Andin mundur beberapa langkah saat Seno mendekatinya, ada perasaan takut saat dia menatap mata suaminya yang dipenuhi emosi. Selama pernikahan mereka memang Seno bukan tipe suami yang menunjukkan cintanya berlebihan, meski terkadang Seno sering memaki dan memarahinya. Namun, setidaknya Seno tidak pernah main tangan.
"M---maafkan aku, Mas. Aku janji akan berubah, aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama."Seno meludah tepat di depan Andin, hari ini suasana hatinya sedang buruk. Proposal bisnisnya ditolak oleh pihak investor, setelah pulang malah dia harus mendengar ocehan ibunya."Kamu itu bisa tidak sih jadi istri yang berguna sedikit, apa kontribusi kamu dalam hidupku selain memberiku sakit kepala? Apa susahnya mengikuti arahan Mama? Kamu menyepelekan Mama sama saja dengan menyepelekan aku. Tahu tidak?"Andin tidak sanggup berucap, feelingnya mengatakan jika dia melawan satu kata ucapan suaminya maka fatal akibatnya."Kalau ada orang yang ngomong tuh jawab! Kamu pikir aku sedang ngomong sama tembok!"Tamparan kembali diterima Andin, sakitnya kekerasan yang dia terima saat ini masih bisa diterima. Hanya saja, sakitnya hati tidak bisa dikatakan lagi.Dulu, saat Seno mendekatinya tidak sekalipun Seno meninggikan suara. Berbeda dengan sekarang, Andin merasa seperti berhadapan dengan orang lain bukan suaminya yang bertutur kata lembut. Tanpa terasa bulir air mata kembali mengalir, isak tangis pun tidak sanggup Andin tahan."Lihat, Sen. Begitulah istrimu itu, bisanya nangis. Muak Mama lihatnya, kemarin juga begitu. Mama sedang menasehatinya, tapi dia diam dan tiba-tiba nangis gini. Mana di depan rumah. Apa nggak malu Mama dibuatnya?" Bu Sekar masih menyiram minyak di bara api emosi Seno.Mendengar pernyataan ibunya, Seno langsung menarik rambut Andin."Kalau saja kamu itu tidak cantik, aku tidak akan menikahi mu, Andin! Istri tidak berguna sepertimu ini memang tidak layak mendapat perlakuan baik!"Cengkeraman di rambut Andin semakin kuat bukan hanya itu saja, mertuanya juga turut serta mencubit pinggang Andin."M--maafkan aku, Mas. Ampun, ampuni aku. Aku janji tidak akan begitu lagi," rintih Andin yang tidak tahan dengan semua siksaan yang diterimanya."Kata-katamu itu tidak bisa dipercaya, paling besok juga akan begini lagi. Tiap hari nggak ada ketenangan di rumah ini, selama tiga tahun Andin! Bisa gila aku dengan kelakuanmu!"Bugh!Dengan sekali tendang, tubuh Andin terpental dari ruang tengah hingga ke ujung kamar tamu. Andin terbatuk dan keluar darah segar dari mulutnya."Rasakan tuh mantu durhaka! Siapa suruh nggak mau nurut apa yang aku bilang, sudah Nak ayo makan dulu. Cuci tanganmu biar nggak ada kuman yang nempel," ajak Bu Sekar.Seno mendengus kesal, perut yang sebelumnya lapar itu sekarang tidak terasa lagi. Seno dan Bu Sekar meninggalkan Andin yang masih terduduk, keduanya tentu saja tidak peduli dengan keadaan Andin.Andin menatap punggung suami dan ibu mertuanya dengan berlinang air mata, dia teringat janji Seno yang akan membahagiakannya menggantikan orang tua Andin yang sudah tiada. Namun, yang dia dapat selama pernikahan hanya sakit hati dan kekerasan fisik."Apa salahku, Mas? Kenapa kamu sekejam ini denganku. Apa kamu lupa janji yang kamu ucapkan di pusara Ayah dan Ibu?" rintih Andin di sela isak tangis yang menyayat hati, meratapi nasib yang menimpanya.Terik mentari sudah tinggi, tapi Andin tidak juga mau membuka matanya. Tubuhnya terasa sakit semua, terutama di bagian yang ditendang oleh suaminya. Semalam Andin tidak bisa tidur sama sekali, tubuhnya menggigil hebat. Dingin namun terasa panas, Andin tidak tahu apakah karena luka yang dia terima atau dia yang terlalu banyak pikiran sehingga kesehatannya menurun drastis. Bu Sekar yang memang bukan tipe morning person, sangat