi-lagi Dewi hendak mencelakakan Andin, tapi Lukman dengan
Lukman masih dengan setia menunggui Andin, hatinya sakit saat dia harus menyaksikan Andin terbaring tak berdaya. Dokter mengatakan kalau Andin tidak mengalami masalah yang serius, penyebab pingsan Andin karena kurang istirahat dan terlalu banyak pikiran. "Bangunlah, Mbak. Kalau Mbak seperti ini aku bingung harus berbuat apa," gumam Lukman. Digenggamnya jari jemari Andin. Kalau saja dia bisa mencegah Andin dari mendapat perlakuan buruk Seno, mungkin semua itu tidak akan terjadi. "Kalau saja aku punya kekuatan untuk melawan Mas Seno sejak dulu, aku akan membawamu keluar dari tempat itu. Maaf, Mbak." Lukman masih terpaku di tempatnya, sedangkan Laras sudah dia suruh pulang beberapa saat lalu. Rencana yang melibatkan Andin memang dibatalkan, tapi Lukman masih meminta Laras untuk menjalankan rencana lainnya. Mendapatkan bukti perselingkuhan Seno dan Dewi, dengan adanya bukti-bukti tersebut akan memudahkan mereka untuk menuntut Seno di persidangan nanti. Bukti kekerasan yang dilakukan
"Sabar kenapa sih, emang nyari bukti itu gampang? Periksa email mu, semuanya sudah ku kirim di sana." Suara Laras memeki, memekakkan gendang telinga Lukman."Sialan, santai aja bisa kan? Budeg aku nanti." "Santai, santai tapi caramu mengangkat telpon itu menyebalkan. Sudahlah periksa dulu email mu sekarang, kalau semua bukti yang sudah aku kumpulkan itu kurang, aku akan mengumpulkan lebih banyak lagi." "Oke, tunggu sebentar." Lukman kemudian membuka aplikasi G***l dan mengecek email dari Laras. Di situ tertera bukti perselingkuhan Seno berupa foto maupun video. Ada juga bukti cek in dari hotel di mana Seno dan Dewi menghabiskan malam. "Dasar laki-laki biadab, padahal baru saja dia bertemu dengan istrinya dan membuat keributan seperti itu. Bukannya sadar, tapi malah makin menjadi. Memang sudah waktunya orang itu mendapat balasannya," gerutu Lukman ketika dia melihat foto dari kakak kandungnya dengan kelakuan busuknya. "Gimana?" tanya Laras yang masih menunggu titah selanjutnya dari
"Seno! Seno! Kesini sebentar, Nak!" Seru Bu Sekar. Perempuan tua berbadan gempal itu berlarian kecil untuk mencari keberadaan putranya, berkali-kali dirinya memanggil sang anak tapi tidak ada sahutan. Brak! Pintu kamar Seno dibukanya dengan kasar, yang langsung membangunkan Seno saat itu juga. "Mama! Ngapain sih buka pintu kasar begitu! Aku itu capek, ngantuk. Bisa nggak biarin aku tidur, Ma!" Seno yang baru pulang jam empat subuh, setelah menghadiri party itu tentu murka dengan perbuatan ibunya. "Anak bodoh! Ini bukan waktunya kamu tidur seperti ini! Nih, ada surat buatmu. Kamu pasti emosi saat tahu surat apa itu!" Bu Sekar melempar amplop surat yang dimaksud ke wajah Seno. Karena penasaran, Seno langsung mengeluarkan isi surat dari dalam amplop yang sudah terbuka. Sepertinya sang ibu sudah membaca surat tersebut. "Emang surat apaan sih? Paling juga tagihan rumah seperti biasanya. Gini aja kok ribut macem orang kebakaran jenggot." Dengusan kesal Seno yang belum mengetahui sur
Seno menghentikan mobilnya di parkiran rumah megah Dewi, karena orang tua Dewi di Amerika jadi saat ini hanya ada dia dan para pekerja di rumah tersebut. "Selamat pagi, Mas Seno. Mau ketemu Mbak Dewi ya?" tanya Bibik. "Ya iyalah, masa mau ketemu kamu sih Bik. Mana majikan kamu?" "Mbak Dewi ada di kamarnya, Mas," jawab Bibik dengan wajah masam. Seno menyenggol perempuan paruh baya itu, suasana hatinya sedang tidak baik. Jadi dia lampiaskan pada orang lain. Seno berjalan menuju lantai dua di mana kamar Dewi berada. "Gila ini rumah mewah banget, apa sebaiknya aku ceraikan saja Andin itu? Dengan begitu aku bisa turut menikmati kekayaan Dewi. Lagian Dewi juga sudah cinta mati denganku, tinggal kubuat hamil saja dia. Beres cerita," gumam Seno. Laki-laki bejat yang bahkan tidak bisa memperlakukan istrinya dengan baik itu tengah berangan ingin memanfaatkan perempuan yang mencintai dirinya, niat buruk yang terselubung di hati Seno mulai terlihat ketika Dewi kembali hadir dalam hidupnya.
Hari persidangan pertama telah tiba, Seno, Dewi, dan Bu Sekar telah hadir dengan seorang pengacara yang dijanjikan Dewi. Ketiganya dengan angkuhnya berada di ruang sidang tersebut. "Mas, lihat ternyata pemilik diskotik itu komplotan wanita kampung itu," bisik Dewi.Seno yang semula hanya memperhatikan Andin, dia pun mengalihkan pandangannya ke arah yang dimaksud Dewi. Dengusan kesal pun dia keluarkan saat itu, padahal selama ini Seno sudah banyak bercerita tentang kebusukannya pada orang yang dia kira tidak punya hubungan dengan Andin. "Sialan, ternyata mereka memang sudah memata-matai kita. Aku tidak percaya Andin bisa setega ini denganku, dia sudah lupa daratan. Padahal aku lah yang telah mengangkat nama baiknya, ku jadikan dia istri di saat semua orang menjauhinya karena status sosialnya. Kalau dia tidak menikah denganku, dia itu selamanya akan menjadi pembantu," gerutu Seno. Lelaki itu makin panas dengan perubahan drastis Andin. Istrinya yang selama ini kucel, kurus kering, dan