Terik mentari sudah tinggi, tapi Andin tidak juga mau membuka matanya. Tubuhnya terasa sakit semua, terutama di bagian yang ditendang oleh suaminya.
Semalam Andin tidak bisa tidur sama sekali, tubuhnya menggigil hebat. Dingin namun terasa panas, Andin tidak tahu apakah karena luka yang dia terima atau dia yang terlalu banyak pikiran sehingga kesehatannya menurun drastis.Bu Sekar yang memang bukan tipe morning person, sangat murka saat dia pergi ke meja makan dan tidak ada makanan sama sekali. Dengan langkahnya yang berat, Bu Sekar masuk ke kamar sempit Andin.Kamar yang sejak usia pernikahan Andin yang kedua tahun telah dia tempati. Iya, Andin tidak diperbolehkan untuk masuk dan tidur di kamar utama dengan Seno. Apa bila Seno menginginkan tubuhnya, maka Seno yang akan menemui atau memanggilnya. Sekedar untuk memenuhi hasrat seksualnya.Tidak jauh beda dengan mereka yang bekerja sebagai wanita malam atau wanita panggilan bukan? Dicari ketika butuh, setelah Seno puas lalu Andin dibiarkan begitu saja."Sudah jam berapa ini kamu masih tidur! Tidak ada makanan sama sekali, kamu pikir kamu itu tuan putri yang tidak perlu mengerjakan apapun dan hanya tidur saja?"Bu Sekar menarik selimut lusuh Andin, wanita paruh baya itu bahkan menjewer telinga menantunya yang merintih kedinginan dan kesakitan."Ma, tolong hari ini saja biarkan aku istirahat. Aku nggak enak badan, Ma.""Jangan bohong kamu, dasar pemalas! Banyak sekali alasan kamu ya, cepat bangun!"Bu Sekar yang tidak peduli akan kondisi Andin pun menyeret Andin hingga menantunya itu terjatuh dari ranjang kayu yang sudah tua. Bersyukur tubuh Andin kurus sehingga ranjang itu tidak rusak akibat ulah Bu Sekar."Anakku di luar sana sedang bekerja banting tulang, sementara kamu di sini enak-enak tidur. Dasar tidak tahu diri, aku heran kenapa Seno tidak juga mau menceraikan kamu! Kerjanya hanya tidur, makan, tidur, makan! Buruan masak! Nanti akan ada tamu penting yang datang!"Duk!Bu Sekar menendang tubuh Andin, emosinya tiap kali melihat menantu yang dipilih putranya. Memang untuk standar kecantikan, Andin memiliki kecantikan di atas rata-rata. Dengan kulit putih, pipi merah merona alami, bibir merah ranum, dan lesung pipit.Namun bukan hanya itu yang diinginkan Bu Sekar, wanita itu menginginkan menantu kaya raya dan terpandang. Dengan begitu dia bisa ikut kecipratan enaknya, hidupnya akan dilimpahi hadiah mewah, barang branded juga bukan tidak mungkin menghiasi tubuhnya.Makanya Bu Sekar benci sekali dengan Andin yang tidak bisa memberikan itu semua untuknya, tapi Seno masih belum mau melepaskan Andin. Putranya itu mengatakan Andin masih bisa dimanfaatkan, sebagai pembantu rumah tangga dan juga pemuas nafsunya. Tidak lain dari itu peran Andin di rumah tersebut.Dengan susah payah, Andin selesai menyiapkan aneka hidangan yang diminta mertuanya. Ketika dia hendak kembali ke kamarnya, Andin melihat ibu mertuanya tengah bercanda gurau dengan seorang wanita yang cukup cantik dan seksi."Siapa wanita itu? Aku belum pernah melihatnya. Apa dia kenalan Mama?" gumam Andin.Firasat Andin tidak enak, tapi tidak tidak tahu ada pertanda apa."Heh, ngapain lihat-lihat! Sana pergi! Ngerusak suasana saja, sana masuk ke kamar kamu. Jangan keluar sampai ku suruh!" titah Bu Sekar dengan tatapan jijik.Dari dalam kamarnya yang terletak tidak jauh dari meja makan, terdengar suara Bu Sekar beramah tamah dengan tamu wanita yang dibawanya. Sungguh miris, Bu Sekar tentu tahu Andin yang sedang sakit. Namun, Bu Sekar jangankan membawa Andin ke dokter. Orang yang menjadi mertuanya itu malah menyuruhnya memasak dan membiarkan Andin merintih kesakitan seorang diri. Bulir air mata Andin tak dapat lagi dibendung, wanita malang itu meratapi nasibnya yang selalu tidak mujur. Terbesit di hati Andin menyesali keputusannya menikah dengan Seno, andai saja dia bisa mengetahui seperti apa masa depan yang akan dia lalui dengan Seno tentu Andin akan menolak lamaran lelaki itu. "Apa yang bisa ku lakukan, nasi sudah jadi bubur. Aku hanya bisa menerima takdir yang Tuhan gariskan untukku, aku juga bodoh sebab terlalu mudah menaruh hati," keluh Andin. Selimut yang basah akibat siraman air ibu mertuanya terpaksa dia gunakan untuk menyelimuti tubuhnya yang kini mulai panas, Andin tidak punya pilihan lain. D