murka saat dia pergi ke meja makan dan tidak ada makanan sama sekali. Dengan langkahnya yang berat, Bu Sekar masuk ke kamar sempit Andin. Kamar yang sejak usia pernikahan Andin yang kedua tahun telah dia tempati. Iya, Andin tidak diperbolehkan untuk masuk dan tidur di kamar utama dengan Seno. Apa bila Seno menginginkan tubuhnya, maka Seno yang akan menemui atau memanggilnya. Sekedar untuk memenuhi hasrat seksualnya. Tidak jauh beda dengan mereka yang bekerja sebagai wanita malam atau wanita panggilan bukan? Dicari ketika butuh, setelah Seno puas lalu Andin dib
Dari dalam kamarnya yang terletak tidak jauh dari meja makan, terdengar suara Bu Sekar beramah tamah dengan tamu wanita yang dibawanya. Sungguh miris, Bu Sekar tentu tahu Andin yang sedang sakit. Namun, Bu Sekar jangankan membawa Andin ke dokter. Orang yang menjadi mertuanya itu malah menyuruhnya memasak dan membiarkan Andin merintih kesakitan seorang diri. Bulir air mata Andin tak dapat lagi dibendung, wanita malang itu meratapi nasibnya yang selalu tidak mujur. Terbesit di hati Andin menyesali keputusannya menikah dengan Seno, andai saja dia bisa mengetahui seperti apa masa depan yang akan dia lalui dengan Seno tentu Andin akan menolak lamaran lelaki itu. "Apa yang bisa ku lakukan, nasi sudah jadi bubur. Aku hanya bisa menerima takdir yang Tuhan gariskan untukku, aku juga bodoh sebab terlalu mudah menaruh hati," keluh Andin. Selimut yang basah akibat siraman air ibu mertuanya terpaksa dia gunakan untuk menyelimuti tubuhnya yang kini mulai panas, Andin tidak punya pilihan lain. D
Andin tidak menyangka Bu Sekar memperbolehkan orang lain untuk memanggilnya Mama, sedangkan saat Andin memanggilnya demikian, Bu Sekar sangat marah padanya. Bu Sekar mengizinkan setelah usia pernikahan Seno dan Andin menginjak dua tahun. Betapa sakit hati Andin melihat kedekatan Bu Sekar dengan Dewi, selayang pandang saja Andin dapat mengetahui bahwa orang yang diharapkan menjadi menantu di keluarga ini adalah Dewi. Bukan dirinya, yang tidak punya apa-apa. "Mulai sekarang Dewi akan sering datang ke rumah, jadi pastikan kamu melayani Dewi dengan baik. Jangan berlaku kurang ajar, awas saja kalau kamu berani seperti itu," ancam Bu Sekar. Andin hanya bisa mengangguk, ya apa lagi yang dia bisa. Perintah mertuanya adalah suatu kemutlakan yang harus dilaksanakan."Mama, maaf loh aku ngerepotin gini jadinya. Aku nggak enak sama si Mbak dan Mas Seno," ucap Dewi dengan nada manja manjalita. "Tentu saja tidak, Sayang. Oh iya, nggak usah panggil dia, Mbak. Panggil nama saja, atau kamu boleh p
Sebuah mobil Mercedes-Benz 300 SLR Uhlenhaut berhenti tepat di sebuah gedung mewah, dari dalam mobil keluar dua wanita beda generasi. Bisik beberapa orang saat melihat mobil tersebut rupanya menjadi kebanggaan tersendiri bagi kedua wanita tersebut. "Siapa mereka?" "Kalian tidak tahu? Wanita yang sudah paruh baya itu 'kan ibunya Pak Seno. Kalau wanita disebelahnya aku tidak tahu sih, nggak kenal." "Apa mungkin istrinya? 'Kan Pak Seno sudah menikah." "Bukan, Pak Seno memang sudah menikah. Tapi istrinya bukan orang itu, istri Pak Seno itu cantiknya alami. Sedangkan wanita itu cantiknya karena oplas." Iya, dua orang yang baru saja turun dari mobil dan hendak memasuki gedung di mana Seno bekerja adalah Bu Sekar dan Dewi. Keduanya datang tepat di saat jam makan siang, sehingga banyak karyawan yang baru mau keluar mencari makan siang. Walau di perusahaan tersebut tersedia kantin, tapi ada sebagian dari karyawan yang ingin makan makanan luar. Bu Sekar mendelik pada tiga karyawati yang
