Mata Mila terbelalak saat tahu ternyata yang mengirimkan pesan adalah ibu mertuanya, ibunya Zayn.Ingin menolak tapi Mila merasa tidak enak apalagi nyonya Diva mengatakan jika ia saat ini sedang di jalan menuju tempat Mila. Jika sampai Mila menolak untuk bertemu bukankah tidak sopan, apalagi pada orang tua.[Bisa, Bu. Nanti saya akan temui ibu.] pesan balasan dari Mila yang baru saja dikirim.Mila ingin masalah segera selesai tapi saat ini ia merasa masih bingung, takut salah mengambil keputusan. Masalahnya kondisi sekarang sedang hamil, Mila tidak mau untuk kedua kalinya ia melihat anaknya lahir dan kehilangan kasih sayang ayahnya.Mungkin untuk memaafkan memang sulit tapi setidaknya Mila masih mencoba untuk menerima karena orang tidak luput dari dosa. Kalau memang Zayn sudah tidak ada hubungan dengan Livia, maka tidak ada alasan Mila lagi untuk menghindar apalagi pergi.[Jangan kemana-mana, tetap tinggal di rumahmu. Saya yang akan ke sana.]Nyonya Diva tidak mau terjadi sesuatu pada
"Boleh 'kan aku tidur di sini?" tanya Zayn sedikit ragu.Sebelumnya ia tidur di bawah demi membiarkan istrinya nyaman.Mila tidak menjawab tapi ia menggeser tubuhnya memberikan ruang lebih untuk Zayn.Lelaki itu mengulum senyum melihat tingkah sang istri, meski belum seperti biasa lagi tingkahnya tapi setidaknya Mila sudah sedikit luluh.Dengan hati yang plong, Zayn naik ke atas kasur, berbaring di sebelah Mila yang sudah lebih dulu memejamkan mata."Apa aku juga harus minta izin untuk memeluknya?" batin Zayn frustasi.Tangannya sudah gatal, ingin sekali ia menggeser tubuhnya mendekat untuk bisa mendekap tubuh sang istri. Ia sangat merindukan hangatnya tubuh Mila dan wangi tubuh wanita itu.Saat ini hanya bisa memandang punggung Mila, tapi itu saja sudah membuatnya senang karena Mila menerima maaf Zayn.Jika urusan perceraian bisa diselesaikan satu hari, sudah dari kemarin ia melakukannya. Tapi sayang, Zayn harus harus bisa mengikuti proses yang berjalan seperti semestinya.Satu jam b
Livia resah karena Tito tidak bisa dihubungi padahal mereka sudah memiliki kesepakatan yang belum usai. Livia menggantungkan harapannya pada Tito karena dirinya sudah tidak bisa melakukan apa-apa karena jika selangkah lagi Livia maju Zayn yang akan langsung memberikan pelajaran.Jelas saja Tito tidak bisa dihubungi karena ia sudah mendapakan pelajaran dan tidak akan pernah berani lagi memperlihatkan batang hidungnya. Tito sudah kembali ke kampung halaman orang tuanya. Anak buah Zayn sudah menangani Tito yang diduga akan berencana untuk membuat onar lagi, jadi harus antisipasi sebelum ada hal-hal buruk terjadi."Bagaimana ini?""Tidak ada harapan lagi, untukmu, Vi. Kau memang ceroboh, kita kehilangan semua harta yang seharusnya ada di tangan.""Bukannya membantu memecahkan masalah mama malah memojokkan aku, ini semua juga ide mama. Jadi kita sama-sama salah, Ma." Livia tidak mau kalah."Kalau Zayn masih mengincarmu, Mama tidak mau ikut campur." Wanita paruh baya itu meninggalkan Livia
Waktu bergulir begitu cepat. Usia kehamilan Mila kini memasuki bulannya, tinggal menghitung hari sampai bayi yang dikandungnya lahir ke dunia.Seluruh keluarga Hartanto jelas sangat bahagia menantikan kehadiran bayi yang sudah lama dinantikan. Tanpa mereka tahu jika sebenarnya sebelum bayi itu lahir, Zayn sudah menjadi seorang ayah untuk dua anak kembarnya. Sebuah takdir yang tidak pernah disangka oleh siapapun termasuk Zayn sendiri.Nyonya Diva bahkan kini sudah tinggal di rumah sebelah. Bukan lagi disewa tapi dibeli dan sudah direnovasi. Nyonya Diva tidak mau berjauhan dari menantu dan juga cucunya.Livia dan juga Tito tidak pernah muncul lagi. Mereka tidak akan menang jika melawan Zayn jadi lebih memilih mundur daripada dibuat babak belur lebih parah.“Kamu belum makan juga, Mila?”Mila tersenyum lebar, “Sebentar lagi, Mam. Masih kenyang.”“Ini sudah jam makan siang, bahkan lewat lima menit. Jangan sepelekan makan.”“Iya, Mam. Sebentar lagi, aku mau selesaikan ini dulu.” Mila tenga