Andin tidak menyangka Bu Sekar memperbolehkan orang lain untuk memanggilnya Mama, sedangkan saat Andin memanggilnya demikian, Bu Sekar sangat marah padanya. Bu Sekar mengizinkan setelah usia pernikahan Seno dan Andin menginjak dua tahun. Betapa sakit hati Andin melihat kedekatan Bu Sekar dengan Dewi, selayang pandang saja Andin dapat mengetahui bahwa orang yang diharapkan menjadi menantu di keluarga ini adalah Dewi. Bukan dirinya, yang tidak punya apa-apa. "Mulai sekarang Dewi akan sering datang ke rumah, jadi pastikan kamu melayani Dewi dengan baik. Jangan berlaku kurang ajar, awas saja kalau kamu berani seperti itu," ancam Bu Sekar. Andin hanya bisa mengangguk, ya apa lagi yang dia bisa. Perintah mertuanya adalah suatu kemutlakan yang harus dilaksanakan."Mama, maaf loh aku ngerepotin gini jadinya. Aku nggak enak sama si Mbak dan Mas Seno," ucap Dewi dengan nada manja manjalita. "Tentu saja tidak, Sayang. Oh iya, nggak usah panggil dia, Mbak. Panggil nama saja, atau kamu boleh p
Sebuah mobil Mercedes-Benz 300 SLR Uhlenhaut berhenti tepat di sebuah gedung mewah, dari dalam mobil keluar dua wanita beda generasi. Bisik beberapa orang saat melihat mobil tersebut rupanya menjadi kebanggaan tersendiri bagi kedua wanita tersebut. "Siapa mereka?" "Kalian tidak tahu? Wanita yang sudah paruh baya itu 'kan ibunya Pak Seno. Kalau wanita disebelahnya aku tidak tahu sih, nggak kenal." "Apa mungkin istrinya? 'Kan Pak Seno sudah menikah." "Bukan, Pak Seno memang sudah menikah. Tapi istrinya bukan orang itu, istri Pak Seno itu cantiknya alami. Sedangkan wanita itu cantiknya karena oplas." Iya, dua orang yang baru saja turun dari mobil dan hendak memasuki gedung di mana Seno bekerja adalah Bu Sekar dan Dewi. Keduanya datang tepat di saat jam makan siang, sehingga banyak karyawan yang baru mau keluar mencari makan siang. Walau di perusahaan tersebut tersedia kantin, tapi ada sebagian dari karyawan yang ingin makan makanan luar. Bu Sekar mendelik pada tiga karyawati yang
Sejak pertemuan pertama dengan Dewi, Seno semakin jarang pulang ke rumah. Sekalipun dia pulang, pasti hari sudah larut. Bukan hanya Seno yang berubah dan jarang di rumah, Bu Sekar pun lebih banyak menghabiskan waktunya di luar sana. Terkadang keduanya pulang dalam keadaan mabuk, atau pulang dengan tangan penuh barang belanjaan. Andin tidak tahu apa yang keduanya lakukan, tapi dia bukan gadis lugu yang tidak tahu apa pun. Seperti halnya dini hari ini, saat Andin baru saja selesai dengan pekerjaan rumah, suaminya baru saja pulang. Namun ada yang berbeda, jika selalunya Seno pulang sendiri malam ini Dewi dengan Seno. "Ngapain kamu bengong! Cepetan bantu aku, kamu kira mapah Mas Seno nggak berat!" hardik Dewi. Dewi kewalahan menyanggah tubuh Seno yang teler akibat minuman keras yang dia tenggak. "Kenapa kamu yang bawa Mas Seno pulang? Biasanya dia pulang sendiri." "Heh! Cewek dungu, lihat dong kondisi Mas Seno. Memang dengan kondisinya yang seperti itu dia bisa pulang dengan kakinya