Sejak pertemuan pertama dengan Dewi, Seno semakin jarang pulang ke rumah. Sekalipun dia pulang, pasti hari sudah larut. Bukan hanya Seno yang berubah dan jarang di rumah, Bu Sekar pun lebih banyak menghabiskan waktunya di luar sana. Terkadang keduanya pulang dalam keadaan mabuk, atau pulang dengan tangan penuh barang belanjaan. Andin tidak tahu apa yang keduanya lakukan, tapi dia bukan gadis lugu yang tidak tahu apa pun. Seperti halnya dini hari ini, saat Andin baru saja selesai dengan pekerjaan rumah, suaminya baru saja pulang. Namun ada yang berbeda, jika selalunya Seno pulang sendiri malam ini Dewi dengan Seno. "Ngapain kamu bengong! Cepetan bantu aku, kamu kira mapah Mas Seno nggak berat!" hardik Dewi. Dewi kewalahan menyanggah tubuh Seno yang teler akibat minuman keras yang dia tenggak. "Kenapa kamu yang bawa Mas Seno pulang? Biasanya dia pulang sendiri." "Heh! Cewek dungu, lihat dong kondisi Mas Seno. Memang dengan kondisinya yang seperti itu dia bisa pulang dengan kakinya
Hari demi hari kelakuan Seno makin menjadi, jangankan untuk pulang ke rumah yang sudah mulai jarang. Seno bahkan sudah tidak pernah memberikan nafkah pada Andin. Alasan Seno selalunya sebab Andin tidak memerlukan uang, makan rumah sudah ditanggung Seno. Sementara itu mereka juga belum punya anak, jadi Andin tidak punya alasan untuk meminta nafkah padanya. Untuk keperluan pribadinya, Andin mencoba menjadi reseller online shop. Secara tidak langsung, Andin sudah diabaikan oleh Seno. "Andin!!" "Andin!!" Lamunan panjang Andin memikirkan nasibnya seketika buyar, saat ibu mertuanya memanggil dirinya dengan lantang. "Iya, Ma. Ada apa?" tanya Andin yang tergopoh-gopoh memenuhi panggilan sang ibu mertua. "Kamu ini dari tadi aku panggil nggak dengar apa? Tuli atau memang sengaja, hah?" Bu Sekar segera menarik telinga Andin, hingga telinga menantunya itu memerah. "A--ampun, Ma. S--saya beneran nggak denger," jawab Andin, meringis kesakitan. "Ya Tuhan! Aku lama-lama bisa mati berdiri, ka
Hari ini Andin keluar diam-diam dari rumah, bukan untuk kabur. Dia hanya ingin bertemu dengan temannya, oh bahkan mungkin sahabatnya. Sebab hanya dia teman yang Andin punya. Andin terpaksa keluar tanpa meminta izin dari ibu mertua maupun suaminya, selain ke pasar Andin tidak diizinkan untuk keluar rumah. Hidup Andin di rumah itu tidak cukup dijadikan sebagai pembantu, pemuas nafsu suaminya, tapi juga bagai tawanan. "Andin!" Suara yang sangat Andin kenal membuatnya menoleh, mencari si pemilik suara. "Siska..." Andin berlari sekuat tenaga dan memeluk sahabat yang sudah lama tidak dia temui. "Ya ampun, Ndin. Kamu kenapa jadi kurus begini?" Ketika Siska membalas pelukan Andin, dia menyadari tubuh sahabatnya itu jauh lebih kurus dari terakhir dia bertemu dengan Andin. "Sebenarnya apa yang terjadi selama pernikahan kamu dengan Seno? Jangan bilang Seno tidak memperlakukan kamu dengan baik?" terka Siska. Andin membisu, dia tidak yakin apa harus menceritakan semuanya pada Siska. Bukank
"Dari mana kamu?" Suara Bu Sekar mengagetkan Andin, yang baru saja kembali seusai dia menemui Siska. "S--saya habis buang sampah di depan, Ma." "Buang sampah aja lama amat. Dipanggil-panggil nggak nyahut.""Maaf, Ma. Tadi saya juga bersihin halaman belakang, jadi nggak denger Mama manggil saya." Andin menyeka keringat dingin di dahinya, dia sangat takut kalau sampai ketahuan keluar dari rumah. "Ya sudah! Buatin aku mie rebus, lapar banget ini." "Tapi, bukannya Mama mau keluar sama Dewi?" Bu Sekar mendelik, persis seperti dedemit yang selalu muncul di film horor. "Kalau disuruh tuh jangan banyak tanya! Sana buat, bawel amat jadi orang!" Bu Sekar mendorong Andin, sampai hampir jatuh. Tidak mau membuat ibu mertuanya murka lebih dari itu, Andin menuruti apa yang ibu mertuanya minta. Selama memasak mie rebus, Andin teringat dengan rencana yang disarankan oleh Siska. Siska mengatakan padanya, kalau dia akan mencari seorang pengacara untuk menangani kasus Andin. Pengacara yang komp