“Ayah mana?” tanyaku pada anak-anak yang asyik menonton televisi.“Ada di kamar, Bu. Sedang dipijat katanya tidak boleh ada yang mengganggu,” jawab Devan.Keningku berkerut. Dipijat? Sejak kapan Mas Tito mau dipijat oleh orang lain? Saat merasa tubuhnya kelelahan dia pasti memintaku untuk memijat tubuhnya bukan orang lain.“Memang Ayah yang bilang begitu?” Aku kembali bertanya.“Iya, Bu. Jangan ganggu sampai selesai nanti,” sahut Davin.Aku penasaran dan bergegas menuju kamar untuk melihat.Cklek!Dikunci? Kenapa dipijat saja harus dikunci?Aku menempelkan telinga di daun pintu saat mendengar suara lenguhan dari dalam kamar.Deg!Apa yang Mas Tito lakukan di dalam bersama dengan tukang pijat itu. Dadaku langsung memanas.Tok! Tok! Tok!“Mas, Mas Tito!”Perasaanku jadi tidak enak seperti ini, pikiranku langsung tidak karuan, membayangkan hal tidak-tidak yang dilakukan oleh Mas Tito di dalam. Menunggu lumayan lama sampai pintu itu terbuka.Mataku membelalak melihat ada seorang wanita d
Tangisku tak bisa lagi ditahan. Rasanya begitu sakit. Bukan lagi soal fisik tapi sayatan luka di hatiku kian bertambah, luka kemarin saja belum sembuh kini ditambah lagi luka baru.Allah ….Kenapa sesakit ini?Apa aku benar-benar tidak berarti lagi bagimu, Mas? Kau bahkan lebih memilih wanita yang baru satu bulan dikenal daripada aku yang sepuluh tahun menemanimu dalam duka dan kejamnya dunia.Mas Tito pergi begitu saja menggunakan mobilnya, entah kemana dia akan pergi. Sebelum dia kembali lebih dulu aku membawa tas yang berisi surat-surat penting, tanpa ini aku tidak akan bisa menggugatnya karena dia pergi tanpa talak yang terucap. Tidak lupa juga membawa keperluan anak-anakApalah artinya uang banyak jika batinku tersiksa, neraka bagi seorang istri itu memiliki suami yang tidak berperasaan, egois dan juga kasar dan tak setia. Padahal dulu Mas Tito tidak seperti ini, dia juga begitu menyayangi anak-anakku meski mereka bukan darah daging Mas Tito.Dia diuji dengan harta tapi ternyata
Aku menggigit bibir untuk menahan isak tangis.“Maaf … aku mengecewakan Bibi. Aku … aku tidak bisa mempertahankan pernikahan ini, Bi.”Tanpa menjawab bibi menarikku ke dalam pelukannya.“Bibi yakin ini bukan salahmu, Mil.” Tangannya mengelus punggungku yang bergetar karena tangisan, “menangislah, jangan ditahan. Hanya kali ini saja kau boleh menangis, setelah ini bibi tidak mau lagi melihat air matamu. Bibi tahu kau kuat.”Aku tergugu dalam pelukan bibi, menumpahkan rasa sesak dan sakit yang dirasakan.“Sakit, Bi ….”“Tito akan hancur, bahkan lebih hancur darimu yang sudah disakitinya. Bibi tidak ridho kau disakiti seperti ini. Lihat saja nanti, Allah tidak tidur, Mil.”Sudah satu bulan aku tinggal di rumah bibi, aku memberi pengertian pada anak-anak soal kami yang sementara tinggal di sini. Setelah ujian sekolah mereka selesai baru aku akan mengatakan semuanya.Dengan bantuan bibi pula aku mengajukan gugatan ke pengadilan. Sengaja aku tidak membawa apapun dari rumah karena memaksa pu
Mataku terbelalak saat lelaki yang tiba-tiba datang itu mengatakan hal yang membuat semua mata tertuju padaku. “Jangan buat orang lain semakin salah paham, Ki!”Lelaki itu malah tertawa.Dia Hengki, rekan bisnis Mas Tito. Dia dan Mas Tito bekerja sama dari bawah jadi aku juga kenal baik dengannya dan juga istrinya."Itu masalah mereka kalau salah paham, Mil.""Dasar!" Aku menggeleng."Oh ya, selesai ini aku mampir ke rumahmu ya. Aku ingin membicarakan soal bisnis."Keningku mengernyit. "Ki, sepertinya aku tidak memiliki bisnis apapun denganmu.""Sebelumnya memang tidak. Apa kau tidak berniat memulai bisnis? Penghasilan Tito tidak lagi masuk dalam dompetmu 'kan? Jadi, kau harus berdiri sendiri."Apa yang dikatakan Hengki memang benar. Aku harus berdiri di atas kakiku sendiri, sekarang tanah yang kubeli masih banyak yang kosong dan separuhnya sudah ditanami padi. Tapi aku tidak bisa mengandalkan dari itu saja. Harus memiliki pemasukan lain karena kebutuhan yang kupikirkan bukan hanya u