Hari demi hari kelakuan Seno makin menjadi, jangankan untuk pulang ke rumah yang sudah mulai jarang. Seno bahkan sudah tidak pernah memberikan nafkah pada Andin. Alasan Seno selalunya sebab Andin tidak memerlukan uang, makan rumah sudah ditanggung Seno. Sementara itu mereka juga belum punya anak, jadi Andin tidak punya alasan untuk meminta nafkah padanya. Untuk keperluan pribadinya, Andin mencoba menjadi reseller online shop. Secara tidak langsung, Andin sudah diabaikan oleh Seno. "Andin!!" "Andin!!" Lamunan panjang Andin memikirkan nasibnya seketika buyar, saat ibu mertuanya memanggil dirinya dengan lantang. "Iya, Ma. Ada apa?" tanya Andin yang tergopoh-gopoh memenuhi panggilan sang ibu mertua. "Kamu ini dari tadi aku panggil nggak dengar apa? Tuli atau memang sengaja, hah?" Bu Sekar segera menarik telinga Andin, hingga telinga menantunya itu memerah. "A--ampun, Ma. S--saya beneran nggak denger," jawab Andin, meringis kesakitan. "Ya Tuhan! Aku lama-lama bisa mati berdiri, ka
Hari ini Andin keluar diam-diam dari rumah, bukan untuk kabur. Dia hanya ingin bertemu dengan temannya, oh bahkan mungkin sahabatnya. Sebab hanya dia teman yang Andin punya. Andin terpaksa keluar tanpa meminta izin dari ibu mertua maupun suaminya, selain ke pasar Andin tidak diizinkan untuk keluar rumah. Hidup Andin di rumah itu tidak cukup dijadikan sebagai pembantu, pemuas nafsu suaminya, tapi juga bagai tawanan. "Andin!" Suara yang sangat Andin kenal membuatnya menoleh, mencari si pemilik suara. "Siska..." Andin berlari sekuat tenaga dan memeluk sahabat yang sudah lama tidak dia temui. "Ya ampun, Ndin. Kamu kenapa jadi kurus begini?" Ketika Siska membalas pelukan Andin, dia menyadari tubuh sahabatnya itu jauh lebih kurus dari terakhir dia bertemu dengan Andin. "Sebenarnya apa yang terjadi selama pernikahan kamu dengan Seno? Jangan bilang Seno tidak memperlakukan kamu dengan baik?" terka Siska. Andin membisu, dia tidak yakin apa harus menceritakan semuanya pada Siska. Bukank
"Dari mana kamu?" Suara Bu Sekar mengagetkan Andin, yang baru saja kembali seusai dia menemui Siska. "S--saya habis buang sampah di depan, Ma." "Buang sampah aja lama amat. Dipanggil-panggil nggak nyahut.""Maaf, Ma. Tadi saya juga bersihin halaman belakang, jadi nggak denger Mama manggil saya." Andin menyeka keringat dingin di dahinya, dia sangat takut kalau sampai ketahuan keluar dari rumah. "Ya sudah! Buatin aku mie rebus, lapar banget ini." "Tapi, bukannya Mama mau keluar sama Dewi?" Bu Sekar mendelik, persis seperti dedemit yang selalu muncul di film horor. "Kalau disuruh tuh jangan banyak tanya! Sana buat, bawel amat jadi orang!" Bu Sekar mendorong Andin, sampai hampir jatuh. Tidak mau membuat ibu mertuanya murka lebih dari itu, Andin menuruti apa yang ibu mertuanya minta. Selama memasak mie rebus, Andin teringat dengan rencana yang disarankan oleh Siska. Siska mengatakan padanya, kalau dia akan mencari seorang pengacara untuk menangani kasus Andin. Pengacara yang komp
"Apa yang kamu lakukan tadi?" tanya Bu Sekar dengan pandangan mata penuh curiga. "T--tidak sedang apa-apa kok, Ma. Sumpah." Andin tidak tahu harus menjawab apa pada ibu mertuanya. Selama ini dia menjadi menantu dan istri yang jujur. Tidak pernah sekalipun Andin berkata bohong, sepahit apa pun hidup yang dia alami sejauh ini. "Sudah berani berbohong ya kamu, tadi aku lihat kamu sedang membalas chat orang 'kan? Hayo ngaku! Jangan bilang kamu itu punya selingkuhan di luar sana? Makanya ngumpet-ngumpet begini?" terka Bu Sekar. "T--tidak, Ma. S--saya tidak pernah punya pikiran seperti itu. Demi Tuhan, Ma." "Halah! Jangan bawa-bawa nama Tuhan untuk menutupi kebohonganmu itu, kemarikan HP-mu! Cepat!" Andin menggeleng cepat, dia sudah menghapus chat dengan Siska. Untung saja dia juga belum memfoto luka lebam seperti yang diminta Siska. Mengantisipasi jika hal yang tidak diinginkan terjadi, sebelum rencana mereka berhasil. Baru saja Andin ingin memulai rencananya, dia sudah kepergok dulua